Bab 133: Malam Yang Sunyi

1016 Words
Usai makan, Adrian dan Jullia melanjutkan perjalanannya. Kali ini, perjalanannya tidak terlalu jauh. Pemandangan kanan kiri yang dilihat Adrian masih sama. Pemandangan kumuh dengan kemuraman dimana-mana. Adrian dan Jullia, juga dua orang pengawalnya, berbelok secara mekanik ke sebuah gang yang sangat sempit. Saking sempitnya, bahkan orang yang kurus pun harus berjalan miring untuk lewat. Benar-benar sebuah pemukiman yang sangat padat. Dari pada sebuah jalanan, tempat ini lebih terlihat seperti gang tikus yang bahkan jauh dari kata sehat. Adrian menghela napas lega ketika berhasil keluar dari gang tersebut. Jullia terkikik melihatnya. Ia sendiri masih tidak menyangka bahwa ia mampu membawa seorang pangeran menyusuri jalanan kumuh begini. Lebih dari itu, ia yang sedang hamil tambah tidak menyangka lagi bahwa ia mampu melakukannya. "Kenapa ketawa?" tanya Adrian, sedikit tak terima. Jullia mengulum senyumnya. "Kamu lucu pas jalan miring tadi haha." Jullia sedikit meledek. Adrian melenguh panjang, lalu tersenyum oleh ledekan istrinya itu. Kemejanya sudah basah oleh keringat. Jullia bisa melihat otot-otot Adrian menonjol di kain yang basah. Ia menelan ludah. Adrian tampak sangat tampan dengan banjir keringat begitu. Aura laki-lakinya sangat terasa dan tumbuh. "Sebenarnya sih ada jalan yang lebih baik tadi, cuma aku sengaja aja ngajak kamu jalan ke gang sempit biar kamu-" "Ohhh Jullia!" Adrian berkacak pinggang, kesal sendiri. Jullia makin ngakak. Keisengannya berbuah manis. Benar, Jullia memang sengaja memilih jalan sempit untuk mengerjai Adrian! Hah, ternyata enak juga bisa mengerjai seorang pangeran, pikirnya. Jullia dan Adrian akhirnya sampai di tempat tujuan; rumah Sheila, ibunda Jullia. Lebih tepatnya, rumah yang disediakan Tuan Baldwin untuk Sheila. Lebih tepatnya lagi, lubang tikus yang disediakan Tuan Baldwin sebagai sarana untuk menutupi aibnya. Kalau diingat-ingat, memang sangat menyedihkan. Sheila yang hanya seorang pembantu, terpaksa diasingkan oleh Tuan Baldwin ke sini. Padahal saat itu Sheila tidak sepenuhnya salah. Tuan Baldwin lah yang menggoda gadis malang itu. Tuan Baldwin yang menggoda, Sheila yang terjerumus dan Sheila juga yang harus menanggung seluruh akibatnya. Menyedihkan, tapi itulah hidup. Adrian menarik napas. Dibandingkan dengan rumah-rumah lain di sekitarnya, rumah Jullia ini tampak lebih baik dan lebih luas. Kalau keadaannya sekarang tampak berantakan, itu karena rumah ini telah ditinggalkan sekian lama. Tapi sebenarnya tidak terlalu buruk juga. Hanya terdapat beberapa bagian cat yang mengelupas di dinding. Jendela yang kusam. Atap yang bolong. Dan di muka pintu, terdapat banyak dedaunan kering dan sampah-sampah plastik. Jullia menyingkirkan itu semua sebelum menarik gerendel pintu. Adrian menoleh ke kanan dan kiri seakan tengah memastikan sesuatu. Ketika Jullia berhasil membuka pintu, debu dari atas pintu meluncur ke bawah, jatuh mengenai wajah, mengepul dan membuat Jullia dan Adrian terbatuk-batuk. "Mungkin rumah ini sudah pantas dijadikan museum," celetuk Mr. Zuraya yang berdiri di belakang Adrian. Ia juga terbatuk-batuk menghirup debu. "Hmm, pasti banyak sekali hal yang harus dibereskan disini," timpal Mr. Zendaya. Ia membayangkan betapa akan lelahnya ia ke depan untuk membereskan semua ini. Jullia, Adrian dan kedua pengawalnya lalu melangkah masuk. Hal pertama yang mereka lihat yaitu ruang tamu. Ukurannya tidak besar, tetapi juga tidak kecil. Terdapat dua buah sofa panjang dan meja kaca yang masih bagus. Saat Jullia menyentuh sofa itu, debu mengepul. Di atas meja terdapat vas bunga mawar yang terbuat dari plastik, yang juga kini berdebu. Di lantai tergeletak sebuah keset kumal yang tadinya berwarna abu-abu berubah menjadi cokelat muda karena yah, karena tertimbun debu. Belum sampai disitu, di dinding terdapat sebuah pajangan berupa lukisan pemandangan air terjun sebesar buku gambar A3. "Aku membelinya di pasar loak," cerita Jullia saat ia mendapati suaminya memandangi lukisan berdebu di dinding yang juga berdebu itu. Ia mengulum senyum. "Aku sangat suka lukisan." "Lukisannya bagus," Adrian memuji. Di istananya, di Little Heaven, Adrian juga mengoleksi beberapa lukisan. Lukisan paling mahal tentu saja. Dan bukan lukisan ala kadarnya yang dipajang di dinding-dinding berdebu seperti ini. "Dan selera kamu juga bagus." Adrian melanjutkan. Ia memikirkan bagaimana nasib seniman jalanan yang mampu membuat lukisan pemandangan sebagus ini sekarang? Ia harap kehidupan seniman lebih baik tetapi Adrian pikir terkadang mereka terlalu idealis dan hal itulah yang menyulitkan hidup mereka sendiri. Adrian berpikir untuk mengadopsi beberapa seniman sekaligus kalau memang ia menemukan lukisan mereka benar-benar bagus dan mampu menarik matanya. Uangnya pasti mampu untuk membeli kehidupan mereka, tentu saja. "Kamu tahu di mana tempat ini berada?" tanya Jullia, menunjuk kepada lukisan. Kedua matanya menerawang penuh arti. "Di mimpiku." Ia menjawab pertanyaannya sendiri. "Waktu itu, aku berkata kepada seniman itu bahwa semalam aku bermimpi berada di sebuah air terjun. Aku berenang di sana, merasakan kesejukan airnya. Angin berdesir dan..." Jullia melirik ke arah Adrian. "Kamu tahu, pemandangan di sekitar air terjun itu mirip dengan yang ada di Taman Rahasia." Adrian tergelak. "Benarkah?" Jullia mengangguk. "Ya. Tapi mimpiku itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Dan kamu tahu, apa yang dikatakan seniman itu padaku?" "Apa?" Adrian penasaran. Ia tertarik oleh kebetulan ini. Ada jeda sedikit sebelum akhirnya Jullia berkata lagi. "Seniman itu berkata bahwa aku akan bisa kesana, ke tempat dalam mimpiku itu." Dan ternyata benar. Jullia memang ke sana, ke taman rahasia Adrian. "Ah, apa seniman itu seorang peramal?" Adrian sangsi. Banyak di Dunia Sejada ini, orang-orang yang melakukan praktek ilmu hitam. Seniman itu bisa saja jadi salah satunya. "Seorang seniman kadang-kadang punya pemikiran yang aneh," serobot Mr. Zuraya dari belakang. Ia yang sedang melihat-lihat sekitar ruang tamu ikut nimbrung. "Kekuatan seorang seniman adalah ada dalam imajinasi." "Tapi dia mengatakan hal yang benar, Zuraya," Jullia menyela. "Bagaimana dengan itu? Apa kau pikir itu hanya kebetulan?" "Tidak ada yang kebetulan di dunia ini." Kali ini, bukan Mr. Zuraya yang berkata, tetapi Mr. Zendaya. Ia yang sedang meneliti teralis jendela akhirnya menyimpulkan. "Selain imajinasi, seorang seniman juga punya insting yang kuat untuk merasakan alam semesta. Singkatnya, mimpimu, Nyonya, juga bagian dari alam semesta. Jadi-" "Ah, kalian ini ngomong apa sih," potong Adrian. Ia yang memang basic-nya adalah orang bisnis, tidak terlalu nyambung kalau harus bicara tentang seni, apalagi metafora dan konstelasi alam semesta begini. Kepalanya tiba-tiba menjadi penuh. "Seniman itu hanya membual, dan kebetulan bualannya benar," simpulnya. "Tidak ada yang rumit dan tidak perlu dilebih-lebihkan." Jullia mengulum senyum, kemudian menggelengkan kepala. Adrian berbalik badan membelakangi lukisan itu, kemudian masuk lebih dalam menuju kamar tidur. Jullia, Mr. Zuraya dan Mr. Zendaya mengekor di belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD