Bab 221 : "Baik hati."

1606 Words
Gerimis malas menyapa pada pukul tujuh pagi. Di Kapelarium Zerubabel, gerimis menjadikan acara lari pagi ditiadakan, maka para penghuni langsung digiring untuk sarapan. Mikhael dan Mihlail masih menjadi perbincangan. Ketika dua makhluk itu masuk ke ruangan makan, sontak semua orang, termasuk Para Salem, Para Pengasih, dan para murid senior dan junior, menoleh. Diantara mereka yang paling heboh tentu saja datang dari kalangan mereka sendiri: Nayef, Haran dan Nahor. Mereka duduk di pojok, menghindari tatapan mata dan seluruh perhatian. "Jangan duduk disebelahku," Mikhael protes. Mihlail menghela napas. Dengan agak malas, ia duduk diseberang Mikhael. Kedua bocah itu makan tanpa berbicara dan tanpa memandang satu sama lain laksana mereka hidup di dua planet yang berbeda. Teman-temannya masih saja terkikik. Terkikik seperti malam kemarin, dan terkikik untuk malam tujuh hari yang akan datang. "Maafkan aku ya ka," bisik Katyusha di samping Mihlail. Demi mengekpresikan rasa penyesalannya, ia menambahkan roti miliknya ke dalam nampan Mihlail. "Itu buat Kaka Mihlail," kata Katyusha lagi. Mihlail hanya tersenyum canggung. Dikembalikannya roti itu ke nampan Katyusha, "Makanlah, nanti kamu sakit dek," "Ahhh baiknya Kaka," Katyusha tersipu malu. Pipinya bersemu merah. ***** Ada jeda tiga puluh menit setelah sarapan sebelum kelas pertama dimulai. Pelajaran pertama yang Mikhael dan Mihlail akan hadapi adalah tafsir Habel yang menjelimet. Tafsir Habel adalah semacam pelajaran menafsirkan teks kitab iman Habel dan memaknainya secara filosofis. Para murid juga diajak untuk mempraktekkan hasil dari makna Habel di kehidupan nyata. Inilah bagian yang paling sulit; praktek di dunia nyata. Tapi Mikhael, sebagaimana tulisan-tulisan yang telah dengan begitu niat ia tulis di dinding kamarnya, ia memilih untuk langsung masuk ke kelas. Ia membaca, membolak-balik Alkitab Habel, mencoba memahami dan menghapal rumusnya. Mihlail, karena harus terus bersama-sama dengan Mikhael, terpaksa mengikuti bocah tersebut. Kekakuan terjadi lagi. Mereka tidak berbicara sepanjang waktu dan sama-sama menahan ketidaknyamanan ini seperti orang menahan sakit perut. Diluar kelas, para senior sedang seru bermain bola dan anak-anak seusia Mikhael dan Mihlail sedang belajar alat musik di pinggirnya. Mereka memainkan berbagai macam alat musik, dari biola gemulai hingga rongsokan kaleng kerupuk yang dijadikan drum. Mihlail hanya melihat kepada kerumunan anak-anak tersebut dan tersenyum manis saat seseorang melambaikan tangan kepadanya. "Aku mengagumimu Mihlail!" kata seseorang diseberang. "Kau luar biasa! Dan si Mikhael itu..." ia memberi tanda jempol ke bawah. Semua anak tertawa penuh kemenangan. "Jangan pernah melihat kepada siapapun dan menyapa siapapun. Ingat, kau sedang bersamaku dan kau dihukum. Aku tidak mau ada seorang pun, bahkan diriku sendiri, menyadari bahwa kau sedang bersamaku," Mikhael berkata congkak. "Dengar, Mikhael..." "Dengar, aku bahkan tidak mau mendengar suaramu dan tidak mau seorang pun tahu, meskipun itu kucing Turkiku sendiri, bahwa aku sedang berbicara denganmu. Bahkan jika aku harus berbohong kepada diriku sendiri, aku harus membayangkan bahwa kau tidak ada denganku. Tidak ada." "Kau seperti orang gila, kau tahu?" Mihlail jengkel. Mikhael menutup bukunya kasar. Wajahnya galak. Ia berkoar-koar membela dirinya, bahwa mengatakan sesuatu tentang kegilaan dengan kenyataan bahwa dialah yang gila, Mihlaillah yang tidak waras! Ini adalah fitnah keji dari kejadian luar biasa. Mihlail tidak mau mendengarkan. Ia beranjak keluar, bersandar pada pintu kelas, dan mengamati anak-anak yang bermain di lapangan. Mikhael menghitung detik per detik waktu penuh penyiksaan ini. Dan tiba-tiba saja sesuatu di dalam perutnya bereaksi. Ia mengaduh. Terbirit-b***t ia menuju kamar mandi. Mihlail yang melihat itu langsung mengikuti. Mikhael membalikkan badan, mendorong Mihlail supaya pergi. "Kau baik-baik saja?" tanya Mihlail. "Kau meracuniku?!" Mikhael menuduh. "Hah?" ***** Mikhael melewati kerumunan para senior bermain bola dan rombongan yang sedang bermain musik. Rasa malu menghunjam di kuku Mikhael ketika semua mengejeknya. Ia berlari sekencang ia dapat berlari. Mihlail mengejar. Mikhael sampai di depan kamar mandi dan melihat realitas paling buruk: antrian panjang. Ia semakin memegangi perutnya tidak keruan. Seorang senior botak di sebelahnya segera menyadari dan menyarankan teman-temannya untuk memberi jalan bagi Mikhael duluan. Tapi Mikhael terlalu gengsi. Apalagi ketika Mihlail tiba, lelaki itu buru-buru berbalik arah menuju asrama. Ia buka gerbang, ia susuri jalan setapak. Mihlail memanggil-manggil. Mikhael pura-pura tidak mendengar. Dan aduh... perutnya semakin tidak keruan. Ia bersandar di pohon neem. Peluh keringat berjatuhan dari keningnya. Terbungkuk-bungkuk ia berjalan sempoyongan hingga ia tidak sadar telah masuk ke dalam rimbunan neem yang dalam dan semakin dalam. Wueekk! Ia muntah, menyiram rerumputan dengan sup jagung dan cincangan roti kering yang berubah wujud menjadi begitu buruk karena sudah dicerna. Rasa pedas membakar tenggorokan. Wueekk! Wueekk! Wueekk! Segelas air hangat tersodor di depan hidungnya. Mikhael mengangkat kepalanya dan mendapati Mihlail dengan ekspresi tenang mengulurkan tangannya. Ia membantu Mikhael bangkit. Ia seret sebuah ember bekas yang sudah lama tidak terpakai yang tergeletak begitu saja di tengah-tengah rimbunan pohon. Ia dudukkan Mikhael diatasnya dan dengan satu isyarat tangan, ia membiarkan bocah itu untuk buang hajat. "Aku tidak akan melihatnya," pungkas Mihlail, yakin. Ia berbalik meninggalkan Mikhael sendirian. Bocah itu, dengan segenap rasa tinggi hatinya, mencaci maki Mihlail dalam berbagai istilah. Tapi ia turunkan juga celananya dan ia tuntaskan niat terpendamnya. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Ia mengelap lelah di dahinya. Ia minum juga air hangatnya. Dengan begitu, secara medis, ia merasa lebih baik. ***** "Kau makan terlalu terburu-buru tadi. Lambungmu jadi sakit," Mihlail menjelaskan dengan gaya ala dokter. Ia buang ember berisi kotoran itu ke atas gundukan sampah. Dengan cekatan, ia berjalan ke sumur tua, menarik katrolnya dan mencuci tangan dengan air yang di dapat dari sumur tersebut. "Lupakan ini dan jangan pernah berkata pada siapapun, mengerti?" hardik Mikhael. Ia menepuk-nepuk kedua tanganya seperti orang membersihkan debu. "Aku adalah manusia yang tidak dapat lupa, Mikhael," jawab Mihlail, santai sambil membuang tumpukan daun di atas ember sumur berisi air. Ia tersenyum. "Kau tentu tahu itu, bukan?" "Huh, jadi sekarang kau ingin menyombongkan dirimu itu huh?" Mikhael menampakkan raut enggan. "Jangan terlalu bangga, suatu saat kau akan tergilas dengan ingatanmu sendiri." Mihlail mengangkat bahu. "Aku tidak bangga. Tapi aku tahu kau iri padaku. Semakin tinggi harga dirimu, semakin kau iri padaku. Aku tidak mengerti bagaimana hampir semua orang di Populo Dei mengenalku dan mengapa mereka bertindak seakan aku ini luar biasa, namun sejujurnya aku tidak merasa seistimewa itu. Jadi kau tidak perlu iri padaku karena aku sama sekali biasa-biasa saja." ***** Ya, biasa-biasa saja! Saat kelas dimulai dan Salem Ere sebagai pengajar tafsir Habel mulai menanyakan tentang dasar-dasar heremeneutika dan filsafat bahasa. Mihlail dapat menjawab semua pertanyaan dengan benar. Ketika kelas berganti menjadi hitung-hitungan dan Salem Yosafat sebagai ahli matematika mulai menjelaskan tentang algoritma menurut kitab Habel. Banyak yang tidak mengerti. Tapi Mihlail dapat mengikuti kelas dengan santai, bahkan menjawab berbagai pertanyaan dengan tepat. Terakhir, ketika ritual rutin pembacaan kitab Habel bersama. Mihlail seakan-akan sudah hapal diluar kepala apa isi kitab Habel. Ia membaca tanpa buku. Mulutnya berkomat-kamit dan semua ucapannya benar, persis seperti yang ditulis di dalam Habel. Belum sampai disitu, ketika senja pada acara latihan paduan suara, Mihlail mampu menjadi konduktor handal dengan hanya membaca harmoni nada berdasarkan ingatannya. Dan ia bilang ia biasa-biasa saja? Mikhael tak habis pikir. "Kau tahu, kau merendah untuk meninggi." Mikhael cemberut. Mihlail hanya menggelengkan kepala. Saat itu petang setelah latihan paduan suara dan sebelum makan malam, Mihlail menyempatkan diri untuk membantu Mikhael memenuhi hukumannya: membersihkan kebun bunga di belakang Kapelarium. Maka ia bergeraklah memotongi rumput-rumput liar, menyiram tanaman dan mengumpulkan dedaunan. Ia tersentak. Mengumpulkan dedaunan? Seraut wajah seorang gadis membayang di pikirannya. "Kenapa?" Mikhael bertanya. Mihlail menggelengkan kepala. Ia memandang jauh ke pegunungan Barboza di ujung barat. Halimun bergerak mengarungi sisi-sisi pegunungan. Segaris angin meniup puncaknya, membias dalam warna cahaya emas mentari, menyebar dingin dan kesejukan. Tiba-tiba saja ia berharap seseorang lewat di seberang jalan, melirik padanya dengan senyum manis dan membawanya pergi bersenang-senang ke bukit rahasia. ***** "Hei Mihlail," seorang senior menyahut, sebut saja namanya Emraan. "Ambilkan aku setangkai mawar, tolong," Ia memelas. Tanpa diduga, Mihlail malah memetik bunga aster. "Dia lebih menyukai aster," kata Mihlail. "Minggu lalu ketika kau memberinya mawar dia bersin-bersin. Ini tidak seperti diharapkannya. Dia tidak ingin kau kecewa bahwa dia alergi pada mawar dan kau sendiri pun sebenarnya tak mengerti mengapa harus mawar yang kau berikan. Dari matamu, aku tahu kau juga melirik bunga aster ini." Emraan terkejut. "Apa kau membuntutiku?" "Oh tidak, waktu itu saat jam pelajaran Salem Henokh, aku duduk di dekat jendela dan melihat kau dan dia saling bertemu di belakang gerbang itu," Mihlail menunjuk gerbang barat Kapelarium dimana tempat gunung Barboza berada. "Kau berkata, "Apa kau menyukainya?" dan si wanita yang alergi terpaksa menahan napasnya dan berbohong, "Ya, Emraan, aku menyukainya. Kapan lagi kau bisa memberiku bunga secantik ini?" dan kau tersenyum sumringah, matamu..." "Cukup, cukup." Emraan tak tahan dengan buka-bukaan spontan yang diujarkan Mihlail. Ia tertawa agak geli. "Terima kasih, Mihlail. Tapi jangan pernah ceritakan detil-detil itu lagi padaku ya atau aku akan malu." "Baiklah," "Tapi berarti ia menahan bersin selama denganku?" "Kau bilang jangan ceritakan detil-detil..." "Oke, baiklah, baiklah." Emraan memberi isyarat stop dengan tangannya. Ia langsung pergi. Mikhael dan Mihlail terbahak-bahak. Untuk pertama kalinya sepanjang pertengkaran itu, mereka akhirnya benar-benar dapat berbicara. ***** "Bagaimana rasanya dapat mengingat segala hal? dapat melihat segala hal? dan dapat mendengar segala hal?" ujar Mikhael, memperhatikan Mihlail yang sedang membuang dedaunan ke tong sampah."Apakah itu mengganggumu?" tanyanya lagi. Mihlail hanya mengangkat bahu. "Apakah kau pernah mengalami pengalaman buruk?" Lagi-lagi, Mihlail hanya mengangkat bahu. Hening sejenak. Beberapa menit berlalu. "Pastinya menyeramkan menjadi dirimu," Mikhael meratap. "Bahkan orang normal saja bisa trauma terhadap hal-hal buruk yang menimpanya. Bagaimana denganmu yang selalu diikuti masa lalu? atau jika kau melihat sesuatu yang tidak ingin kau lihat? dan kau mendengar sesuatu yang tidak ingin kau dengar? atau hidungmu mencium suatu aroma yang menjijikan?" Mihlail tidak menjawab. Ia hanya menghela napas, memandang ke alam lepas, sambil tersenyum sedih. Ia tertunduk menyerok akar-akar rumput bercampur sampah-sampah sintetis. Mikhael tidak berkata apa-apa lagi. Pada suatu titik di langit, sayap-sayap camar berkelepak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD