DUA BELAS

1150 Words
-12- Abim keluar dari kamar kakek Tika dengan wajah ditekuk. "Apa-apaan orang tua itu?!" gerutunya, selama hampir satu jam lebih Abim harus mendengarkan bualan dari seorang kakek-kakek. Entah apa maksud dari cerita itu, Abim benar-benar tak paham tentang dukun, santet, Laksmi dan Banu. Sayup-sayup ia mendengar suara panggilan dari orang yang amat ia kenal. Namun, ia terlalu lelah hanya untuk sekedar menoleh. "Abim!" Abim mendecak sebal saat tahu kalau Eno juga ada di rumah Tika. Eno berjalan cepat dan mencegat Abim yang tak berniat berhenti. Dari sorot mata Eno, Abim tahu kalau pria berseragam polisi di depannya tengah marah. Abim tak ambil pusing dan tetap berjalan melalui celah sempit di antara Eno dan dinding. "Ikut saya ke atas!" titah Eno, penuh ketegasan. "Tanggung jawab!!" sambungnya lagi. Abim mengernyitkan dahinya bingung. "CEPAT!" Abim mengepalkan tangannya. Ia tak suka dibentak, apalagi tanpa tahu duduk permasalahanya. "Sebaiknya kamu ikut ke atas," sahut ayah Tika yang mematung di tengah tangga. Abim menajamkan matanya pada Eno, lalu mengekori Ayah Tika yang berjalan agak cepat. Dadanya bergemuruh hebat, dan ia sangat ingin memukul sesuatu. °°° "Gimana, Dok?" tanya tante Tar sedikit cemas. "Demam, mungkin kalau diistirahatkan, beberapa hari lagi sudah sembuh," ucap pak Dokter sambil melepas stetoskopnya. "Saya rasa, saudari terlalu banyak pikiran hingga tubuhnya drop," sambung lelaki berpakaian putih itu sambil menatap Tika lekat. "Jadi, Tika enggak ... Hamil?" tanya Dian hati-hati. Tika membulatkan matanya, begitu pula dengan Abim. "Eh? ti-tidak. Saudari sama sekali tidak hamil," terang Dokter kikuk. °°° Abim bergegas keluar, tak lama setelah Dokter yang memeriksa Tika pulang. Ia berhenti di ambang pintu karena Eno menahan lengannya. "Apa lagi?" Abim berusaha menekan amarahnya, ia ingin pulang. Lagi pula, ia sudah tak ada urusan di sini. Karena Eno yang membisu, Abim kembali bersuara dengan nada tak bersahabat. "Kenapa? Kenapa lo nggak marah-marah kayak tadi, huh?!" Abim menajamkan matanya, menatap Eno nanar. Tika bungkam, ia baru tahu kalau Abim bisa semarah itu. "Kenapa?!" Teriak Abim tanpa peduli di mana ia berdiri. Semua yang ada di ruangan itu diam tak bersuara. Tika sendiri merasa takut, padahal bukan dia yang dibentak. Abim menghempaskan tangan Eno dengan kasar. "Anjing!" umpatnya sambil berlalu. Tika menggigil, Abim semakin terlihat menyeramkan di matanya. Eno menghela napas. "Maaf tuan, nyonya. Sikapnya memang demikian." Ayah Tika mendekat dan menepuk bahu Eno. "Wajar kalau dia marah." Eno mengangguk pelan. ~~~ Tio menghembuskan napas bersamaan kepulan asap yang ia sedot dari sebatang rokok, ia lalu memandang Abim tanpa minat, sudah dua hari ini Tio menampung Abim. "Lo nggak pulang?" Tio kembali menempatkan batang rokok di antara kedua bibirnya. "Pulang lah," jawab Abim singkat, tanpa mengalihkan pandanganya dari hp, membalas pesan dari orang yang selama ini memanja padanya. "Tapi lo nggak sekolah!" Tio frustasi. Abim mulai hilang kewarasan jika ada masalah. "Baru dua hari, ntar gue balik buat ganti baju." Tio berdecak. "Lo masih belum baikan sama Eno?" Tio mematikan rokoknya lalu menghempaskan diri ke ranjang di sebelah Abim. "Ngapain gue baikan sama psycopath?" Abim mendongak, menatap ke luar jendela. Mendung ... Abim segera berdiri. "Gue punya permintaan," ujar Abim tanpa mengalihkan pandangan dari jendela. "Cariin kontak, sosmed atau ID Line." Tio mengacak rambut sebal."siapa lagi kali ini, cewek mana?" Abim menoleh perlahan. "Bukan cewek, namanya Rian Hanafi, anak Bintang." Tio mengangkat kedua alisnya. "Serius?" Abim mengangguk mantap. "Ck, kenapa harus gue lagi sih?!" "Lah, Yo. Lagian cuma ginian elo aja bisa kali. Gue lagi butuh kaki tangan," ujar Abim sambil menyeringai. "Terserah!" Tio kembali menenggelamkan wajahnya ke bantal, ia lelah jika Abim sudah tak waras. Tio selalu ada, tapi kali ini ia benar-benar lelah dan butuh banyak istirahat. ~~~ Tiga hari kemudian ... "Wellcome back my Queen!" seru Eka, Tika hanya membuang napas lelah. "Apaan sih," gerutunya. Menurutnya, Eka terlalu lebay. "Lo bener-bener demam, kan, Tik?" tanya Dewi. Tika mengangguk lalu menarik kursi dan mendudukinya. "Sesat lo," bisik Dewi di telinga Eka. Eka tersenyum lebar tanpa dosa. "Lo juga mikir sama, kan?" Dewi hilang kata, benar yang dikatakan Eka. "Lo mikir apa emang?" tanya Tika penasaran, sepertinya banyak yang ia lewatkan selama tiga hari ini. "E-enggak kok. Gu-gue cuma mikir kalo elo cocok sama Abim." Elak Dewi. Mendengar nama Abim, Tika kembali mengingat sorot mata Abim malam itu. Tika bergidik, apa jadinya bila ia di posisi Eno? "Tik, gue duluan ya?" pamit Dewi, bel masuk sebentar lagi berbunyi, ditambah kelasnya yang ada di ujung dan kelas Tika juga di ujung. Tika mengangguk, tangannya tak sengaja mendapat beberapa gumpalan kertas, ia lalu merogoh kolong mejanya dan mendapati banyak sekali sampah kertas di dalam sana. Dengan ogah-ogahan, Tika mengeluarkan sampah kertas itu dengan niat setengah hati, ia malas. Tika menghentikan kegiatannya saat mendapati bercak merah dalam sampah-sampah kertas di tangannya. Tangannya bergetar! "Kenapa, Tik?" tanya Intan penasaran, segera Intan duduk di sebelah Tika dan ikut memperhatikan. Tika menunjukkan kumpulan kertas di tangannya yang ikut memerah. "I-itu darah?" "Nggak tahu," jawab Tika lirih, ia juga ragu kalau ada darah di kolong meja nya. Perlahan, para penghuni kelas mengerumuni meja Tika. Riko, selaku ketua kelas mengambil alih, ia memasukkan tangannya ke dalam kolom, mengeluarkan kumpulan kertas-kertas itu. Semakin ia keluarkan, semakin banyak noda merah yang menempel pada buntalan kertas, juga pada tangannya. Riko semakin mempercepat gerakan tangannya, hingga tersisa sedikit kertas di dalam kolong. "Masih ada, Rik?" tanya salah seorang. "Kertasnya tinggal dikit, tapi kayaknya ada sesuatu deh di dalem." Riko kembali menggapai ke dalam kolong, tangannya menyentuh sesuatu yang berbulu dan agak basah, dengan cepat Riko menarik tangannya. Ia mendapati tangannya telah berumur cairan merah pekat kehitaman. Para siswi memekik histeris, dan para siswa menahan napas. "Keluarin!" titah Tika, perasaannya tak enak. Riko mengangguk lalu memasukkan kembali tangannya, di detik berikutnya ia menarik kembali tangannya beserta sebuah bangkai tikus. Orang-orang yang tadinya mengerumuni meja Tika kini mendadak sepi, sebagian lari menjauh karena tak kuat menahan mual, tak terkecuali Tika. Riko memandangi bangkai tikus di tangannya, tikus hitam yang cukup besar untuk ukuran tikus rumahan. Dengan sayatan dari bawah perut hingga ujung moncong, Riko yakin kalau sebagian isi perut tikus di tangannya masih tertinggal di dalam kolong meja. Tapi, yang kini mengganggu pikirannya adalah ... "Bagaimana mungkin sebuah bangkai tak mengeluarkan bau busuk sama sekali?" °°° "Gila!" umpat Geo, ia menyesal saat mengikuti teman-temannya melongo ke meja Tika. Sekarang, ia harus menerima akibatnya, setidaknya dengan begitu uang jajannya tak akan habis di kantin untuk siang ini. "Kenapa kalian semua di luar?" Geo dan beberapa orang lainnya langsung berbalik, mereka mendapati Pak Yogi-guru matematika-yang datang dengan menenteng sebuah buku. Pak Yogi terkenal killer bagi kalangan siswa, namun ramah di kalangan siswi. Geo menelan ludah, begitu juga dengan teman-temannya. "A-anu pak ...." gugup Reza. "Anu, anu! Anu mu kenapa?!" bentak pak Yogi. "Di meja Tika a-ada bangkai, pak," sahut Erni. Pak Yogi menautkan alisnya, lalu ia berjalan santai dan masuk ke dalam kelas. Tak lama kemudian, pria bertubuh tambun itu keluar dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat dan keringat yang mengucur dari dahinya. "Bi-bilang dari tadi!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD