Bab 179 : "Luna Menengok Gavin"

1700 Words
Kembali melaju, selalu kejelitaan ladang hijau terpajang di kanan kiri, jalanan berkelok mendekati bukit. Mereka sudah jarang bertemu penduduk lagi, mereka telah beristirahat ke peraduan. Namun Margot saat pagi matahari terbit dan Margot saat senja tidak ada bedanya. Indah tanpa lelah. Luna seperti berada di dalam lukisan. Mereka bergerak menjauhi perbukitan, menuruni lereng hingga ke batas rendah. Mereka sampai di sebuah padang rumput, atau mungkin sebenarnya lapangan berumput liar. Disana, degup jantung dan getaran jiwa mereka menyatu, lantaran sebuah tanda tanya yang dilayangkan akibat hadirnya sebongkah benda tak diduga. Sebuah pesawat terbang tergeletak gagah di tengah-tengah padang. Beberapa orang nampak mondar-mandir di luar pesawat, entah mau apa mencari apa. Mereka semua berseragam resmi. Luna dan Gavin terhenyak melihat pemandangan itu. Namun Luna adalah gadis yang paling terhenyak dengan ini semua. Pesawat itu tidak begitu besar ukurannya, jelas bukan untuk penerbangan komersial. Namun bukan itu yang membuat Luna terhenyak, nama pesawat itulah penyebabnya. Bisa dilihat dengan jelas pada badan pesawat tertera tulisan terang benderang "Esteban''. Melihat itu semua orang pun akan tahu, pesawat itu milik bangsawan Esteban. Luna terkenang akan Julius. Pemuda itu benar-benar datang dan setelah semalaman ia memikirkannya, mendadak ia merasa tidak siap untuk menghadapi kejutan di senja ini. Luna menengok Gavin, pemuda itu tersenyum dan rambut panjangnya menari-nari menghalau wajahnya. Seseorang tiba-tiba melengkungkan tangannya di pundak Luna dari belakang. Gadis itu terperanjat. "Luna oh Lunaku, akhirnya aku bisa bertemu denganmu.'' tutur Julius. Luna segera mengarahkan matanya kepada Julius. Sesosok pemuda berjas hitam, rambut pirang yang disisir ke belakang, wajah proporsional, kulit teramat putih, bola mata biru, ia representasi dari kesempurnaan seorang bangsawan. "Julius...'' kata Luna, pelan. Yang disebut namanya hanya tersenyum dan tanpa basa basi lagi langsung memeluk Luna. Harum casablanca menerobos hidungnya. Luna merasa sulit bernafas. Ucapan-ucapan mesra kemudian bermunculan seperti peluru mortar. Julius hampir kehilangan kendali dirinya, tubuhnya bergetar dan hatinya berdesir-desir. Gadis itu yang akhirnya harus menyadarkan Julius bahwa mereka tengah berada di alam terbuka. "Aku rindu kamu.'' ucap Julius sambil memperhatikan pakaian Luna. Gaun terusan selutut berbunga yang anggun. Kalung krisolit serta rambut merah yang dibiarkan turun, dan juga, sepasang sepatu nudenya yang membuat Luna kini merasa sangat perempuan. "Kau cantik sekali, Luna.'' ucap Julius dengan mata yang berbinar-binar. Luna hanya tersenyum. Gavin berdeham keras. "Oh, kau ada disini Mr. Marshall!'' sahut Julius saat menoleh ke kanan dan melihat Gavin yang berdiri mematung dengan sepedanya. Gavin segera menyadari penampilannya, kaos oblong dan celana panjang. Ia membuang muka. "Aku dan dia tadi sedang jalan-jalan keliling desa ini, sekaligus berinteraksi dengan penduduk setempat.'' ucap Luna memecah suasana yang mendadak menjadi tegang. "Oh...'' sahut Julius dengan nada yang dipanjangkan. Ia berbisik, ''Tetapi aku menunggumu dari tadi, sayang.'' Luna menelan ludah. ''Maafkan aku, aku harus menyelesaikan beberapa hal.'' ''Baiklah, toh kau sudah disini.'' Gavin memakirkan sepedanya dan menghampiri Luna. Rautnya penuh waspada. "Sepertinya kita harus kembali, Luna. Ini sudah terlalu sore.'' kata Gavin. Tapi Julius segera menyela. Ia membalikkan tubuh Marchioness itu ke utara. "Emm... Luna, lihatlah!'' Pemandangan bagus yang terhampar, yang sudah dilihat Luna seharian ini. ''Ada apa?'' ''Oh, kalung yang bagus.'' sahut Julius, memusatkan perhatian pada kalung yang dikenakan Luna. Ia memegang bandulnya yang berkilauan. ''Sangat indah. Aku akan memberimu seribu kalung seperti ini.'' Luna tertawa kecil. ''Ada apa denganmu?'' "Luna, kau pernah terbang senja?'' serobot Julius, cepat. Luna tergelak. "Marilah, aku mengajakmu terbang senja dengan pesawatku, kau bersedia?'' ''Aku sebenarnya sengaja mengajakmu untuk itu.'' kata Julius lagi pada keheningan yang berlanjut. ''Ini akan sangat menyenangkan.'' Luna mengangguk dan berbalik. ''Dimana Gavin?'' ''Oh, dia tadi masuk ke dalam pesawat.'' jawab seorang pria berseragam dari tangga pesawat. ''Aku bilang padanya kau dan Tuan Julius akan naik pesawat dan ia memutuskan untuk ikut.'' ''Oh.'' Luna mengeluh. ''Orang itu...'' ''Baiklah, Luna, ku harap ia tidak akan mengacaukan acara kita.'' Luna belum sempat memutuskan ekspresi apa yang akan dikeluarkannya atas perkara ini ketika Julius dengan tenang telah menuntunnya masuk ke dalam pesawat. Cinta yang wajar dan tak wajar Pesawat Esteban adalah burung besi pribadi Julius. Seluruh material yang berkaitan dengan pesawat ini mutlak punyanya sehingga karena kehormatan itu pesawatnya didekorasi sesuai dengan kehendaknya. Ruangan di dalam pesawat sangat luas sebab pemuda itu hanya menghendaki sedikit bangku. Semua barang tertata rapi, dari buku-buku sampai lemari baju. Di dalam pesawat itu, dibuat ruangan khusus untuk tempat tidur, dibuat semirip mungkin dengan gaya Inggris yang tua. Segala apa yang diperlukan oleh Julius ada di dalam pesawat ini. Luna duduk di salah satu bangku yang dekat dengan jendela sementara menunggu Julius yang sedikit masih mondar-mandir sambil mengatakan ini itu kepada para pegawainya. Sebuah radio meraung-raung di sudut ruangan, menyuarakan cinta, perang, dan pembunuhan. Luna mendapati Gavin tertidur lelap di seberangnya. Kepalanya terantuk pada jendela. Sedikit tersenyum letih Luna memandangi Gavin, memikirkan peristiwa di rumah unik tersebut. Ia pasti sangat lelah, pikirnya. "Naah, tuan putri, selamat datang di pesawatku!'' sahut Julius bangga. Luna tersenyum. Lalu Julius duduk di samping Luna. Pesawat pun meluncur. Suara-suara di radio berbunyi sedih. "Apakah ada yang dinamakan etika komunis itu? Apakah ada yang disebut sebagai moralitas komunis itu? Tentu saja ada, sering disebut-sebut bahwa kami tidak memiliki etika sendiri dan orang borjuis sangat sering menuduh kami orang komunis menolak segala bentuk etika. Begitulah cara orang itu menyerakan debu ke mata buruh dan tani. '' ''Luna, kita seharusnya tidak berbicara disini.'' kata Julius. Dengan telunjuknya, ia menunjuk suatu ruangan. Luna termenung. ''...Dalam pengertian apa yang dikhotbahkan kaum borjuis, yang menggali etika dari wahyu Tuhan, atau kalau tidak menggali etika dari wahyu Tuhan, mereka menggali dari ungkapan-ungkapan idealis atau semi-idealis yang selalu saja mirip dengan wahyu Tuhan. ...Kami berkata bahwa itu penipuan, pembohongan demi kepentingan tuan tanah dan kapitalis. Kami tegaskan bahwa moralitas kami secara keseluruhan mengabdi pada kepentingan perjuangan klas proletariat. Moralitas kami digali dari perjuangan klas proletariat...Perjuangan klas masih berlangsung, kami mengabdikan moralitas komunis kami pada tugas ini. Kami tegaskan moralitas adalah sesuatu yang mengabdi pada penghancuran masyarakat penindas dan menyatukan seluruh buruh kalangan proletar yang sedang membentuk masyarakat baru komunis... kami tidak percaya pada moralitas abadi.'' Klik. Julius mematikan radio. ''Aku rasa kita butuh ruangan yang lebih pribadi'' Sahut Julius. Luna memandang pemuda itu lama. Ia pikir ia hanya akan benar-benar menikmati keindahan senja. Ekspektasinya berbuah lain. ''Apa yang ada di dalam pikiranmu?'' Luna menggeleng. Julius mengalirkan nafas panjang. Semenit kemudian, mereka sudah bergerak melewati segalanya dan masuk ke dalam ruangan. ''Apa dia akan baik-baik saja?'' tanya Luna, dengan matanya ia menunjuk Gavin. Julius tersenyum. Ia bilang Gavin akan baik-baik saja. Namun pemuda itu tertidur terlalu lelap. Urat-urat serta otot-otot di nadinya mengendur, menimbulkan kesan tak bernyawa. Tetapi ia akan baik-baik saja. Gavin hanya tidur terlalu pulas. Luna menutup pintu kamar. ***** Ini adalah kamar tidur Julius. Suatu ruang dengan keluasan, kemewahan, dan sebuah dimensi lain yang sulit ditangkap. Segala kesempurnaan seorang bangsawan ada di kamar ini. Luna menyadari itu. Ia pernah mengunjungi kamar Julius beberapa kali di rumahnya dan di pesawat ini sehingga ia tidak kaget lagi atas apa yang dilihat, dicium, dan dirasanya. Sebuah kelembutan yang mewah. Luna berjalan mendekati jendela. Julius berjalan mendekati cermin. Luna menarik tirai di jendela, melihat senja yang merah. Sesuatu tentang kejelitaan negerinya. Bukit-bukit bertonjolan meminta pengakuan, kampung-kampung mengalir di bawahnya. Matahari yang sampai dibatas antara malam dan senja membuat langit berwarna emas kemilau menyiram tanah-tanah bermakna. Sepi. Sunyi. Dalam kesepian dan kesunyian itu, rumah-rumah penduduk mengambang dalam cahaya dari dalam rumah dan senja, begitu agung. "Margot sangat indah.'' kata Luna, lembut. Julius hanya tersenyum dan pelan-pelan ia membuka jas hitam dan dasinya. Jadi, sekarang ia hanya mengenakan baju putih berkancing tujuh, dua buah kancing teratas dilepasnya. ''Great Brescon adalah negeri yang indah.'' ujar Julius. ''Itulah mengapa aku mencintainya.'' Julius melepaskan jam tangan dan meletakkannya di meja. Lalu ia merapikan rambutnya dengan jemari, memperhatikan betapa pirangnya ia dan betapa ia sangat putih. Julius terduduk di salah satu kursi dan melepas sepatunya. ''Sebetulnya aku tidak memiliki banyak kesempatan untuk bisa bersamamu seperti ini.'' Luna menoleh. ''Malam ini aku harus bertemu Soosan, aku akan mencoba berdiplomasi dengannya.'' Julius membundel kaus kakinya dan memasukkannya ke bagian terdalam sepatu. ''Kau tahu, o***m? Mereka sudah sangat keterlaluan.'' lanjutnya pada keheningan. ''Berapa orang yang sudah menjadi korban?'' Luna merespon. ''Banyak. Kau tak akan sanggup mendengarnya.'' ''Tapi media berhasil membungkam itu semua.'' ''Ya, karena kita mengendalikan mereka.'' Julius tidak bergerak, memperhatikan Luna dari tempatnya duduk. Luna pun tak melakukan apapun selain melihat senja. ''Para pengurus negeri harus melakukan sesuatu sebelum dunia mengecam kita.'' kata Julius, seperti pada dirinya sendiri. ''Aku berfikir kita mungkin bisa mengusir orang itu tapi... kau tahu, ia seorang yang memiliki darah yang sama dengan Wangsa 'B'?'' Luna menelan ludahnya. ''Aku tahu.'' ''Aku percaya padamu.'' Julius membuka ikat pinggangnya dan berjalan ke kasur. Ia menguap, mengalirkan nafas panjang, menguap lagi. ''Aku sangat lelah... Tapi aku sangat senang bisa bertemu denganmu, sayang. Aku sudah lama mengusahakan ini.'' Luna tersenyum. Melihat Julius yang letih, terkapar di ranjang dengan kedua tangan terentang. Tetapi ia tidak mengatakan apapun. Beberapa saat kemudian, ''Aku menulis surat yang salah.'' Ia membahas suratnya. ''Maksudku tentang pertemuan kita, Lord Alastairs justru memintaku menyampaikan sesuatu padamu, tentang Honeysuckle. Tapi sebelum aku menjelaskan semuanya, aku ingin...'' Luna memperhatikan Julius yang tak melanjutkan omongannya. ''Apa kau sedang berjuang dengan sesuatu di pikiranmu, Luna?'' Perempuan itu menggeleng. "Apakah Gavin telah melakukan sesuatu yang salah padamu?'' Luna membatu. "Katakan padaku jika dia melakukan hal yang salah padamu, aku akan menghukum dia kalau kau mau, sayangg.'' Luna masih mematung. "Kau tahu, semalam dia datang ke rumahku dan.... tidak jelas apa kepentingannya, namun, aku katakan padanya dengan tegas: "Bahwa kau adalah milikku dan selamanya akan menjadi milikku'', yah, dia agak terkejut, sepertinya dia mulai menyukai dirimu dan kecantikanmu, Luna, kau harus lebih berhati-hati padanya, tolong mintalah bantuan Alexandrine jika Gavin itu benar-benar menyusahkanmu.'' Luna berbalik, memandang Julius sebentar sambil menganalisa. Kemudian, ia tersenyum. ''Kalau begitu kemarilah...'' Julius menepuk pelan kasurnya tiga kali. ''Aku ingin melakukan sesuatu yang sangat indah senja ini.'' Dengan agak gemetar, Luna bergerak perlahan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Julius bangkit dan mendekat pula kepada Luna. Pergerakannya seperti ular, lembut namun penuh desisan. Julius mendekap Luna dari belakang. Gadis itu bisa merasakan hembusan nafas pria itu di belakangnya. Nafas tak beraturan yang dikeluarkan dengan tergesa-gesa, menerbangkan sedikit rambut.di lehernya. ''Kau sangat wangi.'' bisik Julius dan menciumi lehernya. Luna tersentak. Lalu gejala hangat itu menjalari tubuh mereka berdua. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD