Bab 134: Malam Pertama di Zhaka

1012 Words
"Kalau begitu, Nyonya bisa tidur di dipan," Mr. Zuraya mencoba memberi solusi lagi. "Dipan ini masih bisa dipakai kan?" Mr. Zuraya menepuk-nepuk dipan. Debu mengepul dari busanya dan lelaki tua itu terbatuk-batuk. Uhuk! Uhuk! Uhuk! Bagaimana bisa dipan itu dipakai ketika debunya mengepul sebanyak itu? Ah, tentu saja, Mr. Zuraya hanya bergurau. Ia terus menepuk-nepuk dipan dan mencoba bersusah payah untuk membersihkannya. Jullia menunjukkan raut muka masam. Ia menggelengkan kepala, "Kalian berdua pulanglah dan istirahat di rumah. Biarkan ini jadi urusanku dengan Adrian," pinta Jullia. Ia merasa tak tega dengan kedua pelayan Rotsfeller itu. Mereka sudah seharian menemaninya dan sekarang mereka terlihat sangat lelah. Jullia tahu bahwa mereka pasti butuh istirahat. "Tapi Nyonya-" "Pulanglah," sela Jullia, prihatin. “Aku tidak bisa membuat kalian di sini lebih lama. Aku tahu kalian lelah. Jadi, pulanglah dan istirahatkan badanmu. Besok kita akan menghadapi hari yang lebih sulit lagi.” Sesaat, kedua pelayan itu membeku. Mereka menengok ke Adrian. Sorot matanya meminta persetujuan. Adrian menghela napas lemah. Ia tertunduk sebentar, menahan sabar. Tapi akhirnya ia berkata, "Ya sudah. Kalian turuti saja apa kata istriku." Adrian menyetujui pendapat Jullia. Memang, tidak baik untuk menyuruh para pelayan untuk kerja rodi. Walaupun mereka memang bekerja untuk kita dan kita menggajinya, tapi kita juga tidak boleh semena-mena. Begitulah. Ada jeda sebentar bagi kedua pelayan itu untuk diam. Sampai akhirnya keduanya mengangguk, lalu berjalan mundur dengan teratur dan akhirnya pamit undur diri, keluar rumah. “Besok kami akan ke sini lagi dan menengok semuanya. Kami harap besok akan lebih baik dan tidak ada hal buruk yang terjadi. Tuan dan Nyonya, istirahatlah. Kami tahu, kalian juga sudah lelah.” Begitu kata Mr. Zuraya dan Mr. Zendaya sebelum pergi. Jullia dan Adrian mengangguk lalu berterima kasih. Kedua pelayan itu pun benar-benar pergi. Sesaat, hening mengintai. Kini hanya ada Adrian dan Jullia. Suami dan istri. Satu keluarga, sebagaimana seharusnya. Mereka diam dan kikuk. Di luar, bulan bersinar separuh. Berdiam cantik di atas gedung tinggi yang bersinar keemasan. Sinar bulan itu kalah oleh sinar lampu jutaan watt yang megah. Tetapi, untungnya, di kampung Zhaka ini, sinar bulan terasa lebih berarti karena Zhaka tak punya sinar lampu jutaan watt. Rembulan tampak lebih indah dan berkilau di sini. Adrian masih menepuk-nepukkan tikar supaya sela-selanya terlepas dari debu. Sementara Jullia mengambil sapu lalu menyapu. Butuh kurang lebih setengah jam bagi mereka berdua untuk menyapu dan mengepel rumah yang lama terbelangkalai itu. Meski begitu, pekerjaan tidak cukup sampai disitu. Rumah ini sudah terlalu kotor. Setiap incinya dilapisi debu dan harus benar-benar dibersihkan oleh tenaga khusus. "Besok aku akan suruh Mr. Zendaya dan Mr. Zuraya menyelesaikan semua debu ini," kata Adrian. Jullia baru mau berkata namun lelaki itu sudah bicara lagi. "Dan gak ada penolakan dari kamu yaa." Jullia mengatupkan mulutnya. Adrian telah tahu bahwa Jullia adalah perempuan yang suka tidak enak kan. Makannya, ia buru-buru berbicara sebelum Jullia sempat mencegahnya. "Lihatlah, kamu kecapekan," Adrian memandang dengan prihatin kepada Jullia yang duduk di atas dipan. "Kamu lgi hamil, Jullia. Kamu gak boleh kecapekan. Aku gak mau kamu bekerja keras seperti ini. Lebih dari itu, kamu tahu aku sangat mencintai kamu, Jullia, dan aku tidak bisa tidak mengkhawatirkan kamu." Hati Jullia berdesir mendengar perkataan suaminya. Sejauh ini setelah mereka saling tahu keadaan masing-masing, Adrian cukup terbilang jarang mengatakan kata-kata menyentuh seperti itu. Jadi, setiap kali ada kesempatan ketika Adrian mengucapkannya, itu terasa sangat spesial. Namun, kemudian, Jullia tiba-tiba teringat Archi dan sadar bahwa dahulu Archi juga pernah berkata bahwa ia sangat mencintainya, tetapi akhirnya Archi pergi juga. Adrian adalah seorang Rotsfeller. Apakah pada akhirnya lelaki itu akan pergi juga? Suatu kesedihan menghampiri Jullia secara mendalam. "Jullia, kemarilah," pinta Adrian sambil menepuk-nepukkan tangannya di atas tikar yang sudah ia gelar. Jullia menurut. Ia merangkak pelan dan duduk di samping suaminya. Adrian merangkul sang istri. "Kamu tuh kalau dibilangin susahnya minta ampun," kata Adrian, setengah merengek. "Bukannya apa-apa, kamu tuh lagi hamil, sayang." Adrian gemas bukan main. Ia mengeratkan rangkulannya sampai Jullia terpojok ke badan Adrian. Ia menggumam penuh kemesraan. Kemudian, selama beberapa detik Adrian mencium Jullia karena saking gemasnya. "Ah," Jullia mendorong d**a bidang Adrian agar sedikit menjauh. Adrian terkekeh lalu mengacak-acak rambut Jullia. Senang sekali rasanya bisa bermanja ria seperti ini dengan pasangan yang halal. Meskipun harus duduk di atas tikar sederhana, di sebuah rumah lama yang telah ditinggalkan penghuninya. "Kamu ini," seru Jullia, mesra. Setelah mengenal lebih dekat dan setelah rencana penyamaran terbongkar, Jullia mendapati bahwa Adrian adalah lelaki yang memiliki nafsu yang besar. Ia ingat ketika ia menginap di Little Heaven. Ketika pagi-pagi baru bangun tidur dan Jullia menyambangi kamarnya, Adrian tidak tahan sendiri dan malah ingin menyerangnya. Masih segar dalam ingatan Jullia betapa ia sangat tersinggung saat itu. Tetapi sekarang, ah, lihatlah, Jullia malah membiarkan lelaki itu menyentuh tubuhnya. "Adrian, ah..." Jullia mendesah, tak kuasa melawan ketika sang suami mulai menciumi tengkuknya dan jemari tangannya mulai berkelana ke sekitar tubuhnya. Adrian meremas sesuatu dan sang istri mengerang. Udara menjadi panas dan hormon meningkat. Keringat mengucur. Adrian melumat bibir ranum Jullia. Memasukkan lidahnya dengan ganas. Mereka bertukar air liur. Saling menjilat dan ahh... suatu kenikmatan mengalir dalam darah mereka. "Jullia..." bisik Adrian di telinga sang istri. "Jullia..." katanya, lembut sekali. Sungguh luar biasa. Mereka yang tadinya hanya duduk biasa saja, bahkan sedang dalam keadaan lelah habis bersih-bersih, tiba-tiba menjadi bersemangat dan saling menginginkan satu sama lain. Adrian melucuti pakaian Jullia dan menelan ludah. Tergelak ia melihat kemolekan tubuh istrinya. Diraba, disentuh dan dipegangnya pelan. Diremasnya. "Ssshh..." Jullia mendesis. Sesuatu di antara kedua kaki Adrian menegak. Dan sesuatu di antara kedua kaki Jullia merasakan basah. "Ahh..." Adrian dan Jullia mendesah. Keduanya sama-sama merasakan kelegaan. Suatu cairan putih yang kental mengalir ke dalam lubang, memberikan kehangatan dan kenikmatan. Adrian dan Jullia bergetar. Mereka terengah-engah. Kemudian, mereka saling berpelukan, kemudian berpagut. Malam itu, di tengah-tengah kesederhanaan, Jullia dan Adrian menyatu. Barangkali ini adalah malam pertama mereka sebenarnya, sekaligus sebagai malam terindah. Bulan masih berpendar separuh, terjebak di bingkai jendela. Bulan, jendel, tikar, lantai, debu dan dinding-dinding yang diam, malam itu semua menjadi saksi atas cinta kasih dua orang insan yang telah hidup sedemikian rupa, diputar-putar takdir. Pecah di antara tangis dan tawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD