Bab 200 : "Di Ruang Pribadi Lord Alastairs."

1593 Words
Dengan elegan, Gavin memasuki ruang pribadi Lord Alastairs. Johannes dan Sang Lord Alastairs yang telah berdiam lama didalamnya langsung menjabat tangan pria itu dan berbasa-basi hangat. "Bagaimana rasanya berada disini, Mr.Marshall?" tanya Lord Alastairs, ia mencoba mengembangkan senyumnya selebar mungkin. "Luar biasa!" jawab Gavin, ikut menyimpulkan senyum. Ia duduk di hadapan Lord Alastairs. "Kau tentu sudah mendengar tentang kebijakan kenaikan pajak itu bukan?" "Yah," Lord Alastairs dan Johannes mengangguk bersamaan. "Bagus," kata Gavin, sambil menuang teh ke dalam gelas piala di atas meja. "Dan aku pun sudah mendengar hasil dari pertemuanmu dengan Grand Master," Gavin meminum tehnya dengan gaya aristokrat. Lord Alastairs dan Johannes tertohok. "Aku tidak menyangka kau akan menyetujuinya, Lord Alastair." Gavin mengeluarkan nada sedih. Tangannya yang terbungkus sarung tangan sutra dengan cantik meletakan kembali gelasnya di atas meja. "Itu pasti suatu keputusan yang berat." "Kau punya ide yang lebih baik, Tuan Gavin Marshall?" Johannes bertanya. Ia menyunggingkan senyum, menutupi perasaan sebenarnya. Gavin menatap pria dibalik setelan jas hitam itu, sebuah pakaian yang sama-sama tengah dikenakannnya, ia mengangguk. "Meskipun aku adalah bagian dari mereka, namun terkadang aku memiliki sedikit perbedaan, Tuan-tuan," Gavin menegakkan bahunya. "Aku setuju untuk kemari bukan atas perintah Grand Master. Tetapi karena aku ingin membantu kalian..." "Yah, dengan demikian, kami akan berhutang budi padamu," potong Johannes. Gavin menoleh kepada pria berambut perak itu, tatapannya dingin. "Ini tentang bisnisku, tentu saja," lanjut Gavin, setelah lama dalam hening. "Sesungguhnya, dimasa defisit seperti ini, mengumpulkan uang dari rakyat lewat pajak belum tentu mampu menyelesaikan masalah, tetapi setidaknya ada dua hal yang terpenting yang harus diketahui. Pertama, kita akan menanti adanya protes keras dari masyarakat dan dengan demikian..." Gavin melirik Johaness. "Kita akan mendapati para pemberontak mencari celah dengan membujuk masyarakat yang tengah kesusahan untuk melakukan aksi. Akhirnya, dengan sendirinya jati diri mereka akan terkuak." "Bukankah itu termasuk bunuh diri, Mr.Marshall?" Lord Alastairs terkejut. "Menyiapkan panggung bagi para pemberontak untuk memberontak?" "Kita tidak akan membiarkan mereka sampai memberontak, tapi kita hanya akan membiarkan mereka mengungkapkan diri mereka. Hal ini semata-mata untuk memudahkan kita mengetahui gerak-gerik mereka yang selama ini selalu bersembunyi dibawah tanah." Johannaes dan Lord Alastairs tampak berpikir keras. "Selanjutnya," lanjut Gavin. "Kenaikan pajak akan membuat bank menawarkan pinjaman lebih kepada rakyat. Sampai di tahap ini aku ingin menekankan adanya kontrak yang mana menyatakan bahwa apabila seseorang tidak mampu membayar hutang, maka ia wajib menyerahkan tanahnya atau kalau ia tidak punya tanah, maka ia wajib menjadi buruh di perusahaanku." "Kau gila, itu hanya akan memperbesar jalannya pemberontakan!" "Tenang, Mr.Delbonel, aku tidak sepicik itu merencanakan sesuatu. Aku tidak akan membiarkan mereka merebut istana ini, bahkan untuk sekedar menyentuhnya, aku jamin itu!" Lord Alastairs menarik napas keras. Ia menggeser posisi duduknya lebih dekat kepada Gavin dan bersiap mendengarkan hal yang lebih mencengangkan lagi dari ini. Gavin mengalirkan napas panjang, "Setelah itu semua berjalan, selanjutnya adalah urusanku." "Apa urusanmu?" "Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Lord Alastairs." Sekali lagi, Gavin meminum tehnya. "Demikianlah, Lord Alastairs dan Mr. Johannes Hardy Delbonel. Aku telah datang kemari dan membantu kalian. Kalian akan mendapatkan bagian yang pantas untuk kalian dan aku akan mendapatkan bagianku. Adil bukan?" Tidak ada jawaban. "Hmmm," Gavin menarik napas panjang. Ia bangkit dari duduknya, menegakkan badannya di hadapan kedua pria tua itu dan tersenyum agak angkuh. "Sebesar apa kekuatan yang akan kau kerahkan untuk menghadapi semuanya? Untuk menghadapi kemungkinan pemberontakan besar-besaran?" Johannes menelisik tajam. "Oh, kau tidak akan mampu membayangkannya, Mr.Delbonel." Gavin mengembangkan senyumnya, manis dan agak misterius. Ia melangkah menuju pintu dalam pengawasan Lord Alastairs dan Johannes. Namun, ketika ia sampai di ujung, ia membalikkan badan. "Oh ya, sepertinya hari ini aku memutuskan untuk langsung saja ke Asrama Honeysuckle..." seru Gavin. "Aku tidak sanggup membiarkan Luna sendirian." Sontak, Lord Alastairs terperanjat dan tiba-tiba beranjak dari duduknya. Akan tetapi, ia tidak sempat mengatakan apapun karena kalimatnya terkunci di batas bibir yang bergetar. Hanya hembusan nafas yang terdengar. Sekali lagi, seperti bongkahan roti, senyum Gavin mengembang. Drap. Lelaki itu menutup pintu, hilang dibalik dinding, meninggalkan jejak-jejak heran diantara Lord Alastairs dan Johannes. Ke Honeysuckle? Luna? Oh, mereka benar-benar tersentak tak keruan. *** Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya pada malam tenang. Lord Alastairs dan Johannes memutuskan untuk meluncur menyebrangi jembatan menuju Pulau Hammock untuk memeriksa beberapa bisnis yang masih beroperasi. Tetapi bukan tentang bisnis yang menggelitik pikirannya kemudian, melainkan ucapan Gavin sebelumnya tentang kepergiannya ke Roma...bersama Luna. Berbagai pertanyaan jatuh dari pesta pikirannya. "Apakah Gavin menyukai putriku?" tanyanya. Johannes hanya mengangkat bahu. "Apa kau pernah menemukan tanda-tanda ia menyukai Luna sebelumnya?" Giliran Lord Alastairs yang mengangkat bahu. Gedung-gedung mengapung dalam cahaya, Limosin milik Lord Alastairs bergerak ke tengah mendekati ujung. Mobil-mobil lain menyingkir, semua orang yang kebetulan ada di jalanan berbaris di kedua sisi dan melakukan penghormatan dengan tangannya. Limosin milik Lord Alastairs lewat dalam parade hormat di sepanjang jalan. Lord Alastairs melambaikan tangan kepada rakyatnya, menampilkan wajah sumringah dan hati berbunga-bunga. Sampai pada tempat yang lebih sepi, Lord Alastairs mematikan penanda ekslusif di limosinnya dan kerumunan orang-orang itu hilang, tak lagi menyadari bahwa ada penguasa yang lewat di dekat mereka. Hening. ***** "Apakah Gavin memiliki keterkaitan dengan pabrik o***m di Cottonmouth?" Johannes menelisik sambil membuka-buka lembaran majalah yang tergeletak asal di dashboard. "Gavin pastinya menyukai Luna," jawab Lord Alastairs, yakin. "Aku bisa mendeteksinya dari cara pria setengah arab itu memanggil nama putriku." "Oh, Lord Alastairs," pekik Johannes. "Mengapa kau tidak mencoba mengalihkan pikiranmu yang tidak kontekstual itu?'' gerutunya. "Oh, maafkan aku, Mr.Delbonel, aku pikir..." Lord Alastairs tidak melanjutkan kalimatnya. "Apa dengan ini, kau jadi teringat Catherina Rubin?" "Apa?" Lord Alastairs menaikkan alisnya, seolah tak mempercayai pendengarannya. "Untuk apa aku memikirkan dia? Dia sudah meninggal!" "Bukankah begitu? Setiap berbicara tentang Luna, pikiranmu akan beralih kepada Catherina Rubin? Yah, memang menyakitkan sekali, tapi aku tidak menyangka ia akan bunuh diri, aku pikir..." "Diamlah!" potong Lord Alastairs. Johannes terkatup. Ia menghela napas dan membalikkan badannya menghadap pekarangan di balik jendela, mencari celah-celah kedalaman diantara keheningan. Di antara itu, ketika Lord Alastairs melirik kepadanya sekilas, ia menampilkan ekspresi yang mengatakan bahwa apa yang disampaikannya tadi benar, betapa pun lelaki itu menolak untuk membenarkannya. Lord Alastairs menyenderkan kepalanya ke jendela. Dalam pikirannya, ia sendiri tak ingin mengingat wanita itu tetapi gambaran yang muncul begitu kejam memaksanya masuk ke alam lain dimana ia akhirnya tak bisa mengontrol kekuatan dari gravitasi ingatannya sendiri. ***** Secara sopan, Catherina Rubin adalah mantan kekasih Lord Alastairs. Secara kasar, ia adalah budaknya. b***k dalam segala hal apapun, termasuk seks. Hubungannya hanya berlangsung dua bulan, terhitung sejak Lord Alastairs telah menikah dengan Lady Earlene hampir dua puluh dua tahun. DUA PULUH DUA TAHUN! Catherina dan Lord Alastairs, adalah dua insan yang bergabung bukan sebagai yin dan yan, namun mereka adalah sinergi tak terbantahkan. Catherina, seorang gadis muda yang bekerja sebagai pelayan di Istana Alegra, telah mencintai Lord Alastairs begitu hebat-andai saja yang dicintai mencintainya juga sedemikian rupa. Tetapi seperti dalam peperangan yang terjadi saat itu, salah satu pihak jatuh menderita, tanpa simpati, tanpa ampun. Lord Alastairs saat itu adalah manusia berwajah kadal, berkulit binatang, dan seorang penderita kusta moral. Ia mengalami masa-masa aneh dimana suatu kegairahan yang jahat menyerbunya tanpa henti. Ratu Bethany, Ratu Great Alegra yang dahulu merupakan kekasih gelapnya, telah mengatakan bahwa Sang Raja adalah manusia terburuk yang pernah ia temui. Replika dari ribuan Karl Marx yang menjadi satu. Ia tak termaafkan. Ratu Bethany bersumpah atas nama Raja Humbert, kalau sampai neraka menerima kehadiran pria itu, maka ia pasti berada di kasta yang terbawah. Jadi, setiap sulbi Lord Alastairs mengalami gejolak perasaan yang berdarah-darah, mengiris-irisnya. Ratu Bethany, ratu yang sangat dicintainya. Ia bersumpah akan melakukan apa saja asal Ratu Bethany mau bersamanya seperti dahulu, saat segalanya terasa damai, dan mereka bisa mengeksplore tubuh masing-masing di atas pasir putih, di bibir pantai, di puncak pegunungan, di si cantik kota Paris, dimana pun seandainya ia bersedia. "Aku takkan menyakitimu, aku takkan menyakitimu,'' begitu kata Lord Alastairs pada Ratu Bethany. Dengan segenap hati ia memohon-mohon, membiarkan harga dirinya terbang. "Tolong hidup bersamaku...'' "Bawalah aku, aku milikmu..." "Oh, Ratu!" ***** Maka, pada akhirnya, seseorang yang dibilang monster itu tak mendapatkan apa-apa selain penolakan dan kegairahan yang mendidihkan kepalanya, dan... tiba-tiba Lord Alastairs menikahi Lady Earlene. "Namanya Catherina Rubin," demikian Lady Earlene memperkenalkan pelayan barunya. Ia gamit jemari gadis cantik itu dengan rasa persahabatan dan ia tegaskan kepada orang-orang bahwa setiap manusia adalah sama, entah itu pelayan atau seorang Ratu, persahabatan perempuan tidak mengenal kasta. "Yah, dia mengingatkanku kepada Ratu Bethany," gumam Lord Alastairs. Sepanjang hari, otaknya tak mampu berhenti untuk tidak sedikit saja mengalihkan pandangan kepada Catherina. Waktu berjalan dengan saksama dan kesedihan yang dirasakan Lord Alastairs akhirnya tumpah tak terperi. "Kau adalah keputusasaanku, Rubin," bisik Lord Alastairs, tak berdaya. Ia adalah lelaki yang kacau dan gadis muda yang cantik itu menyambut masa-masa itu sebagaimana ia dengan keluguannya menerima seks keras yang dilakukan Lord Alastairs padanya. Sekonyong-konyong dengan gilanya, cinta tanpa harapan itu menjerumuskan mereka berdua ke dalam lubang terdalam bumi. Catherina yang normal, mencintai tanpa mengharapkan yang kurang ajar dari Lord Alastairs. Lord Alastairs yang abnormal, mencintai karena tak mampu lagi mengerti cinta. Dua bulan, dua bulan mereka bersama dalam kenikmatan yang kejam. Akhirnya Catherina hamil dan melahirkan Luna. ***** Lord Alastairs tersentak mendengar gemuruh guntur. Dibukalah kedua matanya dari lamunan, terlihat hujan mengguyur bumi. Semakin lama kian deras. Jalanan basah, kendaraan basah, bau tanah menguap ke udara. Ia menyentuh kaca mobil yang berbecak-bercak air, terasa dingin. Ia menengok kepada Johannes dan mendapati bahwa sahabatnya itu juga tengah tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia balik membeku menatap jendela diluar, memperhatikan bahwa sekuntum scarlet carson tengah merekah bersamaan dengan rintik hujan yang menahan kebekuan dan merendamnya dibalik dinding sedalam beberapa kaki. Ia mengalirkan napas panjang, kesedihan hatinya memburuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD