Bab 174 : "Badai Pasti Berlalu III"

1550 Words
Dan apa yang bisa dirinya lakukan? Ia tidak tahu. Ia sangat sedih. Di suatu malam yang dingin, hujan turun deras, suara di radio meletup-letup dari kamarnya, melantunkan patah hati dan kematian. Ia menangis dan mengeluarkan suara rintihan yang memilukan sampai ia sendiri kaget mengetahui kesedihannya ternyata memiliki kedalaman sedemikian rupa. ***** Pada waktu yang sama, Gavin membaca buku harian Luna. "Monster yang paling berbahaya adalah rasa sepi.'' 23 Juni 1955 Sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali aku menulis padamu. Rasanya sejak itu keadaan berubah semakin suram alih-alih aku merasa segalanya membaik. Jahmene dan Aiden pergi dari jajaran keluarga Olivander untuk menyelesaikan study kemiliterannya, dan yang paling menyedihkan, minggu depan Julius juga harus pergi sebab ia harus meneruskan studinya di Universitas Oxford. Ini semester terakhirnya, katanya. Aku harap ini hanya bayang-bayang mimpiku, mereka bertiga adalah orang-orang terbaik yang aku punya saat ini, dan jika mereka semua pergi, waktu akan mengalir dalam diriku lebih sunyi dari jiwaku sendiri. Rasanya menyakitkan sekali mengingat hari-hariku selanjutnya. Dua hari yang lalu, pria muda selingkuhan ibu datang ke istana ini. Tentu saja waktu itu ayah masih berada di luar dan itu benar-benar dimanfaatkan oleh ibu. Tapi pria ibu yang satu ini begitu sederhana. Kalau tidak salah namanya Albert. Lady Earlene pernah sekali mengenalkannya padaku. Waktu mereka melewati keberadaanku di tangga, aku bisa mencium wangi tubuhnya yang mencolok, seperti wangi tebu bercampur anggur. Udara saat itu dingin sekali, walau di musim semi sekalipun, dan hujan turun deras. Lady Earlene dan pria itu pergi ke kamar dan menutup pintu. Kehidupan mereka tertutup di balik pintu itu. Aku sama sekali tak ingin memikirkan apa yang akan atau tengah mereka lakukan. Tetapi suara seperti ringkikan kuda, atau sengau nafas, atau desahan yang menggelikan ini menganggu pikiranku. Malam itu berlangsung panjang sekali bagiku, malam tanpa akhir, dan sepanjang itu aku terus terjaga. Dari lantai atas, aku memperhatikan para pelayan istana yang sedang membersihkan meja makan. Seorang wanita gendut membawa piring-piring kotor ke westafel, yang berperawakan lebih kecil mengelap meja sambil kemudian meletakkan kembali vas bunga berisi tuberose yang tadi sempat dipindahkannya ke meja lain, dan karena hari itu hujan turun lebat aku jadi tidak bisa mendengar obrolan mereka satu sama lain dengan jelas. Tapi dalam tangkapanku, mereka sedang membicarakan anak-anak mereka yang saat ini sudah besar dan siap untuk dipindahkan ke sekolah yang lebih atas lagi. Lalu ada lagi seorang lelaki yang tengah mengepel lantai, bersiul-siul mendendangkan suatu sonata. Aku pernah dengar frase musik itu, seperti ratapan di bulan basah. Melihat mereka semua secara keseluruhan, aku jadi terinsyafi betapa tenangnya penghidupan mereka, betapa bahagianya anak-anak mereka, dan betapa sepinya kehidupanku. Aku ingin bergabung bersama mereka, tetapi mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Lagipula mereka terlihat segan jika bertemu denganku. Mereka tidak jahat, mereka juga bukannya tak ingin bergaul denganku, tetapi jurang antara aku dengan mereka terjadi begitu jauh. Sepertinya kami hidup dalam galaksi lain yang jaraknya ribuan tahun cahaya. Aku sedih menyadari kenyataan ini. Aku jadi bertanya-tanya sendiri, mengapa perbedaan justru membuat kehidupanku terasa asing? Gavin mengambil sebotol air putih dan meneguknya dari bagian atas. Dua buah aliran dendritik muncul dari sudut kanan dan kiri bibirnya. Seorang pemuda masuk dan senyum singkat terjadi, Gavin buru-buru menyembunyikan buku harian Luna ke dalam lemari bajunya. Di dalam lemari itu, ada tiga tingkat untuk menempatkan seluruh barang-barangnya. Tingkat pertama adalah buku dan alat-alat tulisnya. Tingkat kedua adalah pakaian dalam dan pakaian sehari-harinya. Tingkat ketiga adalah baju seragamnya dan baju-baju terbaiknya-yang ia pakai hanya ketika hari-hari besar atau liburan. Setelah itu, seperti aliran di kedua sudut bibirnya, si pemuda keluar dari kamar menuju urusannya, Gavin berjalan perlahan ke tepi jendela. Suasana Honeysuckle malam itu, biasa-biasa saja seperti biasa. Lampu-lampu taman meredup menjadikannya suatu lopak cahaya. Murid-murid hilir mudik diantara cahaya itu, antara ke tempat makan-kelas-tempat tidur. Gavin melihat Luna berjalan menyusuri jalan setapak, langkahnya silang menyilang pelan, di sebelahnya adalah Caley dan Rosemary yang sedang berbicara mengenai cerita burung bul-bul dan pemuda yang jatuh cinta yang baru selesai mereka baca. "Apa artinya jantung seekor burung dibandingkan degup cinta seorang manusia?" Caley menuntut Rosemary untuk mengulang kembali kalimat bersayap yang ada dalam cerita tersebut. "Cinta itu tidak sepraktis logika, karena ia tidak bisa membuktikan apapun, dan cinta itu selalu berkata hal-hal yang tidak akan terjadi, dan membuat orang percaya akan hal-hal yang tidak benar. Pada kenyataannya, cinta itu sangat tidak praktis, padahal semua orang tahu, di jaman sekarang kepraktisan itu adalah segalanya. Aku akan kembali pada filsafat dan mempelajari metafisika.'' Gavin tak melihat bahwa Luna menikmati percakapan mereka. Kesendirian yang menderanya begitu dalam sehingga ia mengira Luna hampir saja melihat ke arahnya dengan tatapan terluka. 25 Juni 1955 Setiap harinya aku merasa semakin melankolis. Aku merindukan harpaku. Aku teringat lagu terakhir yang aku mainkan, dona dona. Sungguh luar biasa untuk bisa mengingatnya ketika aku bahkan tidak ingin ingat. Waktu pertama kali aku bertemu harpa, aku langsung suka. Aku pikir tidak ada salahnya apabila aku mencoba untuk memainkannya. Meskipun itu berarti menolak aturan ayah. Yah, tapi ketika aku mulai memainkannya.. Woooww.. Aku hampir ingin menangis. Aku merasa tidak sakit dan menderita, seolah-olah kedamaian ada dalam diriku dan segalanya akan baik-baik saja. Oh, harpaku. Saat ini aku ingin sekali memainkannya. Namun aku telah menguburnya... Ayah telah membunuhnya... Aku tidak akan bisa memainkannya lagi.... Aku tidak akan bebas... Aku merasa hidupku seperti anak sapi. Selama ini aku menyadari bahwa keterasingan dalam sebuah keluarga telah membuat ibu mengambil jalan yang seharusnya tidak ia ambil. Ia bukannya tidak tahu resiko, pun ia sangat menyadari apa yang tengah ia pertaruhkan saat mengambil langkah ini. Tetapi sebagaimana seorang wanita yang normal, ia perlu cinta dan ketulusan. Lebih dari itu, ia perlu seseorang di sampingnya yang membuatnya istimewa dan bahagia. Ayah tidak bisa memberikan yang semacam itu pada ibu. Pun ibu juga tidak bisa memberikan hal yang sama. Pernikahan mereka bukan sesuatu yang ideal. Aku merasa sedih karena ini sebenarnya bukan pernikahan, lebih mirip perjanjian. Bagaimana orang bisa hidup dengan perjanjian dan mengabaikan rasa yang paling suci dari dalam diri mereka? Aku tidak memahami ini, barangkali karena usiaku masih sangat muda untuk bisa mengerti. Tapi satu yang ku sadari dari semua ini adalah bahwa aku merasa menjadi korban dari segalanya. Aku suka mencoba untuk bermain-main di taman istana. Merasakan keluasan dan keindahannya. Taman ini barangkali adalah taman terindah di Great Brescon, tetapi hanya ada aku disana. Aku merasa sendiri dan kenyataan memang demikian. Aku mungkin akan bermain harpa lagi ketika kesedihan-kesedihan semacam ini datang. Namun hari ini ayah mengambil alat musik itu dan menguncinya di dalam lemari, selamanya. Ia bilang ada banyak hal yang harus aku tangani sekarang daripada bermain harpa. Aku bertanya-tanya, hal apa? Politik? Rencana jahat apalagi yang tengah ia pikirkan? Aku begitu sedih menyadari ini. Ketika segala hal yang kau punyai hilang dan membawamu pada keterasingan dan kesepian yang dalam. Aku merasa sedih. Sungguh luar biasa untuk bisa hidup. Aku tidak tahu apa yang harus aku ceritakan lagi padamu hari ini. Aku sudah mengatakan tentangku yang sebenarnya, semuanya. Aku berjalan melewati kehidupan dengan menciptakan versi palsu diriku. Memahami diriku secara terbalik. Hidup bukan lagi tentang uang dan perhiasan, dan kematian... berapa lama aku akan bertahan hidup? Rasanya memahami kematian lebih mudah daripada memahami kehidupan. 2 Juli1955 Aku merasa sudah sangat lama tidak menulis, dan sekarang aku kembali ke lembaran kertas ini, berfikir apa yang akan aku katakan. Berapa halaman akan aku butuhkan? Aku mempersiapkan banyak pulpen disini tetapi rupanya aku tidak dapat menemukan satu kalimat pun, yang bisa mengungkapkan segala hal yang aku alami selama beberapa hari ini selain kalimat, "Aku sendirian''. 10 Juli 1955 Betapa banyak tekanan dan tekanan sepanjang hari yang ku lewati di bulan ini. Mereka sedang mempersiapkan opini baruku pada publik. Mereka tengah merencanakannya dan kemungkinan besar melibatkanku. Aku menghadiri banyak acara dan penghinaan datang dari sana sini. Glen Moritz berkata padaku dengan keras, bahwa aku buruk. Seburuk apa? Ia tidak mengerti aku, sama seperti kebanyakan orang. Tayangan publik menghakimi aku sebelum mereka berusaha keras untuk mengenal aku. Aku sangat sedih. Ya, barangkali aku terlalu sensitif. Aku yang salah. Aku yang sensitif berlebihan!! 19 Juli 1955 Aku belum pernah merasakan diriku sebagai sesuatu yang utuh. Aku adalah siapa pun orang ingin menganggapku. Aku belum pernah merasa menjadi gadis yang istimewa sampai Julius mengatakannya. Kemarin sore yang tenang, Julius datang. Itu adalah pertemuan terakhir kami sebelum keberangkatannya ke Oxford. Kami duduk-duduk di taman dan saling bercerita. Suara pepohonan mendesah diantara kami dan matahari terus turun menyentuh tanah. Ia bilang ia punya satu hal yang harus diungkapkan sebelum ia terbang ke Inggris. Sepotong kalimat yang tidak berarti apa-apa jika aku menolaknya. "Julius mencintaiku.'' Dan apa? Aku tidak berkata apa-apa. Aku belum pernah diperkenalkan cinta oleh orang lain selain darinya. "Cinta adalah penyatuan dua raga. Suci. Indah. Misterius.'' Definisi cinta dari Julius. Aku mencoba memahami ini dan aku merasakan ada yang bergetar di dalam diriku. Aku menerimanya dan ia sangat senang. Kemudian begitu saja, hubungan kami berubah, masuk dalam kedalaman yang lebih dalam. Tidak akan ada rahasia lagi, katanya. Kami tertawa, membincangkan hal-hal menyenangkan tentang cinta menurut Rumi, Shakespears, Kahlil Gibran, dan pujangga-pujangga lainnya. Para pelayanku di belakang memperhatikan kami. Aku menggeleng saja. Jadi beginilah rasanya jatuh cinta. Aku merasa sangat senang. Aku pikir inilah batu loncatan dalam hidupku. Gavin menutup buku harian Luna. Sejenak, terlihat sedang berfikir dengan sesuatu di dalam pikirannya. Diam. Di luar suara jangkrik berkerik-kerik. Ia menaruh buku Luna di lemarinya, kemudian beranjak menarik selimut, tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD