Pergi Bulan Madu

1369 Words
"Kau masak sarapan?" Airin berhenti mengaduk sup di dalam panci saat mendengar suara Arthur yang masuk ke dapur. "Kupikir aku sudah telat bangun, tapi ternyata bangunmu lebih siang, Tuan." "Aku memanfaatkan hari liburku semaksimal mungkin, Nona." Arthur duduk di kursi meja makan tepat saat Airin meletakkan sup yang baru matang di atas meja makan. "Ini masakan pertama yang kau suguhkan pada suamimu. Kau bisa menjamin rasanya?" "Itu enak, makan saja!" seru Airin lalu duduk di hadapan Arthur. Arthur menyendok kuah sup itu dan mencicipinya. Kerutan halus tercipta di wajahnya saat lidahnya mengecap rasa sup itu. "Oi!" Arthur berseru sambil meletakkan sendoknya dengan keras di atas meja. "Sup macam apa ini? Rasanya aneh sekali!" "Aneh? Aneh bagaimana? Aku mengikuti semua takaran dan langkah-langkahnya persis seperti di internet!" "Astaga! Jadi ini pertama kalinya kau memasak sup ini?" "Aku selalu hebat bahkan di percobaan pertama," kata Airin percaya diri. Ia mengambil sendok dan mencicipi supnya. Arthur mengangkat ujung kiri bibirnya membentuk seringaian saat melihat Airin mengernyitkan dahinya. "Cih, orang yang selalu hebat bahkan di percobaan pertama, uh?" sindir Arthur yang membuat Airin menatapnya kesal. "Tidak seaneh itu! Hanya perlu sedikit tambahan garam saja!" Airin beranjak dari duduknya dan mengambil garam. Ia kembali ke meja makan dan menambahkan garam di supnya, namun justru membuat kerutan di dahinya semakin dalam. "Mungkin sedikit gula juga..." gumam Airin dan bergegas mengambil gula. "Oi! Sudahlah! Itu tidak akan berhasil! Aku tidak mau memakannya!" Arthur mencoba menghentikan Airin yang mencoba 'memperbaiki' rasa masakannya dengan menambahkan gula, garam, lada, dan bumbu apapun yang ia temukan di dapur. "Seharusnya ini enak." Airin meletakkan tangan kirinya di pinggang lalu menunjuk Arthur dengan tangan kanannya. "Bagaimanapun itu, kau harus memakannya! Jika kau menolak makan masakan pertamaku aku akan jadi trauma dan tidak mau masak lagi." "Itu bagus jika kau jadi trauma dengan memasak jadi aku tidak perlu merasakan sup yang seperti air bekas cucian ini." "Air bekas cucian? Astaga!" Airin kembali menunjuk-nunjuk wajah Arthur dengan sendoknya. "Apa kau tahu seperti apa itu rasanya air bekas cucian? Kau pernah mencicipinya?" "Tidak pernah, tapi aku yakin rasanya seperti sup buatanmu ini, Nona!" "Tuan." Kemunculan Jerry membuat Airin urung membalas kata-kata Arthur. Jerry menghampiri meja makan dengan mengenakan kaos lengan panjang yang digulung hingga sikunya dengan beberapa bagian yang basah. "Aku sudah selesai mencuci mobil jika kau ingin memakainya, Tuan. Aku akan keluar sebentar." "Ah, Jerry biribiri barabara bong!" panggilan Airin menghentikan langkah Jerry. Pria itu mengerutkan keningnya karena panggilan aneh yang Airin tambahakna di belakang namanya. Wanita itu lalu menyodorkan sendok padanya. "Coba cicipi ini!" "Mencicipi ini? Sup buatanmu?" Jerry menerima sendok itu. Ia sedikit bingung saat melihat Arthur yang menatapnya sambil menyeringai. "Itu enak, kan?" tanya Airin penuh harap. Namun Jerry justru buru-buru berlari menuju tempat cuci piring dan meludahkan sup yang ada di dalam mulutnya. "Astaga, mengerikan sekali! Seperti air bekas cucian!" seru Jerry yang membuat Arthur tertawa keras sambil menunjuk wajah Airin. Wanita itu melempar sendoknya pada Arthur lalu berkacak pinggang sambil menatap Jerry. "Kau harus menghabiskan semua ini! Jika kau membuang makanan Tuhan akan menghukummu! Jangan lupa cuci piring dan semua peralatan masak itu jika kau selesai!" Jerry melihat ke tempat cucian piring. Airin jelas bukan tukang masak yang hebat, terlihat dari bagaimana ia membuat dapurnya sangat berantakan. Dan malangnya lagi bukan hanya memakan masakan dari tukang masak yang tidak hebat itu, namun ia juga harus membereskan semua kekacauan di dapur tersebut. "Tuan..." Jerry menatap Arthur dengan wajah paling menderita yang ia miliki, berharap kali ini bosnya itu mau 'melindunginya'. "Makan saja. Jika sesuatu terjadi padamu setelah kau makan air bekas cucian itu aku pasti akan menyewakan pengacara terhebat di negeri ini agar kau bisa menuntut orang itu. Nikmati makananmu, aku akan pergi jalan-jalan." Kedua bahu Jerry terkulai dengan lemas. "Tuan dan Nyonya Muda sialan itu sama saja. Aku tidak bisa berlindung pada siapapun di rumah ini." Jerry lalu memperhatikan sekelilingnya, memastikan jika tidak ada siapapun di sekitarnya sebelum membawa sup itu ke tempat cuci piring dan membuangnya. "Aku akan menerima hukumanku setelah kematianku, Tuhan. Jadi selama aku hidup di dunia ini, tolong jangan hukum aku dengan makanan mengerikan seperti ini."   ***   "Paris! Kita pergi ke Paris saja! Desainer favoritku akan menggelar fashion show di sana." Airin dengan semangat mengusulkan Paris sebagai tempat bulan madu mereka. Sebagai pasangan pengantin baru, mereka mendapat hadiah bulan madu selama 3 hari ke tempat yang paling mereka inginkan dari para orang tua. "Fashion show? Oi, kita ini pergi untuk bulan madu. Seharusnya kita pergi ke tempat yang tenang dan menghabiskan banyak waktu untuk tidur," kata Arthur yang membuat Airin langsung menyilangkan kedua tangannya di depan d**a sambal melotot. "Aku tidak mau bulan madu yang seperti itu, Tuan! Aku ingin pergi untuk jalan-jalan dan belanja, bukan menghabiskan waktu di tempat yang tenang dan tidur bersamamu!" "Astaga, lihat siapa yang punya otak kotor di sini!" Arthur melipat kedua tangannya di depan d**a. "Yang kumaksud tidur itu adalah tidur secara harfiah! Kau tahu bagaimana aku bekerja seperti robot di perusahaan papaku? Libur 3 hari itu sangat berharga untukku dan aku ingin menghabiskan waktu berharga itu untuk beristirahat sebanyak yang aku bisa." "Astaga, kau pikir orang yang lelah itu hanya bisa menenangkan dirinya dengan tidur? Pergilah jalan-jalan ke tempat yang indah, makan makanan lezat, bertemu orang-orang yang menyenangkan dan lihat fashion show yang akan memanjakan matamu! Kau hanya akan merasa semakin suntuk jika tidur terlalu banyak!" "Aku tidak tertarik!" Arthur menekankan kata-katanya. "Terserah jika kau mau pergi lihat fashion show atau apa, aku akan mencari hotel yang nyaman dengan kasur yang saaaaangat besar dan menghabiskan seluruh 4 hariku yang berharga di atas kasur itu." "Kau seperti Garfield. Kau tahu, kucing oranye manja yang gendut dan suka tidur itu? Dia mirip denganmu," kata Airin sambil menatap Arthur dengan kedua mata menyipit. "Garfield? Yang benar saja. Aku ini Simba yang gagah dan berkharisma!" "Tidak, kau memang seperti Garfield. Jadi Garfield, kita akan pergi ke Paris, kan?" "Kau panggil aku apa tadi?" "Garfield. Kau suka aku memanggilmu begitu dan ingin terus mendengarnya, uh?" "Tutup mulutmu! Aku akan keluar sekarang untuk makan malam." "Kita jadi ke Paris, kan?" "Terserah!" "Belikan makan malam untukku juga, uh?" "Tidak mau, aku akan makan di sana." "Lalu aku makan malam dengan apa?" "Bekas air cucian kebanggaanmu itu saja. Aku pergi!" "Tsk, orang itu menyebalkan sekali!" Airin pergi ke dapur dan mengeluarkan sebungkus mie instan. Ia membaca informasi nilai gizi di balik bungkus ramyun itu dengan serius. "Aku makan mie kemarin malam, saat sarapan, dan juga saat makan siang. Jika aku makan lagi sekarang apa itu akan membuatku gemuk dan memiliki buntalan lemak seperti yang ada di perut Garfield itu?"   ***   Jawaban 'terserah' yang Arthur berikan pada Airin kini membuatnya berada di dalam pesawat yang akan membawanya ke Paris. Airin yang baru duduk di kursi VIP-nya terus tersenyum sangat lebar, terlihat sangat bahagia. "Apa kau sebahagia itu bisa pergi ke Paris?" tanya Arthur sambil menyamankan duduknya. "Tentu saja! Aku akan bertemu desainer yang sangat hebat dan melihat secara langsung hasil rancangannya. Kudengar ini adalah fashion show-nya yang terakhir karena setelah ini dia akan pensiun dari dunia fashion dan menjadi nenek biasa. Jadi ini pagelaran yang sangat penting." Airin melayangkan pandangannya keluar jendela, tidak sabar menunggu pesawat ini untuk segera lepas landas. Arthur mengeluarkan ponselnya, hendak menyalakan flight mode saat tiba-tiba benda itu berdering menandakan adanya panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. "Halo?" "Arthur... Ini aku." Arthur tertegun mendengar suara dari orang yang meneleponnya itu. Orang itu belum menyebutkan namanya, namun Arthur sudah langsung mengenalinya dari suaranya. "Maaf, Tuan. Pesawat akan segera lepas landas." Seorang pramugari menghampiri Arthur yang masih berbicara di ponselnya. Arthur tidak menghiraukannya dan terus berbicara di ponselnya dengan suara berbisik dan wajah yang terlihat serius. "Oi, matikan ponselmu!" Airin ikut memperingatkan Arthur. Arthur mematikan ponselnya lalu menatap Airin. "Kau bisa pergi sendiri, kan?" "Apa?" "Aku tidak bisa pergi bersamamu. Sampai jumpa 3 hari lagi,” kata Arthur dan sebelum Airin menyadari nmaksud ucapannya ia telah beranjak dari duduknya dan bergegas pergi. "Oi! Kau mau ke mana? Arthur!" Panggilan Airin sama sekali tidak mempengaruhi langkah Arthur. "Bukankah pintu pesawatnya sudah ditutup?" tanyanya pada si pramugari. "Itu... Seharusnya sudah." Airin melihat keluar jendela, ke arah Arthur yang berlari dengan cepat meninggalkan pesawatnya. "Seharusnya ditutup lebih cepat. Si bodoh itu benar-benar meninggalkanku.”     **To Be Continue**  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD