Bab 223 : "Canggung."

1760 Words
Tak jauh di depan sana, adalah kaki gunung berkabut Barboza. Semua jamaah mengucap doa penuh haru. Kaki gunung adalah pertanda berakhirnya upacara pagi menyusuri sungai Moran sambil menabur kelopak mawar. Selanjutnya, jamaah boleh beristirahat. Para pengasih dari Kapelarium Zerubabel membagi-bagikan makanan berupa lembaran roti tak beragi, semangkuk besar sup dengan potongan besar-besar daging domba, sepiring dendeng sapi bakar diaduk dengan acar dan wijen, serta semangkuk kecil berisi manisan keju bercampur s**u kental dan buah-buahan sebagai makanan penutup. Untuk minumannya disediakan air putih dan minuman s**u fermentasi. Pada puncak acara, yakni ketika semua orang menyalakan lilin di pinggir sungai Moran pada malam hari, Para Pengasih membagikan beragam ikan rebus sebagai simbol anugerah dari Sungai Moran. Ini adalah menu makan paling umum bagi Tabliq Suci untuk acara-acara keagamaan ataupun acara penting lainnya seperti tahun baru atau perayaan panen. Dalam kehidupan sehari-hari, Tabliq Suci biasa memakan roti tak beragi yang diatasnya ditimpakan keju dan buah ceri lalu ditaburi wijen atau minyak zaitun, kemudian digulung dan dimakan bersama sup jagung ataupun sup ikan yang hangat. Daging menjadi barang yang mahal bagi Tabliq Suci setelah tembok filemon dibangun. Banyak ternak maupun unggas yang mati, dan saat ini jumlahnya yang hidup sedikit sekali. Namun begitu, persediaan daging untuk acara-acara keagamaan masih cukup stabil meski tidak sebanyak yang lalu. Maka sejak saat itu, acara-acara semacam Dark Sanctus ini menjadi ajang bagi Tabliq Suci untuk kembali merasakan empuknya daging dan menerima berkah dari nikmatnya sebuah makanan. Dalam waktu setengah jam, jamaah sukses menuntaskan lapar dan dahaga. Mereka bersandar dibawah pohon dan bersua satu sama lain sampai nanti Salem Henokh akan menginstruksikan mereka untuk prosesi selanjutnya. Mikhael dan Si Pak Tua ikut berlindung dibawah pohon plum, sementara Nayef rusuh bercanda bersama Haran dan Nahor. Ulasan mereka tentang Mihlail lenyap dan mereka terlena oleh perbincangan tentang makanan yang baru mereka makan. Angin berkesiut membelai wajah mereka, kepada dedaunan dan langit yang masih semuram subuh, mereka terkantuk-kantuk oleh mendung yang sejuk. Bukit Rahasia Melewati batang-batang pohon berusia ribuan tahun, Mihlail bergerak ke tempat dimana terakhir kali ia melihat bayangan tersebut. Daun-daun merah di atas tanah, kelopak-kelopak merah, ia mencari jejak kaki yang barangkali masih hangat. Ia tidak memiliki harapan apapun saat memutuskan untuk mencari tahu. Akan tetapi ia lihat kelibat bayangan itu berlari ke arah lain, masuk ke dalam rindang pepohonan. Mihlail berlari secepat ia dapat berlari sambil berteriak memanggil bayangan tersebut. Cukup lama sampai akhirnya sang bayangan kelelahan lalu bersembunyi dibalik gundukan dedaunan musim gugur. Mihlail tentu saja dapat menemukannya dengan mudah. Ia pikir mungkin apa yang ditemukannya ini sesuatu yang amat mengerikan dengan kegelapan dimana-mana. Tapi saat ia sambangi bayangan hitam itu , ia tersentak oleh apa yang dilihatnya. Disitu, ia menyaksikan seorang gadis melepas kerudungnya lalu menoleh kepada Mihlail dengan seiris senyum dingin. "Anoosheh," Mihlail terkesiap memanggil nama gadis itu. Rambut hitam, wangi semerbak. Mata hitam, basah dan dalam. Pipi merah bersemu. Bibir seindah delima. Mihlail tak kuasa menarik matanya dari pemandangan indah di hadapannya. "Mengapa kau tidak ikut Dark Sanctus?" tanya Mihlail, ia segera menyadari bahwa inilah pertanyaan paling religius yang pernah ia tanyakan kepada semua orang. Gadis itu tidak menjawab. Ia beranjak dan berjalan menjauhi Mihlail begitu saja. Mihlail memandangi kepergian gadis itu dengan seribu pertanyaan di benaknya. Ia bertanya sekali lagi dan sang gadis menoleh. "Mengapa aku tidak ikut Dark Sanctus? Mengapa kau pergi meninggalkan acara itu, Mihlail?" "Karena aku mencarimu, Anoosheh." Anoosheh tersenyum simpul, manis. Pada suatu titik di langit, terdengar suara kepakan sayap burung serta siulan mockingbird Untuk sepersekian detik, dunia terasa begitu sunyi. Kesunyian kaget yang datang dari rasa saling kaget dan menundukkan kepala. Gadis itu membalikkan badan lagi. "Kenapa kau tidak datang di perayaan tujuh belas tahun anak-anak Kapelarium Zerubabel?" tanya Mihlail, tanpa nada tanda tanya, seolah ia berbicara dengan dirinya sendiri. Ia berjalan mendekati sang gadis yang kemudian mengambil jarak antisipasi seperti putri malu. "Kau tahu aku telah membaca bagian dari catatan 'Ode to Fear' itu bukan?" jelas Mihlail, saat gadis itu hanya membisu. "Kenapa kau tidak datang?" "Belum saatnya, Mihlail. Saat itu bulan hanya bersinar separuh. Aku butuh bulan purnama utuh untuk membawamu kepada ibu." "Anoosheh," Mihlail memanggil nama gadis itu, lembut. Pikirannya dipenuhi melodi indah waktu menyebut nama itu. Mihlail tersenyum. Ia mengulurkan tangan. Lama tangan itu bebas di udara sebelum akhirnya Anoosheh menyambutnya. Kedua tangan mungil yang berimpitan saling menjabat satu sama lain. Demikianlah mereka akhirnya berkomunikasi. ***** "Catatan Ode to Fear itu memiliki daya magis. Orang-orang bisa langsung hafal apa yang kau bacakan waktu itu tanpa harus curiga tentang apapun," kata Anoosheh. Mereka duduk di atas sebuah batu dan mulai bercakap-cakap. Hari masih segelap abu-abu dan suara aliran sungai menderu-deru jauh dikaki pegunungan Barboza. "Lalu apa hubungannya dengan ibuku? " tanya Mihlail, ia mencabuti rerumputan dan meremasnya dan menerbangkannya perlahan. "Ibumu pasti akan sangat senang jika bertemu denganmu nanti. Dia tak mengira anaknya setampan itu." Anoosheh merasa geli mengatakan hal tersebut. Tapi Mihlail memang tampan. Ia adalah spesies yang akan jarang ditemui di Populo Dei, bahkan barangkali hanya dia satu-satunya si pemilik mata sebiru laut, rambut cokelat kemerahan, dan lesung pipitnya... ya ampun! Mereka lalu terlibat obrolan tentang cuaca dan dedaunan gugur. Sesuatu yang sering kali dibicarakan orang. Masalah-masalah permukaan yang menjadi isu bersama. Seperti selapis puding dengan santannya, mereka hanya menciduk si santan, genangan jeli dibawahnya mulus tak terkoyak. Tapi kemudian Anoosheh merasa gatal untuk tidak menyelam lebih dalam. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku," kata Mihlail. "Aku sudah menuruti perintahmu membaca catatan Ode to Fear di perayaan tujuh belas tahun. Sekarang, tunjukan padaku bagaimana caranya bertemu ibu?" "Sabar, Mihlail," Ada jeda panjang. "Adalah hal yang sangat indah untuk bisa menulis diatas dedaunan. Seakan ia tak pernah kering dan mati. Hanya ketakjuban dan kegembiraan dan kesedihan dan ketenangan dan kesemua perasaan." "Apa yang kau tulis?" "Yah, apa saja. Puisi, doa, cerita, apapun." Mihlail mengulum senyum. Lalu ia ikut membantu Anoosheh mengumpulkan dedaunan. Keheningan berlangsung lama, seolah mereka tenggelam oleh basuhan angin yang menyentuh kulit mereka sedingin air sungai yang membeku. "Hujan berdarah. Tanah berwarna merah. Langit terluka," bisik Anoosheh. "Itu puisi kesukaanku. Aku menulisnya berkali-kali." "Wow," ujar Mihlail. "Aku belum pernah bisa menulis puisi seindah itu." Anoosheh tidak mendengarkan. Dengan satu sergapan, Anoosheh menarik tangan Mihlail. "Ayo, aku akan tunjukkan padamu tempat luar biasa dimana aku sering menebar dedaunanku. Aku yakin kau belum pernah mengunjunginya." ***** Mereka keluar dari hutan lebat, meluncur melintasi alang-alang yang lebih tinggi dari tubuh mereka. Alang-alang liar berwarna jingga dengan bulu-bulu putih dandelion melayang seperti kupu-kupu. Pohon bonsai berdiri sendirian di tengah-tengah, bentuknya mengerucut mendekati langit seakan sedang menunjuk dan menembus awan yang sedemikian abu-abunya. Camar dan burung-burung merah sesekali terbang rendah mengiringi mereka, lalu terbang tinggi berkejaran membentuk formasi dengan yang lain. Angin berdesir menggerakkan alam seirama, ke kanan dan ke kiri, seperti sebuah tim yang kompak menampilkan satu pertunjukan. Anoosheh menggamit jemari Mihlail lebih erat, mereka mendaki bukit landai cokelat kemerahan. Sambil menghalau ilalang yang masih terus ada sepanjang perjalanan, menjilati kaki hingga terasa geli, mereka tertawa terengah-engah. "Bukit rahasia," kata Anoosheh setelah mereka dapat duduk dengan nyaman. "Aku menamainya bukit rahasia." Dari atas bukit ini, mereka dapat melihat hamparan padang berwarna keemasan dengan hutan lebat dibelakang latar dan pegunungan berkabut dibaliknya lagi. Di pegunungan tersebut, membelahlah aliran sungai Moran, ramping dan panjang, menggores kesana kemari bagai cabang pohon, kejernihan airnya memantulkan semburat berwarna merah, bias dari pepohonan disekitarnya yang menjadi tua oleh musim gugur, tapi kabut yang semakin merendah menelan mereka seperti monster putih. Menara-menara Kapelarium muncul dari satu jarak ke jarak yang lain, satu-satunya bangunan yang tinggi sendirian. Pohon-pohon menjadi siluet. Langit tampak rendah. "Sunyi sekali," ujar Mihlail. Bukan karena hanya ada mereka berdua dan ia tidak bisa mendengar apapun selalin suara gadis di sampingnya, tetapi karena begitu banyak suara alam; angin berkesiut, air sungai mengalir, erangan lembu-lembu yang disembelih, gumamam doa-doa, rangkaian khotbah yang menggelora, hingga desisan ular dan suara rusa mengunyah rerumputan. Suara-suara tersebut rasanya sulit dideteksi karena sedemikian rapat menyatu dengan udara. Tapi disini, suara tersebut hadir menjadi rangkaian lirih yang seakan berasal dari negeri yang amat jauh. Dan hal itu membuat segalanya justru terasa sunyi. Anoosheh menebar dedaunan yang tadi ia bawa. Satu daun yang berisi larik puisinya ia lepas pelan-pelan dan ia amati baik-baik kepergian sang daun yang turun perlahan menyentuh ujung ilalang, terlontar oleh angin ke utara seperti bulu, menari-nari bersama dandelion, terpelanting ke ranting pohon bonsai, terjun ke dalam batang-batang rumput sargasso, ditingkahi nyanyian kupu-kupu, lalu jatuh di tanah di dekat sekuntum bunga liar. Tergeletak, disirami debu, tertutup daun-daun lain. Baik Anoosheh maupun Mihlail, sama-sama mengalirkan nafas panjang. ***** "Mengapa kau mengintip acara Dark Sanctus?" Mihlail bertanya, nada suaranya pelan dan teduh perhatian. "Kau tahu kau bisa langsung bergabung jika menginginkan untuk menjadi bagian dari upacara kematian itu," jelas Mihlail. Anoosheh mengulum senyum. "Ya, tahu...aku sangat tahu." "Kau lapar?" tanya Anoosheh, tanpa bermaksud menjawab pertanyaan Mihlail sebelumnya. "Kau pernah makan ular bakar?" Lalu Anoosheh bangkit, mencari-cari di atas tanah sebuah ranting yang mungkin cukup kuat. Setelah mendapatkan apa yang dicari, ia menyisir matanya kepada gundukan tanah yang agak jauh kemudian memasang telinganya pada semacam desis-desis berbisa. Hup! Dalam satu tangkapan, seekor kobra kecil mati. Anoosheh mempeletak kepala kobra, merobeknya dari badannya kejam, dan membuangnya sembarangan. Ia ambil dua batu dan menggesek-gesek keduanya sampai api bersemburan. Mihlail menelan ludah. "Apa itu tidak berbahaya?" "Kau takut?" Anoosheh blak-blakan. "Dari awal tempat ini penuh binatang buas. Jadi tidak ada gunanya takut. Dan kenapa harus takut kalau kita bisa melahapnya dengan lezat?" Hanya ada rusa, domba, dan beberapa hewan herbivora lain yang tinggal di dalam hutan maupun di seluruh penjuru Populo Dei. Itu pun tidak banyak. Ular hanya ada di tempat yang benar-benar liar dan tidak akan ditemukan hewan-hewan ganas seperti harimau, singa, atau macan. Mihlail tahu ini dan ia sangat tahu. Tapi melihat ular itu, menyadarkannya bahwa ia tengah berada di alam liar yang tidak pernah ia kunjungi bersama dengan seorang gadis yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Seketika tengkuknya merinding. "Aku yang akan makan daging ini duluan kalau kau tidak percaya kobra ini sudah aman." Tak ada sahutan. Maka Anoosheh mulai pelan-pelan meniup daging yang berasap, menyentuhnya dengan sedikit terkejut atas sengatan panas, lalu setelah beberapa saat, melahapnya banyak-banyak, layaknya ia makan daging-daging yang lain. Lidahnya bergulung-gulung meniup panas di dalam mulutnya. Setelah daging nyaman dalam kuluman, ia melirik Mihlail dengan dua jempol terangkat. Mihlail yang sedari tadi memperhatikannya merasa tak punya banyak pilihan selain mencoba. Maka dengan metode yang sama, ia mulai mengunyah daging ular. "Hmmm," Mihlail memuji. Matanya berbinar-binar. Anoosheh terkekeh. Lalu mereka melanjutkan makan bersama-sama. Waktu terdiam. Nyam! Nyam! Nyam! Selama itu, dunia di sekitar hanyalah sebatas suara kunyahan daging yang terkoyak. Nama aslinya adalah bukit Margadeon
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD