Bab 147 :Adrian di Pelabuhan

4841 Words
Adrian tengah tertidur di samping ranjang Hera takkala ia mendengar ponselnya berbunyi. Saat ia melihat siapa yang menelpon, ia langsung beranjak keluar ruangan dan berjalan ke taman terdekat dari rumah sakit. “Ada apa, Eda? Tengah malem begini kok telepon?” tanya Adrian sambil duduk di bangku taman, di dekat sebuah lampu yang mengeluarkan satu lopak cahaya. Tidak ada siapapun di taman itu. Hening mengudara seperti di luar angkasa yang hampa udara. Adrian merasa lega dan merasa lebih bebas. Ia menguap sebentar, menahan rasa kantuknya. Ia tutup mulutnya dan ia mengerjap sebentar untuk menahan rasa ingin tidur tersebut. “Archi di Zhaka?” tanya Eda, langsung ke inti permasalahannya. Pertanyaan dari Eda itu sukses membuat nyawa Adrian terkumpul dan matanya menegang. Cepat-cepat ia menegakkan duduknya dan menarik napas, “Lo tau dari mana Archi di Zhaka?” “Ck!” Eda mencebik. Dari tempatnya berada, ia bisa merasakan desir angin menggoyangkan pepohonan dan suara kepak burung tinggi di angkasa melintasi kabel telepon dari seberang. “Lo gak bisa sembunyiin apa pun dari gue, Ad. Apalagi di situasi penuh masalah kaya gini,” lanjut Eda, berusaha menunjukkan betapa pentingnya posisi dia di sini. “Lo gak boleh gegabah. Setiap satu perbuatan lo harus dipikirin dan dilakuin dengan penuh pertimbangan, Ad.” Adrian membuka matanya lebar-lebar dan melihat ke arah atap. Perkataan Eda tentang “Gak bisa sembunyiin apa pun” telah membuatnya keningnya sedikit berkernyit. Apa maksudnya? Mengapa Eda tiba-tiba berkata seperti itu? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa Eda telah membuntutinya? Apa Eda yang justru telah diam-diam menyembunyikan sesuatu darinya? Adrian bertanya-tanya di dalam hati. Ia tahu ia tidak boleh gegabah, tapi apakah mempercayakan Archi adalah suatu tindakan yang gegabah? “Ya, gue yang suruh dia ke Zhaka, Da,” akhirnya Adrian mengaku setelah terdiam beberapa lama, sibuk merenung dan mencari alasan untuk menyangkal tapi tidak ketemu. “Karena gue harus jagain Hera di sini. Jadi, gue suruh Archi buat jagain Jullia di Zhaka,” lanjutnya, berusaha mengatakannya setenang mungkin. “Lo gila, Ad?!” Pertanyaan yang dilontarkan setengah teriak dari Eda gagal membuat Adrian merasa tenang. Kedua alisnya naik dan keningnya berkerut. “Kenapa emangnya?” “Lo nyuruh mantan istri lo untuk ngejagain istri lo?!” tanya Eda, terus memekik dan tak habis pikir. “Lo gak takut kalau nanti dia macem-macem apa, Ad?” Giliran Adrian yang tertawa mendengar kekhawatiran Eda ini. Pertanyaan Eda itu terdengar seperti keluar dari sebuah film. Bahkan ketika ia merasa bingung beberapa hari kemudian, pertanyaan itu masih terngiang-ngiang dan terasa janggal bagi otaknya. Ada apa dengan Eda ini sebenarnya? Adrian mulai bertanya-tanya. “Lo gak takut kalau nanti dia macem-macem apa, Ad?” Adrian mengulang pertanyaan Eda di kepalanya. Pikirannya pening dipenuhi oleh bayangan yang berkedeip-kedip, seperti bayangan yang dibuat oleh lilin, kemudian pacaran cahayanya bersinar di depan matanya. Akhirnya Adrian menghela napas lelah, “Gue udah ngomong sebelumnya sama Archi dan udah ada kesepakatan.” “Kesepakatan apa? Kok gue gak tau? Lo gak ngasih tahu gue?” “Yah, ini sebenarnya bukan murni sebuah kesepakatan sih.” Adrian diam sejenak. Ia bingung harus menjelaskan masalah ini dari mana. Mengapa Eda terkesan sangat ingin tahu dan mendominasi masalah ini? Tanyanya terus di batin. “Intinya, Da,” kata Adrian lagi. “Sekarang gue lagi bertukar peran dengan Archi. Hera butuh gue, jadi gue harus ngejagain dia. Tapi gue juga gak mungkin kan ngebiarin Jullia sendiri?” “Dan lo kirim Archi untuk ngejagain Jullia?” “Ya, begitulah.” Adrian mengangguk, meskipun ia tahu Eda tak bisa melihatnya mengangguk. Taman semakin hening. Menjelang subuh, kepak sayap burung hantu terbang menuju tanah-tanah terpencil yang belum terjamah. “Oke, baiklah. Gue mencoba untuk mengerti walau gue juga susah untuk ngertiin ini,” kata Eda, kemudian pura-pura menguap. “Hooaammm! Oke kalau begitu udah dulu yaa. Gue ngantuk banget nih. Seharian belum tidur. Besok kita sambung lagi ya obrolan kita. Lo jaga Hera baik-baik yaa. Gue tidur dulu sekarang. Selamat malam.” Telepon ditutup begitu saja. Adrian merasa tersengat. Seharusnya tidak boleh seorang Eda, yang mana derajatnya lebih rendah dari dirinya, menutup teleponnya duluan seperti itu. Seharusnya ia yang menyuruh dan memberi izin. Tapi mungkin karena Eda lupa, mungkin juga karena Eda sudah terlanjur terlalu akrab dengannya, akhirnya basa-basi dan formalitas itu luput dari tindakannya. Untungnya, tak apa-apa, Adrian tak marah dan tak mempermasalahkannya. Hanya saja, ada satu hal yang masih jadi pertanyaan dalam benaknya. Satu hal yang terasa janggal; Darimana Eda tahu kalau Archi ada di Zhaka? Untuk mengatasi kebingungannya atas sikap Eda tengah malam ini, Adrian buru-buru mengechat Archi, sepupunya. “Ar, lo ada ngasih tahu Eda kalau lo lagi ada di Zhaka dan ngejagain Jullia? Soalnya tadi Eda nanya ke gue buat mastiin keberadaan diri lo. Gue gak pernah ngasih tahu keberadaan lo ke Eda atau ke siapa pun, bahkan ke orang tua lo sendiri. Jadi, darimana Eda bisa tahu kalo lo lagi di Zhaka? Lo ngasih tahu kah?” Sayangnya, chat Adrian yang panjang lebar itu tidak dibalas oleh Archi. Belum dibalas, lebih tepatnya. Adrian pun menutup ponselnya, menarik napas dan akhirnya beranjak kembali ke kamar Hera untuk menemani perempuan cantik Rotsfeller itu. Pada suatu titik di langit malam, camar dan burung-burung hantu berkelepak. Suaranya riuh di rembang subuh. *** Pagi menjelang dan Hera masih belum siuman. Kata Dokter, kondisi Hera masih lemah, tetapi setidaknya ia sudah lebih baik dari kemarin. Lebih tepatnya, kondisi Hera sudah membaik sejak Adrian datang dan menemaninya. Adrian mengulum senyum mendengarkan ungkapan sang Dokter. Hatice yang baru datang subuh ini, juga begitu berterima kasih atas jasa Adrian. “Aku pikir kau tidak akan bertindak sejauh ini,” kata Hatice. Nada suaranya penuh kekaguman. “Kau benar-benar memenuhi perkataanmu untuk menjaga Hera,” sambungnya. “Aku tidak mau Hera bersedih dan putus asa lagi,” seru Adrian, tenang. “Hera harus terus hidup dan terus memiliki alasan untuk hidup,” lanjutnya, penuh pengertian. Sorot mata Hatice lemah dan air mata bergumul di pelupuk matanya. Sekarang, ia paham mengapa anaknya sangat mencintai Adrian. Terlepas dari fisik Adrian yang memang tampan, sesungguhnya Adrian adalah pria yang sangat baik. Hera sangat terpukul karena telah kehilangan sosok pria terbaik dalam hidupnya. “Bagaimana jika alasan Hera untuk terus mau hidup adalah kau, Adrian?” Hatice menanyakan ini dengan nada pelan, lama setelah mereka terdiam dan hanya sibuk memandangi lorong; Orang-orang mulai berdatangan seiring mentari yang naik menjulang. Para petugas rumah sakit mulai terlihat sibuk. Brankar didorong. Kursi roda didorong. Kantong-kantong infus di bawa dan dijejerkan di sebuah meja kayu. Loket dibuka dan seseorang dari balik loket memanggil seseorang yang lain dengan pengeras suara. “Kalau sekarang keadaan Hera membaik karena ada kau disampingnya,” kata Hatice. “Aku takut kalau kau nanti pergi, keadaan Hera akan memburuk lagi,” sambungnya parau sambil menahan air mata. “Terus terang, seluruh kehidupan Hera kelihatannya diancam kegagalan. Kepercayaan dirinya untuk terus dicintai mulai goncang dan ia benar-benar mengalami saat-saat yang penuh kesulitan hiks …” Akhirnya Hatice tak kuasa untuk menahan tangisnya. “Di saat-saat seperti ini, tolong jangan pergi dan meninggalkan Hera sendirian, Adrian hiks … hiks … hiks …” Melihat tangis Hatice, Adrian menjadi semakin gamang. Ia sudah menikah dan sudah punya istri. Hera juga sudah menikah dan sudah punya suami. Bagaimana mungkin Adrian bisa terus menemani Hera, istri orang? Bagaimana mungkin kisah cinta mereka terus berlanjut? Kalau pun terus berlanjut, jangan-jangan itu hanya karena Adrian kasihan? Dan betapa menyedihkannya menjalin cinta atas dasar kasihan, bukan? Tapi Hatice terus memohon dan Adrian, setidaknya untuk saat ini, tak bisa menolak permohonan itu. Ia tak ingin Hatice menjadi Hera kedua, sosok perempuan lemah yang kehilangan semangat hidupnya. Akhirnya, dengan lemah ia mengangguk dan mencoba menyunggingkan senyum kecil. “Ya, Lady. Saya akan terus bersama Hera dan menjaganya.” Tangis Hatice semakin pecah mendengar permohonannya disetujui Adrian. Kesedihan itu menyatu dengan kesedihan-kesedihan lainnya di ruangan rumah sakit ini. Di ujung lorong, apotek dibuka, menyeruakkan bau obat. Seorang pria tua dengan satu tongkat berjalan menuju apotek, menjulurkan kertas resep obat sambil menangis. Di luar jendela bening yang baru saja dibuka, seorang tukang kebun sedang menyiram bunga-bunga di taman. Sekuntum Scarlet Carson merekah di antara bunga-bunga itu. Titik-titik air yang menghiasi kelopaknya terasa jernih, dan membuatnya terlihat segar. Adrian memandangi sekuntum mawar itu dan pikirannya terbang melayang ke kelembutan angin lembah. *** Dokter mengizinkan Adrian untuk membawa Hera jalan-jalan sebentar ke pelabuhan terdekat. Lebih dari itu, pria botak berusia separuh abad itu justru menyetujuinya. Katanya, “Hera harus bertemu udara segar di luar. Rumah sakit ini, walaupun elit, masih saja terasa terlalu sumpek. Udara segar dan angin yang lembut akan mengaktifkan kembali sel-sel di otak Hera. Neuron-neuronnya akan bangkit dan bekerja lebih aktif. Alam akan merespon dengan baik rasa sakit yang diderita Hera,” tandasnya. Adrian tidak terlalu peduli dengan penjelasan ilmiah sang dokter. Intinya sekarang ia dibolehkan pergi bersama Hera. “Tapi harus didampingi suster ya,” sang dokter memberi nasihat. Adrian mengangguk. Ia lalu memalingkan wajahnya ke Hatice. “Kau mau ikut juga, Lady?” tanya Adrian, antusias. Tapi Hatice menggeleng. Ia merasa momen ini adalah murni milik Adrian dan Hera, dan ia tidak mau mengganggunya. Maka, dengan sadar diri, ia melangkah mundur, membiarkan beberapa suster melewatinya dan meraih ranjang Hera. Selimut Hera disibakkan. Baju birunya diganti dengan yang lebih bagus. Rambutnya di sisir. Wajahnya dicuci. Tak lupa sebotol parfum disemprotkan ke seluruh badannya. Dalam keadaan masih terpejam, para suster membopong Hera dan mendudukannya di kursi roda. Adrian berlutut di depan kursi roda Hera, memakaikan kacamata hitam ke sang mantan. Setelah semua persiapan selesai, ia kembali berdiri di belakang Hera dan mulai menarik kursi rodanya. Perjalanan pun dimulai. *** Kapal-kapal feri, ombak dan rerumputan di pagi hari menjelang siang, lampu-lampu neon yang hanya menyala saat malam dan sinarnya digantikan oleh sang matahari, dan bangunan-bangunan berdinding batu yang megah, tinggi dan luar biasa. Sepasang mata Adrian berbinar-binar menyaksikan kemegahan ini. Meyhem, negeri yang makmur. Bait Lahem, kota maju yang jauh lebih makmur lagi dari seluruh kota di negeri Meyhem. Adrian mungkin tidak setuju dengan beberapa kebijakan King Natahniel yang terkesan otoriter dan membungkam pendapat, tapi ia tak dapat menampik bahwa kakek buyutnya itu telah sukses membangun peradaban yang sangat maju di Dunia Sejada. Bahkan, peradaban yang dibawa King Natahniel adalah peradaban yang paling maju di antara negara-negara lainnya, yang menjadi pesaingnya. Katakanlah, peradaban (Bahkan sebenarnya belum bisa dianggap peradaban, masih berupa kebudayaan) di Kerajaan Azimuth yang masih sangat tradisional dengan hutan hujan tropisnya yang lebat, juga dengan orang-orang primitif zaman purbakala yang masih mengenakan koteka, yang masih menutupi organ-organ intim mereka dengan jerami (Dan bukannya dengan kain). Mereka hidup secara nomaden. Berburu dan meramu. Alat-alat mereka masih sangat sederhana, terdiri dari kapak genggam, tulang-tulang hewan dan peralatan dari kerang. Kjokkenmoddinger, begitu istilah yang mereka gunakan untuk menyebut dapur mereka. Alat paling canggih yang mereka gunakan masihlah tombak dan panah. Selain itu, tidak ada lagi. Mereka tidak mengenal pistol, senjata api apalagi teknologi nuklir. Belum. Hal-hal canggih seperti itu belum sampai dan belum masuk ke otak mereka yang masih sangat sederhana. Melihat Kerajaan Azimuth dari kacamata Kerajaan Meyhem, rasanya seperti melihat dunia lain dari dimensi yang lain. Nyaris rasanya tidak mungkin bahwa negeri yang maju, gemah ripah loh jinawi ini, ternyata bisa bersanding dengan negeri primitif yang barbar dan tertinggal. Meyhem seperti bergerak ke masa depan dan Azimuth seperti mundur ke masa lalu. Ibaratnya di Meyhem, kita merasa waktu sudah menunjukkan tahun 2030, tapi di Azimuth, kita seolah-olah tertarik dan waktu terasa masih di sekitaran 1300 SM. Luar biasa. Padahal dua negeri itu hidup di dunia yang sama, di garis waktu yang sama, tapi nasibnya beda dan garis waktunya juga terasa sangat berbeda. Ada lagi negeri tetangga dari Meyhem yang kuno, yaitu Petra. Bedanya dengan Azimuth. Kalau Azimuth masih primitif, tapi kalau di Petra sudah tidak primitif lagi. Di Petra, masih ada mobil, motor, handphone dan beberapa alat elektronik yang canggih. Hanya saja, kehidupan Petra sangat tradisional dengan nilai-nilai agama yang sangat kental. Menengok Petra, kita seperti diajak untuk menengok Eropa pada masa The Dark Age, yaitu ketika agama menjadi satu-satunya sumber kebenaran, ketika tatanan dunia dikontrol penuh oleh gereja, perkara benar dan salah pun ditentukan oleh otoritas agama. Menengok Petra, kita seperti diajak untuk tenggelam bersama nuansa spiritual, perang salib dan hal-hal yang bersumber dari Wahyu Tuhan, atau seolah-olah bersumber dari Wahyu Tuhan. King Natahniel sangat membenci tatanan hidup berdasarkan agama seperti ini. Oleh karena itu, beliau juga membenci Petra dan berusaha mati-matian untuk menguasai negeri agamis tersebut. Negeri yang tidak lebih baik dari Petra, adalah Maharabad. Bedanya dengan Petra, religiusnya Maharabad didasarkan atas agama Puritan, yakni agama yang tercipta dari protes atas agama asal, Noktah. Petra adalah negeri awal mula berdirinya agama Noktah, agama mayoritas di dunia Sejada. Itulah sebabnya Petra disebut juga sebagai The Old Country, sebab negerinya adalah negeri tertua, tempat segala asal usul dimulai. Negeri yang kuno dengan kota-kota kuno, The Old City. Sedangkan Maharabad adalah negeri yang tercipta, yang hukum-hukum kemasyarakatannya didasarkan atas agama Puritan, agama yang muncul atas hasil protes dari Agama Noktah. Ya, menurut mereka, agama Noktah itu punya kekurangan di sana-sini, misalnya seperti ritual pengakuan dosa, pensucian dosa dan ritual-ritual berdosa semacam itu. Mereka tidak setuju dengan ritual-ritual tersebut karena menganggap bahwa dosa-dosa mereka seperti brang dagangan yang bisa diperjualbelikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, bahkan dosa-dosa mereka bisa dihapus kalau mereka bisa membayar denda sekian puluh juta crownos. Benar-benar kurang ajar, menurut mereka. Dosa kok jadi mainan? Ya, tapi begitulah adanya. Tapi King Natahniel juga membenci Maharabad karena negerinya sama-sama beragama, meskipun agamanya berbeda dengan agama di Petra. Oleh karena itu, King Natahniel juga sangat bersusah payah untuk menguasai negeri kaum Puritan ini. Baik Petra ataupun Maharabad, negeri itu sama-sama kuno (Meski Petra lebih kuno), dengan rumah-rumah berbentuk kotak yang terbuat dari lempung, dengan jendela yang juga kotak-kotak dan kecil. Rumah-rumah tersebut tersusun di atas bukit berombak. Bagai tangga di taman gantung Rotsfeller, rumah-rumah itu berjejer naik dari bukit terendah sampai bukit tertinggi. Dari jauh memang terlihat indah, eksotis, walaupun juga panas, tapi kalau dibandingkan dengan Meyhem, tentu saja, Petra dan Maharabad masih kalau jauh dan kalah modern darinya. Satu-satunya negeri yang mampu bersaing dengan negeri Meyhem adalah Elazar. Dengan gedung-gedung pencakar langitnya, Elazar mampu menantang keangkuhan Meyhem dan menjadi penyeimbang dari konstelasi politik global. Elazar berbeda dengan Meyhem. Di Elazar, tidak ada Raja, adanya Presiden. Bentuk pemerintahannya juga bukan monarki absolut ataupun monarki konstitusional, tapi bentuk pemerintahannya adalah republik dengan mengandalkan sistem demokrasi. Presiden bertugas sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sementara jabatan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan jabatan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung. Di Elazar, tidak ada hukum purba seperti titian neraka. Siapapun yang bersalah secara hukum di Elazar, akan masuk penjara dan diproses secara hukum pidana atau hukum perdata. Seperti itu. Elazar adalah gambaran dari dunia modern yang berpandangan modern, sedangkan Meyhem adalah gambaran dari dunia modern tapi masih berpaham tradisional, kaku dan sempit. King Nathaniel juga sangat membenci negeri Elazar dan ia bersusah payah untuk menguasai negeri itu. Dan sampai sejauh ini, Elazar masih memegang rekor sebagai satu-satunya negeri yang paling sulit ia kuasai. Demikianlah sekilas tentang negeri-negeri yang ada di Dunia Sejada. Dan di Meyhem ini, Prince Adrian beserta seluruh keluarganya hidup, menempati kasta tertinggi sebagai keturunan Rotsfeller dan mendapatkan hak istimewa yang tidak pernah dimiliki oleh orang-orang diluar keturunannya. Adrian teringat dengan Zhaka, kampung kumuh yang menjadi noda hitam bagi Kerajaan Meyhem. Sungguh, kalau Jullia tidak pernah mengajaknya ke sana, mungkin ia juga tidak akan tahu. Masalahnya sekarang adalah ia tidak bisa serta merta terjun langsung untuk memulihkan Zhaka karena walaupun ia punya hak istimewa, tapi untuk kasus-kasus tertentu, ia masih harus berbuat sesuai dengan persetujuan Yang Mulia The Holy Lord King Nathaniel Rotsfeller. Adrian merasa sedih dengan orang-orang di Kampung Zhaka sana, tapi ia juga bingung karena ia tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi saat Adrian berada di sini, di pelabuhan megah yang dipenuhi kapal feri ini, ia tambah sedih lagi karena membandingkan dan menyadari satu kenyataan bahwa kehidupan di seluruh kota Zhaka ini masih tidak lebih baik dan tidak lebih mewah dari kehidupan di satu kapal feri ini. Sungguh, ironis dan sangat menyedihkan. *** “Lihatlah, Hera, semua keindahan ini.” Adrian berkata kepada Hera yang duduk di sampingnya. Setelah semua pergolakan batin akan negerinya yang penuh pro dan kontra, Adrian pun kembali ke mantan kekasihnya. Mereka duduk di pinggir pantai, di depan batu-batu cadas yang memisahkan antara laut dan pantai. Batu-batu cadas itu memecahkan ombak di ujung. Ombak yang pecah mengeluarkan bunyi deburan, bersaing dengan suara angin yang berayun, sahut-menyahut. “Kapal-kapal feri,” Adrian mulai bercerita sendiri. “Ombak dan rerumputan di pagi menjelang siang begini, dan bangunan-bangunan yang luar biasa. Semua ini merupakan pertanda bahwa kemajuan dan kecanggihan peradaban telah sampai kepada kita. Meskipun ya, kamu tahu, kemajuan ini selalu berdampingan dengan sisi gelap dari segala sesuatu. Ketika memikirkan semua ini, aku merasa diriku sama rendahnya dengan seekor semut di atas tanah. Tidak berarti sama sekali, tapi sekaligus merasa bangga karena telah menjadi bagian kecil dari dunia yang besar.” Adrian kemudian bercerita tentang banyak hal kepada Hera yang masih saja terdiam. Tentang kapal feri yang bergerak ke arah timur. Tentang kapal feri yang balik ke arah barat. Tentang pluit kencang yang ditiup sebagai tanda keberangkatan kapal. Tentang kapal-kapal pesiar yang megah, yang dikunjungi oleh kaum ekspatriat. Mereka meneguk anggur dan larut dalam pesta dansa di dalam. Bagi mereka, tak pernah ada siang. Hari selalu malam. Tak ada hari kerja. Semua hari adalah hari libur. Berbeda dengan gemerlap kapal pesiar, Adrian juga bercerita kepada Hera tentang kapal-kapal pengangkut ikan yang baru saja tiba di dermaga. Kapal-kapal itu memuntahkan berton-ton ikan, yang kemudian langsung diserbu oleh para tengkulak. Ikan besar dan ikan kecil dipisahkan. Beberapa ikan jatuh dari keranjang biru dan dipungut oleh anak-anak jalanan, untuk kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih murah oleh anak-anak tersebut. Aroma ikan menyeruak. Detik demi detik, aromanya semakin panjang dan sampai di hidung Adrian. Lelaki itu beranjak, mendorong kursi roda Hera dan bergegas pergi menjauh, menghindari bau amis tersebut. “Hera, kamu suka kalau aku ajak ke sini, Hera?” Adrian terus mengajak mantan kekasihnya itu mengobrol seperti orang normal. “Aku yakin kamu pasti suka. Bukankah dulu kita sering berjalan-jalan berdua begini? Dahulu, kamu sering banget ngajakin aku ke pelabuhan ini. Tapi aku gak pernah sempat karena sibuk, dan keinginan kamu itu gak pernah kesampaian. Tapi, sekarang, lihatlah! Aku membawamu ke pelabuhan yang kamu impikan! Kamu suka, Hera?” Adrian tersenyum sendiri. Angin menyambar-nyambar rambutnya. Sambil terus mendorong kursi roda Hera menyusuri bibir pantai, ia bercerita lagi, “Hmmm aroma amis ikan dari pasar ikan, kamu mencium itu, Hera? Juga, hmmm, aroma ikan bakar dari kedai-kedai yang baru saja dibuka. Kamu bisa mencium itu semua kan, Hera? Aroma laut. Aroma kerang. Aku menyukainya. Kamu juga menyukainya kan, Hera? Ayo, bangunlah, Hera, dan rasakan sensasi alam semesta ini, Ayo, Hera, kamu bisa! Bangun dan bangkitlah! Ada banyak keajaiban dalam hidup yang menantimu!” Tapi Hera tak sedikit pun merespon ucapan Adrian. Lelaki itu tertunduk sedih. Ia menghentikan laju kursi roda Hera di ujung barat pantai. Sambil terus mencium aroma laut, ia memejamkan matanya, menahan tangis, dan tiba-tiba saja pikirannya berlabuh ke masa lalu yang dipenuhi kegembiraan. *** Adrian tak ingat kapan terakhir kali ia pergi jalan-jalan berdua dengan mantan kekasihnya. Rasanya hal itu sudah lama sekali, menembus waktu berabad-abad yang lampau. Ia juga sudah lupa bagaimana rasanya kemesraan itu; Seperti kabut putih yang menggumpal dan perlahan-lahan menutupi pemandangannya, demikianlah perasaannya membeku. Ia merasa akan selamanya hidup seperti itu. Ia bahkan bisa membayangkan kematiannya; Mati di tengah-tengah tumpukan emas, tetapi sengsara dan merasa hampa. Ya, ia akan jadi seperti itu. Sekarang pun ia sudah menjadi demikian. Lantas, ketika lelaki itu teringat bagaimana ia pernah mengetuk pintu dan mengajak Hera pergi jalan-jalan berdua, ia pun terkesima. Hera membuka pintu dan melihat Adrian berdiri di hadapannya. Mereka saling berpandangan. Hera mengulum senyum dan Adrian ikut mengulum senyum. Binar-binar cinta masih berpendar di antara mereka. Saat itu, hubungan mereka masih kuat dan baik Adrian maupun Hera, keduanya masih sama-sama merasa bahwa mereka akan hidup berdua selamanya. “Ini adalah musim gugur terakhir,” kata Adrian, lembut sekali. Hera selalu terkesima dengan cara Adrian berbicara padanya yang lembut dan menenangkan. Adrian adalah lelaki yang bicaranya paling lembut di telinganya dan Hera selalu suka dan menunggu detik demi detik ketika lelaki itu berbicara. “Ini waktu yang tepat bagi kita untuk menikmati waktu berdua sebelum musim dingin tiba,” jelas Adrian. Semenjak awal pacaran, ia tak pernah pura-pura menyembunyikan maksudnya. Ia romantis dan lembut, tapi juga blak-blakan secara bersamaan. Sayangnya, kadang-kadang Hera suka gagal paham dan tidak memahami maksud dari kekasihnya itu. Hera terdiam sejenak. Keningnya berkerut dan bibirnya terbuka sedikit. Ia mencoba memahami maksud sang kekasih dari berbagai sisi, mencoba menyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan jebakan alias trik, apalagi prank. Akan sangat tidak lucu kan kalau ternyata ia hanya di prank? Lelucon apa ini? Apakah ini mimpi ataukah ini khayalannya semata? Sampai saat ia akhirnya yakin bahwa ini hanyalah jalan-jalan biasa, ia pun mengangguk. Adrian tersenyum lagi, dan pipi Hera merah merona seperti kerang rebus. Ketika jam di dinding menunjukkan pukul tiga sore, Adrian pun menarik tangan Hera dan membawanya pergi jalan-jalan ke kota indah, Europa. *** The Golden of The North. Begitu julukan yang diberikan dunia kepada si kota cantik Europa, kota wisata di Meyhem, yang juga merupakan salah satu kota terbesar di negeri tersebut. Julukan ini bukan sekadar julukan melainkan karena Europa merupakan salah satu kota di Meyhem yang memiliki kanal seperti kota di Grand Canal, Fenicte, yang terkenal dengan kanal-kanalnya. Europa juga merupakan satu-satunya kota yang berada di bawah permukaan laut. Bayangkan kota di bawah laut? Akan seperti apakah itu? Tapi itulah Europa! Karena berada di bawah permukaan laut, maka keberadaan kanal menjadi begitu penting di kota ini, bahkan ada kanal yang panjangnya lebih dari seratus kilometer! Namun, pada umumnya, terdapat tiga kanal utama yang menghiasi kota Europa yang kini ketiganya dimasukkan sebagai Situs Warisan Dunia. Ketiga kanal tersebut adalah Hezergemir, Buldgemir dan Heraklemir. Dan di Hezergemir inilah, Adrian dan Hera sekarang berada, bersepeda menikmati sore di musim gugur, melintasi jembatan dengan aristektur bangunan klasik abad pertengahan yang berada di tepian kanal. Cahaya matahari sore yang berwarna kuning keemasan membuat warna air dan pepohonan di sekitar kanal makin indah, membuat pemandangan tampak semakin eksotis dan romantis, seperti di negeri dongeng. Hezergemir sendiri sudah dianggap sebagai kanal terpenting di kota Europa. Pada abad ke-17, para pedagang terkaya, bupati dan walikota paling berpengaruh di kota itu tinggal di kanal ini. Bahkan hari ini, orang-orang yang berada di sekitar Hezergemir masih dipandang sebagai orang-orang yang prestisious dan wah. Adrian dan Hera melajukan sepedanya ke sisi kanan Hezergemir. Dengan sinar matahari tenggelam yang menyinari masuk lewat celah-celah awan makerel, Europa terlihat seperti dipenuhi dengan gorean kuas warna-warni hangat. Mereka melintasi bangunan nomor 70 dan Adrian sempat bercerita mengenai rumah tersebut, yang merupakan rumah saudara “The Silent Killer” dari tahun 1700, yang juga merupakan monumen sejarah nasional. “Europa didirikan pada tahun 1300,” kisah Adrian, mencoba menjalin ingatan sejarahnya, sekaligus mencoba untuk terlihat lebih pintar dan berwibawa di hadapan kekasihnya. Ia ingin Hera mengagumi pengetahuannya. “Tetapi walaupun Europa didirikan tahun 1300, sebagian besar rumah tua berasal dari setelah tahun 1600. Awalnya, sebagian besar orang Europa membangun rumah kayu. Pada abad pertengahan terjadi tiga kebakaran kota besar di mana hampir semua rumah di kota tersebut musnah. Kebakaran besar terakhir terjadi pada tahun 1597. Setelah kebakaran itu, dewan kota melarang pembangunan rumah kayu. Hanya rumah bata dan batu yang boleh dibangun.” “Kamu tahu tentang kisah di rumah nomor 70?” tanya Adrian ketika Hera hanya mengangguk-angguk saja mendengar kisahnya. Saking kagumnya dengan pengetahuan Adrian, Hera jadi tak sempat berkata-kata. Mendapat pertanyaan begitu, untuk pertama kalinya Hera menggelengkan kepala. Adrian menggoes sepedanya lebih lambat dan mensejajarkan lajunya di samping sang kekasih. Angin berembus menggerakan dahan-dahan pelan, menggores satu sama lain dengan jari-jari kayu. Di udara tercium aroma keju yang sedang dilelehkan ketika mereka melewati toko keju dan bau roti yang tengah dipanggang ketika mereka melewati toko roti. Seorang anak kecil berusia tujuh tahun lewat dengan sepedanya, menyenggol Adrian sedikit. Bocah itu baru pulang sekolah. “Pada abad ke-17,” Adrian menjelaskan lagi. “Pada zaman dahulu, rumah itu adalah panggung dari kisah cinta yang dramatis antara putri saudagar kaya Mercedes De La Force dan pelayan ayahnya. Masa sih kamu gak pernah denger kisah ini? Kisah ini sangat terkenal loh, Sayang.” Adrian memastikan. Hera menggeleng. “Aku gaptek dan gak up to date. Aku gak terlalu mengenal kisah-kisah di kota ini,” imbuhnya sambil menikmati gondola-gondola yang mengapung di atas sungai. Sepasang kekasih tengah bermadu cinta di atas gondola tersebut, tepatnya di sudut yang agak sepi dan jauh dari jangkauan orang-orang, di bawah lengkungan jembatan. Meski tidak mendengarnya, Hera bisa merasakan erangan nikmat dari sang perempuan, dari cara mata sayunya memandang dan bibir sensualnya terbuka. Tanpa sadar, ia tersenyum sendiri. Ia ingat Adrian juga pernah menciumnya seganas dan semenggairahkan itu. Rasanya geli-geli gimana gitu. Bulu kuduknya meremang dan tiba-tiba saja, aliran darahnya meningkat. Ah! Adrian menoleh ke arah Hera sebentar. “Ceritanya begini, Mercedes De La Forces jatuh cinta dengan pelayan ayahnya, tetapi cinta mereka tidak direstui. Lalu, ayah Mercedes, Baron Meruvingian menggunakan semua kekuatan dan pengaruhnya untuk mencegah pernikahan antara putrinya dan pelayannya.” Hera memperhatikan Sama’el. Ia menyimak kisah itu dengan khidmat. “Kemudian, akhirnya Mercedes kawin lari dengan kekasihnya dan pasangan itu dikaruniai seorang bayi. Tapi ayah Merubingian menyuruhnya melacak dan menemukan kembali Mercedes. Setelah itu, Mercedes dibawa pulang ke rumah ayahnya dan kemudian dia dipaksa untuk menikahi seorang lelaki pembuat senjata,” tandas Adrian. “Oh, sungguh kisah cinta yang menyedihkan dan berakhir cukup tragis.” Deru sungai sedingin es terdengar ketika Hera dan Adrian melintas di atasnya. Sementara di langit, kukuk burung-burung merpati terdengar di kejauhan. “Lalu apa yang terjadi dengan pelayan itu?” tanya Hera beberapa saat kemudian. Embusan angin berhembus kencang, seolah mengirisnya. Aroma keju dan roti telah hilang dan diganti dengan aroma anyir air sungai bercampur masakan yang sedang dimasak, yang menguar dari rumah-rumah berjendela kotak-kotak. “Aku enggak tahu,” jawab Adrian. “Aku cuma membaca kisahnya sampai situ saja. Tapi satu yang ingin aku sampaikan adalah betapa mahalnya harga yang dibayar dari sebuah perasaan cinta itu. Maksudku, kamu tahu bahwa Mercedes dan anak pelayannya itu saling mencintai. Apakah kedua insan yang saling mencintai itu adalah sebuah dosa?” “Tentu saja gak pernah ada dosa dalam hal cinta,” jawab Hera, melengkapi pernyataan kekasihnya. “Gak ada yang bisa menebak kita akan jatuh cinta sama siapa, pun gak ada yang bisa memilih. Seperti aku dan kamu sekarang, pernah gak kepikiran sama kamu kalau kita akan pacaran kaya begini? Padahal kita berdua ini adalah sama-sama keturunan Rotsfeller dan kita masing-masing sudah dijodohkan. Tapi, nyatanya apa? Kita tetap saja saling jatuh cinta dan berhubungan kan?” Adrian menggoes sepedanya sedikit lebih kencang dan menengok ke Hera untuk menggoes sepeda sang kekasih lebih kencang juga. Setelah itu, ia tersenyum. Angin masih menyambar-nyambar rambutnya, menimbulkan hawa sejuk yang nikmat. Dingin dan nikmat. Adrian merapatkan mantelnya dengan satu tangannya sebelum akhirnya ia bicara lagi, “Permasalahan kisah cinta kita sama seperti masalahnya Mercedes dan pelayan rumahnya, sama-sama enggak direstui,” katanya. “Tapi aku harap kisah cinta kita akan berakhir manis, dan bukannya berakhir tragis seperti Mercedes. Aku yakin bahwa pada dasarnya setiap orang itu bebas mencintai siapapun yang dikehendakinya, tapi kenyataan selalu menawarkan pilihan pahit. Kita boleh memiliki cinta, tapi dunia punya realita-.” “Dan siapa di antara kita yang paling kuat melawan realita, itulah yang cintanya akan dimenangkan oleh dunia,” potong Hera, optimis. Adrian menoleh ke Hera, untuk ke sejuta kalinya, memandangi wajah cantik perempuan itu; Mata besar dan basahnya, garis wajahnya yang lembut, pipinya yang kemerahan, merona di atas kullit wajahnya yang putih mulus dan bening. Pada saat itu, Adrian merasa ia sangat mencintai Hera, dan ia seoptimis itu. Bahwa suatu saat, ia pasti bisa memenangkan kisah cintanya dengan Hera. Bahwa kisah cintanya dengan Hera akan berakhir seperti kisah cinta dalam dongeng-dongeng; Happy Ending. Ia sadar dengan bahaya yang mengancam, tapi ia berpikir ia pasti bisa mengatasi bahaya tersebut. Sekarang, bertahun-tahun berlalu, rasa itu telah memudar, bahkan nyaris hilang. Adrian mulai berpikir bahwa ternyata selama ini kisah cintanya sama saja dengan kisah cinta manusia pada umumnya. Kisah cintanya sama saja dengan kisah cinta si Mercedes dan pelayan rumahnya; Tragis. Sulit ditembus. Begitu banyak dinding batu yang menghadang. Setelah segala yang terjadi, ia merasa tak lagi istimewa dan bahkan justru merasa begitu buruk atas semuanya. Nama Hera dan Jullia terus berkelebatan, silih berganti memenuhi kepalanya. Sambil terus mengenang masa lalunya, Adrian berpikir bagaimana keadaan bisa begitu cepat berubah. Manusia berubah. Hati berpaling. Angin yang tadinya berembus ke utara, tiba-tiba berubah arah dan berembus ke selatan. Nasib manusia tak pernah menetap. Seperti layang-layang di udara, nasib manusia bergantung pada tali yang tipis dan mudah putus. Membalikkan keadaan tak pernah semudah seperti membalikkan telapak tangan. Adrian menyadari ini dan kesedihannya pada hidupnya terus menyelimuti hatinya. “Mau ke alun-alun?” ajak Adrian. Hera yang masih belum sadarkan diri tak pernah membalas, tapi Adrian mendorong kursi rodanya dan mulai memutar arah, berganti tempat liburan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD