Bab 178 : "Begitulah Hidup II"

2281 Words
Sepeda melewati pintu gerbang. Ukiran nama Honeysuckle menjadi batas bagi mereka. Namun dalam batas-batas itu, Luna justru dapat melihat sebersit cahaya David yang redup manakala melihat mereka berdua. Sesuatu dalam dirinya bergejolak. Pemuda itu.. apa yang tengah ia pikirkan. Tetapi segala hal tampak berantakan dan tenggelam oleh suara-suara dari alunan musik dari klub musik dan puisi-puisi Athalie . Adalah Triangulum Australe... Rasi bintang selatan... Aku melamunkan cinta... Memimpikan jiwamu... Gavin mengayuh kuat. Tanah naik-turun, menukik menunjam bebatuan, dan mengular di samping bukit-bukit yang kukuh. Oh, angin menggetarkan dedaunan, rambut, dan jiwa mereka. Orang-orang Margot Mereka menjumpai ladang-ladang pak tani di puncak bukit, juga di lereng-lereng, terhampar seperti lautan. Bukit-bukit cokelat dan hijau dan hijau kecokelat-cokelatan dan cokelat kehijau-hijauan. Burung-burung atas dalih migrasi, melayang dalam jumlah yang banyak, berformasi, bersiul-siul. Mereka seperti sekelompok balerina kecil. ''Rentangkan tanganmu,'' perintah Gavin. Luna merentangkan tangannya. Badannya tertangkap dan terbasuh oleh angin yang berkesiut. Rambut dan pakaiannya menari-nari. Luna tertawa kecil. Gavin ikut tertawa. Pada suatu tikungan, sekawanan domba beserta gembala-gembala kecilnya mengagetkan mereka. Gavin mengerem mendadak, mereka terjatuh, domba-domba berlarian, para anak gembala kebingungan. Lalu keributan yang lucu terjadi. Gavin dan Luna mulai berkenalan dengan gembala-gembala mungil itu. Mereka duduk bersama di sebuah saung dan kawanan domba memakan rumput di pinggirnya. Setelah sebelumnya meminta maaf, mereka pun sadar sedang dengan siapa mereka sebenarnya bicara. "Aku Acker!'' seru seorang bocah yang paling tinggi. Ia menyalami Luna. "Aku Anchor.'' "Aku Conroy....'' "Aku Erskine...'' "Senang bertemu denganmu, Lady!!'' kata mereka, kompak. Luna tersenyum manis. Mereka sangat lucu dan menggemaskan. Ia bisa mencium aroma rumput dan ternak pada mereka dan merasa tidak keberatan untuk menghirupnya. Ini harum anak-anak miskin yang tegar. Gavin dan Luna mulai mengobrol dengan mereka. Menanyakan ini itu dan bersenda gurau. Acker menceritakan tentang Duppy(domba kesayangannya) yang kemarin baru melahirkan. Kemudian teman-temannya yang lain bercerita tentang rumah-rumah mereka yang mengalir di bawah bukit, tentang mata air yang mereka angkut setiap hari untuk mandi dan aneka keperluan lainnya, tentang roti-roti yang mereka masak di dalam tandoor, juga tentang bunga-bunga liar yang mereka petik untuk suatu keisengan. Mereka bercerita banyak, sambil kadang kala mereka menginsyafi diri sendiri karena telah terlalu cerewet. Acker dan kawan-kawannya masih merasa ini semua mimpi, bahwa ia nyaris tak percaya bahwa mereka bisa bertemu Luna. "Penduduk disini tahu kalau Lady Luna sekarang berasrama di Honeysuckle, mereka sangat merindukan momen-momen ini, momen dimana akhirnya Lady Luna bisa keluar dan ngobrol bersama kami,'' jelas Conroy, bocah sembilan tahun yang berambut pirang dengan bintik-bintik hitam di pipinya. Luna bisa mafhum. Namun Gavin lebih mafhum. Setelah itu, bocah-bocah itu kembali mengurusi domba-domba mereka yang sedang makan. Mereka berjalan tanpa alas kaki, mencabuti rerumputan untuk domba-dombanya. Langit masih mendung, barangkali sebentar lagi akan turun hujan. Namun bocah-bocah itu belum mau berhenti sampai domba-dombanya kenyang. Kemudian mereka mulai bercerita lagi, kali ini tentang bulu-bulu domba mereka yang dikerok habis-habisan untuk dijadikan kain wol. "Si Duppy jadi kurus karena tidak punya bulu,'' ujar Acker. Informasi yang dilontarkan sebetulnya sedih, tapi Acker menyampaikannya dengan riang gembira. Luna jadi merasa heran, bagaimana mereka bisa begitu bahagia dengan segala kesedihan yang mendera? Setelah domba-domba mereka kenyang, pelan-pelan langit menjadi cerah. Mereka memutuskan untuk bernyanyi. Erskine meniup seruling yang diselipkan di celananya. Teman-teman yang lain bertepuk tangan sambil mengucapkan syair Little Indian. Luna ikut bertepuk tangan, namun ia tidak bisa ikut menyanyikan lagu Little Indian. Sebab, ia belum pernah mendengar lagu itu. Gavin dan para gembala itu mengajarinya. Dengan sedikit malu-malu, Luna mengakui kelemahannya. Kenyataan bahwa masa kecilnya sungguh kurang senantiasa membuatnya tidak pernah mengenal dunia yang seperti ini. Waktu kecil, Luna hanya mengenal apa yang para bangsawan akan hadapi esok. Mereka sibuk dengan masa depan dan melupakan masa-masa menyenangkan saat ini. Ia tidak tahu bahwa pada masa-masa itu, ia seharusnya bersenang-senang, mengesampingkan segala pelik dan menyanyikan Little Indian bersama-sama. One..little two, little three, Little Indian. Four...Little five, little six, Little Indian. Seven...Little Eight, little nine, Little Indian. Dalam senandung itu, Luna melirik Gavin yang tertawa, lalu melirik Erskine yang bermain suling, terakhir melirik Acker dan kawan-kawannya yang sedang bernyanyi. Terinsafi oleh Luna, bahwa mereka semua adalah orang-orang proletar yang terlupakan oleh dunia. Tapi mereka, orang-orang yang tengah bersenandung itu, penghidupannya seolah-olah tenang saja, mulus tanpa rintangan. Luna menganasir-anasir mereka adalah orang-orang hebat, karena betapa pun, mereka tetap mengenal susah dan senang pula. Mereka kenal tentang penyakit, percintaan, perkabungan dan barangkali mereka...oleh kesukarannya sendiri, matanya terbuka bagi banyak hal-hal yang tidak diketahuinya. "Prok...prok...prok..'' suara tepukan mereka mengiringi lagu si kecil India. Luna menatap ke atas, langit kelabu benar-benar menjadi cerah. One..little two, little three, Little Indian. Four...Little five, little six, Little Indian. Seven...Little Eight, little nine, Little Indian. Senja di Margot ''Itu sangat menyenangkan,'' kata Luna, ceria. Gavin menyeringai. ''Tentu saja.'' Pemuda itu menuntun sepedanya. Luna berjalan di depan Gavin, memperhatikan alam yang bergetar. Matahari malu-malu sembunyi dibalik awan. Bukit-bukit hijau. Ia mengibas-ngibaskan rumput-rumput liar sambil bersenandung. ''Sekarang, apa kau menyesal ku ajak kemari?'' Luna menoleh. ''Sama sekali tidak. Terima kasih, Gavin,'' ''Bagus. Sekarang kita akan pergi ke kebun anggur.'' ''Ada apa disana?'' ''Ada para gadis cantik yang sedang memetik anggur.'' Luna tertawa. Gavin tertohok. ''Aku pikir kau akan cemburu.'' ''Hahahahahah'' Luna kembali berjalan. Rambutnya tersibak angin dan menyentuh wajah Gavin. Darah pemuda itu terkesiap. Namun ia segera sadar. Ia tahu tidak ada gunanya memikirkan itu sekarang. Meskipun alam sangat romantis dan membujuknya terus menerus untuk sesuatu mengenai cinta. Gavin mengendalikan diri. Ia menaiki sepedanya, Luna naik di belakangnya menyamping. ''Pentangkan kakimu lebar-lebar,'' kata Gavin. Tetapi Luna mengenakan pakaian sejenis tunik bermotif bunga-bunga musim semi. Gadis itu paham akan kecantikannya dan tidak ingin memanfaatkan kenyataan ini untuk memikat pria dengan memperlihatkan sejengkal pahanya. Jadi kata-kata itu percuma saja, seolah hanya hiasan di depan cermin yang sepi. Mereka melaju ke utara. Tanah landai dan mereka terbang terdorong angin yang berkesiut lemah gemulai. ***** Bangunan itu secara keseluruhannya terbuat dari batu. Batu yang diolah habis-habisan untuk disusun menjadi rumah mewah di atas bukit. Luna terperangah begitu melintasi rumah itu. Jalinan tumbuhan beracun Nightshade bergelung-gelung menyusuri lekuk ukiran dinding tangga setinggi lima kaki. Pohon-pohon kurus yang akarnya jauh di bawah tanah, menelusur ke atas, menyusupi ranting-ranting berisi kumpulan vegetasi ke jendela-jendela yang lebar dan terbuka. Ada mawar dan begonia diantara mereka. Berbunga indah tetapi terlalu mengenaskan untuk berada disitu, diantara kekejaman pohon-pohon liar. Luna turun dari sepeda dan mengamati rumah tersebut. ''Rumah yang sangat unik,'' ungkapnya. ''Rumah yang sangat tinggi di atas bukit yang tinggi,'' simpul Gavin. Ia tidak bisa mengabaikan bahwa ketinggian rumah itu berlebihan serta gaya victoria yang sengaja dibuat oleh pemilik rumah sama sekali tidak keluar. ''Rumah ini beraura seperti zaman kuno, p*********n, dan klasik.'' Luna tertawa. ''Apapun itu, pemiliknya pasti bukan orang sembarangan.'' ''Aku tidak pernah menemui rumah ini sebelumnya.'' ''Sungguh?'' Gavin memasukkan kedua tangannya ke kantung celana. Ia bergerak maju mundur tak tentu. ''Mungkin aku yang tak pernah memperhatikannya.'' Luna mengamati bunga-bunga dalam jambangan di samping rumah itu. Bunga-bunga yang indah, mereka semua sedang mekar. Oh, keberadaan mereka sangat kontras dengan keadaan rumah. ''Aku menyukai mawar itu,'' kata Luna, tanpa maksud apapun. Namun Gavin, segera mengambil kesimpulan cepat. Ia bergerak menaiki tangga rumah itu, menghilir ke samping, ke jambangan dan memetik beberapa tangkai mawar merah. ''Apa yang kau lakukan?'' tanya Luna, agak terkejut. ''Untukmu,'' jawabnya ketika sudah kembali. Ia terengah-engah. Luna mencoba untuk tidak tersanjung. Lalu seseorang dengan wajah buruk tiba-tiba keluar dari pintu rumah tersebut. Seorang pria boncel dengan pakaian beratnya dan tongkat berjalan memanggil-manggil dalam suara yang redup redam. Gavin dan Luna segera menaiki sepeda dan pergi. Pria itu masih memanggil-manggilnya, ratapan seorang yang kehilangan bunga terbaiknya. Ia berjalan menuruni tangga, memanggil mereka. Semakin dipanggil, Gavin semakin melaju kencang. Adrenalinnya meningkat bersamaan dengan kecepatannya menggoes pedal. Keringat dan peluh mencuat, dan oleh karena getaran hati yang tak tertangguhkan serta sulitnya melawan medan yang miring, mereka kehilangan keseimbangan. Mereka jatuh berguling-guling, tersuruk kepada tanaman-tanaman liar. Kelopak-kelopak mawar berterbangan, dipasrahkan oleh angin dan jatuh pada tempat yang tak lebih indah dari tempatnya berasal. **** Mereka berbaring, menatap langit yang mulai memerah. Luna tertawa. Gavin tertawa. ''Wajahnya sangat buruk.'' sahut Gavin. ''Tetapi ia benar-benar mengagetkanku.'' Luna masih tertawa. Gavin belum pernah melihat seorang putri tertawa sangat lepas dan itu mengherankannya. ''Aku tidak menyangka dia akan keluar,'' lanjutnya sambil tetap menatap langit di atasnya. Mereka berdua tidak bangkit. Dengan sengaja menikmati tanaman-tanaman liar yang mengotori mereka. Gunung abu-abu berdiri di atas mereka, kontras dengan langit yang semakin memerah, setelah segalanya adalah abu-abu. Pelan-pelan, alam meninggalkan warna dari gunung dan mengikuti alunan matahari yang memercik merah. Senja telah semakin dekat. Kabut bergerak menutupi gunung seperti sesosok uap yang tertiup. Luna terengah-engah menahan tawanya. ''Kau sangat lucu.'' Gavin menaikkan alisnya. ''Apa?'' ''Tidak apa-apa.'' Gavin tersenyum. ''Kau sekarang telah semakin berani.'' Luna menoleh. ''Apa?'' ''Tidak apa-apa.'' Mereka berdua tertawa. Burung-burung di langit ikut tertawa. Angin tertawa. ***** ''Aku pernah berjalan di dalam kabut,'' seru Gavin. Sepasang matanya memperhatikan kabut jauh di seberang, lambat-lambat berjalan menyelimuti gunung. Ia menunjuk ke langit dengan telunjuknya. ''Seperti berada di angkasa.'' ''Kapan?'' ''Dahulu sekali, waktu masih kecil. Ibuku yang mengajakku.'' Gavin mengangkat kedua tangannya, membentuk mangkuk dengan tangan itu dan menjorokkannya ke langit yang berkabut. ''Aku bahkan pernah memegangnya.'' Ia menoleh. ''Seperti ini... sangat lembut.'' Luna tersenyum. Kemudian ia bangkit dan menatap alam luas. ''Aku juga pernah merasakan hal seperti itu.'' ''Kapan?'' Suara angin dan pepohonan memanggil dalam irama yang membuat dingin, syuuuuu.Gavin segera bangkit untuk mendengar jawaban yang amat lembut dari Luna. ''Waktu itu, di pesawat yang tengah menembus awan.'' Diam sejenak. Lalu Gavin tertawa. Meski tidak yakin ada hal yang lucu. Luna juga tertawa. Meski ia lebih tidak yakin lagi bahwa ada hal yang lucu. Kabut bergerak pelan terus-menerus seperti ditarik oleh seseorang, menutupi kehidupan dibaliknya sehingga terlihat layaknya bayangan yang tidak berarti selain warna merah dari matahari. ***** Mereka melanjutkan perjalanan. Berputarlah roda sepeda mereka ke utara, sesuai dengan datangnya angin. Melewati kebun anggur, juga beberapa tanah tak bertuan yang rimbun oleh pohon-pohon tinggi. Mereka bergerak mengikuti jalan yang hanya satu-satunya yang diaspal. Beberapa ternak berpapasan dengan mereka, atau menoleh pada mereka dari atas bukit, kehadirannya seperti siluet dengan sepotong langit takluk kepada empat kaki mereka, mengempitnya menjadi sebesar papan belajar. Burung-burung kecil berbagai warna terbang rendah di belakang mereka, mengikuti mereka Waktu di kebun anggur, Gavin dan Luna mendapati gadis-gadis Margot sedang bergegas pulang. Gavin dan Luna sengaja menghentikan laju sepeda di tanah itu dan mulai bercengkerama dengan mereka. Gadis-gadis pemetik anggur itu, hampir semua memakai pakaian wol panjang dengan celana bahan yang panjang. Rambut mereka ditutupi kain longgar berwarna-warni. Sandal mereka terbuat dari kayu sehingga setiap kali mereka melangkah terdengar derap langkah seperti derap sepatu kuda, tak tik tuk tak tik tuk. Saat menyadari siapa yang datang. Gadis-gadis pemetik anggur langsung mengalihkan kegiatan mereka. Lalu satu per satu dari mereka menyalami Luna dengan senyum termanis yang pernah Luna lihat. "Aku Marylin, Lady.'' kata salah satu gadis bermata zamrud. Marylin mengingatkan Luna kepada Heloise. "Aku Anastasia.'' kata yang satunya lagi. Ia seperti Madame Deficit versi India. "Aku Fleur.'' seru gadis yang wajahnya paling Perancis, paling gampang dikenal Luna. Gadis-gadis itu lalu meminta Luna dan Gavin untuk mencicipi anggur-anggur, buah keringat mereka. Mereka mengatakan bahwa anggur-anggur ini nantinya akan diekspor ke Eropa, khususnya Paris. Untuk itu mereka sangat bangga lantaran anggur-anggur yang mereka tanam itu adalah anggur kaliber dunia. Luna memakan sebuah anggur mereka. Terasa kenikmatan manisnya di lidah, juga di langit-langit mulut. Memang betul, ini bukan sembarang anggur. Gavin sampai harus berbisik kepada Luna bahwa ini adalah anggur terlezat yang pernah dimakannya. Jika boleh, sebetulnya ia ingin menghabiskan seluruh anggur di kebun ini. Luna tersenyum, tapi sebetulnya ia sedang menahan gelak tawa. Setelah itu, gadis-gadis itu bercerita banyak bak tirai kehidupan baru saja dibuka. Teater kebun anggur. Gadis-gadis itu menceritakan banyak hal kepada Luna. Mereka bercerita bahwa ada pabrik wine yang sangat tersohor di kota ini. "Pabrik itu kepunyaan bangsawan Esteban, pemiliknya membuat minuman itu dari anggur-anggur di Margot. Bahkan kabarnya kebun-kebun anggur disini sebagian sudah jadi miliknya. Semuanya akan diolah jadi minuman.'' jelas Marylin. "Yah, tapi masih tetap ada juga anggur-anggur mentah yang dikirim ke Paris.'' "Pemilik pabrik itu...Lord Olivander, bukan?'' tanya Gavin Gadis-gadis itu mengangguk girang. "Iya, Lord Olivander! Lelaki yang punya anak tampan itu,'' ungkap Fleur. "Si albino?'' ujar Gavin, bibirnya tersungging ke atas. Luna menoleh ke pemuda itu. Gadis-gadis anggur memperhatikan. "Ia tidak albino, Gavin. Dia hanya....'' "Sedikit terlalu putih, ya aku tahu kau akan bicara begitu.'' potong Gavin. Luna terdiam dan sejurus keheningan menguasai mereka. "Eh, yah, Julius adalah anaknya Lord Olivander.'' kata Anastasia, memecah buntelan diam. "Ia sangat baik. Jika ada dia, buruh-buruh di pabrik sering diberi hadiah. Bahkan biasanya ia akan membolehkan para pekerja untuk mengambil satu dua buah botol wine untuk hidangan di rumah. Ayahku adalah salah satu pekerja disitu. Dia sering mengambil beberapa botol wine jika ada Julius, bahkan pernah sampai lima botol. Tapi si tampan itu tidak pernah marah.'' lanjutnya. "Namun Jahmene dan Aiden pun tak kalah baik dan tampannya.'' tambah Fleur. Luna tiba-tiba teringat pesan Julius dan betapa ia hampir melupakannya. Ia menjadi gelisah. Gavin tidak berekspresi. Kemudian saat sinar matahari mulai menjilati tanah-tanah yang kepanasan. Luna dan Gavin pamit dari para gadis anggur itu. Sebelumnya, Gavin mengambil sepedanya dahulu yang disenderkan di pohon. Saat itu, ia mendengar senandung bisikan serangga dari pada gadis anggur yang membicarakan Luna dan Gavin. Mereka mempertanyakan keberadaan Gavin di hidup sang Marchioness, juga sebaliknya. Dan mereka juga penasaran mengapa dua makhluk itu hidup berdua saja, bahkan boncengan dengan satu sepeda. Menurut hemat mereka, itu semua adalah suatu pertanda. Sebuah chemistry yang hadir bilamana lelaki dan perempuan merasakan perasaan yang bergetar saat bersama. "Ya, kami akan sampai ke jenjang itu.'' pungkas Gavin, tegas saat dirinya lewat di depan para gadis tersebut. Para gadis itu terdiam. Sementara Luna yang menunggu di depannya hanya memandanginya dengan penasaran atas apa yang telah dikatakan Gavin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD