Bab 124: Perjalanan ke Zhaka

1028 Words
Sementara itu, sebelum hari benar-benar menjelang pagi, Adrian dan Jullia sudah berkemas-kemas. Jullia memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Ia juga membantu memasukkan pakaian suaminya. Adrian mengulurkan tangannya, "Aku masukin sendiri saja gak apa-apa-" "Udah gak apa-apa, Adrian," Jullia menyela. Ia menyingkirkan tangan Adrian dari atas koper lalu merisleting koper itu keras sampai terdengar bunyi srek! Adrian agak sedikit terharu melihat perlakuan Jullia yang walau tak seberapa itu, tapi kelihatan bahwa istrinya itu mau melayaninya. "Terima kasih," tutur Adrian, lembut, yang disambung dengan sekecup ciuman di pipi. Jullia melukis senyum di bibirnya mendapat kecupan itu. "Ayo kita siapkan yang lain," lanjutnya, pura-pura tidak salah tingkah. Adrian hanya terkekeh. Jullia lalu menyibak tirai jendela dan melihat pemandangan diluar, sepi. "Sepertinya wartawan sudah tidak ada" kata Jullia, "Atau mungkin belum datang," lanjutnya. Adrian berjalan mendekat dan melihat ke titik yang sama dengan Jullia. "Dia bisa bersembunyi di suatu tempat kan," kilah Adrian. Pengalaman bertahun-tahun dengan wartawan telah memberinya pelajaran bahwa para kuli tinta itu tak mudah menyerah dan punya seribu satu cara untuk menyembunyikan kehadirannya. "Kita gak boleh mudah tertipu, sayang," kata Adrian, menekankan kata "Sayang" yang membuat pipi Jullia merah padam. Jullia menutup tirai jendela dan berbalik badan. Ia ingin berjalan ke ruang tamu, akan tetapi baru selangkah ia melangkah, Adrian sudah menarik tangannya dan mendekapnya dari belakang, mesra. "Adrian," bisik Jullia, terkejut dengan tingkah suaminya. Lebih terkejutnya lagi ketika Adrian menciumi tengkuknya berkali-kali, mengirimkan rasa geli di sekujur tubuh Jullia. "Ahh..." Jullia menjengat. "Adrian, kamu iseng ih." Jullia menepuk paha Adrian, mencoba menghentikan aksi suaminya supaya tidak terlalu jauh. Lelaki itu tertawa pelan. Lewat tawanya, ia seolah ingin menyampaikan bahwa ia sangat bahagia sekarang karena ia bisa bersama perempuan yang dicintainya dan menjadi dirinya sendiri. "Sudah, ayo." Akhirnya Adrian mengakhiri candaannya. Waktu terpojok ke angka empat. Subuh merayap perlahan mendatangi pagi. Adrian mengetik-ngetik sesuatu di handphone-nya. "Oke. Para pelayanku sudah siap," tukas Adrian. Lelaki itu menutup handphonenya dan memandang istrinya. "Kita akan kabur lewat pintu belakang, lalu berlari dibalik semak-semak sampai di sebuah lapangan. Disana, kita akan naik helikopter sampai ke Zhaka. Kita akan diturunkan di atas sebuah gedung tua dan yah, sesuai permintaan Tuan Putri, kita akan tinggal dan memulai hidup baru disana," Adrian mencondongkan kepalanya, "Tapi untuk sementara waktu ya," lanjutnya. Jullia tersenyum lalu mengangguk. "Terima kasih, Adrian. Kamu baik sekali," katanya. Yang dibilang baik menepuk-nepukkan telunjuknya di pipi. Jullia pura-pura tidak tahu kode apa itu. Adrian ngambek. Bibirnya memberengut. Jullia tertawa. "Cup!" Akhirnya Jullia mengecup pipi Adrian. "Sesuai permintaan Pangeran." Giliran Adrian yang tertawa. Dan sebelum mereka benar-benar pergi meninggalkan rumah yang telah memberikan banyak cerita ini, mereka berpelukan. *** Ting! Satu notifikasi pesan muncul di layar handphone Eda. Pesan dari Eliza. "George," demikian sapanya. "Ya," balas Eda, agak malas-malasan. "Kamu sudah gak perlu heran lagi kan kenapa aku mengirimi kamu pesan begini, George," ketik Eliza lagi. "Tentang Adrian dan Jullia yang lagi viral?" Eda membubuhkan emot senyum di akhir pertanyaan. "Aku mendengar percakapan kamu dengan Nana dan Claudia di telepon, George. Aku merasa sangat prihatin." "Ya, itu sungguh kejadian yang buruk, Eliza." "Apakah semuanya akan baik-baik saja, George?" "Ya, aku harap begitu." "Apakah Jullia akan baik-baik saja, George?" Eda tak menjawab. Ia merasa gamang. "Tuan Baldwin dan Azriel sangat mengkhawatirkan Jullia, George. Aku pun sangat mengkhawatirkannya. Apakah kamu sudah punya solusi untuk menyelesaikan semua ini, George?" Eda masih tak menjawab. "George, kenapa gak dibalas?" Eda sedang mengetik, lama. "George..." "Ya, Eliza. Kamu tenang saja. Segalanya akan baik-baik saja (Emot senyum)." Sebenarnya separuh hati Eda ingin mengatakan tentang rencana para Lady Rotsfeller yang akan membunuh Jullia. Namun sebagian hatinya lagi mengatakan jangan karena hal itu akan membahayakan dirinya. Logikanya bermain bahwa sebenarnya urusan ini bukanlah urusannya. Maka, tak perlulah Eda repot-repot memikirkannya. Namun nuraninya bergejolak mengatakan bahwa ini sangat buruk dan Eda mempunyai andil dalam memperburuknya, maka Eda harus menyetopnya. Logikanya berkata bahwa bunuh saja Jullia, yang penting ia dapat uang dan jabatan. Namun nuraninya lagi-lagi berkata ini sudah terlalu jauh, terlalu berlebihan. Jullia tidak salah apa-apa. Pantaskah Jullia mendapatkan kejahatan seperti ini? Masih tegakah Eda untuk memperparah kondisi perempuan malang itu? "Eda," ketik Eliza lagi setelah beberapa menit. "Ya, Eliza," balas Eda, cepat. "Semuanya akan baik-baik saja, Eliza. Mungkin saat ini, keadaannya masih sangat panas. Namun aku yakin, cepat atau lambat, berita ini akan segera reda dan orang-orang akan melupakannya. Intinya kita harus tetap tenang dan berpikir dengan kepala dingin. Percayalah, segalanya akan baik-baik saja." "Ya, Eda. Terima kasih," Eliza berusaha mempercayai omongan Eda, walaupun sulit. "Ya sudah, kalau begitu aku mau lanjut bekerja dulu ya. Chatnya aku akhiri sampai sini. Salam untuk keluarga Baldwin." "Ya, Eda. Terima kasih." "Sama-sama." Menarik napas sebentar, Eda berusaha tenang lalu memasukkan ponselnya ke dalam kantong. Akhirnya Eda pun memilih untuk menyembunyikan rencana para Lady Rotsfeller dari Eliza dan tetap berpura-pura bahwa ia tak tahu apapun. Ini adalah suatu kebohongan yang terstruktur dan nyata. Eda tahu itu. Tapi rasanya ia tak punya banyak pilihan. *** Jullia dan Adrian sudah terbang ketika matahari mulai meninggi dan jalanan kepanasan tersiram cahayanya. Jullia duduk tenang disini, disamping suaminya di seat belakang Helikopter. Angin mengalir deras, menerbangkan rambut panjangnya yang kecokelatan, karena jendela kacanya sedikit terbuka. Jullia bisa melihat gugusan awan berarak dibawahnya, dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit yang diselimuti kabut putih. Sungai Saint bergelegak dibawah sana, meliuk-liuk indah seperti tubuh seorang wanita. Adrian menggenggam tangannya, erat. Jullia menoleh, lalu tersenyum. "Kita hanya tinggal di Zhaka sementara aja ya, sayang," Adrian memperingatkan sekali lagi. "Setelah kamu selesai menuntaskan rindu kamu dengan ibu kamu. Kita harus melangkah maju," lanjutnya. "Setelah berita tentang kita tidak lagi viral, Adrian. Maka selama itu, kita bisa tinggal di Zhaka," balas Jullia, sedikit memohon dengan nada suaranya. Adrian tak menjawab. Ia berusaha mengerti kebutuhan istrinya akan kerinduan sang ibu. Zhaka mungkin tempat teraman bagi Jullia, tapi Adrian ragu apakah ia bisa bertahan disana. Adrian menengok keluar jendela. Sebentar, ia mengingat tentang Little Heaven, Surga Kecilnya yang sangat mewah. Mungkin luas Little Heaven setara dengan sepertiga dari luas kota Zhaka seluruhnya. Suatu kerinduan merayapi hati dan pikiran Adrian. Ia mengalirkan napas panjang, lelah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD