SEMBILAN

1130 Words
-9- "Abim kecelakaan?!" seru Dewi tak percaya. Ia kemudian menutup mulut karena teguran dari seorang suster yang baru saja lewat. Tio mengangguk, lalu merenggangkkan tubuhnya, semalaman di rumah sakit bisa menurunkan mood nya. Mentalnya bisa ikutan sakit kalau ia terus berada di tempat keceriaan adalah barang langka. Begitu yang Tio pikir semalam. Namun, selama ada Dewi, Tio akan tetap ceria di mana pun tempatnya. Siapa sangka, siang ini Dewi datang menjenguk kakeknya yang tengah berbaring di brangkar. "Hm ...." Dewi mengetuk-ngetuk dagunya, berpikir. "Kok bisa sih?" Tio mengusap belakang lehernya saat tiba-tiba saja punggungnya merasa dingin. "Kata Abim sih, motornya kegelincir pas hujan." Tio menjeda saat merasakan getaran yang berasal dari hp nya. "Tapi gue nggak percaya," sambung Tio sembari mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. "Gue tanya deh ke bengkel tempat motornya yang rusak. Kata orang bengkel, rem depan sama belakang ternyata blong." Dewi mengangguk paham, lalu berujar, "jadi, kecelakaan biasa ya?" Tio menggeleng cepat, mematahkan analisa Dewi yang melenceng dari teorinya. "Abim bukan tipe pengendara ugal-ugalan. Nggak mungkin kan, motor bisa kegelincir padahal cuma kecepatan 40km/s." Dewi mengerutkan dahi tak mengerti. "Abim nggak pernah ngebut waktu cuaca cerah, apalagi pas hujan lebat kayak kemaren. Bahkan, saat jenazah bokap sama nyokapnya sampe di rumah, Abim santai banget pakek motornya." Tio mendengus, kembali mengingat kejadian satu setengah tahun yang lalu. Memori pahit yang ingin ia deleted. "Dan lagi, gue sendiri yang nemenin Abim ganti kampas rem motornya, dan lo tahu kapan itu?" Dewi menggeleng pelan. "Itu baru seminggu yang lalu." Dewi mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Bisa dibilang, Abim bukan kecelakaan." Dewi menunduk, ia mulai paham apa yang akan Tio katakan. "Tapi dicelakai," sambung Tio lirih. Ia melirik ke kiri dan kanan, mengamati suasana koridor yang amat sepi. Padahal ini masih siang, tapi seolah atmosfer di sekitar tempatnya dan Dewi duduk menunjukan tengah malam. Sepi, sunyi, dingin, dan mencekam. Tio sungguh tak menyukai suasana seperti ini, ia terlalu penakut untuk sebuah jumpscare. "Dicelakai?" ulang Dewi lirih, mempertanyakan ke-akuratan teori Tio. Tio menoleh ke Dewi sesaat, sebenarnya ia juga ragu pada buah pemikiranya sendiri. "Ehm, Wik," panggil Tio lirih. Dewi menoleh dan mendapati wajah Tio yang sudah pucat. "Eh! Ke-kenapa muka lo pucet?" tanya Dewi bingung. Tio tak merespon, pandanganya terkunci ke ujung koridor. Dewi segera menelusuri arah pandang Tio. "Lo ngeliatin apaan sih?!" Dewi mulai panik saat ia hanya mendapat pemandangan kosong di ujung koridor. "Sis-Sis ... Ka," ucap Tio terbata. Ia butuh perjuangan untuk melontarkan lima huruf itu dari mulutnya yang menganga. Dewi membulatkan mata penuh. Tio berusaha menutup matanya, yang sialnya malah semakin terbuka lebar. Tio tak mengenal Siska, ia hanya sekali melihat gambar Siska lewat ponsel Abim beberapa waktu lalu. Dan sialnya lagi, ia langsut mengingat wajah Siska, seolah ia sudah berkali-kali melihatnya. "Ja-jangan ngaco lo!" desis Dewi tak percaya, tapi adrenalinnya tak sependapat dengannya. Bahkan jantungnya bekerja dua kali lebih cepat. Tio beku, menatap sosok yang berdiri tak jauh darinya. Wajah hancur berantakan, bibir sobek sampai pipi, mengalir cairan merah pekat dari kepala yang mengucur bebas membasahi seragam putih yang terbungkus sweater. Tangan kirinya menggenggam erat pocong-pocongan yang lusuh. Lalu, diangkatnya benda itu, menunjukannya pada Tio dengan seulas senyum yang sulit dilupakan. Puk! "AAA!" jerit Tio kaget, dibarengi jeritan Dewi yang ikut kaget karena Tio kaget, namun lebih histeris dari Tio. "Kalian kenapa sih?" Tio terengah dengan keringat bercucuran. Dewi menarik napas dengan rakus, detak jantungnya terdengar selerti drum. "Ng-nggak papa kok, Ma," jawab Tio terbata pada mamanya. "Dari tadi mama panggilin lho. Kalian ngeliatin apa, hm?" Erna–mama Tio maju selangkah, menatap heran pada muda-mudi yang duduk bersebelahan di depannya. ~~~ Rintik hujan mulai turun dengan derasnya, sesuai dengan irama alam yang itu-itu saja. Abim menatap kosong ke kaca mobil Tika, sambil menahan perih di tangannya yang mulai menjalar. Menggerakan satu jari pun sulit. "Nggak usah sok diem!" tukas Tika tanpa melepas pandang dari jalan. Abim terkekeh."Tangan gue rasanya perih." Tika melirik sesaat, lalu kembali fokus pada aspal. "Kita mau kemana sih?" tanya Abim penasaran. Harusnya ia tidur di rumah sepanjang hari ini. Tapi dengan bodohnya, Tika menurut saja pada permintaan Eno untuk mengajaknya ke luar. Abim mendengus kesal, ia sudah curiga saat Eno berbisik pada Tika beberapa menit yang lalu. "Ck, bangunin gue kalo udah sampek," gerutu Abim sambil menyandarkan punggungnya, memejamkan mata dan menyelam, mimpi buruk telah menantinya. Tika kembali melirik Abim, lalu mengulum senyum. Bisa-bisanya ia menuruti permintaan Eno. Tapi, wanita mana yang akan menolak saat tampang Eno meminta? Tika tak henti membayangkan senyuman Eno yang menawan hati batunya. ~~~ 15.33 Setelah memarkirkan mobilnya di sebelah mobil hitam, Tika memandang bangunan megah tempat orang-orang sakit berkumpul. Ia mematikan mesin mobil, lalu membuka aplikasi chat dan menuliskan pada Dewi dan Eno. Tika menoleh pada Abim yang masih terlelap di sampingnya. Polos dan damai, kesan Tika saat mengamati Abim dari jarak yang cukup dekat. Dengkuran halus dari Abim menemani kebisuan mereka selama beberapa saat. Tika mengeratkan hoodie abu-abu pada tubuhnya. Ia menyesal karena tak ganti pakaian terlebih dahulu. Begitu pula Abim yang masih setia dengan seragam nya. Tika mengulurkan tangannya, mengguncang pelan pundak Abim, di detik berikutnya Abim terbangun dengan keterkejutan yang luar biasa. Tika mengerutkan keningnya. Abim menatap sekitar, lalu menundukkan kepala penuh, napasnya masih sedikit memburu. "Darah?" gumam Abim amat lirih. "Lo kenapa?" tanya Tika sedikit khawatir. Abim menggeleng. "Yuk, turun," ucapnya sambil membuka pintu mobil. "s**l!" umpatnya dalam hati, ia hampir tak bisa merasakan lengannya sama sekali. °°° "Ya ampun, lo nangis lagi, Tik?" tanya Dewi setengah berbisik. Ia heran pada salah satu sahabatnya ini. Dewi sebenarnya tahu kalau Tika orang yang cengeng, tapi sudah lama ini Tika menutupinya dengan amat baik. Baru kali ini Tika menangis tanpa tedeng aling-aling. Apa kata teman-teman nya nanti? "L-lo nggak tahu perasaan gue!" keluh Tika dengan mata berkaca-kaca. Dewi mengusap punggung Tika pelan, lalu melirik Abim yang tengah berbincang serius dengan Tio. Sengaja menjauh agar tak didengar para perempuan. "Jadi, lo ketemu Siska?" lirih Abim, duduk menghadap Tio di kantin rumah sakit. Tak jauh dari mereka, ada Tika yang duduk bersebelahan dengan Dewi. Ia sebenarnya bingung, untuk apa Tika membawanya kemari, agar ia bisa curhat dengan Dewi kah? "Iya, dan gitulah pokoknya," dengus Tio ngeri. "Gue juga pernah sih." Abim kembali menyedot minumannya. "Tapi kok beda ya? Pas nampakin ke gue, nggak sama kayak nampakin ke elo." Tio memejamkan mata, mencerna baik-baik perkataan Abim barusan. "Ah, bodo! Yang penting, kenapa dia juga nampakin ke gue? Kenala aja nggak!" Abim mengangguk setuju dengan Tio. Pikirannya tengah penuh dengan penampakan yang berbeda, satu orang dua penampakan. Abim membulatkan matanya, setelah ia memikirkan ulang kata-katanya. "Jangan-jangan—" "Eh, ngomong-ngomong." Abim mendongakkan kepala pada Tio. "Sejak kapan si Tika pakek hoodie elo?" Abim menoleh ke belakang, menatap punggung Tika yang naik turun dan memukul meja ganas. "Seinget gue, udah sebulan deh itu hoodie nggak lo cuci!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD