Bab 146 : Konspirasi Semakin Rumit

4245 Words
Malam menghitung waktu detik demi detik. Hujan masih mengguyur bumi, walau tidak sederas beberapa jam yang lalu. Jullia bangkit dari ranjangnya, meringkuk ke pojokan sambil menarik selimutnya. Ia tahu suasana yang hening dan dingin begini bisa menjadi penghibur bagi hatinya dan membuat jiwanya gampang terlelap. Tapi tidak dengan malam ini. Hatinya tidak terhibur, ramai bagai pasar malam dan jiwanya tak pernah berhenti bergemuruh, mengiris-iris kalbu. Sungguh, ia khawatir dengan kandungannya kalau ia terus-terusan begini. Tapi seperti kereta api yang terus melaju di atas rel, sebenarnya Jullia juga tidak mau kalau ia terus-terusan begini. Jullia kemudian bangkit, membuka-buka laci berisi buku-buku bacaan yang baru ia taruh beberapa jam lalu. Tadinya, ia berniat membaca untuk setidaknya mengaburkan pikirannya yang runyam walau sedetik. Namun, di antara tumpukan buku yang ia lihat di laci, terdapat sebuah buku bersampul kulit yang terasa begitu familiar dengannya. Buku yang judulnya ia tulis sendiri. Sebuah buku yang mengingatkannya pada seluruh kesedihannya ; Buku Diary-nya. Sudah lama Jullia tidak menengok buku hariannya. Sudah ratusan purnama berlalu sejak terakhir kali ia menulis. Ia ingat dahulu ia tidak punya teman sehingga menjadikan buku harian sebagai teman sekaligus wadah curahan bagi emosinya. Tapi kemudian konflik yang rumit menimpanya, membuat pikirannya ikut rumit, dan tiba-tiba saja, ia berhenti menulis. Sekarang, setelah semua konflik hidupnya bertambah rumit dari sebelumnya, ia menemukan buku hariannya lagi dan mulai tersentuh. “Dear God … “ Jullia membaca kalimat pertama dalam buku hariannya, kemudian tersenyum lemah. Kedua matanya berkaca-kaca. Lalu, terinsyafi oleh kegalauan hatinya dan kenangan masa lalu yang menyerbu, Jullia pun mulai mengambil pena. Ia duduk di atas kursi dan mulai menulis, menemukan kebiasaan lamanya lagi, menceritakan seluruh isi hati, mencurahkan seluruh emosi dan menangis. “Dear God … “ tulis Jullia. “Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak berbicara denganmu, tapi rasanya itu lama sekali. Aku ingat saat terakhir kali aku menulis surat kecil untukmu. Saat itu, aku masih menjadi anggota keluarga dari keluarga Baldwin. Ada ayah, Azriel, ibu-ibu tiriku, Eliza, bahkan Septania. Sekarang, saat aku mengingat nama mereka, wajah-wajah mereka telah kabur dalam ingatanku dan nama-nama mereka berubah menjadi mozaik-mozaik kecil di masa lalu. Aku berusaha mengingat momen-momen manisku dengan mereka. Tetapi rupanya tidak banyak hal indah yang bisa aku kenang saat aku bersama mereka, kecuali dengan segelintir saja, Ka Azriel, Elisa. Ah, aku rindu Ka Azriel. Bagaimana keadaannya sekarang?” Jullia berhenti menulis untuk mengenang wajah Azriel, kakak tercintanya. Ia teringat bagaimana Azriel selalu membelanya di hadapan ibu-ibu tirinya yang kejam. Ia teringat bagaimana Azriel bersusah payah untuk terus melindunginya. Ia teringat wajah Azriel yang terkejut saat mengetahui bahwa ia dan Archi berpacaran, dan air muka kecewanya yang menyusul kemudian, saat ia tahu bahwa adik kesayangannya hamil oleh sahabatnya sendiri. Ia teringat wajah Azriel yang berusaha menahan tangis saat dirinya hendak diusir, yang kemudian membuat dirinya ingin ikut menangis. Ia teringat semuanya. Kekecewaannya, emosinya, perasaan sedihnya dan sakit hatinya. “Ka Azriel … “ Jullia menyeka air matanya. Sampai detik ini, sejak pertama kali ia menikah dengan London, Jullia belum pernah bertemu dengan kakak kesayangannya lagi. Sekarang, ia membayangkan bagaimana reaksi Azriel saat mengetahui dirinya menjadi trending topic bersamaan dengan Archi dan Adrian. Sekarang, ia membayangkan akan seterkejut apa wajah Azriel saat mengetahui bahwa dirinya diperebutkan oleh dua pangeran dan sekaligus dibenci oleh seluruh dunia? Runyam sekali menjadi dirinya. Tapi, betapa pun, kalau boleh jujur, Jullia rindu dengan Ka Azriel. “Ya Tuhan, aku rindu … “ Jullia mulai menulis lagi. “Aku rindu dengan Ka Azriel dan aku rindu pada kehidupanku yang dahulu. Awalnya, aku pikir terlahir sebagai anak haram adalah hal yang buruk. Awalnya, aku pikir hidup dan bernapas di tengah-tengah anggota keluarga Baldwin adalah nasib terburuk yang pernah menimpaku. Tetapi, ternyata aku salah, Tuhan. Mengenal Archi dan berhubungan dengan Rotsfelller adalah seburuk-buruknya takdir yang pernah dijatuhkan untukku.” Jullia teringat saat pertama kali ia hendak meninggalkan Bait Lahem dan menuju Nasreth. Saat itu, ia baru saja menikah dengan London. Ijab qabul baru saja diserukan. Ia ingat bahwa ia berjalan menuju bus yang telah menunggunya, dan sebelum ia pergi, ia berbicara dengan Tuan Baldwin, ayahnya. “Sekarang, aib ayah sudah tertutup. Sekarang ayah tidak akan pusing lagi … Aku seharusnya tidak ikut ayah kemari … Tidak, ayah tidak perlu mengatakan apa pun lagi. Ayah tak perlu mengatakan apa pun lagi. Hubungan kita berakhir sampai sini … Aku tidak akan kembali ke rumah ini lagi.” Jullia menyeka air matanya lagi mengingat bagaimana hubungannya dengan ayahnya terdahulu. Hubungan yang menyedihkan. Hanya karena ingin menyenangkan istri-istrinya, Tuan Baldwin sampai tega membuang anaknya sendiri. Hanya karena tak ingin melukai hati istri-istrinya, Tuan Baldwin malah melukai hati Jullia. Sungguh, Jullia merasa sakit mengenang ini. Tuan Baldwin sungguh pengecut dan tidak punya nyali, bahkan hanya untuk membela Jullia di depan istri-istrinya. Tapi rasanya Jullia lebih sakit lagi sekarang, saat ia tahu bahwa aibnya semua terbongkar dan malapetaka telah menimpa keluarga Baldwin, keluarga yang telah dengan susah payah menyembunyikan aibnya. Keluarga Baldwin hidup hanya untuk menyembunyikan aib dan sekarang semuanya malah terbongkar. “Aku tidak tahu apakah aku bisa bertemu lagi dengan ayahku, Tuhan … “ Jullia meratap dalam buku diary-nya. “Tapi kalau bisa, aku ingin. Sangat ingin. Tapi aku juga takut kalau aku bertemu dengan ayah. Apa kata ayah nanti tentangku? Apakah istri-istrinya akan setuju? Apakah ayah masih menganggapku anak? Atau aku masihlah sebagai perwujudan dari dosa dan aib yang hidup, yang harus dilenyapkan?” Jullia terus menangis saat ia terkenang bagaimana ayahnya tersenyum, melengkungkan bibirnya ke atas dengan tulus. Betapa pun, setelah ia pikir-pikir, sebenarnya ayahnya cukup baik. Tuan Baldwin masih berusaha bertanggung jawab dengan membawa Jullia ke istananya setelah sang ibu meninggal. Betapa pun, setelah ia pikir-pikir, ternyata apa yang terjadi antara dirinya dengan keluarga Baldwin bukanlah apa-apa dibandingkan dengan apa yang telah terjadi sekarang, dibandingkan dengan apa yang telah terjadi antara dirinya dengan kaum Rotsfeller. Jullia menyesal karena pernah berkata bahwa ia tak ingin menemui ayahnya lagi, ketika saat ini sesungguhnya ia ingin bertemu ayahnya, memeluk dan mendekap orang tuanya itu penuh kasih sayang dan menghamburkan seluruh tangis. Ia menyesal karena sekarang ia sendirian, tak punya apa-apa dan tak punya siapa-siapa. Seandaianya sang ayah ada di sampingnya, Jullia pikir itu akan lebih baik. Atau jangan ayah, cukup Ka Azriel saja di sampingnya, bukankah itu bisa membuatnya sedikit lebih lega? Ah, andai waktu bisa diulang. Tetapi, sayang, waktu tidak pernah bisa diulang. “Aku tidak tahu dan sungguh tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, Tuhan? Aku sudah sampai di titik ini dan segalanya terasa bergerak ke arah yang lebih buruk. Namaku terpampang di mana-mana. Beritaku terus tersebar dan mengudara tiada henti. Aku sangat tertekan, Tuhan. Aku sangat tertekan dengan semua ini. Bagaimana aku bisa menghadapi semua ini? Lebih dari itu, bagaimana aku akan berurusan dengan keluarga Adrian yang Rotsfeller itu?” Jullia nyaris tak sanggup menulis lagi ketika curahan hatinya kepada Tuhan sampai ke sebuah nama “Adrian.” Oh, bahkan sekarang laki-laki itu tidak ada lagi di sampingnya. Kau tahu mengapa? Ya, benar. Karena mantan kekasihnya, Hera, bunuh diri dan Adrian merasa bertanggung jawab atas perbuatan bunuh diri Hera tersebut. “Kemarin saat aku mengepak-ngepakkan seluruh barangku dan mulai pergi ke Zhaka, ke rumah kecil ini, aku pikir beginilah akhir hidupku. Bahwa aku akan tinggal di gubuk ini bersama Adrian. Bahwa kami akan menua bersama dan mempunyai anak dan cucu. Tapi ternyata permasalahannya sekarang lebih rumit dari yang aku duga. Hera bunuh diri dan sekarang Adrian kembali menemui mantan kekasihnya. Lebih parah dari itu, sekarang Archi kembali. Ya, Archi, masa laluku yang sangat menyakitkan itu. Sungguh, aku harus bagaimana, Tuhan? Rasanya aku ingin bunuh diri juga, sama seperti Hera. Tapi tidak, tidak, aku tidak boleh begitu dan tidak akan selemah itu. Ada nyawa orang lain di badanku dan aku bertanggung jawab atas anak yang akan aku lahirkan nanti. Aku tidak boleh egois. Aku harus bertahan hidup. Jika tidak untukku, setidaknya aku akan bertahan hidup demi anakku.” Jullia, untuk ke sejuta kalinya, menangis mengingat calon anaknya, anak Archi yang sedang dikandungnya. Ia kehilangan kata-kata untuk melukiskan betapa sakitnya dirinya. Ditinggalkan saat hamil, dipermainkan dan sekarang, seperti tanpa dosa, tiba-tiba Archi muncul lagi di hadapannya. “Aku akan melindungimu,” begitu kata Archi. “Adrian yang menyuruh.” Ah, persetan dengan omong kosong itu! Jullia geram. Seandaianya badannya tidak lemas, Jullia pasti sudah menampar Archi satu detik saat laki-laki itu mengucapkan kalimat sok pahlawannya itu. Jullia membenci Archi. Oh Jullia sangat membenci Archi. Sungguh, demi Tuhan, JULLIA SANGAT MEMBENCI ARCHI!!! “Hiks… hiks… hiks… “ Jullia tersedu-sedan di kamarnya. Air matanya mengucur deras di pipi dan membasahi telapak tangannya ketika ia berusaha menghalaunya. “Ya Tuhan …” Jullia mulai menulis lagi. “Betapa pun, sebenarnya, aku pernah mencintai Archi …” Dan mungkin masih mencintainya sampai sekarang. Tidak sekuat dulu, memang. Tapi, ada satu titik di dalam hatinya, titik yang begitu kecil, yang mengatakan bahwa masih ada perasaan Jullia untuk Archi. “Dan aku takut, Tuhan. Aku takut jika Archi terus di sini, maka satu titik perasaan itu akan tumbuh dan berkembang kembali. Lukaku yang belum sembuh ini akan tergores kembali, dan … aku akan lebih sakit lagi daripada ini.” “SIAPA DI SANA?!” teriakan Archi yang melambung tinggi di tengah malam mengagetkan Jullia, mengganggu konsentrasinya dalam menulis buku harian. “Archi?” Gumam perempuan itu, heran. Seketika, Jullia menyeka air matanya dan berlari keluar kamar, menemui Archi, menemui sumber suara. *** “Ada apa?” Jullia tak ingin menunjukkan bahwa dirinya merasa terganggu oleh teriakan Archi. Tapi, ya, ia sungguh terganggu dan hal itu terlihat dari raut mukanya begitu saja, tanpa pernah Jullia minta. “Ada yang sedang mengawasi kita,” jawab Archi. Nada suaranya was-was. Sebentar, ia bangkit dari sofa tempat duduknya, lalu mondar-mandir, membuka tirai jendela, menengok ke kanan dan kiri. Malam masih menghitam. Di kampung kumuh Zhaka, kegelapan melingkupi karena lampu-lampu jarang ada. Ditambah dengan pohon-pohon yang berdiri di kanan kiri, membuat malam terasa mencekam. “Tidak ada siapa-siapa di sini,” kata Jullia. Matanya mengikuti tungkai Archi yang terus bergerak mondar-mandir. Ia kemudian duduk di sofa, menaruh bantal di atas pahanya dan kembali berkata, “Tolong jangan membuat kegaduhan. Ini tengah malam.” “Aku tidak membuat kegaduhan,” Archi ngotot. “Tadi ada seseorang yang mengintip ke arah rumah ini,” Archi menunjuk jendela. “Lewat jendela yang tidak tertutup tirai,” tambahnya. Jullia terkekeh, sedikit meremehkan pengakuan Archi. “Ya, pengakuan yang masuk akal,” ejeknya sambil bersedekap. “Jullia, aku serius.” Archi bergerak mendekati Jullia dan mencondongkan tubuhnya ke arah mantan kekasihnya itu. “Ada yang sedang mengawasi kita.” “Itu hanya kucing tetangga yang tidak sengaja lewat.” Jullia berkilah. Ia melempar pandangannya ke arah televisi, berusaha menghindar dari tatapan Archi. Ia tidak ingin tatapannya bertemu dengan Archi. Ia takut membangkitkan satu titik perasaan di hatinya lagi. “Aku bisa membedakan mana kucing yang tidak sengaja lewat dan mana bahaya yang sedang mengancam kita.” Archi terus ngotot. “Ada orang yang mengawasi kita di sini.” “Mungkin saja itu Tuhan,” simpul Jullia, masih berusaha untuk tidak peduli dan tidak percaya. Tentu saja, ucapan yang terlontar itu lebih diakibatkan karena sentimennya dengan Archi, daripada karena ia mencoba untuk memikirkan tentang siapa gerangan yang mengawasi mereka. “Aku serius, Jullia.” Archi terus menatap Jullia, meskipun wanita itu terus memalingkan muka. “Aku serius. Tadi aku liat sekelebat bayangan di jendela. Sepertinya ia ingin masuk ke sini, tapi karena ia melihat ada aku, akhirnya ia tidak jadi.” Archi semakin mencondongkan wajahnya ke Jullia, memangkas jarak di antara mereka dan berkata dengan tajam, “Kamu gak berusaha untuk mengabaikan peringatanku cuma karena kamu mau menghindariku kan?” Jullia mendengkus keras, merasa tersinggung dengan ucapan Archi yang seolah-olah berusaha untuk membuka luka lamanya. Ia melirik ke jendela dan mendapati skrup jendela yang terlepas. Ia tahu bahwa memang ada seseorang yang sedang mengawasinya, tapi ia berusaha menyangkal hal itu terus menerus. “Aku lahir di sini dan besar di sini,” ketus Jullia. “Dan selama aku di sini, tidak pernah ada hal heboh yang mengancamku atau sesuatu yang membahayakan aku. Jadi, Tuan Archimedes Rotsfeller yang budiman, maaf sekali, Anda berlebihan-,” “Kamu sudah pergi dari tempat ini sejak usia kamu tujuh belas tahun, Jullia!” Archi nyaris mengerang karena merasa diremehkan oleh wanita di hadapannya. “Dan sekarang kamu kembali ke sini sebagai seseorang yang punya riwayat bermasalah dengan Rotsfeller. Apakah hal itu gak cukup buat bikin kamu terganggu dan merasa was-was?” “Ya, semua itu kan karena kamu!” Akhirnya Jullia terpancing emosi juga. Mereka yang tadinya sudah saling diam, akhirnya kembali bertengkar. Obrolan yang tadinya sudah tegang, menjadi tegang lagi, dan terus saja, luka lama itu tergores lagi. “Kamu yang ngebuat aku jadi begini, Archi!” Jullia emosi. Suaranya parau. “Dan kalau ada sesuatu yang buruk, yang menimpaku hari ini, ya semua karena kamu! Karena kamu adalah penyebabnya!” Jantung Archi mencelos mendengar pengakuan Jullia. Ia sakit hati dengan ucapan mantan kekasihnya itu, tetapi ia pun tak dapat menampiknya. “Kenapa kamu datang lagi ke sini, huh? Kenapa kamu datang lagi menemui aku dan membuat segalanya menjadi semakin runyam? Huh? Apa? Karena Adrian? Bisakah kamu bikin alasan yang lebih masuk akal dan diterima oleh akal sehatku? Aku capek diginiin terus, Archi! Aku mau hidup tenang! Tapi satu-satunya alasan yang ngebuat aku gak bisa hidup tenang ya karena kamu! Kamu, Archi, kamu! Kamu adalah penyebab seluruh malapetaka yang menimpa hidup aku!” Jullia hampir mau menangis lagi. Tapi, untungnya, ia tahan. Ia tidak mau menangis di depan laki-laki yang paling buruk di matanya ini. Laki-laki yang paling ia benci sampai ke ubun-ubun. Laki-laki yang menjadi ayah biologis dari bayi yang tengah dikandungnya. Archi terdiam untuk beberapa lama. Ia sudah menduga kalau Jullia memang akan selalu membahas ini dan ia terima. Tapi ia tidak menyangka kalau kata-kata yang terlontar dari bibir Jullia itu masih saja menyakitkan hatinya. Ia selalu tidak siap dengan rasa sakit ini, meskipun ia sudah menduganya ribuan kali. “Maafkan aku, Jullia …” Akhirnya Archi berbicara, setelah cukup lama ia terdiam. “Maafkan aku … Aku salah … Aku terus mengganggu hidup kamu. Kalau kamu ingin aku pergi, aku berjanji aku akan segera pergi dari hidup kamu, Jullia-,” “Kalau begitu sekarang kamu pergilah!” serobot Jullia, kesal. “Kenapa kamu diem aja? Kenapa kamu gak pergi sekarang?” “Aku gak bisa pergi sekarang, Jullia.” “Ya, kenapa?!” “Karena kamu dalam bahaya!” Satu salakan itu membuat Jullia terdiam, dan membuat Archi nyerocos tanpa ampun. Lelaki itu semakin memangkas jarak di antara mereka. “Aku adalah penyebab dari semua kejadian buruk yang menimpa kamu?” Archi menunjuk dirinya sendiri. “Oke, aku sadar, aku memang biang kerok dari semua kejadian buruk yang menimpa kamu, Jullia. Dan kamu tahu, aku akan bertanggung jawab!” pekiknya. Mata Jullia membulat mendengar pekikan itu. “Apa maksudnya?” “Orang yang diam-diam mengawasi kamu!” Archi menunjuk jendela. “Orang yang diam-diam mau masuk lewat jendela! Ya, aku tahu, orang itu pasti ada hubungannya denganku, dengan Adrian, dengan Rotsfeller! Aku gak tahu apa maksud mereka tapi aku yakin banyak di antara anggota Rotsfeller pasti ada yang mulai menganggap bahwa kamu itu musuh dan beban. Oleh karena itu, mereka berpikir bahwa kamu harus dilenyapkan.” Butuh sepersekian detik bagi Jullia untuk memproses semua informasi ini. Butuh keheningan sepersekian menit baginya untuk mengaitkan semua permasalahan ini dari satu benang ke benang lainnya. Setelah ia menyerah untuk berargumen, karena pendapat Archi terasa sangat masuk akal dan sulit dibantah, Jullia pun menghela napas. Ia berkata, “Tapi aku cuma anak haram, dan aku hanya orang biasa. Aku bahkan bukan orang kaya seperti kalian. Kenapa ada orang yang menganggapku beban? Menganggapku musuh dan ingin melenyapkanku?” “Kamu bener-bener gak tahu sedahsyat apa kamu sudah mempengaruhi kehidupan dua pangeran Rostfeller, huh?” Archi bertanya. Di detik ini, ia merasa Jullia sudah sedikit mudah untuk dikendalikan. Jadi, ia bangkit dan mengambil tempat di sofa kosong, di samping Jullia. Ia lipat dan pinggirkan selimut yang tadi ia pakai untuk tidur. Jullia mengamati tingkah Archi, lalu ia bertanya lagi, “Pasti karena Hera bunuh diri ya?” Suara Jullia terdengar lemah. “Beberapa anggota keluarga kamu pasti berpikir bahwa aku adalah penyebab Hera bunuh diri. Mereka menganggap kalau aku telah merenggut kebahagiaan Hera, kan?” “Bisa jadi,” kata Archi tanpa memandang mantan kekasihnya. “Tapi kalau itu masalahnya, seharusnya mereka juga menyalahkan aku. Karena aku yang memulai semua kekacauan ini.” “Mereka gak akan mungkin nyalahin kamu karena kamu kan masih jadi bagian dari mereka. Lagipula, kamu suaminya Hera. Gak mungkin mereka menghukum kamu.” Archi memandang Jullia. “ Jullia …” “Jadi, beginilah sekarang,” Jullia mulai menarik kesimpulan. “Pada akhirnya, bagi siapapun, aku memang aib yang harus dilenyapkan.” Bagi keluarga Baldwin, Jullia adalah perwujudan aib yang bernapas dan hidup dari perselingkuhan menjijikan antara Tuan Baldwin dan pembantunya, Sheila. Dan bagi keturunan Rotsfeller, Jullia juga perwujudan aib yang bernapas dan hidup dari kisah cinta haram antara dirinya, Archi, Adrian dan Hera. Di mana pun ia berada, Jullia harus lenyap. Tak peduli apa, bahkan walaupun itu bukan kesalahannya sendiri. Tetap harus Jullia yang menanggung beban. Jullia yang harus mengalah. Archi sedih mendengar perkataan Jullia ini. Ia menoleh dan memandang wanita cantik itu dengan lemah. “Bukan begitu, Jullia …” “Memang begitu …” Jullia tertunduk. Sekarang, Jullia paham mengapa Adrian harus bersama Hera. Tidak semata-mata demi membuat Hera pulih kembali dan terbangun dari rumah sakit. Tapi juga demi kebaikan keluarganya. Adrian tidak mau keluarganya makin membenci dan menyalahkan Jullia kalau Adrian terus bersikeras bersamanya. Untuk saat ini, setidaknya ia harus begitu. “Aku berjanji akan menjaga kamu,” kata Archi, setelah hening beberapa lama. “Aku gak akan membiarkan mereka mencelakai kamu, apalagi menyentuh kamu.” “Tapi kalau kamu terus di sini, mereka jadi semakin punya alasan untuk mencelakai aku kan?” Archi terdiam. *** Tidak ada solusi terbaik. Maka, Jullia terpaksa tetap membiarkan Archi di sini untuk menjaganya. Ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur untuk membuat teh, semata-mata supaya dirinya sedikit lebih tenang. Saat ia kembali, ia mendapati Archi tengah menelpon seseorang. Setelah cukup lama mendengarkan, Jullia tahu bahwa seseorang yang ditelpon Archi adalah anak dari Rostfeller juga, dari keluarga Caliphate, Constantine. “Aduh, parah banget ya kalau masalahnya sampai sejauh itu,” seru Constantine, merasa prihatin. Tadinya ia mau ngomel-ngomel ke Archi karena sudah ditelpon malam-malam begini, tapi setelah Archi membeberkan masalahnya dan bahaya yang mengancam, ia pun menjadi kasihan dan tidak jadi mengomel. “Kira-kira menurut lo siapa yang mau nyelakain Jullia?” tanya Archi, berharap otak Constantine cukup pintar seperti detektif mengungkap praktik kejahatan. “Hera? Gak mungkin, kan dia bunuh diri,” jawab Constantine. “Lady Claudia? Lady Novina? Semua orang yang punya potensi gak suka sama kehadiran Jullia?” “Lady Claudia dan Lady Novina,” Archi mengulang ucapan Constantine. “Sepertinya gue patut mencurigai nyokap gue sendiri dan nyokapnya Adrian nih.” *** Dan sebenarnya kecurigaan Archi dan Constantine kepada Lady Novina dan Lady Claudia tidak salah. Hanya saja, mereka melewatkan satu orang; Marigold! Ya, Marigold, si gadis licik berwajah cantik dan manis, yang dari jauh terlihat sangat anggun itu, yang dari jauh terlihat seperti Han So Hee, ternyata ia adalah orang yang mengirimkan seseorang untuk mengawasi rumah Jullia di Zhaka. Dan sekarang, intel alias orang suruhannya itu tengah menelponnya. “Gawat, ini diluar dugaan!” Lapor sang intel, mendadak tegang. “Aku hampir saja ketahuan menerobos jendela rumah Jullia saat aku tahu ada Archi di sana, Nona,” lanjutnya tak kalah menegangkan. “Hah?! Archi?!” Marigold nyaris memekik mendengar kabar mengejutkan ini. Keningnya berkerut tak habis pikir. “Ada Archi di rumah Jullia?? Bagaimana bisa??” “Ya, bisa, karena kenyataannya memang begitu, Nona.” Intel itu berkata dengan mantap. “Kau tahu, Nona, Prince Archi hampir saja memergokiku dan nyaris menangkapku. Untung saja, aku berhasil kabur. Tapi, sayang, rencana masuk ke rumah Jullia dan membunuhnya kali ini gagal.” “Bagaimana Archi bisa berada di rumah Jullia??” Marigold masih tak habis pikir. Ia merasa tak menemukan jawaban yang memuaskan. “Mau ngapain dia di sana? Mau nambah masalah lagi? Emang gak cukup masalah yang dia udah buat sejauh ini?” “Untuk masalah itu, maaf, aku tidak tahu menahu, Nona.” Benar-benar jawaban yang tidak memuaskan! Anti k*****s! Marigold berjalan mondar-mandir di kamarnya. Ia tidak suka dengan kabar ini. Padahal tadinya ia sudah senang Adrian pergi menemui Hera di rumah sakit. Dengan demikian, ia berpikir Jullia sendirian sekarang. Tapi, apa? Malah jadi Archi yang ada di rumah perempuan murahan itu! Hihhh! Marigold gregetan. “Mau ngapainnn coba Archi di sana?? Gak cukup Hera bunuh diri karena ulah kamu, huh? Gak cukup apa??” Marigold tahu seharusnya pertanyaan ini ia tunjukkan kepada Archi. Tapi berhubung Archinya tidak ada di sini, maka ia lampiaskan saja kekesalannya kepada orang yang ada, yaitu intelnya sendiri. “Sungguh, Nona, untuk masalah itu, aku benar-benar tidak tahu.” Sang Intel memohon. Ia takut disalahkan oleh perkara yang sebenarnya tidak ia ketahui. “Pokoknya yang aku lihat itu, Archi ada di sana dan aku nyaris kepergok olehnya. Misi kita gagal malam ini, Nona.” “Ya, ya, aku tahu. Kita sudah gagal,” cetus Marigold, kesal. Ia menyugar poninya ke belakang, lalu mendengkus keras sampai dengkusannya terdengar di telepon seberang. “Benar-benar plot twist dan di luar dugaan,” sambungnya. “Aku khawatir jangan-jangan Jullia sudah curiga kalau kau mengincarnya, Nona.” Si intel berspekulasi. Marigold mengangguk. “Benar juga. Ah, ini semua benar-benar mudah ditebak. Aku takut Jullia tidak sepolos dan sebodoh yang aku kira.” “Sepertinya memang begitu, Nona.” “Huh, sungguh menyebalkan!” Marigold menghempaskan napasnya kasar bekali-kali dan berkali-kali pula ia menyugar rambutnya ke belakang, refleks atas rasa pusingnya oleh kabar yang tidak terduga ini. “Kalau begitu, terima kasih untuk laporannya. Tolong terus stand by yaa dan cari terus informasi tentang Jullia beserta orang-orang yang berada di sekitarnya. Jangan sampai lengah! Aku akan menghubungimu nanti untuk operasi selanjutnya!” “Baik, Nona.” Dan tut! Marigold langsung mematikan telepon. Cepat-cepat ia mengetik nomor di ponselnya dan menghubungi seseorang yang lain. *** Telepon berdering di kamar Andromeda. Lelaki yang tengah pulas tertidur itu pun terpaksa terbangun saat melihat bahwa Yang Mulia Princess Marigold menelponnya. “Ini jam tiga pagi. Ah, pasti ada sesuatu yang sangat penting yang mau disampaikan perempuan itu,” gumam Eda di dalam hati. Ia langsung mengangkat telepon itu. “Halo,” sapanya. “EDA!” Bentak Marigold tak karuan. Eda menjauhkan handphone dari telinganya begitu mendengar bentakan itu. Suaranya nyaring sekali dan bikin pekak. Eda menelan ludah, mengelus d**a dan mencoba sabar. Setelah agak tenang, ia mulai menjawab, “Ya, Princess, ada apa?” “ARCHI ADA DI RUMAH JULLIA SEKARANG!!” “HUH?!” Sungguh, Eda tadi sudah tenang. Tapi setelah mendapat kabar dari Marigold, ia jadi tegang dan was-was lagi. Keningnya berkerut. “Archi ada di rumah Jullia?” “Ya, Eda.” “Di rumah Jullia yang di mana?” “Di mana lagi? Jangan pura-pura bodoh, memangnya Jullia punya rumah di mana lagi?” “Di Zhaka?” “Ya, benar!” Suara Marigold semakin lantang di rembang malam menjelang subuh. “Aku gak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ini benar-benar diluar dugaan. Tadinya aku mengirim seseorang untuk menerobos masuk ke rumah Jullia, tapi gagal karena dipergoki oleh Archi!” Eda menghela napas dan mencoba menyusun semua informasi yang berdesakan masuk di otaknya. “Oke, jadi kau sudah mengirim pembunuh untuk membunuh Jullia?” “Tidak juga. Aku hanya menyuruh intelku untuk mengawasi.” Eda sedikit tidak percaya dengan perkataan Marigold. Alisnya bertaut, “Serius?” “Serius. Bukankah aku yang sudah menyuruhmu untuk mengeksekusi Jullia kan? Bagaimana bisa aku menyuruh orang lain untuk melakukannya? Dengar, intelku tugasnya hanya mengawasi. Tapi, sial, ia nyaris ketahuan gara-gara Archi!” Dan dengan demikian, Eda bangkit dari tempat tidurnya, duduk tegang dan mulai menanggapi laporan ini dengan serius. “Ya, Nona Marigold, kau sudah menyuruhku sebagai orang yang bertugas membunuh Jullia. Aku tidak ingin orang lain mengambil peran kehormatan itu.” Peran kehormatan? Haha! Eda memang paling pandai bersandiwara dan merebut hati lawan bicaranya! Tentu saja, Eda masih bersikukuh dengan strategi awal, bahwa ia tidak akan membunuh Jullia dan akan beraksi sesuai dengan rencananya sendiri. “Tenang saja, Eda,” Marigold meyakinkan. “Aku tidak akan memberikan tugas itu kepada siapa pun selain kepadamu. Lagipula, bukankah kau juga ingin memperkosa w************n itu? Mencicipi barangnya sebelum kau mencabut nyawanya?” “Haha, benar sekali, Nona. Kau sangat pintar.” Eda tertawa terpaksa, tidak ada kebahagiaan dan antusiasme yang terkandung di dalamnya. “Oke, jadi sekarang bagaimana?” Eda bertanya setelah hanya mendengar suara Marigold menghela napas berkali-kali. “Entahlah, Eda,” Marigold mengedikkan bahu dan memijit keningnya. “Aku pusing. Pergerakanku mengawasi Jullia pasti akan terhambat dengan adanya Archi di sana. Aku juga belum tahu apa motif Archi berada di sana. Bagaimana dengan Adrian? Apa mungkin Adrian membiarkan Archi satu rumah dengan Jullia? Serius? Bukannya mereka kemarin saling bertengkar karena memperebutkan wanita itu?” Sama seperti Marigold, Eda juga pusing dengan informasi yang diterimanya ini. Tapi tidak seperti Marigold, Eda cukup tahu apa yang akan dia lakukan untuk mengatasinya. “Tunggu sebentar ya, Nona,” kata Eda, sangat sopan. “Aku akan segera menghubungimu kembali.” Dan dengan demikian, Eda menutup teleponnya dan mulai menghubungi Adrian. Ada sesuatu yang telah terlewat di sini, pikirnya. Dan oh tidak, Eda tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD