Bab 214 :"Tanah Aristarkhus."

1615 Words
Salem Henokh sampai di bangunan utama dari Kapelarium Zerubabel dan langsung menuju ruang utama tempat para Salem berada. Ia tak kuasa menyembunyikan kegundahannya, “Iblis sudah mulai bermain-main dengan Mihlail! Kita harus melakukan sesuatu!” tuturnya, gelisah. “Tenanglah, saudaraku, duduklah,” seru seorang lelaki tua berjanggut putih. Ia merentangkan jubahnya dan duduk di keheningan malam sembari memandang sebuah foto. Para Salem yang lain ikut melihatnya. “Foto yang bagus, Salem Eliezer,” ungkap Salem Yosafat. Salem Ere dan Salem Rafeh mengamini. “Satu-satunya foto yang kita punya,” katanya lagi, sedih. Perkataannya menunjuk kepada gadis berparas cantik di foto. Gadis yang tengah menggendong seorang bayi. Di samping gadis itu, duduk dengan gesture memeluk, seorang pria bermata biru berkulit putih cerah. Mereka semua tersenyum. Sebuah catatan keluarga kecil yang bahagia. “Mihlail dan ibunya, mereka terlihat begitu damai di dalam foto,” seru Salem Rafeh. “Aku tidak menyangka kalau Mihlail akan membacakan puisi dari buku milik Elizeba itu!” Salem Henokh kembali ke persoalan semula. “Iblis sudah mulai meracuni otaknya. Kita harus berbuat sesuatu. Aku berpikir untuk mengurung Mihlail...” “Salem Henokh, tenanglah...” Salem Eliezer bersua, badannya yang sudah sangat renta susah payah mengalirkan napas panjang. “Jangan terlalu keras dengan anak itu, betapa pun dia belum sepenuhnya paham... biarkanlah alam berproses,” lanjut Salem Eliezer. “Aku datang jauh-jauh kemari dari Kapelarium Svarovich bukan untuk mendengarmu berkeluh kesah tentang Mihlail...” “Tapi iblis...” “Iblis akan melakukan apa yang bisa dia lakukan... tapi kita harus yakin, pada akhirnya, Mihlail akan hadir untuk membela kebenaran.” “Aku punya keyakinan kuat bahwa Mihlail punya suatu rencana dibalik kedekatannya dengan iblis,” lanjut Salem Eliezer ketika tak ada siapapun yang bertanya. “Lihatlah,” titahnya kepada para Salem, menunjuk sebuah foto yang dari tadi ia pegang. “Lihatlah, Mihlail kecil, lihatlah Izebel, sang ibu...” Salem Eliezer tak berdaya menahan air matanya. “Izebel adalah gadis yang sangat baik. Ia telah hidup dan menunaikan tugasnya dengan sepenuh hati,” Salem Ere menenangkan, “Ia telah mempertahankan keimanannya.” Salem Eliezer hanya mengangguk. Ia mengusap tangisnya. Hening. Bertahun-tahun telah berlalu, tetapi ingatan tentang Izebel begitu membekas di benak Salem Salem Eliezer. Bertahun-tahun telah berlalu, tetapi rasanya baru kemarin ketika ia menggenggam jari jemari gadis itu dan menuntutnya pada kesalehan. ***** Waktu itu langit tidak secerah biasanya dan hujan terus mengguyur dari pagi. Di Kapelarium Svarozhich, setelah memanjatkan doa, para Tabliq Suci berkumpul dan bersenda gurau sambil menunggu hujan reda untuk kemudian kembali ke kediaman masing-masing. Ia adalah Izebel Lothiriel, seorang gadis kecil berambut sehitam malam dengan mata lentik berwarna hazel, saat itu ia masih teramat bingung terhadap sejarah dunia dan sejarah tanah airnya. Maka sambil menunggu hujan reda, ia yang masih berusia kurang dari sepuluh tahun, berjalan mendekati The Great Salem, Salem Eliezer Diotrefes, dan bertanya bagaimana awal dari segala awal. “Pada mulanya adalah ketidaktahuan seluruh manusia tentang bagaimana terbentuknya dunia ini, yang disebut sebagai “Tanah Aristarkhus”, demikian Salem Eliezer mulai menjelaskan dalam bahasa Tabliq Suci. [1] “Ada hal-hal yang nampak kasat mata, ada hal-hal yang nampak pudar dan gaib, dan ada hal-hal yang dapat tercipta dengan hanya buah tangan manusia. Bagaimana fenomena-fenomena alam terjadi dan bagaimana penjelasannya merupakan suatu misteri. Seseorang bisa mengatakan “ini” tentang “itu” dengan bahasa paling menarik hingga semua orang percaya atau mengatakannya dengan cara paling tidak sopan hingga tidak ada satu pun yang ingin membahasnya. Perkataan “ini” dan perkataan “itu”, kesaksian “ini” dan kesaksian “itu”, kemudian diterima dan ditolak oleh sebagian masyarakat hingga terbentuklah komunitas dari masing-masing perkataan “ini” dan “itu”. Komunitas ini kemudian berkembang pesat dan menjalar di segala pelosok dunia. Pada perkembangannya, komunitas tersebut menjadi sebuah negeri dengan rakyat, pengetahuan dan kepercayaan sendiri-sendiri.” Ranting-ranting pohon plum melesak masuk ke jendela timur Kapelarium, Izebel yang duduk tak jauh dari jendela segera memetik buahnya dalam keteduhan angin senja. Ia menaikan kerudungnya yang longgar dan bersiap mengatakan sesuatu. “Je sis eno prágma, Salem.”[2] Izebel menggigit buah plum, mengunyahnya sebentar. “Aku tahu yang ini, bahwa negeriku ini, negeri Populo Dei, adalah kerajaan yang pertama kali mendeklarasikan diri tentang pemisahan dirinya, bukan?”             Salem Eliezer tertawa. Ia merapatkan pakaiannya dan bersiap berbicara sesuatu yang amat panjang. “Oh muridku Izebel, Populo Dei adalah satu-satunya negeri yang menganggap Tuhan adalah pencipta seluruh alam semesta, bahwa Tuhan adalah sesuatu abstrak yang memiliki kekuatan dahsyat untuk membuat serta mengatur segala sesuatu di dunia, namun secara nyata tak berwujud, bukan patung, bukan api, bukan air, bukan apapun. Abstrak. Tuhan adalah sesuatu di langit keabadian di singgasana penuh cahaya, yang maha pengasih dan penyayang terhadap umatnya.” Bangsa Populo Dei biasa disebut Tabliq Suci. Mereka menguasai wilayah bagian barat Aristarkhus dengan Gunung Barboza dan Sungai Moran sebagai aset terbesarnya. Wilayah ini subur dengan hutan lebat, padang, dan savana terhampar dimana-mana. Kapelarium adalah tempat peribadatan sekaligus tempat pertemuan utama Tabliq Suci. Mereka menyalakan lilin dan memulai puji-pujian kepada Tuhan di Kapelarium. Rata-rata Tabliq Suci bekerja sebagai petani, pekebun, dan peternak. Mereka percaya bahwa Tuhan menciptakan alam khusus untuk manusia dan karenanya manusia harus hidup selaras dengan alam. Para Rabi[3] bangsa Populo Dei biasa disebut The Salem. Mereka adalah para tokoh terkemuka yang tinggal di Kapelarium-kapelarium seluruh Populo Dei. Semua urusan, baik urusan duniawi dan rohani, didiskusikan bersama dengan para Salem yang tinggal di Kapelarium setempat, dengan berdasarkan pada kitab iman “Habel” sebagai petunjuk kehidupan satu-satunya. Pemimpin dari para Salem saat ini adalah The Great Salem Eliezer. Kitab Habel sendiri adalah kitab yang ditulis oleh seorang Rohib[4] yang sangat dihormati. Rohib Populo Dei, seorang pria bernama Emirel Shofar, ia yang menerima wahyu Tuhan dan menyebarkannya kepada seluruh manusia, serta penyihir, setan, jin, dan iblis. Emirel Shofar dianggap penyelamat bangsa Tabliq Suci karena sebelum wafatnya, beliau mampu menguasai wilayah barat Aristarkhus yang menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Populo Dei. “Orang beriman adalah mereka yang sungguh-sungguh mendengarkan sabda Tuhan, Allah, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya dan memasang telinga kepada perintah-perintah-Nya, serta mengikuti segala ketetapan-Nya. Mereka adalah orang yang diberi kegemilangan dan kasih karunia dari-Nya. Semoga kita bagian dari mereka. Semoga Tuhan memberkati kita dan melindungi kita dan memberi kita damai sejahtera,” jelas Salem Eliezer, mengutip ayat emas dari kitab Habel. “Salve me ab ore demone,”[5] lanjutnya. “Amin.” Izebel membasuh muka dengan kedua tangannya. Buah plum yang baru setengah ia makan ditaruh di atas meja. Salem Eliezer menginstruksikan untuk segera menghabiskannya sebab makan malam segera tiba dan tidak baik bagi kesehatan untuk memakan buah dan roti dalam waktu yang berdekatan. Gadis berambut hitam itu mengangguk dan menghabiskan dulu buahnya. Selama itu, Salem Eliezer mengumpulkan kosa kata yang tepat untuk bercerita agar Izebel mengerti rumitnya sejarah Aristarkhus. ***** “Komunitas kedua yang memisahkan diri dan mendirikan kerajaan sendiri di atas tanah Aristarkhus adalah kerajaan Old Sammur,” jelas Salem Eliezer. “Mereka yang mengatakan dan menyakini bahwa akal pikiran manusia adalah bentuk tertinggi dari segala yang ada di dunia. Mereka tidak mempercayai adanya Tuhan dan mengagungkan pengetahuan mereka akan alam, teknologi, dan filsafat sebagai bahan bakar pembentukan dunia. Mereka tinggal dibagian selatan Aristarkhus. Mereka tidak suka memanjatkan doa dan satu-satunya tempat sakral bagi mereka adalah Balairung. Balairung adalah tempat dimana para penghuni Old Sammur, disebut bangsa Elite, berkumpul dengan para Rabi-nya-disebut Para Gamaliel. Mereka membicarakan rencana-rencana ke depan beserta kemajuan-kemajuan yang ingin dicapai. Kitab iman bagi mereka adalah kitab Kosmos, berupa kumpulan ilmu dasar tentang sains, matematika dan bahasa yang terdiri dari sembilan jilid. Kitab Kosmos adalah kitab yang pertama kali akan diajarkan orang tua kepada anaknya saat mereka pertama kali bisa membaca dan menulis.” “Salem,“ Izebel menyela. “Sesungguhnya kemarin saat aku bermain dengan para sahabatku, terbesit pikiran diantara mereka untuk pindah ke Old Sammur. Dengan kondisi seperti ini, kata mereka Old Sammur adalah satu-satunya negeri dimana gedung-gedung tinggi menjulang, dimana ditemukan transportasi canggih, dan alat-alat digital yang memungkinkan seseorang melakukan apa saja dan dalam keadaan apa saja. Kata mereka, kita semua harus pindah kesana atau kita akan membusuk disini dalam keadaan miskin.” “Omongan macam apa itu?” Salem Eliezer merah padam.”Siapa yang memberi mereka pelajaran seperti itu?” “Mereka mengatakannya sendiri, The Great Salem,” Izebel menjelaskan dengan lugu. “Itulah yang disebut inisiatif kata mereka.” “Kepada siapa mereka beriman? Tuhan atau materi? Mengapa mereka berdusta sementara peringatan dan tanda-tanda kebesaran Tuhan terpampang di depan mata mereka?” Diam sejenak. Udara berubah. “Yah, harus ada pendidikan iman yang lebih keras untuk mereka,” Salem Eliezer melembutkan nada suaranya. “Katakan padaku, Izebel, sayang, kau tidak akan menjadi seperti mereka?” “Tidak, Salem. Aku sangat mencintai negeri ini dan aku sangat percaya akan adanya Tuhan.” Salem Eliezer bernapas lega. Segaris angin berhembus menyentuh pikiran dan Izebel mulai terkenang atas percakapan lalu dengan para sahabatnya. Ia tidak mau terlalu mengingat ini tapi ingatan-ingatan yang muncul begitu jelas dan nyata. [1] Bahasa yang digunakan di kerajaan Populo Dei [2] “Aku mengetahui satu hal, Salem.” [3] Rabi adalah istilah universal di Aristarkhus untuk menyebut pemimpin setiap kerajaan. Berasal dari bahasa Aritarki, bahasa universal di tanah Aristarkhus. Namun, setiap kerajaan biasa memiliki julukan bagi pemimpinnya sendiri dengan bahasanya sendiri. [4] Rohib adalah pemimpin pusat yang menerima wahyu langsung dari Tuhan. Ia adalah wujud tertinggi dari moral manusia. Hanya ada satu Rohib dalam sejarah Populo Dei, yakni Emirel Shofar. Beliau telah wafat lebih dari lima ribu tahun yang lalu, bahkan sebelum kerajaan Populo Dei berdiri. Makamnya kini terletak di Kapelarium Zerubabel, Kapelarium terbesar di Populo Dei. [5] “Oh Tuhan, selamatkan aku dari mulut singa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD