Bab 130: Lanjutan Perjalanan Ke Kota Zhaka

1277 Words
"Adrian benar-benar dalam bahaya," simpul Constantine. "Adrian pasti tidak akan tahan dengan ancaman hukumannya," kata Archi. Ia terus mencari-cari alasan untuk menenangkan hatinya, sekaligus membenarkan perbuatannya. "Ia pasti akan melepaskan Jullia nanti." Adrian pernah begitu mencintai Hera selama tujuh tahun lamanya, tapi lama-lama cinta itu pudar juga dan Adrian meninggalkan Hera. Archi merasa hal yang sama juga akan terjadi pada Jullia. Nanti saatnya ketika Adrian bosan dengan Jullia atau ketika lelaki itu menemukan perempuan lain yang lebih menarik, Adrian akan meninggalkan Jullia. Potensi itu selalu ada karena rekam jejaknya ada. Sedangkan Archi... ya, ia memang menikah dengan Hera, tapi itu karena paksaan. Dan sampai detik ini, ia tidak pernah benar-benar meninggalkan Jullia. Archi bangga dengan kenyataan ini. Ya, semuanya hanya tentang waktu ketika Jullia akan kembali padanya. "Ya sudah, sepertinya itu saja yang bisa aku sampaikan hari ini," Constantine mengakhiri diskusi. "Setidaknya sekarang aku punya sesuatu untuk dilaporkan ke Golden of The Rock. Ah, aku tak tahu mengapa Istana Pusat memilihku," Constantine berkacak pinggang. "Padahal aku saja belum benar menjadi anggota Rotsfeller." Constantine mengingat bisnis-bisnis haramnya di perbatasan negara. Ia juga mengingat bahwa dirinya saat ini masih candu dengan n*****a. Ia heran sendiri kalau sekarang ia bisa berkata sebijak ini ketika ia merasa sesungguhnya ia tidak bijak sama sekali. "Ya, kau kembalilah," bujuk Archi. "Dan perhatikan kesehatanmu. Cepat-cepatlah kau rehabilitasi," Archi berpesan. "Raja Nathaniel tidak akan senang kalau tahu kau masih mengonsumsi barang haram tersebut." "Jangan ikut campur urusanku." Itu saja yang dikatakan Constantine sebelum akhirnya ia benar-benar pergi. Archi memandang ke kejauhan, kepada Constantine yang berjalan menjauh sebelum akhirnya hilang dibalik pintu. Ia tidak punya waktu untuk merenungi sepupunya itu saat ponselnya berdering. Telepon dari ibunya. "Ya, mama," jawab Adrian, datar. Ia merasa harus benar-benar memasang telinga untuk menerima semua ocehan dan dampratan keras dari Lady Claudia akibat kasus ini. "Kau dimana?" tanya Lady Claudia, panik. "Di rumah. Ada apa?" Archi jadi ikutan panik. Diluar dugaan, Lady Claudia sama sekali tak ingin mengoceh atau berceramah ke timur dan barat padanya. Justru, ia menelpon karena ingin mengabarkan suatu kabar buruk yang sangat penting. "Archi, Hera bunuh diri." Dan seketika, lutut Archi terasa lemas. *** Dua piring ludes sudah dilahap Adrian. Katakan apa saja yang tidak dimakannya? Kikil. Usus. Ati. Babat. Semua dikunyahnya. "Tambah satu piring lagi, Bu," pinta Adrian. Oh, bahkan ini jadi piring yang ketiga. Jullia melongok. Bahkan perempuan itu pun hanya memesan satu porsi dan belum habis. Tapi suaminya? "Kamu ini lapar apa emang makanannya enak atau apa?" Jullia keheranan. Adrian menampilkan seulas senyum. "Makanannya enak, sayang." Ahh... ternyata... Pipi Jullia bersemu merah, lebih karena Adrian memanggilnya sayang daripada karena Adrian menyukai makanan ibu warung ini. "Ya, makanannya enak banget," Mr. Zoraya ikut berkomentar. Kebetulan ia berjenggot dan jenggotnya ketetesan minyak dari ayam goreng yang sedang dimakannya pakai tangan. Mr. Zendaya juga demikian. Bedanya, Mr. Zendaya tidak berjenggot. "Syukurlah, kalau kalian pada suka," Si ibu warung merasa bangga. Matanya berbinar-binar cerah. Senyumnya merekah. Setelah ini, rasanya ia ingin memasang baliho di depan warungnya dengan bertuliskan "Orang Paling Ganteng Di Dunia Pernah Makan Disini dan Nambah Sampai Tiga Piring". Ia tertawa sendiri membayangkan ide konyolnya. Yah, Adrian memanglah tamu yang sangat spesial. Ia sudah tahu sekarang (Setelah bertanya pada anaknya) bahwa yang makan di warungnya adalah Prince Adrian dan perempuan yang ada disampingnya adalah Jullia. Mereka adalah sepasang suami istri yang terkenal. Sebenarnya si ibu warung bisa saja berjingkrak-jingkrak senang dan meminta foto, meminta ini itu, lalu memviralkannya. Namun Jullia adalah anak asli kota Zhaka dan sesuai dengan peraturan kota Zhaka, bahwa warga asli harus dilindungi. Maka, si ibu warung pun mengurungkan niatnya. Dan sekarang kalian tahu mengapa Jullia berkata bahwa Zhaka adalah tempat yang aman untuk mereka kan? "Kamu kembali lagi ya, Jullia," seorang gadis dari seberang jalan menghampiri Jullia. Gadis desa biasa dengan rambut yang dikepang dua. Itu adalah teman Jullia rupanya. Amanda namanya. Amanda melihat penampilan Jullia dari atas ke bawah. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia kagum sendiri. "Kamu semakin cantik saja, Jullia," gumam Amanda. Ia merasa minder dengan rok kotak-kotak dibawah lututnya dan kemeja putihnya yang sudah lusuh, sudah berwarna kekuningan. Sedangkan Jullia memakai gaun selutut yang anggun berwarna biru langit. Renda-renda menghiasi bagian bawah gaunnya. "Bait Lahem telah mengubahmu menjadi wanita metropolitan ya," tambahnya. "Oh Amanda," Jullia memeluk teman lamanya. Suatu kehangatan menjalar. Suatu kerinduan akan masa-masa bermain yang indah. Usai memeluk, Jullia tersenyum manis. "Aku gak pernah berubah, Amanda. Aku masihlah Jullia yang dahulu. Kamu lihat?" Jullia memiringkan kepalanya. "Aku masih selucu dulu kan?" Amanda tertawa. Kemudian, pandangan gadis dikepang dua itu beralih ke Adrian, sesosok pria tampan yang baru selesai makan piring ketiganya dan sekarang sedang mencuci tangannya di atas mangkuk berisi air. Amanda membungkuk hormat, "Salam, Prince." Adrian mengulas senyum. "Salam," katanya balik. "Jullia, kamu membawa Pangeranmu kemari? Astaga, teganya kamu, Jullia," seru Amanda. "Kamu akan membuatnya kesusahan." Giliran Jullia yang tertawa. "Tenang saja, Amanda. Ia akan belajar." Sambil berkata begitu, ekor mata Jullia melirik Adrian yang sedang meneguk es teh dari cangkir besar. Bibirnya melukis senyum. "Aku sudah mendengar kisah kamu di media sosial," tutur Amanda. "Aku juga menonton videonya. Sungguh pelik ya? Aku sampai kaget dan tak kuasa menahan tangis. Aku jadi rindu padamu. Aku bertanya-tanya apakah kamu kuat menghadapi itu semua? Tapi detik ini, setelah melihat kamu sekarang, aku percaya kamu adalah perempuan yang sangat kuat. Kamu bahkan lebih kuat dari yang pernah kuduga." Jullia terdiam. Amanda tak tahu berapa juta liter air mata yang telah ditumpahkan Jullia pada hari-hari yang penuh kesedihannya. Amanda tak tahu berapa kali Jullia harus menelan pil pahit seorang diri. Amanda tak tahu berapa kali Jullia berpikir untuk bunuh diri. Amanda hanya tahu luarnya saja, bahwa ia menikah dengan salah satu pangeran Rotsfeller, yang berarti kehidupannya secara finansial terjamin. Padahal dibalik sesuatu yang diberikan kepada seseorang, terdapat hal lain yang harus dikorbankan oleh orang itu. Hukum alam. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu memiliki segala hal. Tidak ada. "Jullia..." sahut Amanda, mengaburkan lamunan Jullia. "Ah, ya, Amanda," Jullia kembali fokus lagi pada temannya. "Sepertinya kamu sedang banyak pikiran ya," cetus Amanda, merasa prihatin. Jullia tersenyum letih, "Aku baik-baik saja, Amanda," katanya, meskipun matanya mengatakan tidak. Tapi jam terbang Jullia untuk menahan kesedihannya sudah cukup banyak, sehingga Amanda bisa percaya kalau dirinya baik-baik saja. "Ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu yaa. Nanti kapan-kapan kita ngobrol-ngobrol lagi. Kamu bisa datang kapan saja ke rumahku. Rumahku selalu terbuka untukmu," tutur Amanda, ramah. Jullia mengangguk, lalu mengulas senyum, "Ya, Amanda. Terima kasih." Dan kemudian pertemuan itu berakhir dengan singkat. Baik Jullia, maupun Adrian, sama-sama memandangi kepergian Amanda, seperti melihat satu penonton kehidupan mereka yang hilang. Kehadiran Amanda telah membuat Adrian membuat penilaian tentang persahabatan. Bahwa akan selalu ada orang yang tidak peduli tentang bagaimana dunia menilaimu, mereka akan tetap berlaku baik padamu. Bahwa akan selalu ada orang yang disisimu, meskipun seluruh dunia menghujatmu. Adrian teringat teman-temannya. Kemana mereka sekarang? Eda? Ernest? "Ayo kita lanjutkan perjalanan," Jullia mengajak. Tanpa sadar, ia menggamit jari jemari Adrian, membuat pria itu agak sedikit terkejut. Jullia jadi ikutan terkejut karena Adrian terkejut. Langsung saja ia lepas kembali genggaman tangannya. "Cieee cieee," Mr. Zendaya dan Mr. Zuraya bersorak-sorak. Jullia dan Adrian sama-sama tertunduk, tersipu malu. Mr. Zendaya dan Mr. Zuraya jadi ngakak mendapati tingkah majikannya. "Mereka saling mencintai," begitu yang dapat si ibu pemilik warung simpulkan di dalam hatinya. "Serasi dan saling mencintai, tapi mengapa berkonflik? Ah, dunia ini memang rumit. Ada orang yang saling cinta tapi tak bisa bersama. Ada orang yang bersama tapi tak saling cinta dan ada yang saling cinta dan bisa bersama tapi dicibir orang. Ah, dunia..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD