Bab 193 : "Pertemuan."

1543 Words
Denting sendok dan garpu bertemu piring-piring putih memantul ke tiang-tiang, menciptakan sepi yang sempurna. Tangan kanan Gavin tidak sengaja menyenggol tangan Luna ketika dirinya tengah mengiris daging. Luna terkesiap bukan main. Membeku sejenak dan dengan gemetar, berusaha memasukkan seiris daging ke dalam mulutnya. Lady Earlene dan Adrien tersenyum sinis. "Jadi, Mr. Marshall, apa yang kau lakukan selama di Inggris?" Alexandrina memecah kebekuan. Frederich memandang Gavin. "Bisnis, tentu saja," pria itu menjawab sebisanya. "Bagus sekali, bisnis adalah alasan utama mengapa seseorang menetap dan berpindah-pindah," balas Lady Earlene. Ia telah menggabungkan sikap keterbukaan yang dingin dengan sikap angkuh dan kesedihan yang membuat caranya memilih kata-kata tampak dibuat-buat. Menu makanan diputar, Linda mengambil sebongkah daging. Sunyi lagi. "Ayah juga tengah berada di Vancouver untuk urusan bisnisnya," giliran Adrien bersua. "Mungkin untuk sebulan ini, dia tidak akan berada di istana." "Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu, sebelum beliau ke Vancouver, beliau terbang ke Wina terlebih dahulu." "Kalian bertemu di Wina, Mr.Marshall?" "Yah, ada pameran lukisan dan konser musik klasik disana." "Mr.Marshall memiliki gedung kesenian megah di Wina," celetuk Linda. William membenarkan. "Aku pernah kesana, sungguh luar biasa sekali tempatnya!" Semua tersenyum. Sesi makan malam selesai tanpa percakapan lagi. ***** Malam semakin mendekati pagi. Mereka berjalan menyusuri koridor, menuju ruang utama. Sepanjang perjalanan, lukisan-lukisan klasik terpajang dan patung-patung malaikat berdiri kokoh. Gavin, Sang Kurator Seni, mengamati dalam-dalam lukisan dan patung yang memanjang dikedua sisi. Ia berdecak kagum dan sesekali memuji sang pelukis. Frederich menjelaskan dan membeberkan dengan dramatis bagaimana perjalanan patung-patung dan lukisan-lukisan tersebut dari museum seni di Louvre ke Istana Alegra. Betapa mahal harganya! Betapa berat! Betapa Oh betapa! Gavin mengangguk-angguk. "Tidak banyak yang berubah kecuali ada tambahan untuk Picasso dan Michaengelo," tuturnya, santun. Ia merapatkan jas hitam panjangnya dan lanjut berjalan. Di depannya berjalan, adalah Sang Putri Luna Alegra. Gavin mempercepat langkahnya sehingga dapat sejajar dengan Luna. "Bagaimana menurutmu jika aku menambahkan sedikit lukisan untuk istana ini, Lady?" tanyanya, dengan sopan. "Ya, silahkan saja, Tuan." Luna menjawab dengan tak kalah santun. Ia mencoba bersikap biasa saja kepada lelaki itu, seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. "Bagaimana jika sedikit ada polesan De Caprio disini?" "Ya, boleh saja, Tuan. Anda boleh ambil lukisan Leonardo De Caprio dari seluruh dunia dan membawanya kemari. Anda pasti mampu melakukannya." Luna berjalan cepat-cepat meninggalkan Gavin di belakang. Gavin menggelengkan kepala heran seraya tersimpul menahan tawa atas apa yang dianggapnya lucu tersebut. ***** Sampai di ruang utama, Lady Earlene dan Frederich lebih banyak mengambil alih pembicaraan, terutama berkaitan dengan jadwal kunjungan Gavin Marshall yang padat. Kedatangan Gavin Marshall ke istana Alegra memiliki jadwal yang padat. Selama beberapa hari ke depan, ia akan mengikuti rapat bersama Kongres, juga menemui beberapa pebisnis ulung dan menerapkan beberapa strategi guna rencana Great Alegra ke depan. Ia memang bukan Raja, namun Lord Alastairs telah setuju dengan Grand Master of Wangsa B untuk mengutusnya langsung dan siapapun tidak ada yang sanggup membantah. "Ia akan menyelamatkan kita," demikian ungkap Lord Alastairs tempo lalu kepada Frederich di telepon. "Grand Master bilang dia yang terbaik." "Kau tahu, sesungguhnya aku merasa terancam," Frederich tidak menutup-nutupi kekesalannya. "Jika kau terlalu menuruti ucapan Grand Master itu, aku takut nantinya akan menjadi bumerang." "Aku tidak selalu mengikuti ucapan Grand Master, tapi aku mempertimbangkannya dan aku setuju." Lord Alastairs tersinggung. "Apa kau punya ide yang lebih bagus? Untuk menumpas para pemberontak Rebelution itu? Untuk menutupi defisit negara? Untuk menyelamatkan bisnis-bisnismu? Carikan aku solusi selain mendatangkan dia?" "Kalau begitu kenapa kau tidak datang kemari dan hadapi dia?" "Kalau aku disana dan menemui dia, apa kau sanggup disini dan menemui Grand Master?" Frederich tertohok. Lalu untuk menyembunyikan kekecewaannya, ia menghamburkan kata minta maaf. Lord Alastairs tak cukup ramah untuk merespon basa basi itu dan telepon ditutup sepihak. ***** Luna adalah orang terakhir yang sampai di ruang utama. Entah bagaimana, padahal ia pikir mungkin masih ada orang lain, Gavin misalnya, di belakangnya. Tetapi ternyata ia salah. Maka ia duduk dengan canggung di sofa di sebelah Linda. Gavin melirik The Duchess of The Honorable of Alegra itu penuh kelembutan, "Apa kau baik-baik saja, Lady Luna?" "Ya," jawab Luna, nyaris tak terdengar. Linda, William, Adrien, Frederich dan Alexandrina saling memandang kedua orang itu bergiliran, rasa heran menggelayut. Lady Earlene berdehem kesal. "Bisa kita mulai, Mr. Marshall?" tanyanya. "Oh, ya, baiklah," Gavin bersua, "Jadi aku datang kemari untuk menyelamatkan negeri ini dari hmmm... kelompok pemberontak Rebelution dan... hutang negara. Benar bukan, Ratu?" Lady Earlene tertawa kecil, "Benar sekali, Tuan Muda Marshall. Jadi, apa rencanamu?" "Aku punya banyak rencana. Kepalaku penuh dengan segudang ide," Gavin berkata dengan optimis. "Dari mana aku harus memulainya ya? Oh ya, mungkin dari masalah hutang. Ratu, bukankah besok kita akan ada rapat di parlemen dengan agenda merancang APBN dan menanggulangi defisit negara?" "Ya, benar." "Aku yang akan memimpin rapat itu, Mr. Marshall," Adrien menimpali. "Ini adalah pembekalan bagiku sebagai Putra Mahkota." Lady Earlene tersenyum anggun menyetujui ucapan Adrien. "Oh, baguslah!" seru Gavin. "Jadi aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar disini. Intinya, aku akan mengusahakan peningkatan pajak dan transparansi dari perusahaan-perusahaan swasta yang bercokol disini. Beres." "Kau akan datang rapat besok, Mr.Marshall?" William penasaran. "Oh, ya, tentu saja, Will. Aku harus berada disana untuk menjalankan rencanaku." Tak ada jawaban. Carter dan beberapa pelayan datang membawa senampan minuman dalam gelas-gelas piala. Masing-masing orang mengambilnya takzim. Hening. "Lalu bagaimana dengan masalah pemberontak itu?" Lady Earlene melirik Luna, "Aku dengar kau akan membawa 'putri kesayanganku' ini ke Asrama Honeysuckle, Mr. Marshall?" Yang disebut namanya hanya mampu meneguk setengah gelas anggur dalam satu tegukan. Ia teringat bahwa ia harus bersikap sopan, namun ia nyaris tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Sikap Lady Earlene benar-benar menyiksanya. Gavin memandang Luna, "Ya, dia akan ikut bersamaku untuk satu tahun ke depan. Kita akan menumpas pemberontak itu langsung di markasnya." Semua tercekat. "Aku tidak mengerti," Linda memberanikan diri bertanya, "Bagaimana?" "Luna akan meneruskan sekolahnya di Asrama Honeysuckle bersamaku," jawab Gavin, santai. "Asrama itu diduga menjadi pusat aktivitas para pemberontak. Kita harus adakan inspeksi langsung kesana." "Kenapa tidak suruh saja agen intelijenmu untuk menyelidikinya?" Luna spontan bertanya, suaranya bergetar ketakutan. "Karena kasus ini tidak bisa dilimpahkan begitu saja kepada anggota diluar kerajaan," jawab Gavin, tanpa memandang ke arah Luna. "Salah satu yang tidak dipahami para pemberontak itu adalah bahwa mereka tidak mengenal kalian begitu baik. Maka kita butuh sukarelawan. Salah satu dari keluarga kerajaan harus turun ke lapangan dan berhadapan dengan mereka. Dan aku memilih Lady Luna Lavina Alegra, The Duchess of The Honorable of Alegra." "Apa maksudmu? Aku akan dijadikan umpan?" Luna nyaris kehilangan kendali. Matanya berkaca-kaca, menahan jatuhnya air bah. "Aku tidak bisa melakukan ini," lanjutnya. "Ini sangat berbahaya. Mereka bisa membunuhku. Kalian tidak bisa mengorbankan aku begitu saja." "Luna, kalau bukan kau lantas siapa?" Lady Earlene blak-blakan. "Kau pikir aku yang harus turun kotor-kotor menghadapi mereka? Atau Adrien? Alexandrina? Lord Frederich? Kami semua sibuk mengurusi pemerintahan dan parlemen. Lalu siapa? Huh? William dan Linda? Mereka sedang sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Apa kau tega menghancurkan impian yang bertahun-tahun yang mereka rajut?" "Aku pun memiliki mimpiku sendiri, mama..." Luna terisak. "Apa yang telah kau rencanakan untukku seolah-olah aku tidak pernah ada. Kau mengatur hidupku seakan kau ingin membuangku." Plak! Tamparan itu mendarat keras di pipi Luna. Gadis itu jatuh tersungkur ke lantai. Kepalanya sedikit membentur kaki meja. Ia mengaduh kesakitan. "Apa yang telah kau katakan padaku, anak haram? Kau telah hidup bertahun-tahun disini dengan segala kemewahan yang ada. Aku, semua yang ada disini memberikan segala materi yang kau mau. Lalu apa yang akan kau berikan untuk kami? Huh? Apa kau pikir kau akan enak-enakan saja berleha-leha disini, anak haram?" Lady Earlene naik pitam. Suasana menjadi benar-benar tegang. Semua diam. Baik Adrien, Alexandrina, Frederich, William dan Linda, tidak ada yang berani menjawab ucapan Lady Earlene, bahkan memotong perkataannya. Dia adalah Sang Ratu. Siapakah yang berani melawan kehendak Sang Ratu? "Sebaiknya kau tahu diri," timpal Adrien, datar. *** Gavin mengalirkan napas panjang. Ia melukis senyum terpaksa yang canggung kepada semua anggota kerajaan dan memandang Luna yang tersungkur di lantai sekilas dengan ekspresi yang sulit dijelaskan; antara sedih tetapi merasa tidak bisa banyak membantu. "Baiklah," katanya kemudian. "Aku pikir itu saja yang aku sampaikan malam ini. Besok pagi kita akan sama-sama menghadiri rapat parlemen dan keesokan harinya lagi Luna akan berangkat ke Asrama Honeysuckle." "Yah, baiklah," Lady Earlene mengambil alih, "Sudah malam, sebaiknya kita pergi ke tempat masing-masing. Mr. Marshall, terima kasih atas penjelasannya. Ini adalah malam yang indah bersama denganmu." Lady Earlene tersenyum, terasa sekali bahwa ekspresinya dibuat-buat. Gavin Marshall mengangguk, "Aku ingin berkeliling istana sebentar, Ratu, sudah lama aku tidak menikmati udara malam Great Alegra." "Oke, baiklah. Bersenang-senanglah." "Terima kasih." "Alexa!Linda!Biarkan dia sendirian!" bentak Lady Earlene saat melihat Alexandrina dan Linda bergerak mendekati Luna yang masih tersungkur di lantai. Seketika, kedua gadis itu segera berlari mendekati Lady Earlene dan menunduk lemah penuh kepatuhan. "Kami akan tidur di Kastil Pribadiku," ujar William sambil memegang jemari wanitanya, Linda. Dalam beberapa detik, mereka telah menghilang dibalik dinding-dinding istana. Mabuk dan malam akan melarutkan mereka dalam gairah panas cinta. Oh sepasang tunangan yang bahagia. Adrien juga izin kepada Sang Ratu untuk menuju Kastil pribadinya. Tetapi saat sampai di gerbang pintu, ia melempar kunci mobil kepada Carter dan menyuruhnya ngebut mencari bar dan rumah b****l. Lady Earlene, Alexandrina, dan Frederich tetap tinggal di istana utama. Naik satu-dua lantai, mereka membuka gerendel pintu dan hanyut dalam mimpi masing-masing. Sekarang tinggal Luna dan Gavin berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD