SEPULUH

1061 Words
-10- "lo yakin, masih kuat?" tanya Dewi khawatir, ia menatap iba sahabatnya yang kian hari makin pucat. Tika mengangguk lemah, sudah sekitar seminggu lebih sepeninggal Siska, tubuh Tika drop. "Gue nggak papa kok," tukas Tika, ia lalu beranjak dari ranjang UKS. "Tik, sebaiknya lo istirahat aja deh." Dewi menahan lengan Tika yang hendak pergi. Tika kembali menggeleng. "Gak deh, Wik, gue juga lagi ada urusan di ekskul." Tika melepas pelan tangan Dewi, kemudian berjalan lemah menuju ruang ekskul karate yang ada di sebelah gedung basket. "Soal yang begituan aja gak absen!" cibir Dewi sambil melangkah pergi. Langkah kaki gadis itu terhenti di depan toilet wanita. Hiks .... Hiks .... Ia samar-samar mendengar sebuah tangisan lirih dari dalam. Dengan ragu, Dewi melangkah masuk, ia penasaran siapa yang menangis. "Sepi?" gumam Dewi tak mengerti mendapati toilet yang tengah sepi. Perlahan, ia menggerakkan kakinya mendekati bilik-bilik toilet yang berjajar. "Halo, ada orang nggak?" ucapnya merasa konyol. Bukankah kalau ia bersuara, orang yang menangis tadi malah akan diam? "Dewi?" Dewi langsung berbalik karena namanya dipanggil. "Eka?" sahutnya, lalu mendekati Eka yang tengah berjalan santai ke westafel. "Ngapain lo tadi celingukan?" Eka memicingkan matanya. "Mau Ngintip lo ya?" Dewi membelalak, lalu memukul pelan bahu Eka. Enak saja dirinya dituduh mengintip. "Jangan ngaco!" peringat Dewi yang hanya ditanggapi kikikan geli dari Eka. Lalu, tiba-tiba Eka menjentikkan jarinya, menatap Dewi serius. "Gue perhatiin, makin lama Tika makin aneh deh." Dewi ikut serius saat mendengar saat nama sahabatnya dibawa-bawa. "Maksud lo?" tanya nya pada Eka yang bersandar pada pinggiran westafel. "Lima hari lalu, gue lihat dia habis nangis, baru kali ini gue lihat Tika nangis." Ah, Dewi ingat hari itu. "Apalagi, Tika bareng cowok!" Dewi mengernyit bingung. "Apa yang aneh selain Tika yang nangis?" "Ini Tika lho Wik, Tika bareng cowok tuh hal yang ... Ehm, langka," lirih Eka pada bagian akhir. "Tapi, yang paling bikin gue kepikiran," lanjut Eka dengan mimik yang sama dan tangan yang tak bisa diam. "Semenjak itu, Tika kayak ... Gimana ya, morning sickness," ujar Eka amat lirih, membuat Dewi membulatkan kedua matanya. "Setiap pagi pasti dia muntah-muntah, lemes, terus tambah pucat." Terang Eka diangguki Dewi ragu. pagi ini pun, Tika juga tak sarapan, mulutnya terasa aneh, katanya lidahnya kerasa kayak karatan. "Kalau menurut gue sih, Tika udah 'isi' duluan." Dewi langsung memukul bahu Eka sambil bilang, "Hus!" "Menurut gue kronologinya gini." Eka kembali menjelaskan, tak perduli pada protesan Dewi. "Tika udah main gelap-gelapan sama cowoknya, terus sadar kalo dia udah ada isinya, Tika nangis minta tanggung jawab. Secara sih, gue juga bakal nangis histeris biar itu cowok tanggung jawab." Dewi menganga, ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Eka. "Makanya, makin hari Tika makin gitu ...." Eka mengakhiri kesimpulannya dengan wajah tak percaya, seolah Tika memang melakukanya. "Sesat lo!" tukas Dewi tak setuju. Namun, di satu sisi ia juga ikut berpikir sama, bisa saja! Saat itu Dewi meninggalkan Tika berdua dengan Abim. Apalagi, ia mendengar dari kak Dian kalau Abim dan Tika ke lantai atas dan hanya berdua. Di lantai atas, kan, ada empat kamar, bisa saja Abim khilaf dan menggunakan salah satunya. "Tapi lumayan juga sih, cowoknya Tika." Eka mengingat. "Gak malu-maluin kalau diajak jalan." Dewi menggelengkan kepala, lalu mengajak Eka keluar. Ia sudah lupa tujuannya ke toilet, tanpa ia sadari, suara itu masih terdengar lirih dan samar-samar. Walaupun kenyataanya tak ada siapapun di sana! ~~~ Tika duduk dengan lemas, keringat dingin mengucur dari pelipisnya. "Lo nggak papa, Tik?" tanya Edo, ketua ekskul. "Lo mending pulang aja deh, Tik," timpal Eka yang belum lama datang. "Gue telponin Abim, ya? Suruh jemput." Tika membelalak, dengan ragu ia bertanya, "E-emang lo punya kontaknya?" Bukan apa-apa, Tika hanya ingin tahu, sejak kapan Eka menyimpan kontak Abim? Tika yang punya urusan saja tak pernah punya tuh. Diluar dugaan, Eka mengangguk mantap lalu bergegas mengambil ponselnya yang berada di tas yang ada di pojok ruang. Tika kembali membelalak, ia hanya bermaksud bertanya, bukan benar-benar meminta Eka menelpon Abim. "Abim siapa, Tik?" tanya Edo penasaran. Seluruh penghuni gedung tak henti menatap Tika penasaran. Mereka semua tahu kalau Tika tak pernah berhubungan serius dengan lawan jenis. Tapi ini, tahu-tahu muncul nama aneh di saat Tika dalam keadaan aneh. "Udah di depan, Tik!" seru Eka, yang lain ikut menoleh. Tika meneguk ludah, tenggorokannya terasa kering. Nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin, kan, kalau ia menyuruh Abim pulang. "Grakcep banget tuh orang," sindir Dodi diangguki kedua temanya. Tika menyesal karena tak membawa mobil sendiri karena takut kenapa-napa. ~~~ Abim turun dari motor seraya melepas helm fullface nya. Ia heran pada Tika, untuk apa menyuruhnya menjemput, bukankah ia sudah tak ada hubungan apa-apa lagi? Untung ia tadi berada di kafe Ungu yang tak jauh dari SMA Bintang. Abim mengerutkan kening, ia tahu kalau ini sudah jam pulang, tapi sekolah yang ia kunjungi masih terlihat ramai. Tidakkah mereka pulang? Tidakkah mereka lelah dengan pelajaran sekolah? Abim bertanya-tanya. Banyak pasang mata yang menatap Abim aneh, beruntung ia sudah biasa ditatap demikian, malah kadang lebih parah. "Siap tuh?" "Anak Awan, ngapain dia ke Bintang?" "Jemput pacar kali ...." "Mungkin ngajakin ribut lagi." Abim menggelengkan kepala. Memang, cewek di SMA nya dan di sini sama, gosip semua! Abim melangkah menuju gerbang dengan santai, dan tanpa sengaja ia menabrak seseorang hingga membuat orang itu jatuh. "Rian Hanafi ..." Abim mengeja, lalu ia mengulurkan tangannya, hendak membantu cowok di depannya berdiri. "Sorry, gue nggak fokus," ujar Abim ramah. Rian membelalak, ia ingat cowok yang berdiri di hadapannya ini. Cowok yang bersama Tika lima hari lalu, Rian tak sengaja memergoki cowok itu semobil dengan Tika, bahkan mereka makan bersama di warung lesehan pak Eko dekat rumahnya. Tangan Rian bergetar, ia masih dalam posisi terduduk, menatap Abim pun Rian tak berani, apalagi menyambut uluran tangan itu. "Bro, lo nggak papa?" Abim berjongkok, mengamati wajah Rian yang tiba-tiba pucat, seolah ketakutan. "Rian, lari!" Rian segera bangkit dan berlari sekuat yang ia bisa. Namun sayang, Abim menahan lengannya, sebelum ia benar-benar lari sekuat yang ia bisa. "Lo mau lari?" Rian membeku di tempat, detak jantungnya sudah tak beraturan. "Apa yang bikin elo setakut itu?" Rian bahkan tak bisa bersuara, lidahnya kelu, lututnya tak sanggup lagi menopang tubuh kurusnya, Rian ambruk. Abim melepas cekalannya, menghela napas kasar. Lalu berpindah tempat, berdiri di hadapan Rian yang terduduk lemas seraya menatap Rian penuh keangkuhan. "Kita pernah kenal?" Rian menggigil, berusaha untuk menggeleng pelan walau susah. Seragamnya sudah banjir oleh keringatnya sendiri. Rian takut, amat sangat takut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD