SEBELAS

1170 Words
-11- Abim menghembuskan napas berat, lalu ia kembali berdiri dan menatap heran cowok di depannya. "Ini ngapain sih, Emang muka gue nyeremin banget apa ?" "Abim!" Abim tercekat, lalu perlahan membalikan tubuhnya. Jantungnya berpacu, entah mengapa teriakan Tika jadi terdengar lebih horor. "Ha-hai kaca mata," sapa Abim agak gugup. "Rian ..." Tika bergegas menuju Rian yang masih terduduk lemas di tanah, mengulurkan tangan dan membantu cowok itu berdiri. "Lo apain Rian, HAH?!" sungut Tika kesal. Melihat Rian dalam keadaan seperti itu, siapa yang tak salah sangka coba? "Gue nggak apa-apain, oke?" Abim mengangkat kedua tangannya sedada. "Tuh, lo tanya aja sama dia." Tunjuk Abim pada Rian yang sedikit terengah-engah. "A-aku pulang duluan, ya ...." Tanpa menunggu jawaban, Rian langsung melesat pergi, berlari seperti orang dikejar setan. "Lihat?" Rian mengangguk paham. Ia harus segera menyingkir dari sana, tangannya belum berhenti bergetar, keringatnya juga masih bercucuran. Pokoknya ia tak boleh bertemu atau berurusan dengan cowok itu, cowok yang kini membonceng Tika dengan motor hitam besarnya. Pokoknya jangan, jaga jarak, kalau bisa malah tak usah bertemu sekalian. ~~~ Dodi tak henti-henti mengumpat. Ia berdiri sendirian, sekali lagi, sendirian! Ia memaki dirinya sendiri yang dengan bodoh menerima tawaran Edo yang mengajaknya sparring. "Yang kalah bersihin tempat ini, terus balikin semua perlengkapan dan kunci pintu." Jelas saja ia kalah. Dodi mengambil langkah panjang, suasana sekolah yang sepi sangat berbanding terbalik dengan suasana sekolah satu jam setengah yang lalu, ramai dan berisik. "Ngeri banget anjir!" rutuknya. Sayup-sayup ia mendengar sebuah senandung yang merdu. Langkahnya berubah arah, menelusuri asal dari suara merdu yang disuarakan tak jauh dari tempatnya berdiri. "Tembang?" gumamnya saat menyadari senandungan itu, ia paham dengan lirik dan nada dalam lagu itu. Tapi pertanyaannya ... "Siapa yang nembang?" Dodi terus melangkahkan kakinya yang semakin jauh dari pintu keluar, terus berjalan mengikuti suara yang kian jelas di telinganya. Hingga, ia berhenti tepat di depan ruang kelas di lantai dua. Dodi mendongak, menatap papan kayu yang di pajang gagah di atas pintu kelas tersebut. Papan kayu yang bertuliskan ... 11 IPA 2 Dengan tenang, Dodi meraih kenop pintu dan memutarnya ke bawah. Namun saat suara itu tiba-tiba hilang, membuatnya mulai ragu untuk membukanya. "HE! SEDANG APA KAMU?" Dodi terlonjak, ia menutup kembali pintu yang seper sekian senti terbuka itu, menoleh pada pak Teguh-penjaga sekolah-dengan gemetaran dan amat hati-hati. "CEPAT SANA, PULANG!" Dodi langsung berlari tanpa pikir panjang. Baginya, pak Teguh lebih menyeramkan dari hantu toilet yang tengah viral baru-baru ini. Kalau saja ia mau menengok barang sejenak ke dalam kelas, Dodi pasti punya kandidat yang tepat untuk menggeser pak Teguh dari list nya yang berjudul ... "Menyeramkan!" Hanya gadis yang duduk manis di dalam kelas sendirian, dengan wajah pucat tanpa mata, darah dan belatung-belatung yang keluar dari mulutnya yang sedikit terbuka hingga berceceran di sekitar bangku yang dulu dipakai oleh Siska. ~~~ Abim tak henti-hentinya menggerutu Setelah cekcok dengan Tika, ia harus mengantar Tika ke mini market untuk membeli mangga. Abim menolak dengan keras, hingga ia setuju karena Tika yang terus merengek dan memuntahkan isi perutnya. "Beli keresek sekalian." Ia mengingatkan Tika yang masih sibuk dengan mangganya. Drt ... Drt ... Drt ... Abim merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan segera menempelkan ke telinga kirinya setelah menggeser layar. "Apa?" tanya Abim datar. "Lo dimana? Gue sampek berakar nungguin, b*****t!" Ah! Abim benar-benar lupa kalau kalau tadi bersama Tio sebelum menjemput Tika. "Ah ... I-itu, gue kayaknya bakal lama banget deh." Abim memelankan suaranya. "Serius?! Bim, ini gue gimana?" Tio frustasi, ia menyesal sudah nebeng pada temannya itu. "Ck, ojek kek. Lo kan baru gajian." "Bilang aja lo lagi jalan sama Tika." Abim mendengus sambil terkekeh. "Gue paling nggak tegaan, apalagi sama yang cengeng." Tio mencibir lalu mematikan sambungan. Abim memasukan kembali benda pipih itu ke asalnya, membalik badan dan menganga karena Tika yang sudah hilang entah ke mana. Abim menghela napas berat, lalu berjalan santai menuju parkiran. "Entar kalau butuh juga nyariin sendiri." °°° Abim menguap entah sudah keberapa kalinya, hampir saja ia terjatuh dari posisinya lantaran mengantuk. Dari kejauhan, Tika datang tergopoh-gopoh dengan sekantong plastik besar. "Cepetan!" sungut Tika. Abim mengerjapkan mata, harusnya ia yang mengatakannya. "Iya, iya!" decak Abim mengalah, memang bisa apa lagi dia? "Tika?" panggil seseorang dari belakang Tika, Tika menoleh dan mendapati wajah sumringah Raka. "Ternyata beneran elo ...." Raka mendekat, lalu menatap Abim penasaran. Hoek ... Abim mengangkat kedua alis nya, dengan sigap ia menyodorkan plastik yang sudah ia beli tadi. Raka membuka sedikit mulutnya, ia bingung harus bicara apa. "Udah?" Tika mengangguk lemah. Raka menatap bingung pada dua orang di depannya. "Mangga, muntah-muntah, Tika bareng cowok?" "Yuk pulang," ajak Tika tanpa memperdulikan Raka. Abim sebenarnya merasa tak enak hati, tapi berhubung Ibu ratu sudah berkehendak, ia bisa apa? Diam-diam, Abim mengutuk kelemahannya pada air mata wanita. ~~~ "Lo apain Tika, HAH?!" Dian mencengkram kerah Abim kuat-kuat, Abim hanya diam dengan ekspresi datar. Lebih tepatnya, ia berusaha menjaga ekspresi, bagaimanapun juga ia harus kelihatan keren. Semenjak datang, Tika langsung berhambur ke kamar mandi, mengeluarkan sisa makan siangnya. Dengan telaten mamanya mengurut pelan tengkuk Tika, menghiraukan suasana ramai ruang tamu. "Dian, cukup!" perintah om Angga-ayah Tika. Abim melirik seorang kakek yang tengah duduk di kursi roda sambil tersenyum tipis- tidak! Lebih tepatnya menahan diri untuk tidak tersenyum senang. "Gila!" batin Abim, ini bukan situasi yang tepat untuk tersenyum gembira seperti ini, Abim jadi sedikit was-was. "Nak, sebaiknya kamu cerita. Saya nggak mau mengambil keputusan bodoh sebelum mendengar ceritamu!" tegas om Angga. Abim tersenyum tipis. "Aku harus cerita apa, om ? Kenyataan nya kan, saya memang nggak tahu apa-apa." Abim menjeda, memperhatikan wajah-wajah masam yang ditunjukan padanya, menatapnya sengit. "Siapa namamu, nak?" Kakek tua itu angkat bicara, membuat suasana mendadak hening. "Abim," jawab Abim datar dengan sedikit nada tak suka. "Oh ... Abim, sekarang lebih baik kamu ikut ke ruangan saya saja." Abim mengangguk dan mengekori sang kakek yang tengah didorong oleh bang Mega. Tanpa Abim ketahui, kakek itu menyunggingkan senyum bahagia. Senyum penyambutan untuk teman lama. "Selamat datang, Banu!" ~~~ Tika ke luar dari kamar mandi dengan lunglai, dipapah mamanya. "Masih pusing?" "Udah mendingan kok, Ma." Dian menatap iba keponakannya, om Angga langsung menghampiri Tika, mengusap pucuk kepala putri semata wayangnya. Ada nyeri di hatinya melihat anak gadisnya dalam keadaan seperti itu. "Mama buatin bubur, ya?" tawar tante Tari -Ibu Tika- setelah membaringkan Tika di kamarnya. "Nggak usah, Ma, Tika mau makan mangga aja." Orang tua Tika paling pandang. "Cuma mangga?" Tika mengangguk pada papanya. Om Angga mengangguk pada istrinya, mengizinkan. "Kamu punya kontak orang tua atau keluarga Abim?" tanya papa nya lagi. Tika berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan dan menyodorkan ponselnya. "Abim mana, Pa? Tika lihat motornya masih ada." Om Angga menghentikan aktivitasnya sejenak, menelan ludah pahit. "Sebenarnya, ada hubungan apa kamu sama Abim?" Tika mengangkat kedua alisnya. "Hubungan?" Tika tak mengerti dengan apa yang papa nya tanyakan. Hening, tak ada suara lagi hingga tante Tari datang dengan sepiring mangga dan segelas air. Kemudian, om Angga segera turun ke lantai satu setelah menelpon seorang dokter dan Eno. Pikiran lelaki itu tengah kacau. "Nggak mungkin, masak Tika lagi ... Ngidam?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD