Bab 149: "Malam Yang Sunyi"

1722 Words
Luna terbayang pada kabar-kabar politik belasan tahun silam, ia terbayang-bayang pada tulisan-tulisan di surat kabar yang memberitakan hal yang sama alih-alih memberitakan bagaimana Jepang mampu membom Pearl Harbour. Ia pun masih dapat mengingat jelas sorak-sorak orang berteriak kemenangan, riuh gemuruh tepuk tangan yang membisingi udara, jeprat jepret kamera setiap detik, jurnalis-jurnalis yang terlihat sibuk, reporter-reporter dengan laporannya, sampai pada jabatan tangan dan ucapan selamat dari para pembesar negeri. Waktu itu Luna berusia kira-kira tiga tahun, dan ia masih bersama seorang nenek ringkih yang telah mengasuhnya dari Luna lahir sampai ia diambil alih oleh Lord Alastairs, nenek Aga namanya. Siang hari sekitar pukul setengah satu, mereka menonton bersama di layar televisi, seorang pria enam puluh satu tahun berjalan menuju podium dan berkhotbah, "Zaman baru!'' kata Lord Alastairs membahana, "Great Brescon, negeriku yang tercinta telah masuk ke zaman baru, zaman penerangan!'' Tepuk tangan membumbung tinggi ke langit. "Kita telah terlahir kembali dari kematian. Revolusi kita telah menemukan waktunya, saatnya kita menciptakan kebudayaan baru yang berlatar belakang dialektika sehingga dunia menjadi semakin dinamis. Dan karena kebudayaan-kebudayaan baru itulah, saya disini, berdiri di atas podium ini dan menyuarakan zaman baru!!'' "Renaissance?'' tukas nenek itu pada dirinya sendiri. Dengan ketololannya ia menduga zaman baru adalah sama dengan zaman kelahiran kembali kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 M atau dalam bahasa Perancis disebut Renaissance. Pria di televisi itu terus berkhotbah, "Sudah semestinya kita mengubah tatanan wajah negeri ini dari sistem feodalisme menjadi lebih demokratis dan jauh dari ungkapan raja dan ratu, bangsawan dan jelata, borjuis dan proletar. Kita ini adalah manusia yang sama, Anda dan saya adalah sama, Anda dan teman Anda adalah sama, tidak ada perbedaan di antara kita, dan kita semua bersaudara. Persaudaraan menjadikan semua manusia sejajar.'' Tepuk tangan semakin membahana. Pria itu tersenyum lebar dan ekspresinya mengharu biru. Ia mengangkat tangannya dan menenangkan hadirin di ruangan tersebut yang terus memberikan pujian padanya. Semua hadirin di ruangan itu adalah kaum intelek yang terpelajar, yang sudah dari dulu menuntut adanya persamaan derajat antara si miskin dan si kaya. Mereka menghendaki dihapusnya gelar-gelar bangsawan yang megah itu, seiring dengan dihapusnya sistem monarki absolut di Great Brescon puluhan tahun lalu. "Sebagai langkah awal dari pemerintahan ini, saya telah mencanangkan berbagai kebijakan yang nantinya akan jadi kejutan bagi kalian semua. Namun seyogyanya, tujuan kebijakan ini bertumpu pada pemerataan kesejahteraan, kesehatan, perlindungan HAM dan keadilan. Tetapi tentunya sebagai manusia, saya jauh dari kata sempurna. Untuk itu, diharapkan bagi kalian semua, juga seluruh warga Great Brescon di kota maupun di pelosok, untuk senantiasa menjadi seorang yang partisipan pada kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pada level terendah, setidaknya kalian bisa terus mengikuti pantauan politik di negeri ini.'' Semua orang di ruangan itu manggut-manggut mendengar ungkapan sang presiden. " Ada tiga hal yang harus pergi dari bangsa ini, "Kemiskinan, Kebodohan, dan ketidakadilan.'' Tiga hal inilah yang menyebabkan suatu negara sakit-sakitan. Maka dari itu, marilah kita bersatu memerangi tiga hal itu demi mewujudkan negeri yang lebih baik untuk kita bersama.'' Terdengar tepuk tangan kembali membahana memberikan dukungan dan pujian pada pria itu. Seorang nenek dan Luna kecil yang sedari tadi melihat khotbah sang pemimpin dari layar televisi ikut tersenyum senang. "Kita mengalami dua kali Renaissance!'' ujar sang nenek, optimis. Luna tidak mengerti. "Apa itu Renaissance?'' "Ah, Renaissance adalah zaman dimana para tokoh besar dunia pernah hidup seperti Johannes Kepler, Galileo Galilei, Christopher Colombus, Ferdinand Magellan, Sandro Botticelli, Michaelangelo, Leonardo da Vinci dan masih banyak lagi.'' Luna mengerutkan kening, "Kenapa bisa begitu?'' " Itu karena Renaissance merupakan awal dari bangkitnya ilmu pengetahuan di Eropa yang sebelumya sangat sulit berkembang karena doktrin-doktrin gereja yang sangat mengekang.'' "Begitukah?'' "Ya, memang begitu.'' "Aku tidak mengerti, nek.'' Sang nenek tertawa. "Kau masih sangat kecil, sulit untuk mengerti.'' Dan sang nenek pun masih pula memikirkan mengapa ia berkata renaissance. Mereka pun kembali ke layar televisi dan menyimak pidato sang presiden. Presiden itu mulai berbicara tentang perang, sejarah, kemerdekaan, ideologi, dan masih banyak lagi hal-hal yang diungkapkannya untuk membuat orang terpana akan kepintarannya. "Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semuanya yang telah mendukung saya sehingga saya bisa sampai di atas podium ini dan berbicara di hadapan kalian semua sebagai presiden menggantikan Yang Terhormat, Lord Olivander! Terima kasih kepada rakyat Great Brescon, terima kasih...terima kasih.'' Tayangan televisi pun dimatikan. Kemudian turunnya pemimpin itu dari atas podium diiringi dengan gemuruh tepuk tangan dan puji-pujian. Sang pemimpin berjalan ke pintu keluar, para jurnalis berbondong-bondong menghampirinya, menanyakkannya ini itu seraya si juru kamera memotret sang presiden kesana kemari. Namun sang presiden hanya diam dengan senyum dikulum menanggapi mereka. Pengawalan yang begitu ketat membuat jalan menuju keluar bagi presiden tidaklah terlihat begitu buruk dari yang dibayangkan. Lalu, selepas pria itu keluar, banyak orang intelek juga mengekor keluar bersama jurnalis-jurnalis tersebut. Sebagian karena ingin mengejar sang presiden, sebagian lagi karena memang ingin pulang. Namun pada kenyataannya itu tidaklah semudah yang dibayangkan. Demi keamanan sang presiden, para polisi dan gabungan tentara dari berbagai angkatan bersenjata telah menghadang mereka di depan pintu. Mereka dipaksa masuk kembali ke dalam ruangan. Tapi mereka menolak dan berkeras ingin keluar. Akhirnya cara kasar pun diluncurkan, mereka didorong dengan kekerasan sampai mereka benar-benar kembali masuk ke dalam ruangan, pintu pun dikunci di segala lini. Mereka meraung-raung seperti singa, mereka menggedor-gedor pintu minta dibebaskan. Namun tak ada satu pun petugas yang berjaga peduli dengan mereka. Betapapun mereka memohon. Bahkan meski nafas mereka terasa sesak karena sekotak ruangan itu dijejali ratusan orang. Lalu, dari sebujur sangkar kaca jendela, puluhan orang yang terkunci di dalam ruangan itu melihat sang presiden masuk ke dalam mobil dengan tenang. Selepas itu, mobil pun meluncur tanpa suara. Tak lama berselang, para polisi dan tentara pun ikut pergi tanpa peringatan, atau setidaknya memberikan kunci pintunya pada mereka. Satu per satu, semua orang di luar ruangan pun pergi jua. Saat itulah, mereka menyadari adanya sebuah ketidakberesan. Ketakutan dan kepanikan mendera. Menyatulah kondisi mereka dengan orang-orang yang ada dalam peperangan. Orang-orang di dalam ruangan itu berteriak meminta pertolongan, tetapi tidak ada yang datang untuk menolong mereka. Lalu, "DUARR!!!!'' Luna membuka kedua matanya ketika segaris geledek berkilatan di kaca mobilnya dan membangkitkan suara guntur yang menggelegar. Suara itu meluluh lantakkan mimpinya. Membuatnya terjaga dari tidur. Ia menengok suasana di luar kaca mobil, hujan masih deras mengguyur bumi, beberapa kilat turun menyambar-nyambar jalanan seperti pedang cahaya. Sebuah spanduk berukuran besar terpampang dipinggir jalan, spanduk bergambar sebuah Family of Courtland, siapa lagi kalau bukan keluarganya. Gambar Lord Alastair, Lady Earlene, dan Luna di usia delapan tahun tengah tersenyum simpul sambil memegang mawar. Spanduk itu diguyur hujan, tapi gambarannya tampak tak terganggu. Luna ngilu melihatnya, matanya tersayat-sayat melihat senyum di ketiga manusia itu. Mengapa hanya karena sebuah senyum yang membusur di bibir mereka, orang-orang langsung saja mempersepsikan bahwa keluarga itu bahagia. Tanpa ingin mengutip lembaran kehidupan yang terselip di dalam buku, orang-orang itu menganggap keluarganya baik-baik saja. Senyum dapat dipalsukan, sayangnya jarang ada manusia yang bisa mendeteksi senyum palsu itu. Berjiwa besarlah... Semenit setelah bayangan mobil yang ditumpangi anaknya menghilang di ujung belokan bersamaan dengan pekatnya hari. Musim semi, kenapa begitu pekat? Beberapa hari ini Lord Alastairs selalu mempertanyakan hal tersebut. Meskipun remeh, namun suasana hari bisa pula mempengaruhi suasana hatinya. Lady Earlene memilih untuk tak ambil pusing. Ia berbalik dan masuk ke dalam istananya. Di dalam, ia melanjutkan hobinya merajut syal untuk koleksi di musim dingin. Hari ini ia melewatkan sarapan, sehingga sandwhichnya dengan sukarela ia berikan kepada anak pelayannya yang ingin berangkat sekolah. "Sandwhich yang dibuat di istana, sandwhich paling enak.'' Anak kecil itu bertutur polos. Ia tahu bahwa harga makanan terutama roti di pasaran saat ini melambung tinggi. Membuat si anak jarang merasakan makanan berkualitas baik. Lady Earlene memilih tersenyum sambil lalu. Dendang nyanyian dari radio berpijar-pijar membungkus genderang telinga setiap yang mendengar. Nyanyian tentang cinta, patah hati, balas dendam, dan pembunuhan. Pada akhirnya Lord Alastairs teringat bangunan di ujung kompleks istananya, ada sebuah sekolah musik disana. Murid-muridnya pandai menyanyikan lagu; lagu melankolis, nasionalis, ataupun kidung suci Tuhan. Dinyanyikan solo duo trio atau kuartet. Mereka juga pandai bermain musik seperti gitar, biola, cello, harpa, drum, dsb. Mereka akan menjadi musisi-musisi yang hebat, begitu pikirnya suatu hari waktu ia pulang melewati bangunan tersebut dan mendengar senandung suara dari bocah berkulit hitam. Untuk beberapa alasan, hal itu memang bisa menjadi penghibur bagi telinga dan pikirannya. Setidaknya untuk sementara waktu. Sebab, ada suatu perasaan ganjil yang terang-terangan menderanya sejak garis tangannya digubah paksa oleh suatu pedih, sakit, dan penyesalan yang teramat dalam. Lebih tepatnya, sejak ia dilantik sebagai presiden pertama di negeri ini. "Kau masih mencintai Bethany.'' kata Olivander, suatu hari di ruang kerjanya. Olivander Torrence adalah teman seperjuangannya bersama Laughaire dan Harry, yang sudah diceritakan sebelumnya. Ia ketua parlemen rahasia di Great Brescon sekarang. Rahasia? Yakni bahwa ketua parlemen yang sekarang, yang sedang dijabat oleh pria biasa-biasa saja, hanyalah untuk sebuah penyamaran. Yang berkuasa sebenarnya adalah Olivander. Sebelumnya ia juga pernah menjadi presiden tahun 1937 sampai pemberontakan para revlousioner meruntuhkan kekuasaannya tahun 1943 dan digantikan oleh Lord Alastairs, sebagai pelindungnya. Itu sebabnya ia tidak bisa menjadi pejabat negara sekarang. Jika ia ingin menjadi pejabat negara, maka itu harus dilakukan dengan rahasia. Masa lalunya adalah album jelek yang hanya menyisakan secuil kehangatan. Ia sebenarnya adalah anggota dari kerajaan agung Brescon, yakni saudara tiri Raja Humbert, namun ia terasingkan dan api dendam membara dalam hatinya. Tetapi itu bukan masalah lagi sekarang. Ia memiliki istri dan tiga orang putera yang mencintainya(Jahmene, Aiden, dan Julius), ia memiliki banyak perusahaan yang terus mengalirkan jutaan euro ke kantongnya. Lebih dari itu, ia adalah The Duke of Esteban. Bangsawan dengan gelar bersayap-sayap. ya, meski sebuah republik, sistem kebangsawanan masih berlaku di Great Brescon. Sudah cukup, ia tidak butuh apa-apa lagi. Olivander sudah hidup bahagia, dan sampai saat ini, keadaannya baik-baik saja. "Aku memikirkan Catherine,'' jawab Lord Alastairs. Olivander menaikkan alisnya, "Catherine?'' pria itu seolah tak mempercayai pendengarannya. "Ada angin apa kau tiba-tiba memikirkannya? Ingat, dia sudah meninggal!'' "Aku tidak pernah sangka ia akan bunuh diri...'' "Cukup!'' Olivander memotong ucapan Lord Alastairs. Yang dipotong bicaranya terdiam. Dalam pikirannya, ia sendiri tak ingin mengingat wanita itu tetapi gambaran yang muncul begitu kejam memaksanya masuk ke alam lain dimana ia akhirnya tak bisa mengontrol kekuatan dari gravitasi ingatannya sendiri. Secara sopan, Catherine adalah mantan kekasih Lord Alastairs. Secara kasar, ia adalah budaknya. b***k dalam segala hal apapun, termasuk seks. Hubungannya hanya berlangsung dua bulan, terhitung sejak Lord Alastairs telah menikah dengan Lady Earlene hampir dua puluh tahun lebih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD