Bab 192 : "Lord Alastairs"

1551 Words
Gelas-gelas saling bersulang. Sampanye. Wine. Brendi. Cocktail. Chocolat glace. Apalagi? Biskek. Salad. Daging kambing. Daging kuda. Makanan Perancis. Makanan Inggris. Skotlandia. Italia. Keju belanda. Oh jangan lupa, roti strada-makanan khas Great Alegra, semacam roti isi sayur dan daging yang dicampur dengan rempah-rempah. Macam-macam selai dan saus. Macam-macam perhiasaan. Macam-macam alunan musik. Pesta yang indah! Sungguh! Luar biasa! "Rodrigue! Tolong isi lagi gelas-gelas ini!" tukas Lady Earlene kepada Rodrigue yang sudah turun ke bawah mengikuti sang Ratu. Rodrigue mengangguk dan segera mendekati Lady Earlene berserta para bangsawan lainnya. Ha! Lord Alastairs disalami semua pejabat penting. Tertawa. Basa basi. Tertawa lagi. Terlena oleh hiruk pikuk pesta dan hanyut oleh kenikmatan. "Dimana Adrien?" tanya seorang pria tua berambut putih, Charles Rosenblum. Ia adalah ketua partai tunggal "Mata Angin" saat ini. Dengan satu sergapan, ia melihat remaja tampan yang dikerumuni gadis-gadis di sudut ruangan. Charles tertawa, "Ah, Adrien akan menjadi pria sejati. Akan aku kenalkan dia pada dua putri kecilku nanti," "Hmmm..." Romelda, sang istri tersenyum. Ia gamit jemari kedua putri kecilnya di kanan dan kiri erat-erat. "Adrien akan sulit memilih diantara mereka berdua." "Yah, kalau begitu, biarkan Adrien memilih keduanya," kelakar Lord Alastairs. Mereka semua bersulang. Kemudian para pria pejabat lain mendekat, Johannes Delbonel dan keluarga, Laughaire Schneid dan Danish-anak laki-laki satu-satunya. Kemudian datang pula kerabat paling dekat, adik Lord Alastairs, Frederich Ford Alegra dan keluarga. Tak lupa, mereka yang paling penting diantara yang terpenting, Wangsa B: Gavin Marshall, Leopold Sagan, Oswald Orben dan Nicholas Nietzsche. Mereka berbincang-bincang dengan elegan. "Terpujilah bagi Adrien. Semoga Tuhan memberkatinya dan menyayanginya sepanjang hayat," ucap Frederich. Seisi ruangan menjawab, "Terpujilah Adrien dan keluarga Alegra!" Mereka bersulang. Tepuk tangan membanjir. Yang dipuji-puji hanya tersenyum sambil menyalami beberapa orang dan menggoda kedua putri kecil Rosenblum, "Oh Dinah dan Diana," Lelaki itu mulai menebak dengan telunjuknya, "Dinah? Diana? Betul? Hmm.... ah, kalian sangat mirip hahaha..." "Ini Dinah, ini Diana," kata Romelda. Dinah dan Diana tersenyum kepada semua yang memandangi mereka. "Oh mereka sangat menggemaskan," tutur Lady Earlene. "Yah, dan kau tahu, Dinah dan Diana begitu mengagumi Luna. Kata mereka, dia sangat cantik dan baik. Mereka ingin bermain bersama Luna," jelas Romelda. "Tapi ngomong-ngomong, dimana Luna?" "Ah, ya, dimana Luna? Dari tadi aku tidak melihatnya?" tanya yang lain sambil mengangguk-ngangguk. "Dia sedang tidak terlalu bersemangat sepertinya," Lady Earlene berkilah. "Ah, begitu rupanya, sayang sekali." Lord Alastairs mengajak mereka semua bersulang. Mereka bersulang. Lagi dan lagi. Botol-botol minuman habis dalam sekerlip malam. Maka botol-botol minuman disediakan lagi. Diantara jas-jas dan gaun aristokrat, semerbak wangi mawar dan redup lampu pesta, mereka bertepuk tangan kepada kekuasaan dan kemewahan yang mereka dapatkan. "Sayang sekali Luna tidak disini," bisik Dinah. "Ya, padahal ini pesta yang sangat indah," jawab Diana. Adrien yang mendengarnya, tersenyum simpul. ***** "Saat itu aku sangat tidak nyaman dan terus memikirkan Lady Luna yang berada di lantai atas. Maka aku bolak-balik pergi ingin menemuinya, berharap aku dapat menghiburnya, tapi aku kaget betul waktu Tuan Muda Gavin Marshall tiba-tiba sudah ada di belakangku, dia memegang pundakku, ya ampun!" Rodrigue girang sendirian. Tapi kemudian, nada bicaranya sedih. "Yah, dia menyuruhku untuk tidak mendekati Lady Luna dan sebagai gantinya, ia yang menghampiri." Isadora, Georgette, Suzanne dan Carter terkekeh. ***** "Luna..." Gavin bersua lemah lembut. Luna kecil menoleh, matanya yang sembab oleh tangis disentuh pria itu. "Jangan bersedih," katanya, seakan mengerti penderitaan Luna. "Ini tidak adil, Mr.Marshall. Sangat tidak adil," tukas Luna. Kata-katanya berhamburan seiring dengan isak sesenggukan yang mengalir deras lagi. Gavin menghela napas. "Ada kalanya kita diperlakukan tidak adil. Ada kalanya kita bersedih, dan satu-satunya hal yang mesti kita lakukan adalah bangkit dari keterpurukan itu." "Tidak ada pesta yang tidak berakhir. Demikian pula kesedihan kita," lanjut Gavin ketika Luna tak mengucapkan apa-apa. "Nah, kemarilah, Luna, sayang, ada banyak hal yang indah untukmu." Luna tertohok. Baru kali ini seseorang memanggilnya dengan 'Sayang'. Panggilan itu mengejutkannya seakan kata 'sayang' baru hari itu ia dengar. Gavin merangkul gadis kecil itu dan mengelus rambutnya. "Kemarilah," katanya lagi. Luna menurut. Mereka berpelukan. ***** Pesta semakin larut, orang-orang semakin mabuk dalam bayang-bayang kemewahan. Namun tiba-tiba di tengah ruangan, lampu perlahan meredup hingga akhirnya tiada. Gelap. Orang kasak kusuk dalam bisik; bertanya-tanya tanpa jawaban. Hingga orang-orang mulai lelah berbisik, maka hening dan lampu menyala kembali. Akan tetapi tidak bercahaya seperti di awal, melainkan memancarkan sinar biru gelap yang membuat seluruh ruangan sebagaimana langit subuh. Tenang. Tirai menari-nari dibalik jendela yang dibuka. Angin berembus melewati segala celah, membelai wajah, melamunkan mimpi. Damai. Orang-orang mulai tertunduk. Sebuah suara merintih selembut kapas, semerdu violin, bergema di seluruh ruangan. Segera setelah itu, dalam gelap cahaya biru tua, muncul sekumpulan putra dan putri. Mereka mengenakan jubah putih berkerah merah dengan kain berwarna hitam yang memutari pinggang mereka. Di atas kepala putra, menempel topi putih seukuran kepala mereka, mirip dengan peci bagi umat muslim. Sementara di atas kepala putri, menghias dengan cantik cadar pernikahan berwarna putih transparan yang menutupi rambut mereka. Di atas cadar, mawar-mawar putih seukuran mini berbaris melingkari bagian atas kepala seperti bandana, tak lupa dengan satu dua buah daun yang memperindah kontras warna hiasan kepala tersebut. Mereka semua, putra dan putri, membawa lilin di kedua tangannya. Harpa berdenting berpadu dengan gitar akustik. Sebuah paduan suara bergaung dan mereka berputar-putar. Bersamaan dengan itu, mereka yang menghadiri pesta, menundukkan kepalanya sambil menautkan kedua tangan di d**a. Inilah inti pesta. Sebuah ritual yang disajikan para penari untuk mengenang Supermoon Berdarah. La la la la la, lantunan dari lagu dalam ritual di lantai bawah terdengar sampai ke atas balkon dimana Gavin memeluk Luna dari belakang. Ia mengelus rambut gadis itu lembut. "Apakah tidak apa-apa jika kita begini, Mr. Marshall? Lord Alastairs menyuruhku untuk bersikap hormat padamu." Hmm, Gavin bergumam. "Aku datang untuk menghibur seorang gadis, bukan minta untuk dihormati." Senyum Luna mengembang. "Dahulu ibuku sering sekali memelukku setiap kali aku merasa sedih. Katanya, pelukan dapat menghilangkan rasa sedih, karena dengan berpelukan kita tahu bahwa kita tidak sendirian, bahwa ada orang lain yang selalu bersama kita ketika yang lain pergi," lanjut Gavin. Angin berhembus kencang, menerobos celah-celah ventilasi dan jendela, menerbangkan tirai-tirai merah yang terjulur panjang. Gavin merapatkan pelukan. Kehangatan menyebar ke seluruh tubuhnya. "Terima kasih, Mr. Marshall," bisik Luna sambil terpejam. Gavin mengecup kepala Luna, merasakan harum rambut gadis itu menelisik indera penciumannya. Ia bernyanyi, mengikuti irama musik di lantai bawah. Ia terus bernyanyi sampai suara lirihnya tenggelam ke dalam mimpi-mimpi Luna. ***** "Wah, Tuan Muda Gavin Marshall memang benar-benar baik sekali ya," Isadora tak henti-hentinya kagum. "Yah," kata Rodrigue, sedih campur bingung terpancar di wajahnya. "Kenapa?" Georgette bertanya. Rodrigue menggeleng. Pada saat yang bersamaan, Lady Earlene memanggil para pelayan untuk menambahkan sampanye dan beberapa kue penutup. Maka para pelayan kembali kepada dapur dan kesibukan yang mengepul dibaliknya. Obrolan mereka tentang sang majikan lisut. Akan tetapi, Rodrigue merasa pening. Sebab ada satu hal yang belum diceritakannya tapi tidak mungkin ia ceritakan juga. Rodrigue menaruh kue-kue di atas nampan. Dengan gontai, ia menggoreng makanan penutup. Bunyi gemerisik meletup-letup dari penggorengan, dengan kejam memercik di tangannya setetes demi setetes. Rasa sakit menjalarinya seperti petasan, membuatnya terus teringat pada rasa sakit tentang Lady Luna yang tidak dia ceritakan. ***** "Mr. Marshall, bolehkah aku ikut denganmu? Bolehkah aku tinggal bersamamu?" tanya Luna, tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Gavin seketika tercengang. "Boleh ya? Aku tidak ingin berada disini, ibu dan Adrien tidak menyukaiku." "Bukan begitu, Luna..." Gavin mengelus rambut Luna, mencoba memberi pengertian. "Kau menyukaiku kan?" tanya Luna, polos. Gavin hanya menatap gadis kecil itu, bibirnya bergetar. Luna bertanya sekali lagi, Gavin tetap tak mengatakan apa-apa. "Kenapa kau tidak menjawab, Mr. Marshall? Jika kau menyukaiku, tolong bawa aku pergi dari sini." "Kau tak akan pergi kemana-mana, Luna," serobot Lady Earlene, secara mengejutkan sudah berdiri di belakang Luna dengan ekspresi sedingin es. Gavin dan Luna sama-sama tercekat. Lady Earlene menarik lengan gadis itu. "Kau jangan membuat keadaan menjadi buruk, gadis kecil. Pergilah ke kamarmu dan tidur! Kau tidak akan kemana-mana. Mr. Marshall tidak menyukaimu dan tidak akan membawamu pergi. Kau tahu kenapa? Karena kau adalah anak haram. Kau sama sekali tidak berarti!" Luna menangis. Ia menoleh kepada Mr. Marshall dengan tatapan memohon, berharap lelaki itu segera membantah pernyataan Lady Earlene. Tetapi hanya angin yang keluar dari mulut lelaki itu. Tidak ada kata. Tidak ada suara. Ia bahkan berbalik dan melangkah melewati Luna, meninggalkannya dengan bekas pandangan penuh pertanyaan. "Lihat, dia tidak peduli padamu! Berhentilah berkhayal bahwa seseorang akan membawamu pergi dari kesengsaraanmu. Kau tidak berhak mendapatkannya. Kau adalah anak haram. Itulah yang pantas kau dapatkan! Kau hanyalah seonggok daging! Kau tidak berarti!" Lady Earlene menarik Luna dan membawanya ke kamarnya. Ia membuka pintu dan melempar tubuh Luna begitu saja seperti melempar sesuatu ke dalam kandang. Klek. Ia mengunci pintu kamar. Luna menggedor-gedor pintu tetapi tak ada yang peduli. Dengan raut penuh kemenangan, Lady Earlene meninggalkan Luna sendirian. Pada suatu titik di langit, burung-burung malam sahut menyahut. ***** Air mata Rodrigue berderai-derai mengenang ini, bahwa sebagai Kepala Pelayan, ia tak mampu melakukan apapun untuk membantu majikan yang dikasihinya. Ia hanya bisa memeluk dan menghibur, yang sebenarnya tak banyak berarti karena seorang pelayan dengan Putri Kerajaan tak dapat hidup terlalu akrab. Demikian aturannya. Demikian rantai kekangnya. Malam ini, setelah bertahun-tahun ia tinggal di Inggris, Gavin Marshall hadir kembali. Rodrigue tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Lady Luna sekarang. Betapa pun teman-temannya terbius oleh betapa mereka yakin Gavin Marshall menyukai, bahkan mencintai Luna. Ia sendiri sangsi. Setelah lelaki itu berani meninggalkan Luna dalam keterpurukan, mungkinkah cinta itu benar-benar ada?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD