02 |TELAT NGAMPUS

1181 Words
Aku dan sahabatku berteriak kencang tatkala pocong mendadak menampakkan diri tanpa aba-aba di layar televisi film horor yang kami tonton malam ini. Harus aku akui, sebagai warga Indonesia beragama Islam yang sering kali menjumpai jenazah orang meninggal dibungkus kain kafan—pocong masih jadi salah satu karakter setan yang paling aku takuti. Tapi tidak apa-apa, mungkin bukan hanya aku warga +62 yang takut pocong. Kalian juga kan? Coba mengaku di kolom komentar. Gezz, apaan sih. Kembali ke cerita. Aku dan sahabatku bernama Rossa, bukan keponakan atau saudaranya pembalap valentino Rossi, bukan juga Rossa penyanyi Terlanjur Cinta—Rossa yaaa Rossa, lengkapnya Rossanti Juleha. Aku tebak kalian pasti berpikir nama belakang Rossa cukup nyentrik kan? Kuperingatkan kalian agar tidak tertawa, karena nama Juleha adalah warisan dari kakek buyut di keluarga Rossa. Hampir semua nama saudara Rossa terdapat nama Juleha. Rossa pernah bilang, keluarganya memercayai menggunakan nama Juleha dapat mengusir kesialan. Beruntungnya prinsip itu hanya dipegang keluarga Rossa, karena aku tidak akan bisa membayangkan jika seluruh umat manusia ikut memegang prinsip tersebut maka berapa ribu orang yang memiliki nama Juleha di muka bumi ini? “Jeh, lu napa sih milih film horor yang nakutin gini!” Rossa memprotes, sedangkan aku yang duduk bersila memeluk bantal untuk menutup wajahku sontak menoleh menatapnya. “Namanya juga film horor, ya pasti nakutin lah Ros! Kalau mau lucu ya film komedi,” tandasku dengan mata melotot kesal ke arahnya. Rossa meringis mendengar gerutuanku, kemudian memakan popcorn untuk menetralisir rasa takutnya seraya kembali menatap layar televisi di depannya. Malam ini Rossa sengaja kusuruh menginap di rumahku karena seperti yang papa bilang dua hari yang lalu, mereka pulang kampung untuk menjenguk nenek yang sakit selama tiga hari. Aku tidak bisa ikut karena harus masuk kuliah, adikku masih berusia sekitar satu tahunan dan orang tuaku tentu saja ikut membawanya pergi. Alhasil aku ditinggal sendirian di rumah. Beruntungnya aku punya sahabat yang mau menemaniku selama tiga hari ke depan, sehingga aku tidak perlu khawatir sendirian di rumah. “Huaaaa!” Kami berdua menjengit kaget ketika lagi-lagi sesosok kuntilanak muncul tanpa diduga, membuat Rossa lama-kelamaan frustasi karena dibuat kaget mulu dan memutuskan mengakhiri tontonan kami malam ini. “Udah ah udah! Kita tidur aja, besok ada kelas pagi,” instruksi Rossa setelah mematikan televisi dan menarik tanganku untuk naik ke atas ranjang. Wajahku memberenggut, padahal yang tadi lagi seru-serunya. Tapi sekarang sudah lewat jam dua belas malam, kalau tidak segera pergi tidur mungkin kami benar-benar akan bangun kesiangan dan melewatkan jam pelajaran Pak Glen besok pagi. Tidak-tidak, aku tidak boleh sampai bolos di kelas guru killer yang satu itu. Akupun kemudian berbaring di atas ranjang bersama Rossa yang sudah terlelap di sampingku. Alamak! Cepet banget cewek itu sudah tidur. Oh ya ngomong-ngomong, aku belum memperkenalkan diri pada kalian. Namaku Jehasalma Sabila, gadis perawan berusia 20 tahun, mahasiswa semester enam jurusan Psikolog di Universitas Indonesia. Ini adalah cerita hidupku yang tak tahu bagaimana endingnya. So, yang sama-sama penasaran sama ending di cerita ini pantengin terus sampai bab terakhir yah. Jangan lupa support penulis kecenya juga dengan tekan love dan kirim komentar. Sekian untuk hari ini, selamat tidur semua… *** Telat lima menit. Aku dan Rossa berlomba saling berebut jalan untuk sampai di kelas pelajaran Pak Glen yang sialnya jauh sekali dari lobi. Sesampainya di depan kelas, nyali kami mendadak menciut saat mendengar suara Pak Glen sudah memulai pelajaran. “Lo duluan masuk gih! Lo kan sering dapet nilai A+. Sapa tahu pas lihat muka lo Pak Glen jadi maafin kita.” Rossa menarik tubuhku ke depan, menjadikanku tamengnya. Tetapi akupun tak kuat hati untuk menjadi yang pertama ketahuan telat, jadi aku menarik tangan Rossa dan membuat posisi kami kembali berubah menjadi Rossa yang di depan. “Tapi kata anak-anak, muka kamu secantik Selena Gomez. Siapa tahu Pak Glen ketiban jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu, terus kita nggak kena marah deh!” Rossa mengerjapkan mata menatap wajahku tanpa ekspresi, sementara aku ikut menatap wajahnya dengan pandangan menyelidik. Barusan ucapanku benar, bukan sekadar bualan saja. Rossa memang punya wajah secantik Selena Gomez, rambut panjang yang disemir cokelat tua, mata cokelat jernih dengan pipi chubby, hidung mancung dan dagu lancip. Oh ya, jangan lupakan dua gundukan karunia Tuhan paling indah itu. Rossa punya ukuran b*******a yang lumayan besar dan body goals yang membuatnya menjadi pemandangan segar para lelaki kampus. Sedangkan aku? Jangan ditanya, aku adalah wanita serba rata-rata yang tak memiliki penampilan se-oke Rossa. Aku lebih suka memakai celana ketimbang rok dan soal gaya rambut, aku juga bukan pengikut tren, rambut panjang hitamku lebih sering ku kucir kuda ketimbang kubiarkan tergerai. “Siapa di depan?!” Bentakan Pak Glen mengejutkan aku dan Rossa yang kompak memalingkan wajah ke arah seorang pria yang mendadak nongol di depan pintu. Dosen yang satu ini memang terbilang nggak tua-tua amat, umurnya baru genap 30 tahun. Meski dikenal killer—tetapi Pak Glen memiliki banyak fans wanita di universitas karena ketampanannya. “Kalian berdua?!” Pak Glen menunjuk aku dan Rossa menggunakan jari telunjuk dengan ekspresi marah. “Bukannya masuk kelas malah ngerumpi di sini!” bentaknya untuk yang ketiga kali. “Ros, tunjukkin keahlianmu,” bisikku sambil menyikut lengannya dari samping. “Kayaknya keahlian gue nggak bakalan mempan buat Pak Glen,” jawab Rossa, sama berbisiknya. “Coba aja deh, siapa tahu lagi ada malaikat lewat dan iseng bantuin kita lolos dari amukkan iblis,” bisik aku lagi, mendesak Rossa melakukan ritual menakhlukkan hati pria seperti yang sebelum-sebelumnya pernah cewek itu lakukan pada komting kelas laki-laki di kelas kami. “Oke-oke.” Sudut bibirku tertarik merangkai senyum ketika Rossa pada akhirnya mau mencoba. Sementara tugasku saat ini adalah memutar instrumen lagu tik tok nessie judge yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari untuk menunjang drama tik tok yang akan diperankan Rossa. Suara musik instrumen sudah menyala. Rossa kemudian mengubah raut wajahnya menjadi melas sambil memainkan rambut curly-nya, sedangkan tugasku selanjutnya adalah merekamnya secara diam-diam. “Bapak.. ♫” Mata Pak Glen membulat, terkejut melihat salah satu mahasiswa di depannya bukannya segera masuk ke dalam kelas tetapi malah memainkan drama tik tok. “Kamu kenapa?” Pak Glen bertanya dengan heran melihat tingkah Rossa. “Sakit kepala saya,” jawab Rossa dengan nada mengikuti instrumen musik yang aku putar lewat handphone. “Karena belajar semaleman jadi sakit kepala saya… ♫” “Ngaco kamu yah!” Nada Pak Glen naik satu oktaf, aku yang melihat hanya bisa memejamkan mata sambil terus merekam aksi nekad Rossa yang lanjut memainkan drama tik toknya. “Apa? Beneran lah… ♫” “Sudah-sudah! Mending kalian cepat masuk ke dalem! Waktu pelajaran saya bisa terbuang sia-sia kalau saya ngeladenin keabsurdan kalian!” perintah Pak Glen dengan raut sinis yang bisa kutebak pasti sedang mati-matian menahan marah karena kami. Tapi masa bodoh, yang terpenting rencana ini berhasil membuat kami bebas hukuman Pak Glen yang ternyata juga bisa ditakhlukkan dengan drama tik tok yang dimainkan Rossa. “Apa? Makasih Pak… ♫” Stop. Aku menyimpan video Rossa dan Pak Glen yang dari tadi kurekam, memasukkan ponselku ke dalam tas lagi kemudian melakukan tos dengan Rossa dan masuk kelas tanpa perlu repot-repot mendengar ocehan Pak Glen. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD