Bab 222 : "Sunyi."

1403 Words
08 Oktavianus 6017 Pagi di Kapelarium Zerubabel sesunyi malam dan sedingin kabut di pegunungan. Angin di langit deras, menggoyangkan batang-batang maple ke tiang-tiang Kapelarium dan menggugurkan daunnya yang keemasan persis seperti seorang martir di kisah-kisah epik. Awan berarak membawa di dalamnya beban yang berat, membawa langit berwarna murung sesuram subuh. Sedemikian murungnya hingga tiang-tiang menara Kapelarium nampak seperti sebentuk bayangan lonjong yang mengerikan. Kucuran air sungai Moran terdengar dari hulu hingga hilir, membawa sebagai satu-satunya tanda kehidupan. Tanda kehidupan yang lain datang ketika matahari agak sedikit tampil di ufuk timur, tetapi tidak banyak, seakan-akan ia malu. Pada saat itu, orang berbaris dibalik tunik dan kerudung yang tidak pernah tidak pudar, berjalan beriringian dari Kapelarium Zerubabel menuju arus utama Sungai Moran. Mereka berbaris hingga berpuluh-puluh meter, khidmat mendengar desah nafas alam dan gesekan kaki mereka yang menginjak rerumputan. Sambil menggumamkan doa syahdu, mereka menebar kelopak-kelopak mawar ke segala arah, membuat tanah seperti ranjang pengantin dan bebatuan seperti bantal para putri dongeng. "Demi Tuhan Yang Maha Mulia," demikian orang-orang berucap. "Hari ini, beribu tahun yang lalu, telah kami saksikan kematian Sang Rohib pembawa petunjuk, Emirel Shofar Sang Mulia, The Grand Salem of Our Salem. Betapa sedihnya kami jika mengabaikan petunjuk Emirel Shofar dan terlena dalam kenistaan sementara Beliau telah membangun semua ini dengan darah yang mengalir di Sungai Moran." "Demi Tuhan Yang Maha Mulia," mereka berdoa dan terus berdoa sepanjang aliran sungai. Para The Great Salem Kapelarium Zerubabel yang terdiri dari Salem Ere, Salem Yosafat, Salem Abdul Rafeh, dan Salem Henokh tak henti-henti, dalam suara paling lirih, menuntun mereka agar tidak terpeleset ataupun menginjak sesuatu yang salah; ranting-ranting tajam, daun-daun kebasahan, ataupun hewan-hewan melata yang mendesis. "De dey sanctus namen," jelas Salem Henokh, Sang Kepala dari Kapelarium Zerubabel. Burung-burung nasar terbang rendah dari cabang ke cabang dan sayapnya tepat mengenai kepala sang Salem waktu beliau berbicara. Para hadirin tertawa dan merasa terhibur atas candaan di hari suci yang mendung ini. Mereka telah sampai di sebuah jembatan kayu dimana diatasnya Salem Henokh berkhotbah kepada semua Tabliq Suci yang berdiri dibawah, di tepian sungai. "Bersyukurlah karena ini hari yang suci," ulangnya lagi. "Inilah hari dimana kita menyaksikan kematian Sang Pencerah. Hari dimana kita meneguhkan keyakinan kita. Dan sekali lagi, hari dimana kita, untuk ketiga puluh kalinya, memantapkan diri untuk tetap berjuang di jalan Allah dan menentang kekuasaan Old Sammur. Inilah hari, dimana kita sekali lagi bersemangat untuk menghancurkan tembok filemon!" Tepuk tangan membahana dan kelopak-kelopak mawar menghujani Salem Henokh. Lelaki itu menerimanya dengan senang hati. Kelopak-kelopak mawar menandakan darah Sang Suci. Dan jika seseorang dilempari kelopak mawar pada hari besar, seperti hari "Dark Sanctus" ini, hari kematian Emirel Shofar, maka ia telah termasuk orang yang sangat dihormati di Populo Dei. Lalu Salem Henokh berbicara tentang sejarah dan filosofi, tentang agama dan iman, tentang Sang Rohib dan Sang Tuhan, tentang segala apapun yang mampu memenuhi ruang rohani Tabliq Suci dan membawa mereka kepada pucuk kebijaksanaan tertinggi. Kata-kata penuh makna dan tanpa makna yang sulit maupun mudah dicerna. Sekali lagi, lelaki paruh baya dengan wajah digerogoti janggut itu menerima taburan cantik kelopak-kelopak mawar. Harum sekali! ***** "Maha Suci Tuhan yang ditangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu," Mikhael berdoa. Ia membasuh wajahnya dengan kedua tangan untuk menutup doa. Setelah itu, dari balik kantung tuniknya, ia keluarkan sebuah lilin segitiga. Dengan bangga ia bercerita, "Ini adalah lilin terbaik yang pernah aku buat. Tidak akan aku lewatkan malam ini tanpa ikut menyalakan lilin di sungai Moran." "Salem Henokh berjanji akan memberikan hadiah spesial bagi siapapun yang lilinnya menyala paling lama," Mikhael melirik Mihlail, pemuda disampingnya yang tengah tertunduk mendengar semua ucapan Salem Henokh. "Yah, sepertinya tidak mengherankan. Kau memang selalu yang paling bersemangat dengan acara-acara keagamaan," seseorang yang lain menanggapi omongan Mikhael. Ia juga melirik Mihlail, "Bersiap-siaplah sobat, ada yang semakin iri dengki kepadamu." Yang dipanggil sobat menoleh dengan senyum sekenanya. "Aku tidak peduli," kata Mihlail. "Hah, anak ini! Selalu bersikap seolah-olah dia tidak menginginkan penghargaan atau kehormatan atau apalah, tetapi dibalik itu semua ia telah mempersiapkan segalanya dengan baik." Mikhael meludah. "Licik sekali!" "Sssttt!" seorang pria dibelakang Mikhael menegur bocah itu. "Apa yang kau lakukan? Kau baru saja meludah? Astaga, kau meludah di tempat ibadah pada hari ibadah." Pria itu nyaris saja memekik kencang kalau Mikhael tidak buru-buru minta maaf dan mengembalikan keadaan. Teman-teman yang lain terkikik. ***** Dalam keheningan selanjutnya, ketika rombongan masih anteng menyusuri lekukan Sungai Moran, tiba-tiba Mihlail merasakan sekelibat bayangan hadir dibalik batang-batang pohon yang besar, jauh dari tepian sungai. Segera saja ia menjadi siaga. Ia memperhatikan sekeliling tapi kemudian kelibatan itu tidak muncul lagi. Ia bertanya kepada Nayef, bocah jenaka yang kebetulan berjalan disampingnya dan mendapatkan jawaban bahwa tidak mungkin ada Tabliq Suci yang tidak mengikuti perayaan Dark Sanctus karena ia pasti akan dapat cemooh dan hukuman sosial jika tidak ikut. Dengan demikian, Mihlail menjadi tenang. Akan tetapi tak berapa lama, kelibat bayangan itu hadir lagi. Mihlail kembali waspada. Ia meyakinkan Nayef bahwa ia baru saja melihat sesuatu tapi anak laki-laki bertubuh gempal itu tidak menggubrisnya. Bersama kawan satu gengnya, Haran dan Nahor, Nayef justru memandang Mihlail dengan tatapan aneh. Maka Mihlail berhenti melangkah. Ia mundur perlahan dari kerumunan, lalu menyelinap ke semak-semak. Ia tunggu sampai barisan terakhir menjauh baru setelah itu ia masuk ke dalam hutan. Semua pergerakannya halus, tanpa jejak, bahkan tanpa suara. Teman-teman Mihlail, juga seluruh orang yang ikut sebagai jamaah Kapelarium Zerubabel, tak menyadari kepergian Mihlail sampai Salem Henokh memanggilnya dan bocah itu sudah tidak berada di tempat dimana ia seharusnya berada. ***** "Kemana Mihlail?" Mikhael menggerutu. "Aku penasaran apa yang sebenarnya dia rencanakan dengan membacakan catatan dari buku 'Ode to Fear' waktu itu?" "Apa maksudmu?" tanya Nahor. "Apa itu 'Ode to Fear'?" "Kau tidak tahu? Heeh, dasar bodoh!" "Kenapa sih kau harus selalu menghina kami? Apa kau pikir kau ini orang paling pintar sejagat? Heeh," Nayef mendengus kesal. "Halo semuanya!" Katyusha berlari mendekati mereka. Wajahnya riang gembira. Kali ini penampilannya lebih heboh, ia memakai topi besar dari daun dan anting-antingan dari buah ceri. Dua gigi kelincinya semakin kinclong. "Dasar marmut!" Mikhael meledek. "Pergi sana dengan teman-temanmu, jangan bergabung dengan senior! Bikin repot saja!" "Ihhh, aku kan cuma mau ketemu Kaka Mihlail," ujarnya, manis. "Waahh, tapi Kaka Mihlailnya gak ada tuh," Nayef menyambung, sedikit menggoda. Haran dan Nahor menahan tawa. "Kemana Kaka Mihlail?" "Gak tau, tadi sih kayanya mundur ke belakang," "Yaaahhhhh...." Katyusha bersungut-sungut. "Ya udah, kamu sama Kaka Nayef saja, kan sama-sama senior hehe" "Enggak ah, Kaka Nayef kan gendut." Semua terbahak-bahak. "Ssssttt, mengapa kalian ribut sekali aduh!" keluh seorang pria tua di belakang Nayef dan Mikhael. Ia seperti seorang tuan tanah yang tengah lelap di siang bolong lalu mendadak marah oleh raungan anak-anak nakal yang bermain-main dan membuat keributan di tanahnya. "Hei, kau tadi meludah! Sekarang kau bersumpah serapah! Secetek itukah sopan santunmu huh? Ini adalah hari yang hening, Dark Sanctus, hari suci penuh makna, apa kau mau merusaknya dengan suara cemprengmu? Huh?" Beberapa orang yang mendengar langsung menoleh kepada si pak tua dalam tatapan kesal. Mereka berbisik-bisik: Mengapa kakek itu ribut sekali? Mengapa? Mengapa? Suaranya seperti klakson nyaring yang mengganggu gendang telinga. "Maaf, pak tua," Mikhael menurunkan nada suaranya. "Tapi kami sedang membahas teman kami yang baru saja kabur dari acara ini. Pak Tua, bukankah seharusnya ia tidak boleh pergi?" Mikhael mengompori. "Maksudmu Mihlail Gideon? Yah..." Pak tua menghela napas. Dengan tongkatnya, tertatih-tatih ia berjalan di samping Mikhael. "Aku juga tadi dengar bisik-bisik Salem Henokh mencari anak itu. Memangnya kemana dia?" "Tidak tahu," Nayef menambahkan. Haran dan Nahor mengangguk-angguk. Dalam satu sergapan, mereka membuang kelopak-kelopak mawar ke udara. Semua dilakukannya supaya tidak ada yang curiga kalau ia sedang sibuk bergosip. "Tapi tadi Mihlail bertanya padaku apa aku melihat sekelibat bayangan," Nayef membentuk garis lurus atas ke bawah dengan cepat sambil berseru syuu "Begini, ya sekelibat bayangan ini. Aku rasa dia pasti mencari bayangan itu." Nayef menaikkan alisnya, melihat Mikhael dengan tatapan gembira. Namun Mikhael hanya menggelengkan kepala. "Bayangan apa? Di pagi yang mendung begini rasanya semua berubah jadi bayangan gelap," Pak Tua berasumsi. "Ihhh... kalian jangan ghibah tentang Kaka Mihlail dong!" protes Katyusha. "Heh, marmut!" ujar Mikhael. "Mending kamu pergi aja deh sana, pusing tahu gak?" Mikhael menjulurkan lidah kepada Katyusha, meledeknya. Gadis berambut merah itu sekonyong-konyong merasa kesal dan memencet hidung Mikhael kencang. "Auw!" Mikhael kesakitan. Katyusha berlari seribu satu langkah ke belakang. "Grrrrr!!!" Semua tertawa. "Ini adalah hari yang suci." Dark Sanctus adalah hari besar Tabliq Suci untuk memperingati kematian Emirel Shofar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD