Anak Rahasia

1086 Words
"Riu, ini adalah papamu. Beri salam padanya." Arthur menatap anak laki-laki yang baru saja memberi salam padanya itu dengan kedua mata terbuka lebar. Ia tidak bisa menutupi keterkejutannya saat mengetahui bahwa anak laki-laki yang sedang menatapnya itu adalah anaknya. Ya, itu anaknya. Anak laki-laki berusia 3 tahun yang saat ini tengah menatapnya dengan penasaran dengan wajah yang terlihat sangat mirip dengannya itu adalah anaknya yang selama ini sama sekali Arthur tidak ketahui keberadaannya. "Namanya Riu dan dia baru merayakan ulang tahunnya yang ketiga bulan lalu. Dia sangat pemalu dan tidak banyak bicara pada orang yang baru ditemuinya. Tapi dia anak yang cerdas dan penurut," tutur wanita yang duduk di hadapan Arthur, membuat perhatian pria itu teralih padanya. Kaia. Wanita yang dulu sangat dipuja oleh Arthur itu kini terlihat sangat berbeda dari terakhir kali Arthur melihatnya sekitar 4 tahun yang lalu sebelum wanita itu meninggalkannya.  Rambut panjang Kaia yang dulu selalu terikat rapi dengan aneka pita manis, kini sangat tipis dan tergerai hanya sebatas bahunya. Wajahnya yang dulu tampak selalu segar dengan rona kemerahan di kedua pipinya yang berisi sekarang terlihat lelah dan pucat dengan kedua pipinya yang tirus. Mata wanita itu tampak sembab dan bengkak, seperti seseorang yang baru menangis dalam waktu yang lama. Satu-satunya yang tidak berubah dari wanita itu adalah senyum hangatnya yang mampu membuat siapapun yang melihatnya merasakan kebaikan dan ketulusan hatinya. "Kau ke mana saja selama 4 tahun ini? Mengapa kau berubah jadi seperti ini, Kaia?" Kekhawatiran Arthur tergambar dengan jelas dalam suaranya bahkan kedua matanya yang berkaca-kaca itu tidak dapat menutupi hatinya yang terasa teriris melihat keadaan mantan kekasihnya yang jadi sangat menyedihkan setelah menghilang begitu lama dari hidupnya. Kaia tidak lantas menjawab pertanyaan Arthur. Ia menatap putra semata wayangnya yang kini mengamati wajah Arthur dengan penasaran, seolah bertanya-tanya apakah pria tampan itu benar papa yang selama ini selalu ia rindukan kehadirannya. "Kaia, kau‒" "Aku tahu kehadiran Riu di dunia ini terjadi karena ketidaksengajaan. Tapi kau tahu, aku sangat menyayangi anak ini. Aku rela melakukan apapun untuk anak ini. Bahkan mengorbankan nyawaku untuknya pun aku rela, Arthur." Arthur mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh tentang apa yang terjadi pada Kaia selama wanita itu menghilang saat melihat kedua mata wanita itu yang berkaca-kaca. Hal itu terasa semakin mengiris hatinya dan Arthur memilih untuk mengalihkan pandangannya pada Riu yang masih terus menatapnya. "Kau pasti terkejut karena aku tiba-tiba muncul lagi bersama seorang anak yang kau tidak pernah tahu keberadaannya. Tapi aku tidak tahu harus pergi pada siapa lagi.” Perkataan Kaia membuat Arthur kembali memberikan perhatiannya pada wanita itu. Menatap kedua mata Kaia yang memerah saat wanita itu berkata, “Arthur, untuk terakhir kalinya bisakah aku meminta satu hal padamu?" "Apa yang kau inginkan?" tanya Arthur. “Katakan, Kaia. Aku akan memberikan apapu yang kau minta padaku!” Kaia menatap putranya sejenak, membiarkan air mata yang sejak tadi ditahannya keluar dari pelupuk matanya sebelum berkata dengan suara lirih yang terasa seperti pukulan keras yang menghantam d**a Arthur. "Aku sedang sakit dan tidak bisa lagi menjaga Riu. Bisakah kau menjaga dan membesarkan anak ini? Bisakah... Bisakah kau menggantikanku untuk merawat anak kita?"     ***     Airin tampak sangat kerepotan berjalan dengan menyeret dua buah koper di kedua tangannya. Wanita itu membuka pintu dan menutupnya dengan kasar lalu mengganti sepatunya dengan sandal rumah berwarna biru muda. Dengan langkah menghentak-hentak ia berjalan memasuki rumah, meninggalkan 2 buah koper itu tergeletak begitu saja di dekat pintu masuk. "Makan ini. Lihat sosis yang besar ini, kau tidak ingin mencobanya?" Langkah Airin terhenti di ruang tengah. Di atas sofa, Jerry duduk sambil menyodorkan sosis yang ditusuk dengan garpu pada seorang anak laki-laki. "Ya ampun! Siapa anak manis ini?" Kekesalan Airin langsung menguap begitu saja saat tatapannya bertemu dengan Riu yang menatapnya dengan polos. Dengan senyum lebar, ia menghampiri anak itu dan berlutut di hadapannya. "Nyonya, kau tidak jadi pergi ke Paris?" tanya Jerry. "Memangnya orang menyedihkan mana yang pergi bulan madu sendiri?" Airin menjawab pertanyaan Jerry dengan ketus. Tiba-tiba kembali merasa kesal saat diingatkan pada kacaunya rencana bulan madunya karena Arthur yang tiba-tiba meninggalkannya begitu saja sesaat sebelum pesawat mereka lepas landas. Namun saat kembali menatap Riu, wajah cemberut Airin langsung hilang digantikan oleh senyuman lebarnya karena merasa gemas dengan wajah imut anak laki-laki di hadapannya itu. Ia mengulurkan kedua tangannya, menggenggam tangan mungil Riu sambil terus tersenyum. "Siapa anak ini? Dia sangat manis." "Namanya Riu,” jawab Jerry karena Riu hanya diam saja sambil terus menatap Airin yang masih menggenggam kedua tangannya itu dengan bingung. "Bahkan namanya juga terdengar sangat manis,” puji Airin. “Jadi anak siapa Tuan Muda Riu yang sangat manis ini, uh?” "Dia anak‒" "Dia masih belum mau makan?" Pertanyaan itu menyela ucapan Jerry. Airin menolehkan kepalanya dan mendapati Arthur yang menghampiri mereka dengan mengenakan kaos abu-abu pendek dan celana hitam selutut. Rambutnya masih basah dan aroma segar yang menguar dari tubuhnya menandakan jika pria itu baru saja selesai mandi. "Dia terus bertanya tentang mamanya, Tuan. Sepertinya dia ingin pulang." Jerry bangkit dari duduknya, memberi tempat bagi Arthur untuk duduk di sebelah anak laki-laki itu. "Memangnya ke mana mamanya? Apa anak ini dititipkan di sini?" Airin bertanya pada siapapun yang mau menjawabnya. Tapi Jerry yang memalingkan wajah darinya itu sepertinya enggan menjawab pertanyaannya sementara Arthur sudah sibuk dengan anak kecil itu. "Kau tidak akan pulang ke mana-mana. Mulai sekarang rumahmu di sini," kata Arthur. Sepertinya direktur muda kebanggaan Golden Group ini tidak tahu cara berbicara dengan anak kecil. Ia berbicara pada anak itu dengan nada seperti saat ia memberi perintah pada Jerry. "Dia akan tinggal di sini? Memangnya mamanya ke mana?" Airin yang sama sekali tidak mengetahui situasi macam ini kembali bertanya, namun Arthur masih tidak menghiraukannya. Airin lalu menatap Jerry sambil mengangkat kedua alisnya untuk meminta jawaban dari pria itu. Tapi lagi-lagi supir pribadi yang merangkap menjadi pekerja serabutan itu lagi-lagi langsung memalingkan wajahnya untuk menghindari pertanyaan yang Airin ajukan. "Kau tidak akan tinggal dengan Mama lagi.” Arthur kembali berkata pada Riu, masih dengan cara bicara yang rasanya terlalu kaku untuk diucapkan pada anak sekecil itu. “Mulai sekarang hingga seterusnya kau akan tinggal di sini bersama Papa.” "Papa? Siapa?" Airin yang sudah sangat penasaran menyentuh bahu Arthur, memaksa pria itu untuk menatapnya. “Apa maksudmu dengan dia akan terus tinggal di sini dengan papanya. Arthur tidak langsung menjawab pertanyaan Airin. Untuk beberapa saat ia menatap dalam-dalam kedua mata istrinya sebelum memberi penjelasan yang membuat wanita itu menjadi sangat syok. “Riu adalah putraku, Airin. Dan mulai sekarang, dia akan tinggal bersamaku di sini.”     **To Be Continue**  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD