Bab 126: Cuaca Yang Panas

1049 Words
Si tukang es memberikan segelas es tebunya kepada Prince Adrian, yang langsung diminumnya dalam sekali teguk. "Lagi, Pak," Adrian kurang puas. Ia masih haus. Si tukang es memberi lagi. Adrian minum lagi dan minta lagi. Sampai tiga kali, barulah Adrian berhenti dan rasa hausnya berkurang. "Haaahhh..." Adrian menghela napas lega. Sekali lagi, ia mengelap keringat dengan punggung tangannya. "Ah, ternyata sulit banget ya," Adrian akhirnya mengakui. Sedikit keluhan keluar dari bibirnya, "Aku gak menyangka bahwa berjalan di kota Zhaka akan sesulit ini," lanjutnya. "Ini belum seberapa," Jullia berkata sambil mengunyah es batu. "Ini kita baru keluar dari lapangan helikopter loh, dan ini masih di jalanan besarnya, belum nanti kamu harus masuk ke jalan tikusnya, melintasi tiap-tiap gangnya dan hmm... ya, pokoknya perjalanan masih jauh deh." "Hahhh..." Adrian makin mendengus. Ia menundukkan kepalanya, menahan pusing yang perlahan mulai menyerangnya. Ia juga terbatuk sebentar. Kedua pelayannya yang melihatnya, yang juga sedang duduk menikmati es tebu, bertanya sekali lagi, "Prince, masih ada waktu untuk kembali, Prince..." "Diamlah," kata Adrian. Bibirnya menegang, "Aku pasti bisa melewati ini semua." Ya, demi Jullia, perempuan yang dicintainya. Ia pasti bisa. "Dan jangan panggil aku Prince disini," bisik Adrian. "Oke?" Mr. Zuraya dan Mr. Zendaya mengangguk paham. Adrian menyedot es tebunya, merasakan kemanisan terakhir. Sementara itu, si tukang es tebu makin heran. Perempuan cantik yang duduk disamping lelaki tampan bak Pangeran ini, bukankah itu Jullia? Si tukang es tebu ini telah menjadi tukang tebu sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Ia tahu Jullia dan telah khatam dengan wajahnya. Ia ingat bahwa setiap hari Jullia kecil selalu membeli es tebu padanya. Biasanya sepulang sekolah. Tapi setau dirinya, Jullia telah lama pindah rumah semenjak ibunya meninggal. Lantas, apakah saat ini Jullia kembali kesini lagi? Si tukang es tebu bertanya-tanya. Ia ingin berbicara tapi takut. Untungnya, Jullia yang menyadari kebingungan si tukang es tebu langsung dengan ramah menyapa dan menjelaskan bahwa benar, memang dirinya adalah Jullia, gadis kecil yang selalu membeli es tebu sepulang sekolah. "Oalah, sekarang kamu sudah besar dan cantik sekali yaaa," sahut si tukang es tebu, penuh kekaguman. Jullia mengulas senyum manis di bibirnya. "Segala sesuatu berubah, Pak," katanya. "Lalu siapa pemuda tampan ini?" si tukang tebu menunjuk Adrian dengan matanya. "Pacar kamu ya? Cieeee." "Dia suami saya, Pak." "Oalaaahhhh," si tukang es tebu makin kagum. "Benar-benar luar biasa Jullia sekarang yaa. Udah cantik, punya suami yang tampan juga lagi. Tapi kok ya wajahnya kaya familiar gitu ya di mata saya? Kaya pernah ngeliat dimana gitu." "Hayo, dimana?" Adrian yang dari tadi diam, akhirnya ikut nimbrung. Ia berusaha luwes dalam berbicara kepada kaum papa, kaum yang ekonominya jauh dibawahnya. "Kaya pernah liat di TV, gitu," tukas si tukang es tebu. Adrian mengulum senyum. "Di TV mana, Pak? Saya gak pernah main sinteron, Pak." "Ya ampun, kamu itu Prince Adrian!!!" Si tukang es tebu akhirnya sadar. Jantungnya mencelos mengetahui bahwa saat ini ia sedang berhadapan dengan seorang keturunan Rotsfeller, keturunan yang sangat megah dan mewah, dengan gelarnya yang bersayap-sayap. "Astaga! Astaga!" si tukang es tebu nyaris saja menjerit kalau saja Adrian tidak menenangkannya. "Hushh, sudah ya, Pak. Diam-diam saja," Adrian berkata. Ia menempelkan telunjuknya di bibir. "Ya ampunn, masih gak nyangka kalau Prince Adrian beli es tebu saya," si tukang es tebu terharu. Agak lebay memang, tapi ia memang mengelap air matanya. "Bapak, are you okay?" Jullia bertanya sekali lagi. "Yes, Yes, I'm okay," si tukang es tebu terus saja mengelap air matanya. Jullia berpikir sepertinya si tukang es tebu tidak tahu kalau dirinya dengan Adrian sedang viral akhir-akhir ini. Kalau mereka sedang dikejar-kejar oleh wartawan dan punya banyak masalah. Benar saja, si tukang es tebu memang tidak tahu. Dengan polosnya, ia kemudian meminta tanda tangan dan berfoto. Jullia dan Adrian jadi merasa artis. Tapi baiklah, mereka pun melayani foto si tukang es tebu. "Ini, Pak, untuk Bapak," Adrian memberikan sejumlah uang dalam jumlah yang besar. Si tukang es tebu makin melonjak mengetahui bahwa Adrian membayar lebih. Tapi sebelum si tukang es tebu makin berteriak dan histeris, Jullia dan Adrian sudah pamit undur diri. "Es tebunya enak banget loh, Pak. Ini pertama kalinya aku minum minuman di pinggir jalan," Adrian menunjukkan dua jempol. "Bagus. Bagus. Bagus." Si tukang es tebu terharu. Sekarang digenggamannya terdapat uang hasil pemberian Adrian. Uang itu besar sekali, cukuplah untuk makan dirinya sebulan plus membeli gerobak baru plus renovasi rumah plus membeli mobil. Wowwww!!!! *** Adrian, Jullia dan dua pengawalnya melanjutkan perjalanan. Mereka melewati jalanan di bantaran sungai. Adrian jadi teringat dengan mimpinya beberapa menit yang lalu. Setidaknya kesejukan di mimpinya itu sedikit menular ke dunia nyata. Adrian sudah takut kalau sungai di kota Zhaka akan sangat kotor dan bau. Beruntungnya, sungai itu cukup bersih. "Setiap hari petugas kebersihan berpatroli disini dan menghukum setiap warga yang buang sampah sembarangan," jelas Jullia. "Itulah sebabnya tidak ada sampah disini." Adrian mengangguk. Setidaknya, kali ini The Holy Lord Nathaniel sedikit memperhatikan masalah sampah. Tapi Adrian berpikir mungkin itu terjadi karena Nathaniel takut kalau sungai disini kotor oleh sampah, maka akan berdampak ke kota Bait Lahem juga. Maksudnya, ya karena sungai disini juga masih bagian dari anak sungai Saint, jadi kalau sekali disini tercemar, takutnya anak sungai yang lain juga ikut tercemar. Nathaniel tidak mau hal itu terjadi, makannya perkara buang sampah di sungai menjadi sesuatu yang dilarang keras disini. Tapi keuntungannya adalah masyarakat jadi bisa mandi dan mencuci baju di sungai. Sepanjang menyusuri bantaran sungai ini, Adrian sudah melihat beberapa anak kecil mandi, ditemani oleh ibu-ibu mereka yang asyik mencuci baju. Ada juga yang sedang mencuci piring, mencuci perabotan, bahkan mencuci buah dan sayuran. Adrian menelan ludah. Meskipun air sungai ini bersih. Tapi pemandangan melakukan kegiatan rumah tangga di bantaran sungai adalah sesuatu yang baru bagi Adrian. Pasalnya, tentu saja, karena ia tidak pernah melakukan serta mengalami hal itu. "Kamu pasti akan sakit perut kalau makan dari buah-buahan yang dicuci di pinggir sungai, " celetuk Jullia, sedikit menggoda. Adrian ngotot bilang tidak, tapi raut wajah dan matanya jelas mengatakan iya. Jullia pun tertawa. "Kita lihat saja sampai sejauh mana pangeran ini bisa bertahan. Ingat, ini belum seberapa. Ada pemandangan yang lebih parah menanti di depan sana," kata Jullia. Adrian memandang kejauhan. Ia menyipitkan matanya. Jantungnya mulai berdebar-debar melihat apa yang tersedia di depannya. "Prince, masih ada waktu untuk kembali, Prince-" "Diamlah," potong Adrian, senewen kepada dua pelayannya. Jullia makin tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD