Bab 199 : "Isadora Pergi."

1357 Words
Isadora pergi, mengambil segelas air minum lalu meneguknya sekaligus. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan Adrien yang sedang mondar-mandir sambil menelpon dalam bahasa Perancis. Spontan, Isadora membungkuk hormat. "Kau sudah menemukan jasku semalam?" tanya Adrien, serius. Isadora bingung. Adrien menutup lubang telepon dengan tangannya sejenak. "Jas hitamku yang semalam aku pakai, kau sudah menemukannya? Aku tadi menyuruh seseorang untuk mencarinya, kemana dia?" Isadora terbata-bata, "S..ss...saya tidak tahu..." "Cepat carikan!" bentak pria itu. Tetapi Isadora tidak memahami perintah tersebut. Jas apa? Mencari jas hitam atau mencari orang yang tadi disuruh mencari jas hitam? Kedua-keduanya sungguh rancu di benaknya. Dia sudah memakai jas, pikir Isadora. Ia perhatikan Adrien yang berkacak pinggang sambil menelpon dengan angkuh, "Kenapa kau diam saja?" Adrien menutup lubang teleponnya lagi. "Kau tidak dengar perintahku? Cepat temukan jasku!" "Tuan..tuan..tuan..." Seorang pelayan dari arah belakang berlari terhuyung-huyung sambil membawa jas hitam berlapis satin itu. Adrien merampasnya kasar. Mengambil sebuah alat perekam di salah satu kantungnya dan kembali melempar jas itu tak peduli. Ia mendekat ke arah Isadora, menatapnya dengan raut yang kejam, "Dengar, Isadora, aku tidak suka seseorang tidak menuruti perintahku." Isadora menelan ludah. Ia menundukkan pandangan. Sesaat, rasanya ia tidak dapat bernafas sebelum Adrien benar-benar pergi melewati pintu dan melaju bersama limosin hitamnya. Isadora berlari ke dapur dan mengomel. "Aku tidak tahu apa-apa, kenapa dia marah-marah padaku?" "Dia panik, mungkin ada hal penting di dalamnya," kata Ergeste. Ia duduk di samping Isadora dan menenangkannya. Isadora meneguk segelas air, terengah-engah. Dalam keadaan masih kesal, ia menirukan gaya Adrien yang berbicara padanya tadi dengan nada mengejek. Semua tertawa. Isadora makin kesal. "Tapi, Isadora," Gina berkomentar. "Dia menyebut namamu. Sungguh luar biasa! Maksudku, dia terkenal tidak mengenal nama-nama pelayannya dengan baik. Aku sudah bertahun-tahun berada disini dan belum sekalipun Prince Adrien mengucap namaku. Tetapi sekarang, dia mengenalmu, dia mengatakan namamu." Isadora terhenyak. Seketika, hatinya yang kesal berubah jadi berbunga-bunga. *** Hari sudah mendekati pukul satu siang namun tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Pulau Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. "Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini," seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para muda mudi b******u di bangku-bangku cafe dan seorang seniman jalanan menyanyikan Ode An Die Freude dengan cellonya. "Yah," kata Frederich, yang duduk di jok samping Tuan Philomene. Ia menoleh kepada Tuan Philomene dan tersenyum penuh arti, "Jadikan aku Raja Great Alegra dan aku akan menjadikan Saiorse pulau yang hangat sepanjang waktu." Gelak tawa bergelora. "Kau luar biasa sekali, Tuan Philomene," ujar Frederich, setelah beberapa saat. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa Adrien akan pergi makan malam waktu itu? Hmmm?" "Tentu saja aku terlebih dahulu menyuruh Marie Roose dan Glen Moritz untuk pergi kesana. Itu adalah umpan, Lord Frederich. Adrien tengah mencari celah untuk mengorek informasi dari dua anggota parlemen itu dan ya, tentu saja dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan malam itu bukan? Dia berhasil merekam semua pembicaraan Marie Roose dan Glen Moritz yang memang sudah kita duga sebelumnya." "Dia telah masuk ke perangkap kita," serobot Frederich. "Ancaman dari kelompok bawah tanah Rebelution memang benar-benar membuatnya kewalahan. Aku tahu bagaimana tabiat dia. Adrien adalah orang yang keras. Dia akan mengusahakan dengan segala cara supaya posisinya sebagai putra mahkota itu aman. Tapi, sayang, dia tidak cukup pintar dalam menerapkan strategi." Mereka tertawa lagi. "Apa yang Marie Rose dan Glen Moritz bicarakan di restaurant Monsieur Lucien malam itu?" tanya Frederich, penasaran. "Yang pasti, itu adalah sebuah kebohongan yang menyesatkan." Terdengar bunyi gludug dan seekor burung pipit bergidig di genangan air. Suasana riuh teredam oleh langit mendung yang berarak ke barat. "Marie Rose dan Glen Moritz mengarahkan Adrien untuk bergerak ke Pulau Cottonmouth. Disana, ia akan bertemu dengan pemilik perusahaan dagang o***m, SOOSAN, dan dari situlah, seluruh musibah dimulai." Frederich menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sekarang, setelah Adrien mendengar rekaman percakapan Marie Roose dan Glen Moritz, ia pasti akan pergi ke Pulau Cottonmouth dan mencoba menemui SOOSAN," ujar Tuan Philomene lagi. "Sebentar lagi kita akan mendengar kabar tentang kerusuhan yang dibuatnya olehnya. Dalam satu sergapan, ia akan turun takhta." Dalam dingin, Frederich dan Tuan Philomene bersulang. Panas sampanye bergelegak di tenggorokan. Dalam sekejap, mereka terlena oleh kepuasan jahat mereka sendiri. Frederich yang setengah mabuk, menyenderkan kepalanya ke belakang kursi dan mengutuk karena bantalan kursi yang keras. "Sungguh, kau membawaku ke tempat kumuh ini dengan mobil b****k begini," Frederich tak percaya. Tuan Philomene hanya tersenyum tipis sambil menstarter mobil lalu melaju secara sempoyongan ke jalanan beraspal. Hawa semakin dingin. Kabut makin menebal. Tanah melandai, dan saat mereka terbang menuruni lereng, lantunan Ode An De Freude melayang di udara, tertinggal sesaat diantara dedaunan dan langit mendung. ***** Pada jalanan sepi, mobil sederhana milik Tuan Philomene berhenti. Di depannya, adalah mercy merah yang sudah lama terparkir. Frederich keluar dari mobil Tuan Philomene, berbarengan dengan seorang supir yang ikut keluar dari mobill merah tersebut. Sang supir memberi hormat kepada Frederich, lalu mereka bertukar posisi. Frederich memberi isyarat selamat tinggal kepada Tuan Philomene dan lelaki itu juga melambaikan tangannya tanda salam perpisahan. Kemudian, kedua mobil itu sama-sama bergerak lurus ke depan hingga sampai pada perempatan, keduanya mengambil arah yang berbeda, berpisah. ***** Gedung bertuliskan "Pusat Informasi Nasional" itu berbentuk balok kaca dengan lima puluh lantai dan lima lantai bawah tanah. Dijaga ketat oleh petugas berseragam dan yang tidak berseragam, diberi sensor elektornik dan alarm serta kamera otomatis yang tersembunyi dan siap mengintai siapapun yang berani menyusup ke area gedung itu walau sejengkal. Intinya, hampir nyaris mustahil untuk masuk kesana apabila seseorang itu bukanlah orang penting yang benar-benar penting di negeri ini. Namun, demikianlah mobil merah Frederich meluncur santai memasuki area parkir bawah tanah seperti memasuki gua modern. Lord Frederich keluar dan disambut beberapa petugas yang langsung mengawal dan membawakan barang-barangnya. Mereka naik lift, melintasi karpet merah dan koridor, lalu berbelok secara mekanik ke sebuah pintu metal yang terbuka secara otomatis saat Frederich lewat dan tertutup secara otomatis saat lelaki itu masuk ke dalam. Hening. ***** Terkurung oleh kesendirian dan keluasan ruang yang berlebihan, Lord Alastairs menelpon sahabatnya, mantan perdana menteri sekaligus mantan menteri ekonomi dan wakil ketua partai mata "angin", Johannes Hardy Delbonel, untuk berkunjung ke istana. Pertama-tama, Lord Alastairs bertanya tentang kabar Geraldine, istri Johannes, kemudian anak-anaknya, Guillaume, Hamish, Leonel, Julius. Kemudian ia bertanya tentang kesehariannya dan bertanya lagi tentang kesibukan dan hal-hal remeh temeh. Lama kelamaan, Johannes mulai gusar dan menangkap sinyal kurang menyenangkan dari kerut wajah Lord Alastairs dan matanya yang liar dan kata-katanya yang cepat keluar seakan dia ditekan oleh sesuatu yang mengganggu pikiran dan perasaannya. "Katakanlah, Lord Alastairs, apa yang telah membuatmu gelisah?" Lord Alastairs terdiam, ia menatap gelas di meja dan menghela napas. "Kau tahu, Adrien sudah memutuskan untuk menaikkan harga pajak," seru Johannes saat Sang Raja lama tidak mengatakan apa-apa. "Gavin menyetujuinya. Bagaimana menurutmu?" "Yah, kita butuh uang, Tuan Delbonel," Lord Alastairs tersenyum pahit. "Kau tahu, sudah sejak kemarin aku bertemu dengan The Grand Master of Wangsa B?" "Apa hasilnya?" Johannes langsung mengarah ke duduk perkara. "Mereka ingin Great Alegra tunduk pada mereka." Johannes memandang Lord Alastairs, tidak percaya. "Mereka menurunkan dan menaikkan harga saham sesuka mereka, merekayasa semua kegiatan ekonomi dan mengambil keuntungan dari pasar-pasar ilegal. Mereka juga menaikkan suku bunga di bank sentral sehingga bahkan tanpa kita minta, hutang kita bertambah. Intinya, kita akan bangkrut." "Tapi Lord Alastairs, kita akan membayar hutang-hutang itu..." "Kita akan bangkrut." Johannes dan Lord Alastairs saling tukar-pandang. "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Lord Alastairs?" "Ikuti perintah mereka dan kita aman. Sedikit saja melawan, kita hancur." "Apa perintahnya?" Lama udara sunyi tanpa jawaban. Lord Alastairs mengangkat kepalanya dna memandang Johannes dalam kesedihan yang menyiksa, "Apa perintahnya?" tanya Johannes lagi. "Serahkan Great Alegra kepada Wangsa B," jawab Lord Alastairs, parau. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD