Bab 202 : "Lord Frederich."

1457 Words
Kembali kepada Lord Frederich. Ia yang telah memasuki sebuah pintu metal dalam gedung "Pusat Informasi Nasional" tersebut, disambut oleh seorang gadis eksotik legit berambut hitam dan berwajah semanis gula. "Lord Frederich," sambutnya, seraya menggelung sedikit rambut ikalnya yang di bagian depan dengan satu jari. "Evelyn," bisik pria itu, mesra. Ia segera menghambur memeluk wanita itu dan mendaratkan kecup cium. "Oh, Tuan," desah gadis itu. Sebentar, ia membetulkan setelan hitamnya yang berkilau dan menyanggul kembali rambutnya yang terurai berantakan. "Jadi, apa informasi yang kau dapatkan hari ini, cantik?" Frederich mencoba mengendalikan dirinya. "Oh saham SOOSAN turun siang ini, aku telah memalsukan>Rebelution saat ini berdiam di sebuah Ghetto di pulau Gulviva, tepatnya di asrama Honeysuckle. Pemimpinnya, Dia-Yang-Tidak-Diketahui, dikabarkan akan mengadakan pengeboman sebagai pemanasan untuk aksi besar-besarannya." "Pulau Gulviva? Apa kau serius?" Lord Frederich tak percaya. Evelyn mengangguk. "Jadi Gavin benar." "Maaf, Lord?" "Ya, aksi besar-besaran apa?" Frederich menghamburkan lamunannya. Gadis itu mengangkat bahu. "Hanya sampai situ informasi yang aku dapat. Saat ini, para intel masih dan akan terus tersebar di berbagai pelosok untuk mencari jejak kelompok Rebelution itu. Mereka sudah ada di Gulviva, tetapi belum menemukan tanda-tanda adanya pengeboman." "Hmmm, baiklah," Pria itu mencium bibir Evelyn sebagai tanda penghargaan atas kerja kerasnya. Evelyn menggeliat ke dalam pelukan Frederich dan bernafas disana. Sunyi. "Barangkali aku adalah gadis yang paling tidak logis di dunia ini, tetapi aku menginginkamu, Lord Frederich." Frederich tersenyum kecil. Ia menyudutkan Evelyn ke tembok, membuat gadis itu kegirangan. "Aku tahu, Evelyn," ia menyentuh wajahnya, mengangkat dagunya, "Aku juga mencintaimu." Mereka berciuman dengan sangat lama. Frederich hilang kendali. Dalam sekejap, keduanya telah berada dalam ketelanjangan yang penuh keringat. Sesuatu dimasukkan ke dalam sesuatu. Lengket. Basah. Terdengar bunyi seperti ringkik kuda dan Evelyn telah berada dalam berbagai posisi nikmat. Kenikmatan tak terperi yang membuat Frederich mengabaikan pemberitahuan di layar komputer di meja panjang dekat ranjang. Tertulis dilayar itu, bahwa saham perusahaan o***m milik SOOSAN telah dibeli seseorang dan naik kembali. Tertulis pula tentang gerakan Rebelution yang katanya berlindung di Pulau Bjork, disebuah Ghetto. ***** "Aku kau benar-benar merasa baik-baik saja?" tanya Linda, kepada gadis cantik berambut dan berkulit cokelat di hadapannya, Evelyn. Sore itu begitu lembut. Setelah puas dengan cinta di atas ranjang, Evelyn dan Lord Frederich berpisah ke jalan masing-masing. Lord Frederich menemui istrinya, Lady Alexandrina. Sementara Evelyn, terdampar di sebuah night club elit bersama sahabat sosialitanya-sekaligus tunangan Prince William, Lindyana. "Aku bukannya bermaksud untuk mengatur hidupmu...tapi..." Linda mengibaskan tangannya. Dengan berbisik dan pandangan sedikit tak percaya, ia mencoba mengemukakan ketidaksetujuannya, "Kenapa kau lebih memilih bersama Lord Frederich yang sudah beristri dan justru meninggalkan Prince Adrien Sang Putra Mahkota?" Evelyn tertawa kecil. Ia meneguk brendi langsung dari botolnya. Cahaya emas redup berkelap-kelip, berpadu dengan cahaya fluorescent keunguan, menyiram seluruh ruangan dan memantul di wajahnya sehingga gadis itu nampak berkelap-kelip. Evelyn bangkit dari sofa merahnya, dan berjalan terhuyung-huyung. "Apa kau sudah gila?" Linda menarik gadis itu kembali ke sofa. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, was-was jika ada orang lain yang curiga dengan obrolan mereka. Setelah merasa aman, ia berbisik lagi, "Kau baru saja membuang kesempatan besar untuk menjadi Ratu. Apa kau tidak tahu bahwa tahun depan Prince Adrien akan dilantik? Apa kau tidak tahu bahwa sebelum dia diangkat menjadi Raja, dia harus sudah menikah?" "Ya, aku tahu, tentu saja. Itulah sebabnya semua media memburuku dan menanyakan hubunganku dengannya. Apa aku akan kembali padanya? Apa aku akan bla bla bla...Oh, aku muak mendengarnya!" Evelyn menengguk lagi minumannya. Linda menggeleng-geleng dengan prihatin. Diseruputnya sekaleng minuman di atas meja demi menenangkan dirinya. Musik berdentum-dentum menyanyikan senandung cinta dan patah hati, campur aduk bersama denting gelas-gelas piala dan suara tawa para pemuda mabuk yang liar tak terkendali. Sejenak, Evelyn dan Linda tidak mengatakan apa-apa. Mereka tenggelam pada pikiran masing-masing. Linda bertanya-tanya, apakah ia benar-benar mengenal sahabat disampingnya ini? Linda dan Evelyn sudah saling mengenal sejak mereka masih kecil dan sekolah di salah satu sekolah elit khusus bangsawan di Alegra City. Tetapi mereka baru benar-benar dekat dan menjadi sahabat ketika Linda pacaran dengan Prince William dan pada saat yang sama, Evelyn juga tengah menjalin hubungan dengan Prince Adrien. Segera setelah itu, nama mereka tersohor di berbagai penjuru Great Alegra sebagai gadis beruntung yang dipacari oleh para pangeran. Bersama dengan dua sosialita lain, Paris dan Bella (dan sering kali, demi popularitas dan demi menarik simpati publik, Lady Luna juga diajak), mereka membentuk group sosialita ternama bernama "Diamond Group". "Kau tak perlu pusing-pusing memikirkannya. Aku akan baik-baik saja selama kau diam dan tidak membocorkan hubungan ini kepada yang lain," jawab Evelyn, setelah botol minumannya kosong. Sempoyongan ia menyeimbangkan badannya dan akhirnya jatuh rebah di sofa. "Sulit bagiku untuk mengungkapkan alasannya, Linda," lanjutnya dengan suara yang ngawur. "Maksudku... politik...membingungkan... kita semua saling makan... aku harus... hidup aman... aku... ah..." "Aku mencintai Adrien," gumamnya lagi, setengah sadar. "Tapi aku tidak yakin... dia mampu menjadi seorang Raja...." "Memangnya kenapa? Apa masalahnya?" Evelyn tertawa, cairan alkohol berlumuran di mulutnya. "Ada banyak yang ingin membunuhnya..." "Seharusnya kau melindunginya kan? Memberinya dukungan? Bukan malah beralih kepada Lord..." "Sssttttt....." potong Evelyn. Ia menempelkan telunjuknya di bibir Linda dengan manja. "Lord Frederich memberiku segalanya.... keamanan..." "Tapi kau tidak akan menjadi Ratu?" "Kau tidak tahu, Linda......aku tidak cukup percaya diri menjadi Ratu... dan... aku... takut nasibku... akan berakhir seperti... Ratu Lady Earlene." Linda terhenyak. Sesaat, dunia berhenti bernafas. ***** Ada yang terjatuh saat Adrien tengah membolak-balik sebuah buku tua: sebuah foto seorang gadis. Adrien memungutnya. Ia pandangi gadis itu, Evelyn Spencer yang tersenyum. Hatinya luruh. Maksud hati ingin mencari cara terkait permasalahan yang kini digandrunginya. Namun, alih-alih menemukan solusi, ia justru terjun pada ingatan masa silam yang melankolis. Evelyn yang tersenyum. Lembut dan manis. Adrien buru-buru menutup bukunya. Ia pergi ke balkon, menenangkan diri. Senja menyemburatkan sinar keemasan yang damai. Di jalanan di bawah kastil pribadinya, iring-iringan para pelayan dan pegawai istana bergerak menuju istana utama, sekitar beberapa blok dari tempatnya berada. Ia melihat diantara barisan orang itu, mereka yang terpekur menapaki jalan hidup. Seseorang bergumam. Seseorang berkelakar. Suara mereka sayup-sayup terdengar seperti hembusan angin menerpa rimbun dedaunan. Temaram matahari menyiram tubuh mereka lembut. Bayangan memanjang, mencetak siluet alami diatas tanah lapang. Adrien mengalirkan nafas panjang. Rasa sepi menyerbunya laksana malam. ***** Perjalanan menuju Istana Utama adalah perjalanan yang mengingatkannya pada pertemuannya dengan Evelyn. Bukan karena megahnya Istana Utama, melainkan karena untuk menuju ke Istana, salah satu jalannya adalah melewati sebuah taman berbukit dengan padang ilalang menghampar. Taman Alegra, sebuah taman pribadi milik anggota Kerajaan. Di taman itulah, disitu, segalanya dimulai. "Siapa disana?" tanya Adrien, kepada seorang gadis yang duduk sendirian di ayunan, diantara pepohonan willow dan tumbuhan dandelion. Evelyn menoleh. "Kau mau minum?" gadis itu menawarkan sebotol anggur kepada Adrien. Lelaki itu meraihnya tanpa malu-malu dan duduk di ayunan di sebelah Evelyn. Selama beberapa saat, waktu berlalu dengan minuman. "Oh tidak!" seru Evelyn seraya membuang botol-botol minuman ke tong sampah. "Cepat!Cepat! Ibuku datang!" "Apa?" Adrien kebingungan. Tanpa banyak kata, Evelyn segera merebut minuman Adrien dan membuangnya ke tong sampah. Secepat kilat pula ia merapikan bajunya yang panjang menyapu lantai dan menyeimbangkan tubuhnya agar tidak terlihat seperti orang mabuk. Ciitt, sebuah mobil berdecit, terpakir di pinggir taman. "Oh sayangku Evelyn, apa yang kau lakukan disini, sayang?" sang Ibu keluar dari dalam mobil, terhuyung-huyung menghampiri anak perempuan kesayangannya. Tangannya merentang ingin segera memeluk, sementara wajahnya mengandung rasa gelisah. "Oh.. oh... Evelyn, apa kau baik-baik saja, sayang? Oh besok kita harus pergi ke dokter untuk mengecek kesehatan dan kadar gizimu. Kau tahu kau harus mempertahankan bentuk dan berat badanmu? Lusa akan ada festival musim semi, kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Sudahkah kau berbicara dengan fotografermu hari ini? Nanti malam kita akan ada pemotretan dan sebelum itu, seperti biasa, kau harus memperingatkannya untuk tidak menawarimu macam-macam seperti alkohol, makanan berbahan pengawet dan daging hewan. Oh aku tidak bisa membayangkan jika kita hidup di keluarga yang bukan vegetarian? Ah, sepertinya ibu saja yang akan memberi tahu fotografer itu. Oh bau apa ini? Siapa yang minum alkohol sore-sore begini? Aduh, aku harus segera melaporkannya kepada Lord Alastairs!" Adrien berdehem. Seketika sang ibu menoleh... "Oh Prince Adrien!" sahutnya dengan segala hormat. Ia begitu kegirangan mendapati putri cantiknya tengah bersama sang putra mahkota. Saking girangnya, ia menjadi meluap-luap sampai Adrien harus menenangkannya. Sang Ibu menawarkan makan malam dan segala barang supaya Adrien bisa sedikit lebih lama bersama mereka. Ia pikir sang pangeran menyukai anak gadisnya, benarkah? "Baiklah, saya harus segera pergi," kata Adrien, memandang kepada ibu dan anak itu bergantian. Seperti memenangkan sebuah undian, ia tersenyum. Dalam senyumannya, sedikit lelucon tersimpan. "Oh ya, Evelyn," katanya. "Terima kasih untuk minumannya. Sungguh menyenangkan bisa bertemu denganmu. Tapi aku harap... tadi kau tidak terburu-buru membuangnya ke tong sampah. Ah, sayang sekali, sekarang aku akan berurusan dengan Lord Alastairs karena seseorang akan melaporkanku. Hah, baiklah, selamat sore. Sampai jumpa!" Adrien masuk ke dalam Lamborghininya, meninggalkan Evelyn dan ibunya yang tercekat sendirian. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD