Bab 123 : Pesan Untuk Andromeda

1046 Words
Di ruangan sendiri, dalam keadaan gelap gulita, Hera meringkuk dengan wajah tertunduk dan dipenuhi air mata. Sebuah gramofon menyala, melantunkan lagu patah hati, mengaburkan jerit tangis yang menderanya. Lagu itu mengisahkan tentang seseorang yang patah hati dan berusaha untuk meghubungi kekasih busuknya untuk memberi salam. Persis seperti yang dialami oleh Hera. Ia yang dikhianati, diselingkuhi, tapi ia juga yang terus mencari cara untuk tetap berhubungan dengan Adrian. Ngenes. Betapapun Hera tak mau mengingatnya, ia akan tetap teringat terus. Tentang pengkhianatan. Tentang pertengkaran. Perasaan lemah tak dicintainya menjadi-jadi. Seiring dengan nada musik yang makin meninggi, makin tinggi pula tangisan Hera. Menyedihkan. Lalu tiba-tiba, lagu yang sedih itu menjadi tidak sedih lagi dibandingkan dengan kegalauan hatinya. Dan demikianlah Hera belajar dari kehidupan. Ia yang terbiasa hidup dengan segala kesempurnaan, kini harus menghadapi kejatuhannya. Kenyataan tak selalu tentang apa yang ia inginkan. Bahwa hidup bisa mengkhianatinya kapan saja, tak peduli apapun. Mulai detik ini, Hera harus belajar bahwa segala sesuatu tak bisa harus sesuai maunya. Bahwa ia, betapapun sempurnanya, tetap tak bisa mendapatkan segalanya. *** Marigold menelpon Eda untuk kesekian kalinya dan baru kali inilah Eda mengangkat teleponnya. "Kau kemana saja?" Marigold gregetan. "Maaf, aku sedang berada di panggilan lain," Eda beralasan. Memang, kan saat Marigold menelpon, Nana juga sedang menelponnya. "Ada apa?" tanya Eda, meskipun ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh Marigold. Tentu saja, tidak lain tidak bukan, adalah masalah yang sedang viral saat ini. Marigold meloudspeaker percakapannya di telepon supaya Lady Novina dan Lady Claudia bisa mendengar. "Dengar, Eda. Disini, duduk bersamaku, ada Lady Novina dan Lady Claudia duduk bersamaku," Marigold berkata perlahan. Eda mengangguk. Ia tak tahu apakah kedua Lady itu mengenalnya atau pernah mendengar namanya atau tidak. Namun menyadari bahwa dua Lady Rotsfeller yang notabene-nya adalah orang penting sedang mendengarkan percakapannya di telepon, membuat Eda sedikit tersanjung. "Oke, baiklah, Princess, lalu?" "Kau tahu mengapa kami menelpon?" Marigold berusaha memberi pancingan. Eda menggeleng. "Kenapa? Untuk masalah yang satu ini?" "Benar, kau tahu, masalahnya sudah semakin kacau sekarang." "Ya, jadi apa yang bisa aku lakukan untukmu, Princess?" "Bagus sekali. Kau menawarkan bantuan." Eda tersenyum. Memang itulah tujuannya selama ini, mencari kesempatan di dalam kesempitan. "Kita mempunyai sebuah misi untukmu," kata Marigold. "Pastikan kalian membayar misi itu dengan harga yang sangat mahal," jelas Eda. "Oh, kau tenang saja. Kalau kau berhasil menjalankan misi ini, kamu mau apapun, pasti akan kita kabulkan." Eda menyeringai. Bayangan menduduki jabatan penting di pemerintahan Negeri Meyhem dan mendapatkan berjuta-juta crownos menggoda pikirannya. Juga bayangan atas kemakmuran usahanya yang aka disuntik dana dari Rotsfeller. Ah... betapa indahnya... "Eda," Marigold memecahkan lamunan Eda. "Ya, Princess. Jadi, apa yang bisa aku lakukan untukmu?" Marigold tersenyum sebentar. Tersenyum jahat. "Kau diutus untuk membunuh Jullia." Bagai disambar gledek, Eda kaget bukan main. Ia tercekat. "Apa? Mem..." Ia terbata-bata. "Membunuh?" "Ya, membunuh." Oh Holy s**t! Eda nyaris saja meledak. "Kenapa Jullia harus dibunuh, Princess?" Marigold menarik napas. Ia tahu percakapan di telepon ini akan berlangsung panjang. "Pertama, Eda, Jullia adalah sumber masalah dari semua ini. Jullia adalah mantan pacar Archi dan sekarang Jullia adalah istrinya Adrian. Ini tidak bisa berjalan begini. Terutama, karena aku yang akan dijodohkan dengan Adrian, maka tentu saja, ini juga tidak aman untukku. Lalu, kedua, karena dia adalah anak haram. Dia adalah aib bagi siapapun yang terlihat dengannya, terutama Adrian. Ketiga, karena Hera sudah sangat patah hati. Maka, untuk menyelamatkan pernikahan Archi dan Hera, Jullia harus mati." Giliran Eda yang menarik napas. Mendengar penjelasan Marigold, Eda seakan tak percaya. Ia seharusnya sudah menduga bahwa Rotsfeller memang suka melakukan segala cara untuk memenuhi keinginannya. Tapi ia benar-benar tidak menduga bahwa mereka akan bertindak jauh terhadap Jullia. "Eda, kamu diperintah oleh Lady Novina dan Lady Claudia untuk menjalankan operasi pembunuhan Jullia," perintah Marigold. Tegas. "Aku?? Membunuh Jullia??" "Benar sekali." "Itu tidak mungkin, Princess!" Eda memekik. Ia nyaris saja mengatakan "LO GILA! NYURUH GUA NGEBUNUH ORANG??" Tapi karena saat itu, Eda sadar sedang bebricara dengan siapa, maka sekuat tenaga ia pun berusaha mengendalikan dirinya. Ia bahkan masih memanggil Marigold "Princess..." "Eda, kamu yang tahu semua informasi tentang Adrian, Archi, Jullia dan Hera, dan sekarang saatnya untuk kamu yang menyelesaikan semuanya." "Aku pikir kita tidak harus membunuh Jullia," Eda membantah. "Kenapa? Kau tidak suka?? Eda, dengar, masalah ini sudah semakin melebar dan semakin viral. Kami takut masalah ini akan mengganggu kestabilan keturunan Rotsfeller. Apalagi kalau The Holy Lord sampai tahu, maka habislah semuanya. Oleh karena itu, sebelum hal yang lebih parah terjadi, kita harus mencegahnya. Membunuh Jullia adalah salah stau cara pencegahan itu." Eda menelan ludah. Ia merasa lemas. Detik itu, ia menyadari bahwa ia memang licik. Ia memang suka memfitnah dan menyebarkan berita palsu ke orang-orang. Tetapi ia tak pernah sampai hati untuk mau membunuh orang lain. Eda teringat wajah Jullia. Betapa gadis polos itu begitu pemalu, lemah lembut dan baik. Mengingat bahwa Jullia juga sedang hamil, Eda menjadi gamang. Lady Claudia yang dari tadi mendengarkan percakapan Eda dan Marigold dengan gregetan, akhirnya merebut ponsel Marigold lalu berbicara langsung kepada Eda. "Kau harus menerimanya!" pekiknya, tegas. "Tapi, Lady-" "Titik!" Lagi, Eda menelan ludah. "Tidak ada cara lain. Jullia harus dibunuh. Dengan begitu, masalah selesai." "Tapi Jullia sedang hamil-" "Aku tak peduli dia lagi hamil kek. Dia lagi sendirian kek. Pokoknya dia harus mati!" "Dia mengandung anak Prince Archi, Lady." Mendengar itu, untuk sejenak, Lady Claudia terdiam. Jullia sedang mengandung anak Archi, Itu artinya ia akan segera punya cucu. Deg! Hati Lady Claudia berdesir. Namun tak lama, ia langsung menghempaskan perasaan hatinya. "Anak yang dikandung Jullia adalah anak haram!" Lady Claudia menghardik. "Aku ingin punya keturunan yang sah dari keturunan Rotsfeller yang terhormat! Bukan keturunan haram yang lahir dari cara haram lewat ibu yang juga anak haram, kau paham??" "Oke, Lady," Eda tak mampu mengelak. "Kalau begitu akan saya pikirkan nanti bagaimana caranya membunuh Jullia." "Cepat!" "Ya, Lady." "Beri aku kabar dalam 1x24 jam ini dan kalau kau tidak memberi kabar, maka aku akan mencarimu." "Ya, Lady." Eda mulai merasa terancam. "Camkan kata-kataku itu!" "Ya, Lady." Tut. Tanpa terima kasih, tanpa basa-basi, Lady Claudia langsung mematikan telepon begitu saja. Sebuah arogansi tingkat tinggi yang ditujukan dari caranya berbicara di telepon. Eda mengalirkan napas panjang. Ia terduduk di sofa, bingung. Permasalahan yang dahulu ia gulirkan untuk sekedar iseng dan mendapatkan kemenangan pribadi, kini telah bergerak sangat jauh hingga membahayakan nyawa seseorang. "Jullia..." kata Eda, lirih. Ia tertunduk, lemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD