Bab 128: Prince Constantine

1027 Words
Jullia dengan sabar kemudian menjelaskan apa itu kikil, usus, ati dan babat. Adrian jadi merasa sedikit bodoh karena tak mengetahui bahwa bagian organ tubuh hewan yang seperti itu bisa dimakan. "Bahkan otak sapi pun boleh dimakan kalau kau mau, Prince," tutur Mr. Zendaya, yang kemudian disambung oleh tawa kecil. Adrian berusaha tidak tersinggung karena tawa kecil itu. Jullia langsung menghasut Mr. Zendaya, menepuk punggungnya. Bukan, bukan karena Mr. Zendaya telah menawarkan otak sapi. Namun, karena lelaki paruh baya bergaris wajah kuat itu baru saja mengatakan "Prince", yang mana merupakan suatu kata yang dilarang disebutkan di sini. Mr. Zendaya menutup mulutnya, menyadari keteledorannya. Ia memandang Adrian dan menyadari bahwa Adrian dari tadi tengah memandanginya tajam, penuh kekesalan. "Maaf, Pr-" "Sssstt, jangan ngomong, Prince," potong Mr. Zoraya. "Lah itu tadi kamu ngomong?" Mr. Zendaya heran. "Itu contoh." "Hhhhh..." Adrian menggeleng-gelengkan kepala. Pusing. Si ibu pemilik warung juga ikutan pusing. "Prince?" tanyanya di dalam hati. Ia merasa memang salah satu pelanggannya ini memang sangat tampan, tapi apakah mungkin seorang Pangeran mau makan di tempat kumuh begini? Si ibu pemilik warung menoleh ke kanan dan ke kiri, takut-takut kalau ternyata warung makannya ini didatangi intel atau seperti di film-film, menjadi tempat penyergapan suatu operasi kejahatan. Tapi tidak. Si ibu tidak menemukan satu tanda-tanda kejanggalan, yang kemudian membuatnya tambah heran. Kebetulan si ibu ini penghuni baru di kota Zhaka, jadi ia tidak mengenal dan tidak tahu bahwa Jullia pernah tinggal disini. "Jadi, kita mau pesen apa?" Suara Adrian mengaburkan si ibu dari lamunannya. "Oh ya, boleh, silahkan, pesan apa saja." Adrian mengalirkan napas panjang. Perutnya yang sudah keroncongan memutuskan untuk dirinya menunjuk saja makanan itu dengan asal. Jullia memberi seulas senyum kepada suaminya. Di dalam hati, ia merasa sedikit bangga karena mampu membawa suami alias Pangeran Rotsfeller ke tempat seperti ini dan makan makanan begini. Bahkan Archi pun tak pernah dibawanya kemari. Adrian, luar biasa. Ia sangat spesial. Karetnya dua. *** Sementara itu, ketika Adrian dan Jullia sedang asyik menikmati petualangan barunya di kota Zhaka, di istana keluarga Ruby Rotsfeller yang super mewah, Prince Constantine datang menemui Archi. Ia datang atas perintah dari Istana Pusat Golden of The Rock untuk menanggapi berita viral yang terjadi saat ini. Di kamar Archi yang berantakan dan dipenuhi barang-barang yang pecah akibat pertengkarannya dengan Hera, Constantine duduk. "Oh, aku tidak percaya bahwa aku ditugaskan untuk menangani masalah ini," keluh Constantine. Ia duduk di atas sofa sambil melipat tangannya di d**a. "Benar-benar merepotkan," tambahnya. Kata-katanya mengandung nada ejekan. Ia merasa sudah terlalu sibuk oleh urusannya sendiri, mengapa pula ia harus menyelesaikan masalah orang lain? "Nama baik keturunan di atas kepentingan pribadi, kau paham?" Constantine menasehati seperti ibu mertua. "Aku rasa kau sudah tahu itu sejak kecil, tapi mengapa masih dilanggar juga? Ah, merepotkan sekali." Constantine terus menggerutu. Ia menyapu pandangannya kepada barang pecah belah di sekitarnya. Beling-beling yang berserakan. Cermin yang retak. Kursi yang terbalik. Meja yang salah satu kakinya bengkok. Hanya dengan melihat kondisi kamar ini, Constantine menyadari betapa gawat situasinya. Ia jadi bertanya-tanya sendiri apakah menikah itu sedemikian buruk dampaknya? Dan ia memutuskan untuk lebih baik tidak tahu. Membayangkan ia akan dijodohkan oleh seorang gadis Rotsfeller adalah bayangan yang terlalu menakutkan untuk dipikirkan. Archi yang duduk diseberangnya, yang hanya dibatasi oleh sebuah meja bundar, berkata, "Bukan aku yang memulainya." "Ck!" Constantine mencebik. Ia sedikit membuang pandangannya ke samping sementara kedua tangannya masih terlipat di d**a. "Bukan kau yang memulainya? Ya, terus kau pikir kenapa ini semua terjadi? Karena seekor gajah? Huh?" Archi tertawa kecil. "Ya, Archi, jangan ketawa. Apa aku terlihat sedang bercanda?" Constantine tambah kesal. "Kau dan Hera sudah menikah, kau tahu itu." "Aku tahu," jawab Archi tanpa perlawanan. Constantine mengharapkan sebuah argumen cerdas yang akan dikeluarkan oleh sepupunya itu. Dengan demikian, ia merasa tidak terlalu sia-sia datang kemari. Setidaknya ia akan mendapatkan pelajaran baru mengenai cinta. Tetapi rupanya tidak. Entah Archi yang memang tak punya argumen, atau ia yang malas berpikir, atau ia yang telah terlalu putus asa. Constantine menghela napas panjang. Hening menyeruak diantara mereka. Tak ada kata apapun yang terdengar. Bunyi detak jarum jam menguasai. Archi tertunduk sambil memainkan jam tangannya yang ia lepas. Jam tangan mahal seharga ratusan juta. Hanya kaum ekspatriat saja yang mampu membeli jam tangan tersebut. "Kau tahu, kau bisa saja menikahi Jullia dan menjadikannya selir," Constantine mengungkap jeda diantara mereka. "Kalau aku jadi kau. Aku akan tetap menikahi Jullia dan menjadikannya selir. Tak perlulah aku menyuruh Adrian untuk menyamar menjadi pria buruk rupa atau semacamnya," lanjutnya. Itu adalah solusi terbaik yang ia rasa ia bisa berikan. Ide yang cukup luar biasa, pikir Archi. Tapi ia tidak kepikiran sampai situ waktu itu. Pikirannya terlalu gelap dan ketakutan begitu menguasainya saat itu. "Kau harus menikah dengan gadis Rotsfeller sementara kau mencintai gadis lain. Katakan padaku, apakah hal itu merupakan masalah baru di keturunan kita?" Constantine memandang Archi. Ia memiringkan kepalanya. "Jelas itu bukan masalah baru. Maksudku, siapa yang tidak mencintai gadis lain kan?" Yang ingin Constantine katakan sesungguhnya adalah bahwa ia mengerti perasaan Archi. Bahwa ia paham maksud Archi. Namun, yang ia tak habis pikir adalah bagaimana tindakan yang dilakukan Archi terhadap hal itu yang menurutnya sangat tidak solutif. Daripada menyelesaikan masalah, Archi justru jadi menambah masalah baru. Kurang bijak, simpulnya. "Dan mengapa pula Adrian menerima rencana bodohmu itu?" Kedua alis Constantine menyatu, menandakan rasa herannya. "Kalau aku jadi Adrian, aku akan menolak mentah-mentah rencanamu itu. Buat apa aku menghabiskan waktuku untuk menjaga perempuan yang nantinya hanya akan menjadi milik orang lain? Benar-benar tidak masuk akal." "Aku mengancamnya kalau ia tidak bersedia menikahi Jullia," tandas Archi, dengan suara datar tanpa emosi. "Adrian punya hubungan gelap dengan Hera. Aku mengancam akan melaporkan hubungan gelapnya ke Raja Nathaniel kalau ia tidak bersedia membantuku." "Aduh, Archi," keluh Constantine. Sepupunya ini benar-benar membuatnya sakit kepala. Ia mengayunkan tangannya untuk mengatakan kalimat-kalimat protesnya, "Kalau aku jadi kau, maka akan aku biarkan saja Adrian tetap bersama Hera. Jadi kau tidak perlu repot-repot mengurusi Hera lagi dan bisa fokus pada selirmu, Jullia." "Situasinya tidak sejernih ini saat itu, Constantine," Archi beralasan. Ia meletakkan jam tangan yang dari tadi dimainkannya di atas meja. "Hera tidak tahu masalah ini." Constantine melenguh panjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD