Bab 173 : "Badai Pasti Berlalu II"

1447 Words
"Jangan bertengkar,'' kata Luna, lembut. "Aku tidak ingin ada seorang pun datang kemari mendengar pertengkaran kalian,'' sambungnya. Tatapannya bergilir antara Mrs. Alexei dan Gavin. Matahari sore menghampar tebal dan keemasan di ujung horizon sana. Tampak begitu rendah seolah-olah kita dapat menyentuhnya. Angin mengalir semakin deras. Akhirnya Luna mengajak mereka untuk sama-sama duduk di bawah naungan Oak. ***** "Yah, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berprangsangka negatif terhadapmu,'' kata Mrs. Alexei datar kepada Gavin. Waktu pemuda itu melihat ke arahnya, ia pura-pura melengkungkan senyum. Berusaha menebalkan pernyataan bahwa ia memang mau minta maaf, alih-alih terpaksa karena kecurigaan dalam dirinya sebetulnya tidak pernah hilang. Gavin membalasnya dengan datar juga. Hanya untuk melepaskan ketegangan. "Baiklah,'' kata Luna, hendak memulai suatu pembicaraan yang damai. Namun ia sendiri tidak tahu harus berkata apa. Jadi, gadis itu tidak melanjutkan perkataannya dan malah memandang lurus ke depan pada alam luas yang langitnya semakin pudar oleh warna emas. Kesejukan ini menenggelamkannya. "Ngomong-ngomong,'' tutur Mrs. Alexei. "Saksi terakhir sudah musnah.'' "Apa??'' tanya Luna dan Gavin bersamaan. Luna jadi kikuk atas hal tersebut tapi Gavin tidak peduli, wajahnya menyiratkan ketegangan yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Luna maupun Mrs. Alexei. "Kellan Walker, b*****h itu? Seminggu lebih sedikit yang lalu, Julius berhasil menangkapnya... pada tengah malam.'' "Dari mana kau bisa tahu itu semua?'' Mrs. Alexei tertawa kecil. "Itulah salah satu gunanya aku disini. Penyambung kabar antara kau dan ayahmu dan pemerintahan ini.'' Mrs. Alexei mencoba mengingatkan Luna akan peraturan di asrama ini yang hanya membolehkan orang luar mengirimi murid-murid surat setiap dua minggu sampai sebulan sekali. "Jadi, Luna, begitulah akhir kisahnya,'' tutur Mrs. Alexei. "Kejahatan itu telah terpendam abadi.'' Mrs. Alexei membayangkan dan mengharapkan ada sebotol sampanye disini dan mereka semua akan bersulang atas berita ini. Suka atau tidak suka, mereka pasti merayakan hal-hal seperti ini dengan mabuk-mabukan seperti dahulu, sekarang, dan lima puluh tahun yang akan datang. Mrs. Alexei mengenang berita itu, waktu Lord Alastairs berpidato pada tahun 1943. Dimana dirinya berada saat itu, di belakang layar televisi di rumahnya yang terbagus. Ia menyadari rasa kemanusiaannya terkikis. Tapi cepat-cepat ia menyadari juga, begitulah hidup. Banyak darah harus dikorbankan untuk mendapatkan satu kemenangan. "Hanya itu, Mrs. Alexei?'' tanya Luna. Ia menolak berkomentar atas kabar kematian Kellan Walker dan memilih menuntut informasi lain. Tetapi rupanya Mrs. Alexei tidak punya informasi lain lagi selain perekonomian negara yang sedang sakit dan gosip-gosip para bangsawan tentang skandal cinta, harta, dan kehormatan. "Kau tidak ingin tahu bagaimana kabar dari anak si Kellan Walker, Luna?'' tanya Mrs. Alexei. Luna menarik nafas. "Ya.'' "Ehm... dia belum ditemukan, Kellan Walker menolak untuk memberi tahu keberadaan anaknya.'' "Berarti cerita jahat ini belum selesai kan?'' tanya Gavin, mengejek. Mrs. Alexei melayangkan tatapan marah pada pemuda itu. "Kau harus menemukan anaknya untuk memastikan keberakhiran kebiadaban itu.'' Mrs. Alexei tidak menjawab. Ia menahan untuk bertengkar. "Siapa anak Kellan Walker?'' "Oh, dia orang yang sangat pintar pastinya, Luna.'' serobot Gavin. "Kau tidak akan ingin melawannya.'' "Kau tahu siapa dia?'' tanya Mrs. Alexei, penuh selidik. "Aku kira Julius sudah memberitahunya.'' "Julius bilang Kellan Walker menolak memberi tahu identitas anaknya.'' Sunyi sejurus. Luna mengenang Julius, kekasihnya. "Oh, begitu ya.'' Gavin mengangkat bahunya. "Aku juga tidak tahu. Aku hanya.... berefleksi saja.'' "Barangkali Kellan Walker memang tidak mengatakan apa-apa pada anaknya,'' kata Luna, pada akhirnya. "Barangkali juga, untuk alasan keamanan, ia menitipkan anaknya di panti asuhan dan tidak pernah mengambilnya kembali. Betapa pun, ia tentu menginginkan anaknya hidup normal tanpa rasa takut?'' Gavin dan Mrs. Alexei bergantian saling memandang Luna. "Jawaban yang bagus dan sangat dramatis, Luna,'' kata Mrs. Alexei. Sangat kelihatan ia meragukan argumen gadis itu. Luna tergagap dan menundukkan kepalanya. "Kellan Walker menceritakan kebenaran pada anaknya,'' ujar Gavin. "Bagaimana kau bisa tahu itu?'' tanya Mrs. Alexei. "Ayahnya meninggal dalam peristiwa itu kan? Ia hidup tanpa seorang ayah, apakah itu tidak terlihat ganjil? Anaknya pasti akan bertanya tentang ayahnya pada Kellan Walker?'' "Dia bisa mengarang cerita untuk itu semua.'' "Dia bukan pengarang yang handal.'' "Maksudmu...'' kata Luna, ragu-ragu. Takut pendapatnya dianggap dramatis lagi. "Dia akan mencari tahu kebenarannya?'' "Dia telah mencari tahu,'' jawab Gavin, dan tersenyum pada Luna. "Oleh karena itulah, Kellan Walker menyembunyikannya?'' tanya Mrs. Alexei. "Kemungkinan begitu.'' "Jadi, bukankah masuk akal kalau Kellan Walker menitipkan anaknya di panti asuhan atau pada seorang yang baik hati yang bersedia merawatnya atau seorang dalam bentuk dan jenis apapun itu, mengganti nama anaknya, menukar nama keluarganya, dan lain sebagainya,'' kata Luna, mendadak ia merasa opininya itu luar biasa. Gavin tersenyum. "Analisismu baik sekali, Luna-ku yang cantik.'' Luna tidak bisa menahan diri untuk tidak senang dan pipinya bersemu merah. Tetapi Luna bertekad untuk tidak terlena pada pujian-pujian yang demikian itu. Ia merasa sedang membicarakan sesuatu yang serius. Jadi, ia mengabaikan kalimat-kalimat yang menurutnya tidak kontekstual. Mrs. Alexei mengeluh panjang. "Jadi, apa menurutmu reaksi anak itu mendengar ibunya telah ditangkap dan dibunuh?'' "Sedih.'' jawab Luna, apa adanya. "Sangat manusiawi kan?'' Mrs. Alexei menggelengkan kepalanya. Luna membicarakan tentang peri kemanusiaan yang adil dan beradab ketika orang-orang disekitarnya berjuang meruntuhkan dinding nurani itu. "Dendam. Itulah yang ada di pikiranku.'' kata Mrs. Alexei.''Dan dia akan balas dendam, ya kan?'' Ia melihat Gavin. "Dia tidak akan terima nasibnya.'' "Aku pikir dia hanya akan sedih saat ini.'' ucap Gavin, cepat. "Setelah itu, balas dendam.'' "Bagaimana kalau dia ternyata tidak sejahat yang kalian kira?'' kata Luna. "Maksudmu, dia tidak akan melakukan apa-apa? Menerima segala nasibnya dengan pasrah?'' tanya Gavin. "Menurutku tidak, kalau dia menginginkan keadilan untuk kedua orang tuanya.'' sambungnya sebelum Luna sempat menjawab. "Itulah sebabnya pemerintahan ini menganggap dia adalah ancaman.'' jelas Mrs. Alexei. "Kita harus menemukannya, menumpasnya, memendamnya di lapisan bumi paling bawah.'' "Apa itu tidak berlebihan?'' ucap Luna. "Ya.. tapi, segala sesuatu harus dicapai..''kata Mrs. Alexei. "Pemerintahan ini membunuhi orang-orang yang menuntut keadilan.''potong Luna. Skak mat. Mendadak, ia merasakan kepahitan meluap di tenggorokannya. Tidak ada yang memprotes atau mengucapkan bahwa itu terlalu dramatis, bahkan melankolia. Semua terdiam. Hembusan angin membelai wajah mereka dengan kelembutan yang dingin. Mereka berjuang dengan pikirannya masing-masing. ***** Matahari sekarang sudah semakin rendah. Sinar keemasan semakin melebar mendekati mereka, masuk di antara bilah-bilah oak yang kekar, di antara dedaunannya yang lebat dan berguguran. Mrs. Alexei, Luna, dan Gavin memutuskan untuk kembali ke asrama. "Luna, tunggu!'' perintah Mrs. Alexei waktu Luna berjalan mendahuluinya. Luna menoleh, dari belakang punggung Mrs. Alexei, ia melihat Gavin melangkah dengan lambat dan kepalanya tertunduk. Rambutnya berkilau indah, perpaduan antara warna aslinya yang dan sinar emas matahari. "Apa?'' tanya Luna, pelan. Mrs. Alexei mengeluarkan sesuatu dari blazernya. Sebuah amplop berprangko kincir angin di padang rumput setinggi d**a memukau matanya. "Surat dari Julius.'' kata Mrs. Alexei. "Ia meminta aku memberikannya padamu.'' Hati Luna terkesiap. Pikirannya mengembara pada sosok tampan berkulit pucat itu. Ia melayang senang. Terkenang atas terakhir kali ia bertemu pemuda itu, satu hari sebelum keberangkatannya ke Honeysuckle. Satu hari, jam delapan malam, waktu Luna menyadari bahwa buku hariannya menghilang dan Julius menghiburnya dengan memberikan ciuman berkali-kali. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri merasakan sensasi itu. "Terima kasih, Mrs. Alexei.'' kata Luna. Hanya itu yang bisa diucapkannya. Kemudian, ia berjalan kembali membelah petang, meninggalkan Mrs. Alexei yang berada di belakang, dan Gavin, yang jauh berada di belakang pula. Ketika Luna berbelok mendekati tikungan dan bayangannya lenyap bersamaan dengan langkahnya yang menjauh, Mrs. Alexei menoleh pada Gavin. "Aku tidak akan berhenti mencurigaimu, Mr. Marshall.'' ucapnya sambil memberikan senyum melengking dan mengejek. Kemudian, ia pergi menyusul Luna, meninggalkan Gavin sendirian yang setelah mendengar ucapan itu, perutnya terasa panas dan amarah mendidih di ubun-ubunnya. Stranger Lady Earlene sudah kembali ke Istana Courtland berhari-hari yang lalu, dan, ketika ia kembali, tentu saja tidak ada yang berubah. Lord Alastairs masih merupakan sosok suami yang dingin dan ia sudah beberapa hari ini tidak melihatnya pulang di bawah jam dua belas malam. Sebab ada banyak hal mesti dilakukan olehnya. Lord Alastairs hanya menoleh sekilas waktu Lady Earlene tiba. Mereka tidak berbicara. Kesunyian sudah menjadi bagian dari mereka. Lady Earlene memasuki kamarnya, berbaring terjaga di tempat tidur. Ia mengambil buku Wuthering Heights dan mencoba membaca, tetapi tidak bisa. Pikirannya dipenuhi oleh ingatan akan Albert, lelaki berkulit hitam yang kekar, yang amat dicintainya, yang akan menikah sebentar lagi. Ia tidak bisa menahan kesedihannya. Selama ini ia telah berpetualang menembus garis batas nama dan kehormatannya untuk mencari apa yang disebut orang sebagai rasa dari kemurnian jiwa, cinta. Ia telah banyak menemukannya di berbagai tempat, dengan pria berbagai bentuk, berbagai sikap dan adat, dan berbagai keunikan yang berwarna. Tetapi baru kali ini, baru kali ini ia merasa cocok dengan seseorang, dan mengapa ketika rasa cocok itu datang justru mengibarkan sakit luar biasa sebab kecocokan itu akan pergi? Lady Earlene terus menanyakan persoalan itu pada dirinya sendiri. Beberapa kali ia mencoba menghubungi Albert tapi tidak dijawab. Waktu ia diam-diam datang ke rumahnya, orang di dalam rumahnya selalu bilang bahwa Albert telah pindah rumah.. Lelaki itu menghindariku, simpul Lady Earlene.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD