Bab 198 : "Selamat Datang!"

1552 Words
Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. "Selamat datang, Tuanku," seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-langit melengkung yang penuh lukisan mitologis. Ia mengatakan kepada istri dan anak-anaknya, bahkan tanpa memandang kepada mereka, bahwa ia hanya ingin sendirian dan tidak boleh ada yang mengganggunya. Ia menuju kamar utama. Perlahan, bayangannya hilang di belokan. Lady Earlene, Adrien dan Luna terpekur. Para pelayan dan prajurit berpencar untuk kembali pada tugasnya masing-masing. Luna menghela napas berat. Saat ia hendak melangkah pergi, Lady Earlene bertitah, "Sebaiknya kau segera bersiap-siap." "Aku harap kau tidak akan pernah kembali lagi ke tempat ini," Adrien menyunggingkan bibirnya ke atas untuk menunjukkan pendapatnya tentang hal itu. Mereka berkata berulang kali, dengan seribu satu nada permusuhan. Setelah puas, mereka pergi meninggalkan Luna. Gadis itu terpojok. Sendirian. ***** Pagi ini adalah minggu terakhir musim semi. Kabut bergerak ke angkasa, menaiki gedung-gedung, kastil dan minaret jam, persis seperti sesosok makhluk kelabu. Musim semi di pulau Alegra tidak pernah dibungkus oleh keceriaan. Gerimis malas dan hujan deras selalu menyambangi, membungkam udara oleh sepi dan muram. Lembab dan basah. Disini, di istana utama, setelah berjalan cukup jauh entah pada apa, Adrien dan Lady Earlene duduk membisu di atas sofa merah Royal Empire, di sebuah ruangan penuh dengan barang-barang antik; patung malaikat, stan jambangan dari keramik, porselen bunga-bunga, dinding berlukis serta rak kayu mahoni yang memajang ratusan buku yang disampul rapi dengan kulit domba. Mereka tidak berbicara kecuali mengamati satu sama lain. Jam bandul berlapis glasir biru yang cerah berdentang-dentang seperti sebuah lonceng gereja. Waktu berjalan saksama dan akhirnya Adrien membuka mulut, "Menurutmu, apa yang akan terjadi dengan Luna, mama?" Lady Earlene mengangkat bahu. "Kau tahu, asrama itu begitu penting kan? Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya?" Lady Earlene menoleh, matanya terbelalak seolah jengkel oleh suatu kelancangan. Tapi Lady Earlene tidak hendak menjawab apa-apa. Ia hanya mengalirkan napas panjang. "Apakah kau menemuinya kemarin mama?" Adrien mengubah topik pembicaraan. "Kau menemuinya kan? Aku tahu. Sudah berapa kali?" "Jaga ucapanmu, Adrien!" Lady Earlene mengacungkan telunjuk ke wajah anak lelakinya. "Kau sama sekali tidak berhak mengurusi urusanku." "Namun kau menemuinya sampai mengabaikan urusan negara." "Aku tidak mengabaikan siapapun. Dengar, kita punya kehidupan masing-masing yang tidak ada seorangpun boleh mencampurinya. Ada batasan-batasan tertentu, dan kau tahu itu." Adrien memandang lekat-lekat ibundanya. "Aku tahu, mama," ungkapnya. "Aku tahu batasanku dan demikian juga dengan Pasha. Itulah sebabnya aku katakan padamu dia tidak akan datang karena dia sadar dengan batasannya." "Cukup!" Lady Earlene terperanjat. Ia berdiri spontan. Hampir saja mahkotanya terjatuh karena keseimbangannya goyah. "Berhentilah menasihati ibumu dan berhentilah berada di pihak Lord Alastairs pada kasus ini! Kau tahu, aku yang sudah bersusah payah menjadikanmu tetap berada di takhta tertinggi sebagai putra mahkota dan inikah balasanmu?" Adrien membisu. Ia menurunkan pandangannya sambil berpikir keras. Lady Earlene mulai tenang dan duduk kembali. Ia bernafas lelah sambil menatap keluar jendela, kepada hamparan rumput dan tumbuhan berbunga. Segaris angin bertiup, menyanyikan suara lirih. Hujan jatuh perlahan, membintik di jendela, membawa dingin hingga merembes ke dalam dinding. Hening. "Lady Earlene Al'esienne Alegra, demikian semua memanggilku. Dialah istri dari Lord Alastairs Yael Alegra, The Grand Duke of The Great Alegra. Ia adalah The Queen of Great Alegra, The Grand Duchess of The Great Alegra. Seluruh gelar bersayap-sayap itu...benar-benar mengerikan..." "Mama..." potong Adrien, lembut. Lady Earlene hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum satir. "Kau tahu, Adrien, ada hal yang tidak bisa kita mengerti, tapi kita tahu itulah yang terbaik." Demikian Lady Earlene menutup perkataanya. Adrien menarik napas berat. Yah, ada hal yang tidak bisa dimengerti. Namun itulah yang terbaik. ***** Luna duduk di depan cermin, di kamarnya. Ia sisir pelan rambutnya yang sepirang strawbery dan panjang. Kedua mata birunya menunjam tajam bayangannya di balik cermin. Aduhai, cantik bukan main. Matanya biru berwarna laut, sedalam samudera, hidungnya mancung sempurna, bibirnya tipis berwarna delima, kulitnya putih, mulus, dan bersih. Garis wajahnya lembut. Jelita sekali, melebihi rembulan manapun. Cermin berbingkai bunga-bunga krisan dengan taburan gemstone itu amat memesona. Tetapi pesonanya belum cukup kuat untuk merobohkan pesona perempuan ini. Tapi apakah selalu seperti itu, bunga yang indah tak selalu memiliki madu. Perempuan itu masih menatap cermin, sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya. "Sudah siap, Lady," seru Isadora, seraya membungkukkan badan. Luna tersenyum hambar. Ia bangkit dari kursinya, membetulkan pakaiannya. Sang pelayan membantu merapikan gaun terusan pendek berwarna pastel dan memastikan bahwa tiada seinci pun lipatan ada di gaun itu. Lalu, diambilnya sebuah headpiece berbentuk bunga gladiol berwarna merah jambu yang ditempel diatas rambutnya. Tak lupa ia membungkus sepasang tangannya dengan sarung tangan sutra, dan untuk kakinya, ada pantofel yang selaras dengan warna gaunnya. Lengkap sudah, ia tampak rapi dan anggun. Kemudian, pelayan lain membawakan kopernya keluar ke teras depan. Luna melirik pada patung bocah kecil bersayap di belokan koridor di tepi kamar. Kemudian mengapung di pikirannya adalah lantai biru bening di kamarnya, yang jika berjalan seolah-olah kita tengah berjalan di atas air alih-alih lantai. Lalu cat dindingnya yang selalu wangi, cahaya fluorescent-nya yang elegan, ranjangnya yang berulir keemasan, rak bukunya yang padat dan lengkap, Tak dapat dipungkiri, kamarnya adalah salah satu rumah impian bagi orang-orang diluar sana. Jadi berapa lama ia akan meninggalkan gubuk paling diimpikan ini? Sebulan?Setahun? Seorang pelayan yang membawa kopernya menyentakkan lamunannya selembut mungkin. Luna tersenyum segan dan bergegas ke teras depan. ***** Tidak ada Lord Alastairs. Tidak ada Lady Earlene. Tidak ada Adrien. Tidak ada siapapun dari anggota kerajaan yang datang untuk mengantar keberangkatannya, bahkan hanya untuk sampai ke depan pintu istana. Hanya Isadora, Rodrigue, Gina, Suzan, Georgette dan beberapa pelayan laki-laki lain yang membantunya menyelesaikan segala remeh-temeh perlengkapannya. "Luna, kau melupakan ini," seru Gavin, tiba-tiba muncul dari dalam istana. Ia melangkah cepat, berharap Luna mendengar suaranya. "Apa ini?" tanya Luna, ketika menerima sebuah buku bersampul kulit dari tangan Gavin. "Baca saja nanti, itu akan membantumu." Luna menarik napas berat. "Terima kasih. Tolong sampaikan salamku kepada Lord Alastairs, Lady Earlene dan Prince Adrien," ujarnya kemudian, meskipun ia tahu mereka tak akan mempedulikannya. "Baik, Lady, hati-hati disana. Aku akan segera menyusulmu," jawab Gavin sambil mempersilahkan Luna masuk ke dalam mobil sementara pelayan lain membukakan pintu mobil untuknya. Luna menghela nafas, menatap ke alam luas di halaman rumahnya. Ia merasakan suatu kesedihan sedang waspada untuk mencaplok jiwanya hidup-hidup. Luna tak punya pilihan, ia masuk ke dalam limosin berwarna hitam berkilau. Ia duduk di jok belakang. Di depannya, seorang supir berperawakan tua, panggil saja John, telah bersiap mengemudikan mobil. Luna menghela napas lagi, ia memandang ke arah orang tuanya. "Selamat jalan,'' kata para pelayan sambil melambaikan tangan. Gavin ikut melambaikan tangan. Luna membalas lambaian tangan mereka dari dalam mobil yang perlahan merayap pelan menggilas halaman, melewati kolam ikan yang jernih, melewati air mancur, keluar gerbang, berbelok menuju jalanan beraspal dan akhirnya melaju kencang. ***** "Aduh, Mr. Gavin Marshall memang sepertinya sangat menyukai Lady Luna ya," kata Rodrigue, dramatis. Ia bolak-balik mencatat semua keperluan untuk makan siang dan mencorat-coret dalam note-nya, apa yang sudah dan apa yang belum. Suatu kegiatan rutin yang dilakukannya setiap kali di menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam di istana utama, khususnya untuk Lord Alastairs. "Berhentilah menguping tentang apapun dari majikan kita," Ergeste kesal. Ia mengaduk adonan tepung dan menguleninya dalam wadah besar. Kompor dinyalakan. Sayur-mayur dipotong. Daging digiling. Bumbu-bumbu dihaluskan. Minyak zaitun dan biji-bijian. Kacang pistachio dan buah badam. Di dapur, setiap waktu adalah kegemuruhan tanpa henti, meskipun kondisi di ruangan lainnya sepi drastis. "Kenapa? Tidak ada yang salah dengan itu semua," Rodrigue beralasan. "Kalau tidak begitu, kita tidak akan tahu apa yang tengah terjadi dengan kerajaan. Kita akan ketinggalan gosip-gosip terhangat." Isadora menggeleng heran. Ia mengangkat ketel dan mulai menyaring teh. "Tapi Ergeste benar juga, bagaimana nanti kalau mereka tahu?" "Hei, aku sudah disini selama puluhan tahun. Tidak ada yang mengusik gelagatku! Dan kau, Isadora..." Rodrigue mendekati Isadora. "Kalau bukan karena aku, bagaimana mungkin kau tahu tentang sifat-sifat terpendam majikanmu, hmm?" "Apa maksudmu? Aku tidak sepaham denganmu, Rodrigue. Apalagi tentang masalah Prince Adrien." Tiba-tiba semua menoleh ke arah Isadora. Gadis itu jadi kikuk sendirian. "Ehmm... maksudku..." "Nah, jadi kau memikirkan pria tampan itu juga rupanya," Gina terkikik. Yang lain mengikuti. Isadora membela diri. Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa yang lain akan percaya dengan alasannya. "Setelah membawakan jus untuk Prince Adrien dan memijit kakinya, kau pun jatuh cinta!" Ergeste terbahak-bahak. "Apa-apaan kalian ini? Bagaimana bisa itu disebut cinta?" Isadora menyapu tangannya dengan lap, kesal. "Sudah dari awal aku bilang aku tidak suka, maka aku tidak akan suka." "Dia hanya gengsi mengakui," ledek Rodrigue. Tawa itu membumbung, membawa musik tersendiri bagi mereka. Gina merangkul Isadora dan mengajaknya untuk bergabung pada perkumpulan pelayan wanita yang menyukai Prince Adrien. Isadora semakin kesal dan menolak mentah-mentah. Tapi orang lain semakin tertawa. Sebab semakin ia berkata tidak, semakin orang yakin bahwa ia jatuh cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD