Bab 201 : "Segelas Teh."

1693 Words
Di dalam kamar seluas rumah berwarna krem yang penuh dengan ukiran, patung-patung, serta lampu gantung bertahtakan liontin, Lady Earlene tak kunjung dapat tertidur. Sebentar ia bangkit dari ranjanganya, sebentar ia tertidur kembali. Ketika waktu terus lisut, ia memilih menyerah pada keterjagaan dan bangkit. Ia duduk di dekat jendela kuno sebesar pintu dan mengambil beberapa bahan untuk merajut. "Aku akan merajut syal," pikirnya. Barangkali hal itu akan menenangkan hatinya, walaupun apa yang dilihatnya di luar jendela; sebentuk taman dan air mancur, rumput hijau, patung romawi, jalanan halus, semuanya dalam bungkus gelap yang tak menyisakan apapun kecuali kesunyian sendiri. Earlene tak bisa merasakan hembusan angin kejam diluar sana, tetapi ia merasa dingin, membawanya pada kesedihan akan ingatan-ingatan silam. Pikirannya terbang kepada esensi dari kebanggaan yang diciptakannya, bukan untuk Lord Alastairs tetapi untuk seseorang yang lain dan hal-hal semacam itu. Earlene menunduk diam. ***** Segelas teh terhidang di atas meja lusuh. Uapnya mengepul ke atas seperti ingin menggapai sesuatu. Tetapi tidak ada yang hendak digapai di ruangan ini kecuali kemuraman dan kesedihan yang terus mengalir di dalam darah Lady Earlene. Ia sadar bahwa ia tengah berada di rumah paling jelek yang pernah ia kunjungi dan ia tidak menyukai kunjungan ini. Namun, betapapun, ia harus kemari. Inilah cara satu-satunya baginya untuk berbicara atas ketidakadilannya. "Aku tahu apa yang telah terjadi antara Lord Alastairs dan Catherina Rubin," kata Lady Earlene tanpa memandang kepada seorang nenek yang berlutut dikakinya. "Kau pikir kau bisa menipu seorang ratu?" "Maafkanlah anakku, Lady," nenek itu berseru, parau. "Dia tidak menyadari apa yang telah dia lakukan. Dia telah begitu menyesal." "Dia melakukannya dengan senang hati. Dia tidak pernah menyesal." "Lady..." nenek itu tersedu-sedan. "Kau adalah sahabat terbaiknya, Lady." Lady Earlene tidak bergeming. "Maafkan dia, Lady," sang nenek memohon. Hamburan kata maaf itu, jatuh berserakan, tak dipungut, tak berarti. Sang nenek memungut kata maaf itu, dan terjatuh lagi, dan tak berarti lagi. Sampai air mata wanita renta itu kering, dan Lady Earlene mengungkapkan kalimat penuh emosi yang sudah ditahan-tahannya. "Semudah itukah meminta maaf? Aku telah mengorbankan hidupku untuk menjadi seperti sekarang ini dan aku harus bersandiwara bahwa Luna adalah anakku dan yang kau lakukan hanya meminta maaf?" Sang nenek tidak berdaya. Ia menyenderkan kepalanya ke tulang kaki Lady Earlene. Air matanya deras tak terperi lagi. "Jangan hukum kami dengan perasaan bersalah ini, Lady." "Bahkan hukuman mati sekalipun masih terlalu ringan untukmu." Lady Earlene bangkit. Tanpa pamit, ia membuka pintu dan keluar. Angin musim gugur menyambutnya dan daun-daun kuning berjatuhan. Tanpa menoleh lagi pada sang nenek yang mengintip sedih dibalik pintu yang terbuka, ia masuk ke dalam sedan hitamnya. Ia mengemudikan mobilnya dengan cepat seakan ingin lari dari sesuatu, seperti ia sedang melepas semua tekanan yang merasuki tubuh dan sampai ke jiwanya, dan ketika ia sampai di tempat yang lebih sepi, ia berhenti. Setetes air matanya jatuh. ***** "Apa yang kau lakukan Lady? Hentikan!" teriak Alexandrina ketika melihat Lady Earlene hendak membuang seorang bayi ke tong sampah. Secepat kilat ia berusaha mengambil sang bayi dari genggaman wanita itu. "Apa kau sudah gila?!" Alexandrina tak habis pikir. Dilihatnya bayi mungil nan cantik itu, "Oh Luna..." keluhnya. Lady Earlene hanya diam. Matanya menyulut bara api permusuhan. "Kau tidak bisa melakukan ini, Ratu," seru Alexandrina. Ia menengok ke kanan dan ke kiri melihat lingkungan sekitar, setelah ia yakin bahwa tidak ada prajurit atau pun pelayan yang mengintip pembicaraan mereka, ia melangkah mendekati Lady Earlene, "Ini tidak adil," tutur Lady Earlene, setelah lama terdiam. Air matanya jatuh. "Ya, benar sekali," jawab Alexandrina, ia menenangkan Sang Ratu dan menyuruhnya duduk dengan tenang. "Aku tahu apa yang kau rasakan. Aku juga tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi... tetapi..." Alexandrina menghentikan kalimatnya, "Tetapi kau sudah disini. Kau adalah seorang Ratu dan seorang Ibu. Ini bukan hanya tentang dirimu dan Lord Alastairs. Ini tentang seluruh negeri. Pernikahanmu adalah pernikahan kami juga. Keretakan rumah tanggamu akan menjadi bencana bagi negeri ini." "Jadi apa maksudmu? Kau menginginkan bahwa aku harus terus bersandiwara bahwa kita baik-baik saja?" Lady Earlene melirik bayi Luna dalam gendongan Alexandrina dan tersinggung membuang muka. "Mengapa tidak Rubin saja yang menikah dengan Lord Alastairs? Bukankah mereka saling mencintai? Toh, mereka telah melahirkan anak haram itu? Sama sekali tidak bisa dimengerti." Alexandrina menggenggam jemari Lady Earlene, "Ada hal yang tidak bisa kita mengerti, tapi kita tahu itulah yang terbaik." Bersamaan dengan itu, datanglah dari ujung koridor, Lord Alastairs bersama Adrien kecil. Lady Earlene segera menghapus air matanya dan berpura-pura gembira menyambut kedatangan mereka. "Mama!" sahut Adrien kecil, sekonyong-konyong memeluk Lady Earlene. Setelah peluk cium sebentar ditambah dengan basa-basi tentang hari-hari yang telah dilewati, Adrien kecil berlari menuju taman dan bermain sendirian. "Tuanku," kata Lady Earlene, kesedihan mengikis suaranya. Ia menunduk dengan takzim. "Bersiap-siaplah, Earlene. Kita akan menghadiri acara ulang tahun partai Kesetiaan malam ini," Lord Alastairs menjawab datar. Kemudian, tanpa senyum dan tanpa menunjukkan rasa simpati kepada istirnya yang bersedih, ia pergi begitu saja. "Yah," seru Lady Earlene setelah Lord Alastairs hilang dari pandangannya, "Lihatlah, Alexandrina! Kau lihat sendiri kan? Aku adalah perempuan paling menderita di tanah air ini!" ***** Lady Earlene tersentak dari lamunannya tak kala syal rajutannya terjatuh. Bersamaan dengan itu, ia mendengar derap langkah sepatu memantul di ruangan sunyi. Ia berdiri dan melihat Alexandrina berjalan ke arahnya. Kaget. Hatinya penuh tanda tanya. "Maaf..." ujar Alexandrina, nyaris tak terdengar. Lady Earlene tak menjawab dan hanya memandangi perempuan itu dengan seribu tanya. "Aku...melihat...Pasha...hari ini." Lady Earlene yang tertohok. Sesuatu dalam jiwanya bergetar. Ia menatap Alexandrina, menelisik kebenaran dalam perkataannya. "Dia bilang minta maaf... dia takkan kembali." Diam. Lady Earlene bungkam. Sepasang matanya berkaca-kaca. Selama beberapa saat, tak terdengar apapun kecuali suara detik gerimis yang membawa dingin dan kebekuan yang tertahan oleh dinding sedalam beberapa kaki. "Maaf..." kata Alexandrina lagi, seakan kesedihan ini adalah salahnya. "Pergilah," jawab Lady Earlene, tanpa memandang perempuan itu, seakan ia tak peduli dengan kabar yang dibawa. Ia membelakangi diri dan memberi isyarat supaya Alexandrina cepat pergi dari Kastil pribadinya. Alexandrina tersenyum pahit. Ia ingin mengatakan sesuatu yang lebih banyak tetapi ia tahu kebencian yang ada dalam diri Sang Ratu. Ia mencoba mengerti. Ia menarik napas letih. Perlahan, kakinya melangkah mundur dan pergi. Lama Lady Earlene hanya mematung dengan emosi yang tertahan. Sampai ia yakin bahwa derap langkah Alexandrina tak lagi terdengar, bahwa tak seorang pun ada di sampingnya, ia tertunduk lemas. Setetes air jatuh. Dalam diam, ia menelan air mata. ***** Ada kalanya kita begitu mencintai seseorang dan dengan semua yang kita miliki, kita berpikir kita mampu mendapatkan orang yang kita cintai. Namun, rupanya tidak demikian dengan hukum cinta. Cinta memiliki polanya yang rumit dan berduri. Ada cinta, ada air mata. Ada yang memiliki, ada yang tak terbalas. Demikianlah Lady Earlene menyimpulkan cerita cintanya yang menyedihkan. Pada suatu senja di musim gugur, terinsyafi oleh kegalauan hatinya, ia pergi mengendarai mobilnya dan berhenti di sebuah tempat asing; taman kesedihan, Margot City. Kabut senja semakin turun ke bawah menyentuh cabang-cabang pepohonan di taman kesedihan. Keberadaannya mengaburkan pemandangan lain seperti sesosok mahluk yang melahap sekitarnya. Sambil merapatkan mantel, mengeratkan syal dan memasang kacamata hitamnya, diam-diam Lady Earlene berjalan menyusuri petak-petak bunga matahari. Tak ada yang menyadari kehadirannya, pikir Lady Earlene. Dan barangkali tak akan ada yang peduli dengannya. Lady Earlene menaiki sebuah jembatan. Udara berhembus mengarahkan air sungai maju, beriak riak, bergelombang kecil-kecil. Cahaya jingga meluncur dari langit, menembus kabut dan membias. Burung-burung terbang seperti siluet. Riuh rendah suara percakapan orang mengalir terbawa angin. "Lord Alastairs tidak mencintaiku," bisik Lady Earlene, kepada dirinya sendiri. "Ia tidak pernah mencintaiku," ungkapnya terus, sedih. Ia mengalirkan napas lelah. Ia tutup matanya dan menangis di dalam hati. ***** "Bolehkah aku melukismu, nona?" tanya seorang pria, ramah. Lady Earlene menoleh dan mendapati seorang lelaki dengan senyum yang sangat manis. Ia membawa beberapa kertas yang digulung dan peralatan melukis. "Hanya satu dollar saja, nona," pria itu memberi penawaran. Lady Earlene yang sedang tidak terlalu bersemangat untuk berbicara dengan orang asing hanya menampik tawaran itu pelan. "Ini adalah hari yang indah. Bahkan taman kesedihan pun ikut bergembira oleh cuaca hari ini." Lelaki itu menghela napas panjang. "Apa nona akan mengizinkanku melukis di hari yang indah ini?" Lady Earlene hilang kesabaran. Ia mengeluarkan berlembar-lembar uang dari dompetnya dan memberikannya kepada lelaki itu. Tetapi, dengan sangat sopan, lelaki itu menolak. "Saya hanya akan dibayar ketika saya melukis, nona." Pria itu tersenyum, "Maaf sekali, tapi saya bukan peminta-minta." Lady Earlene tersentak. Sang pelukis melangkah mundur dan berbalik ke arah lain. Tapi kemudian, Lady Earlene terngiang suatu gagasan dalam kepalanya dan ia memanggil pelukis itu, "Bisakah kau melukis seorang perempuan untukku?" tanya sang Lady, menjadi agak angkuh. "Aku akan memberikanmu berapapun yang kau inginkan asal kau bisa melukis perempuan ini." Pria itu terdiam. "Lukislah seorang perempuan buruk rupa dengan tingkah buruk rupa dan kehidupan buruk rupa," seru Lady Earlene. Nada suaranya penuh dendam. "Katakanlah bahwa dia adalah bloody-Rubin." Sang pelukis tercenung. Lady Earlene menaikkan alisnya penuh kemenangan. " Bagaimana? Kau tak bisa?" "Maaf, nona, aku tidak pernah melukis sebuah kemarahan," Pria itu tersenyum, "Melukis adalah bagian dari pelampiasan hati. Aku tidak ingin menipumu, nona, namun dengan menyuruhku melukis sesuai amarahmu itu, nona, tidak akan pernah menjadikanmu puas." "Oh, filosofis sekali," ejek Lady Earlene. "Kau tak akan pernah menjadi kaya dengan hidup seperti itu." "Memang, nona," Pelukis itu masih tersenyum, "Tapi aku bahagia." Kemudian ia menyodorkan sebuah kanvas kepada wanita di hadapannya. "Kau bisa mencoret-coret kanvas ini sesukamu, nona. Kau bisa merobek-robeknya atau menginjak-injaknya sampai amarahmu padam. Namun, nona, itu hanya bisa kau lakukan sendiri. Kau tidak akan pernah puas jika aku yang melakukannya dan aku tidak ingin melakukannya karena melukisku adalah bagian dari pelampiasan hati yang damai." Giliran Lady Earlene yang terbungkam. Dibalik kacamata hitamnya, ia menatap pelukis itu dan sang pelukis, secara reflek, ikut memandang sang Lady. "Siapa namamu?" tanya Lady Earlene, pelan. "Pasha," jawab lelaki itu, santai. "Sarfaraz Pasha." "Pasha," bisik Lady Earlene. Senyumnya mengembang. "Dan namamu, nona?" Pasha bertanya balik. "Kau tidak akan menyangka siapa aku sebenarnya." Dan dengan berkata demikian, Lady Earlene berbalik menuju mobilnya, meninggalkan Pasha yang heran sendirian. "Kapan-kapan, jika kau kemari lagi, bolehkah aku melukismu nona?" Lady Earlene tidak menjawab. Cahaya senja menyiram wajahnya. Segaris angin berhembus, menerbangkan dedaunan. Pada suatu titik, diantara cabang-cabang pohon dan bunga matahari, ketika mobilnya sudah meluncur jauh, ia berbalik menoleh kepada pemuda pelukis itu. Tiba-tiba, hatinya yang tadi pedih, tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD