Bab 127: Adrian di Kota Zhaka

1071 Words
Sampai di sebuah perempatan, Adrian, Jullia dan dua pelayannya menyebrang untuk kemudian memasuki jalan tikus yang sepanjang kanan dan kirinya dipenuhi oleh rumah-rumah reot yang terbuat dari kardus dan karung goni. Adrian terkesiap. Benar kata Jullia bahwa pemandangan di bantaran sungai tadi belumlah apa-apa, karena apa yang tersaji disini jelas lebih parah. Adrian melihat rumah-rumah kardus itu begitu kumuh. Konstruksi bangunannya sangat lemah hingga ketika angin bertiup, rumah itu seolah-olah akan ikut terbang. Tak usah bertanya tentang standar kesehatan untuk rumah-rumah tersebut. Tak ada jendela, apalagi ventilasi. Pintu hanya sekadar tirai dari kain bekas. Tak ada kunci. Tak ada gembok. Tak ada pula yang mau repot-repot mencuri barang di dalam rumah itu, karena memang tidak ada barang berharga yang bisa dicuri. Adrian melihat tulisan-tulisan lucu pada kardus yang dijadikan rumah itu, tulisan-tulisan dari iklan buah, iklan mie instan, hingga iklan rokok. Mereka benar-benar membuat rumah dari barang bekas, pikir Adrian, merasa ngeri. Rumah -rumah itu begitu sempit. Rasanya rumah itu hanya cukup untuk ditempati maksimal dua orang. Tapi lihatlah, satu keluarga bisa tinggal di rumah tersebut. "Dan mereka harus tidur bergantian karena tempatnya tidak mencukupi," tutur Jullia, disela-sela langkah kakinya. Adrian jadi membandingkan rumah-rumah tersebut dengan Little Heaven yang ia punya. Hanya untuk satu kamarnya saja, luasnya bisa untuk seukuran rumah-rumah kardus untuk satu RT. Adrian membayangkan berapa ribu orang yang bisa tidur di Little Heaven seandaianya Istananya itu dibuka untuk umum. Miris sekali memang. Satu orang tinggal di tanah yang begitu luas dan orang lain harus tinggal berdesak-desakan, bahkan sampai tidak ada sirkulasi udara di dalamny, bahkan sampai satu orang harus keluar dahulu untuk satu orang lain bisa tidur. Adrian tak mampu membayangkan betapa susah dan menderitanya hidup mereka selama ini. Lebih parah lagi, ternyata rumah-rumah kardus itu tidak difasilitasi kamar mandi. Jadi, kalau mereka mau mandi atau buang air besar, mereka harus pergi ke luar gang untuk mengantri. Bilik-bilik kubus terbuat dari seng itu bahkan tidak cukup layak untuk dijadikan kamar mandi. Tempatnya terlalu sempit dan karena terbuat dari seng, tentulah itu akan sangat panas. Selusin orang sedang mengantri ketika Adrian melewati bilik-bilik jamban ini. Pangeran tampan itu langsung tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau ia harus ikut mengantri. "Apakah kamu harus mengantri juga, Jullia?" tanya Adrian. Jullia menggeleng, "Syukurlah, ayah menyediakan rumah yang cukup besar untukku dan ibu," lanjutnya. Ayah, bibir Jullia merasa getir kala menyebut nama itu. Rasanya sudah lama sekali semenjak terakhir kali ia bertemu dengan Tuan Baldwin. Ia nyaris tak pernah benar-benar memikirkan pria itu kecuali detik ini dan itu pun buru-buru ia tepis dari pikirannya. "Belok sini," kata Jullia. Adrian menurut. Mereka melewati jalan yang lebih sempit dan perumahan yang lebih rapat lagi. Di sini, Adrian melihat anak-anak kecil yang sedang mandi di depan rumah mereka. Beruntungnya, kalau anak kecil, mereka bisa mandi dan buang air besar dimana saja, bahkan di depan rumah. Dengan air seember, lalu diceboki oleh ibunya. Adrian merasa geli sendiri. Ia tak pernah mengalami pengalaman itu. Tapi kemudian, ia menjadi sedih. Anak-anak ini, betapapun susahnya, namun ia memiliki kedekatan tersendiri dengan ibunya; dimandikan dan diceboki. Adrian ingat, saat masih kecil ketika ia belum bisa buang air besar sendiri, bukan ibunya, tapi baby sitter yang melayaninya. Ibunya hanya sebagai pemberi ASI. Kalaupun ia digendong ibunya, itu hanya sebentar. Lady Claudia terlalu sibuk mengurusi urusannya sendiri. Macam-macam saja kegiatannya, dari urusan kerajaan, urusan keluarga hingga urusan bertemu dengan para sahabat sosialitanya. Untuk satu alasan ini, sebagai anak, Adrian merasa diabaikan. Dan selain tidak punya kamar mandi, banyak juga dari mereka yang tidak punya dapur sehingga mereka harus masak diluar. Saat Adrian lewat, ia melihat ibu-ibu sedang mengoseng makanan. Aroma kangkung yang diberi kecap asin dan bumbu lezat menyeruak, membumbung ke udara, mengajak perut siapapun yang menghirup aromanya untuk segera berpesta. Air bersih disini juga cukup langka. Sehingga tampak penjual air bersih lalu lalang dengan gerobaknya. Adrian melihat pompa air dan sumur di dekat kamar mandi, tapi sepertinya itu hanya layak dipakai untuk mandi dan cuci-mencuci saja. Untuk minum? Itu jauh dari kata layak sehingga mereka harus beli. Warung-warung sembako hampir selalu ada di setiap gang, juga para penjual es dan makanan yang menjajakan makanannya di depan rumah. Adrian berhenti sebentar di sebuah warung makan sederhana yang menyediakan makanan rumahan. "Aku lapar," kata Adrian, "Kita makan disini dulu ya sebentar." "Kamu serius mau makan disini?" Jullia menguji. Tentu saja, ini bukanlah restoran bintang lima yang biasa ia makan. Ini adalah rumah makan sederhana depan rumah yang bangkunya saja terbuat dari kayu yang sepertinya nyaris keropos. Adrian menggeleng, "Tidak masalah." Setelah mencoba nikmatnya es tebu, maka rasanya bagi Adrian tak masalah juga untuk menikmati sedikit makanan disini. "Asal jangan kue pane," Adrian berkata. "Kalau kue pane, itu jelas bukan karena masalah pedagang jalanannya, tapi cuma masalah selera." Jullia menoleh ke Mr. Zoraya dan Mr. Zendaya yang dari tadi mengerek koper mereka. Ia menanyakan tentang makanan kepada mereka berdua lewat isyarat mata, dan dengan isyarat juga, Jullia langsung paham. "Oke, kita makan dulu disini," putusnya. "Mr Zoraya dan Mr. Zendaya, kalian bisa duduk disana," Jullia menunjuk pojokan warung yang masih tersisa dua kursi. Sebab kursi yang ini sudah diduduki Adrian dan hanya ada sisa satu kursi untuk Jullia sendiri, tentu saja. Mr. Zoraya dan Mr. Zendaya pun dengan senang hati menuruti perintah Jullia. Mereka meletakkan koper disamping mereka dan mulai memilih-milih makanan dari kertas daftar menu yang ada di atas meja. "Apa makanan terbaik yang ada disini?" tanya Adrian kepada pemilik warung. "Kikil. Usus. Ati. Babat," jawab pemilik warung. Adrian nyengir. Isi perutnya terasa bergejolak mendengar daftar nama makanan itu. Apa itu? Kikil? Usus? Ati? Babat? Bukankah itu semua jeroan? Adrian memang suka daging. Tapi untuk makan jeroan? Aih, ia belum pernah. "Coba saja, kamu pasti suka," bujuk Jullia. "Kamu juga tadi bilang belum pernah ngerasain air tebu kan, dan pas ngerasain kamu suka. Coba sekarang kamu ngerasain makanan dari jeroan, siapa tau kamu suka juga," lanjutnya. "Atau ada ayam kerongkongan, mau?" si pemilik warung menimpali. Berpuluh-puluh tahun ia jualan disini, baru kali ini ia mendapatkan customer seaneh ini. Tak pernah minum air tebu? Tak pernah makan jeroan? Hah, kemana saja hidupnya selama ini? Pikir si ibu pemilik warung. "Apa itu?" Adrian mengernyit. "Ayam kerongkongan?" Hah, bahkan ayam kerongkongan saja ia tidak tahu, gumam si ibu pemilik warung di dalam hati. Ia menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD