Bab 194 : "Luna Dan Gavin"

2252 Words
"Luna..." Gavin bersua lemah lembut. Luna tidak menoleh. Gavin mendekat, tangannya memegang pundak Luna yang naik-turun oleh tangis. "Jangan bersedih," lanjutnya, seakan mengerti penderitaan Luna. "Diamlah!" bentak Luna. Ia menghempaskan tangan Gavin. "Kemarin, kau meninggalkanku. Sekarang, kau mengorbankanku. Aku tidak tahu ide busuk apa lagi yang akan kau rencanakan padaku." "Bukan begitu, Luna..." kata-kata menggantung di bibir Gavin. Mendengarnya, Luna menjadi semakin sedih. Ia mencoba berdiri dan menghapus air matanya sendiri. Gavin menarik tangan Luna, menahannya untuk pergi. "Duduklah sebentar, ada beberapa hal yang harus aku katakan padamu." "Apa?" "Ini tentang rencana ke Asrama Honeysuckle..." "Oh," potong Luna. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Apapun yang aku katakan, tidak pernah didengar. Jadi berbuatlah sesukamu. Sesungguhnya aku tidak berarti bagi keluarga ini." Gavin terhenyak. Diam. Diusapnya pipi Luna, namun aliran itu semakin deras. Luna menghempaskannya. "Kemarilah, Luna," bujuk Gavin, lembut sekali. Tapi Luna tidak peduli. Ia bangkit dan duduk di samping meja. Posisinya agak kacau tapi ia tidak memusingkannya. Dengan sekali sergapan, ia menuang anggur ke dalam gelas pialanya dan meminumnya seperti orang yang tidak pernah minum sebelumnya. Hening. Sekali lagi, Gavin terdiam. ***** "Oh..." keluh Gavin, setelah melihat Luna meminum anggur bergelas-gelas tanpa berhenti. Caranya minum yang tampak ganas dan frustasi, membuat Gavin prihatin. "Kau tahu anggur-anggur itu tidak akan menyelesaikan masalahmu, huh?" lanjutnya, sedih. Luna tidak menjawab. Ia terus saja menuang anggur di gelasnya. "Berhentilah," tegas Gavin, seraya menarik gelas yang dipakai Luna. Dengan sempoyongan, Luna menoleh ke arah Gavin. Tatapan bencinya begitu menusuk. Ia tarik lagi gelas yang lain dan mulai menuang lagi anggur di gelasnya. Ia minum lagi. "Tidak! Berhenti kataku!" bentak Gavin, menarik lagi gelas yang dipakai Luna. Gadis itu menarik balik. Gavin menghempaskannya. "Apa maumu?!" teriak Luna. Mukanya merah padam. Suatu kontras warna dari wajah aslinya yang memiliki pipi kemerahan, ditambah dengan mabuk dan kemarahan yang tak terkendali di dirinya. "Oh kau kacau sekali," Gavin mengeluh. Dengan terpaksa, ia mendekap Luna yang sempoyongan. Gadis itu meronta-ronta, tapi mabuk telah membuat segala kekuatannya lemah tak berdaya. Gavin mengangkatnya paksa, membopong tubuhnya ke dalam kamar. Luna menjejak-jejakkan kakinya ke udara, mencoba melawan dengan kesadarannya yang setengah tersisa. "Apa yang kau lakukan!" bentaknya. "Diam dan tidurlah, Lady Luna!" jawab Gavin, agak keras. Ia meletakkan gadis berambut merah itu di kasur dan menyelimutinya. Malam semakin lisut, Luna terlelap di pelukan Gavin, persis saat kecil dulu. Gavin meletakannya di kasur dan menyelimutinya. Ia mendekap sang gadis erat sembari meredakan teriakan dan geliat tubuhnya yang meronta-ronta. Setelah agak lama berlalu, akhirnya Luna tertidur. ***** Gavin beranjak ke sofa berwarna merah yang lebarnya tak kurang dari dua meter, di dekat sebuah cermin berukir emas dan meja rias yang harum peliturnya masih sangat kuat, tak jauh dari ranjang Lady Luna. Bahkan sofa kerajaan pun terasa lebih nyaman daripada tempat tidur orang awam. Gavin menyelimuti dirinya sendiri. Dari sisi sini, Gavin dapat melihat teduh jelita wajah Luna yang terpejam. Garis wajahnya yang halus mampu membuat semua orang menerka bahwa gadis cantik itu tentulah berhati lembut, bahkan sangat lembut. Rambut merahnya yang panjang, terurai berantakan menelusuri lekuk wajahnya. Bibir tipis semerah delima. Seluruh detail di tubuhnya memiliki aura kecantikan sendiri yang sangat natural. Meski saat ini ia terlihat begitu lelah dan ada lebam di kantung matanya akibat air mata yang senantiasa merembes sangat lama, Luna tetap mempesona. Gadis ini, pikir Gavin, usianya tak lebih dari dua puluh tahun. Namun apa yang mesti dihadapinya sebagai seorang Putri jauh melampaui gadis seusianya. Gavin sendiri sudah berusia sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun, kira-kira apakah yang ia lakukan waktu usianya dua puluh? Gavin mengenang masa-masa itu dan betapa waktu telah bergulir sangat cepat. Ia tersenyum sendiri. Ia tak pernah sekuat Luna, gumamnya. Pernyataan itu, entah bagaimana, membuat dirinya lega. Menjelang pagi, langit mulai menyiratkan warna kebiru-biruan tua meski gelapnya masih tertahan oleh sebagian semburat hitam. Subuh yang sempurna. Hujan yang telah berhenti sejak semalam kembali berdengung dan menjatuhi bumi dengan rintik-rintik. Bau tanah menyeruak, harum tanah basah. Hawa dingin merangsek, tersambar-sambar angin pagi. Gavin menarik selimutnya lebih erat. Setelah sekian lama terjaga, akhirnya hujan membawa pikirannya hanyut, membuat matanya terasa berat. Pada suatu titik, ketika deru kendaraan mulai bersiul menyaingi suara hujan dan lonceng-lonceng gereja berdentang di ujung seberang, Gavin baru benar-benar bisa berkelana ke kelembutan angin dan lembah. Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun. Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram. Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala hormat, mengetahui bahwa Gavin Marshall masihlah seorang ekspatriat keturunan bangsawan ternama, Wangsa B, Luna pun menjauhkan dirinya dari pria itu, takut kalau-kalau Gavin bangun dan menuduh dirinya melakukan hal yang tidak sopan. Akhirnya, ia bangkit dan mencari kesibukan lain. "Lady Luna," gumam Gavin, sayu. Matanya masih lemah dibayangi mimpi. Luna yang sedang duduk di meja riasnya tercekat. Dengan senyum manis bercampur rasa takut, ia menoleh, "Selamat pagi, Mr. Marshall." "Selamat pagi, Putri." Gavin membalas senyum Luna dengan lembut. "Ah, sudah berapa lama aku tertidur disini?" Gavin bangkit dan meregangkan otot-ototnya. "Hooaaahh, aku tidak pernah tahu kalau tidur di sofa di kamar seorang gadis ternyata enak juga." Gadis cantik itu tidak menjawab dan hanya menunduk. "Sudahlah, jangan bersedih, Lady. Kau tahu asrama Honeysuckle itu sebenarnya sangat menyenangkan. Ah, aku tak sabar untuk ada disana," Gavin sumringah. "Kau akan ada disana?" tanya Luna, pelan. "Ya. Tentu saja. Aku akan menemanimu dan menuntunmu." "Aku tidak mengerti. Bagaimana caranya?" "Nanti kau juga akan tahu sendiri." Gavin bangkit dan berjalan membuka gerendel pintu. Pintu terbuka. Gavin menoleh sekali lagi kepada gadis yang masih duduk di meja rias, "Sebaiknya kau bersiap-siap, nona manis." Gadis bermata safir itu mengangguk pelan. Gavin tersenyum lebar dan menutup pintu tanpa suara. Hening. ***** Dering telepon nyaring di sudut istana. Seorang petugas mengangkatnya. Setelah mengucap halo dan mengangguk, ia memencet nomor lain. Dering telepon memekak di ruang lain. Seorang petugas lain mengangkatnya. Setelah mengucap halo dan mengangguk, ia memencet nomor lain lagi. Begitulah seterusnya sampai dering telepon menembus lapisan penjagaan ketujuh untuk akhirnya mengalun di telinga Lady Earlene. Sesaat, dunia berhenti. ***** Di dalam sebuah ruangan yang sangat besar, dengan langit-langit setinggi monumen, jendela besar-besar, arsitektur melengkung yang diberi banyak lukisan, dipoles sedemikian rupa, mereka disini: Adrien, Gavin, Frederich, Alexandrina, beberapa menteri serta seluruh anggota konggres. Mereka bergumul membicarakan berbagai kasus dan berdebat tentang cara penyelesaian yang paling ampuh. Konggres berlangsung sengit dan semakin sengit ketika rapat mulai menjurus ke permasalahan krisis dan inflasi. "Konggres telah voting dan menolak kenaikan pajak sebagai solusi,'' kata Guillaume Delbonel, ketua Konggres. Para anggota Konggres mengangguk-angguk. Adrien sedikit gusar. Ia bertanya meyakinkan Konggres dan sekali lagi, Guillaume Delbonel mengangguk. "Sebagai gantinya, kami mengusulkan ditutupnya bank sentral, Prince Adrien," lanjut Guillaume. "Para bankir itu yang lewat kegiatan peminjaman uang yang bergerak bebas sekarang ini benar-benar akan menghancurkan peradaban kita ke lembah hutang, Prince Adrien. Hemat saya..." "Apakah ada yang pernah mendengar kisah Andrew Jackson?" potong Adrien. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, menguji intelektualitas semua pejabatnya. "Kalian berbicara tentang bank sentral seakan-akan kalian manusia suci. Jika kalian ingin menutup bank sentral, maka peredaran uang di Great Alegra juga harus dihentikan. Jika peredaran uang di Great Alegra dihentikan, maka kerajaan ini akan ambruk!" "Apa kalian tidak mengerti?" Adrien bertanya di keheningan. "Apa yang ada dipikiran kalian ketika memutuskan hal ini?" "Maaf, Yang Mulia," seorang perempuan dari salah satu anggota Konggres, Marie Roose, berdiri. "Prince Adrien tentu tahu bahwa saat ini, dengan segala kesusahan, banyak rakyat kecil yang terpaksa meminjam uang ke bank dan menggadaikan tanah mereka demi bertahan hidup? Saya curiga atas apa yang telah dilakukan bank sentral dengan meminjamkan rakyat kecil uang yang banyak, dengan bunga yang besar, tetapi menyusutkan peredaran uang di masyarakat hampir dua kali lipat dari seluruh uang yang dipinjam rakyat dari bank tersebut. Bukankah sistem ini sama berlakunya di dalam keuangan negara? Kita telah menjual surat hutang pada bank sentral, dan ya, kita dapat uang dari itu semua. Lalu apa? Mereka menjatuhkan ekonomi kita, sehingga dengan begini kita akan kekurangan lagi dan meminjam lagi, kita meminjam tanpa kita tahu apakah kita bisa membayarnya atau tidak? Sekarang, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika harga pajak dinaikkan? Mengapa begitu sulit untuk menutup bank sentral?" Adrien terkekeh, melecehkan. Bau anggur masih menyeruak dari mulutnya dan matanya masih sedikit berkunang-kunang. "Marie Roose, memungut pajak dari masyarakat yang kesusahan memang hampir dicap sebagai kekejian. Tapi menutup bank sentral? Itu adalah bunuh diri massal!" "Barangkali kita bisa melemparkan kepada Eropa untuk mencairkan dana talangan bagi negeri ini...'' seseorang bernama Glen Moritz berdiri di Konggres. "Tidak akan ada dana talangan dari Eropa karena mereka kurang percaya kepada kita bahwa kita dapat membayarnya,'' Anna de Collins menjawab. "Lagipula memang negara-negara besar di Eropa seperti Perancis, Inggris, dan Jerman sedang dilanda krisis pasca perang, dan dunia kini terbelah menjadi blok barat dan blok timur. Menurut hemat saya, saudara-saudara, andai saja negeri ini mau memihak salah satu blok tersebut, keadaannya mungkin tidak sesulit ini.'' "Memihak kepada salah satu blok tidak akan menyelesaikan masalah!'' Marie Roose mulai hilang kesabaran. "Sejak awal Great Alegra konsisten untuk tidak pro barat ataupun pro timur, liberal ataupun komunis. Tidak boleh ada yang diubah dari itu semua, dan asal kalian tahu saja bahwa memihak salah satu dari mereka bukan berarti kita akan mendapatkan dana, kecuali kita punya pengaruh yang besar pada dunia. Jadi sesuai dengan kesepakatan anggota Konggres, Yang Mulia, kita semestinya membekukan bank sentral." "Kerajaan tidak akan pernah setuju Bank Sentral dibekukan!" Adrien menentang, mantap. Dengan isyarat matanya yang menyala, ia menyuruh Marie Roose untuk duduk dan diam. Marie Roose tertunduk tak berkutik. Ketegangan menyeruak. "Jadi bagaimana kita akan mengatasi krisis?" tanya Guillaume. Adrien menyipitkan mata, memandang sinis kepada pria paruh baya itu. "Kerajaan akan memakai caranya sendiri." ***** Apakah cara yang dipakai Kerajaan? Semua orang bertanya-tanya. Saat itulah, Gavin yang sedari tadi hanya menyimak, mulai bersuara. "Menaikkan pajak akan menimbulkan pemberontakan," kata Gavin, serius. Seketika semua jadi teringat dengan kelompok bawah tanah, Rebelution, yang eksistensinya perlahan-lahan mulai menggerogoti pemerintah. "Namun masalah negeri ini bukan hanya inflasi dan krisis ekonomi. Ada gerakan bawah tanah, menurunnya tingkat kepercayaan terhadap pusat, pembungkaman media dan...opium." Gavin mengatakan semua ini dengan begitu tenang, bahkan ia sempat tersenyum meski seluruh manusia lainnya saling waspada. "Apa solusi yang Anda tawarkan sebenarnya, Mr.Marshall?" Lord Frederich langsung bertanya ke pangkalnya. Gavin menoleh kepada Frederich, "Solusinya adalah pajak." "Tetapi tadi Anda bilang sendiri bahwa menaikkan pajak akan menimbulkan pemberontakan, Mr. Marshall!" Marie Roose naik pitam. "Kita tidak perlu menyebutnya sebagai pajak, Mrs. Roose. Kita hanya perlu mengganti istilah dan sistemnya sedikit." Marie Roose menaikkan alisnya. Semua tampak berfikir. "Oh baiklah, mungkin Anda belum memahaminya sekarang. Akan tetapi, percayalah, langkah ini bisa menjadi solusi yang bagus bagi kita semua." Tak ada anggukan. Tak ada gelengan. Tiba-tiba Adrien mengetuk palu. Rapat berakhir. Riuh rendah para anggota Konggres berbisik-bisik. Adrien mengetuk-ngetuk palunya lagi, menenangkan suasana. Gavin menoleh ke Adrien, tersenyum. Adrien yang masih setengah mabuk, hanya mengangguk pelan dan balik ke ruangannya tanpa suara. Alexandrina dan Frederich yang melihat kejadian ini hanya bisa menghela napas dan ikutan pergi. Perlahan, semua pergi, bubar jalan dengan tertib. ***** "Aku tidak mengerti mengapa seseorang berkewarganegaraan Inggris seperti Gavin Marshall bisa ikut rapat nasional Great Alegra?" seru Marie Roose, sesaat setelah keluar ruangan. Yang lain hanya mengangkat bahu. "Sepertinya rapat ini hanya lelucon saja. Sepertinya mereka sudah menemukan solusinya dan tidak mau banyak berdebat dengan Konggres." "Ini monarki absolut!" Anne de Collins menimpali. "Raja bebas bertindak!" "Bahkan Lord Alastairs tidak ada saat rapat," Glen Moritz membalas. "Dan Adrien, ya Tuhan, aku tahu dia mencoba untuk menutupinya tapi aku telah melihatnya semalam di Klub Artis. Dia berpesta pora!" "Aku pikir dia mungkin sedikit stress dengan keadaan negeri ini, oleh karena itu dia mencoba melampiaskannya." "Apa boleh buat, Konggres memang hanya lelucon. Apapun hasilnya, tetap kerajaan yang mengambil alih," Marie Roose bersedekap. "Kita cuma hiasan." "Munafik!" Anne de Collins mengingatkan. "Kalian mengeluh tentang kerajaan sementara kalian sendiri berdiri disini dengan uang kerajaan. Sudah sepantasnya kalian sadar posisi dan tugas kalian. Tidak lain dan tidak lebih, supaya rakyat mengira negeri ini demokratis." "Oh ya? Dasar kau si pembela kerajaan?" Glen Moritz meledek. Beberapa saat kemudian, Adrien lewat di depan mereka. Semua berbaris rapi dan memberi hormat. Pria itu memandangi para anggota Konggres satu per satu. Air mukanya serius. Saat berada dihadapan Glen Moritz, ia menancapkan matanya tajam, "Jangan terlalu cepat menghakimiku, bung. Kau tidak tahu apa yang telah aku lalui." Glen Moritz mengangguk perlahan. Adrien beralih mendekati Marie Roose, ia melipat tangannya dengan angkuh, "Berhati-hatilah dengan siapa Anda berbicara, nyonya." Marie Roose tak bergeming. Adrien berbalik dengan kesal. Bersamaan dengan itu, Sang Ketua Parlemen dan Menteri Keuangan hadir. Setelah berjabat tangan dan berbasa basi formal, mereka bertiga berjalan beriringan melewati para anggota Konggres, berbelok mekanis di sudut ruangan dan menghilang dibalik dinding. Glen Moritz dan Marie Roose menarik napas lega. "Ah, biar bagaimanapun juga, Prince Adrien itu sangat tampan!" Anne de Collins girang sendirian. Siapapun yang mendengarnya jadi tersenyum geli. Ya ampun!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD