Bab 215 : "Anak Kesayangan."

1479 Words
“Tidak ada negeri yang lebih baik daripada Old Sammur,” seru salah seorang lelaki bernama Kain. Ia yang duduk dibawah pohon plum, dengan kacamata minus yang membuat dirinya seperti orang pintar, berkata, “Lihatlah De Shoshi!” Maka semua teman-temannya mengenang De Shoshi. Bangsa kerajaan De Shoshi, disebut sebagai bangsa Polumor, adalah mereka yang percaya bahwa manusia adalah Tuhan itu sendiri. Semua penciptaan alam semesta beserta isinya tidak akan tercapai tanpa ada manusia di dalamnya. Dan diantara manusia sebagai entitas tertinggi itu, adalah Raja De Shoshi, Alexander Az-Baabul dan keturunannya, sebagai satu-satunya yang pantas disembah dan dihormati. “Mereka...” Kain menunjuk ke arah utara, tempat kerajaan bangsa Polumor, De Shoshi berada. “Mereka telah dengan gilanya sangat tunduk kepada apapun ucapan dari sang Raja. Para Rabi bangsa Polumor, para Sophos itu, senang sekali memberi pengajaran kepada bangsanya. Mereka mendirikan Menara Sophos sebagai tempat perkumpulan dimana mereka bisa belajar dan memahami alam dunia lewat kitab Baabul, sebuah buku yang menceritakan dengan detil riwayat hidup Alexander Az-Baabul dan keturunan-keturunannya. Lihat, memahami alam dunia lewat kitab yang isinya riwayat hidup keturunan Alexander Az-Baabul? Logika macam apa itu!” Para sahabat mengangguk-angguk setuju, kecuali Izebel. Ia berdiri dan menyela ucapan Kain. “Tapi militer mereka sangat kuat. Menjadi “Prajurit De Shoshi” adalah pekerjaan impian seluruh penduduk dan mereka rela mati demi Alexander Az-Baabul. Bahkan Old Sammur yang katanya maju saja masih sangat kewalahan menghadapi De Shoshi.” Kain bersedekap. Para sahabat mengangguk-angguk lagi. “Yah, militer mereka sangat kuat. Tapi bukan berarti kehidupan kita akan lebih baik disana. Beda dengan Old Sammur, kerajaan itu menjanjikan surga!” “Bagaimana dengan Langit Bawah?” Sollice, seorang anak perempuan berwajah manis bertanya. “Mereka mengenal sihir dan ilmu gaib, dengan modal itu...” “Langit Bawah tidak akan bisa menjadi kuat,” potong Kain. Ia mulai menerangkan, “Langit Bawah yang terletak di timur Aristarkhus itu, dikenal sebagai kerajaan tergelap diantara kerajaan-kerajaan lainnya. Mereka tidak diisi oleh para manusia, melainkan oleh para penyihir, setan, jin, vampire, dan keturunan iblis. Kumpulan dari para penyihir, vampir, setan, jin, dan iblis itu disebut bangsa Kronum dengan para Rabi-nya, adalah mereka para Kronus. Mereka percaya bahwa ilmu gaiblah yang membuat dunia ini berputar. Bahwa alam dunia diatur dari alam gaib. Oleh karenanya, mereka mempelajari ilmu hitam yang tertera dalam kitab iman mereka, Ishtar. Lebih dari itu, mereka menyembah Raja Moloch, Iblis sejati. Mereka sepenuhnya bekerja untuk Sang Raja. Kekuatan utama mereka adalah Evil Spirit yang diajarkan para Kronus di Inferia Sanitarium, semacam sekolah ilmu hitam bagi bangsa Kronum. Semakin pintar mereka menguasai ilmu hitam, maka semakin sukses mereka hidup di Langit Bawah.” Semua terdiam. Tidak menyangka Kain memiliki pengetahuan sedalam itu. “Tentu saja, jika kita ingin memperbaiki kehidupan, Langit Bawah bukanlah kandidat yang cocok karena sekarang mereka hidup dalam kegelapan,” ujar Kain. “Aku tahu ada organisasi bawah tanah di dunia ini yang memungkinkan setiap bangsa dari empat kerajaan berbeda ini untuk berpindah ke kerajaan lain dan menjadi bagian dari bangsa yang diiinginkannya.” “OATH TO DEATH!” Kain melanjutkan saat tak ada siapapun yang menjawab ucapannya. “Perjanjian Kematian! The Oath to Death, itulah nama organisasinya.” “Hei, aku dengar ayahmu pernah ikut kelompok rahasia ini dan pergi ke Old Sammur bukan?” tanya Sollice kepada Izebel. Yang lain mengangguk-angguk. Tapi Izebel mengelak. Dalam angin yang berkesiut, ia menjelaskan bahwa ayahnya bukanlah anggota TOTD (The Oath to Death) dan tidak pernah berencana keluar dari Populo Dei. “Lalu bagaimana ayahmu pergi huh?” ledek yang lain. “Kecelakaan.” Semua tertawa. Intinya, mereka semua- Kain, Sollice, Hebron, dan Kimberly, berniat untuk kabur dari Populo Dei dan menjadi bagian dari Para Elite Old Sammur. Mereka akan memakai jasa baik TOTD, seandaianya organisasi itu memang ada, dan mereka tidak akan kembali ke negeri dimana berdoa lebih baik daripada mencari makan. Demikian mereka bersua. Izebel mengerang. Ia katakan dengan ayat emas Habel dan kutipan-kutipan sucinya, tapi teman-temannya hanya terus menertawakannya. “Kalau kau tidak suka dengan pemikiran kami, baiklah kau pergi saja, Izebel! Aku lebih suka kau membusuk dengan kedunguanmu itu dan telat menyadari bahwa engkau telah hidup begitu menderita hanya karena atas nama Tuhan!” “Jaga ucapanmu!” teriak Izebel. Teman-temannya berdiri, otot mereka menegang dan kedua pasang matanya menunjuk marah. Tak sampai satu menit, keributan khas bocah-bocah itu akhirnya berlangsung.   “Apakah ada yang mengganggu pikiranmu, Izebel?” Salem Salem Eliezer merangkul murid kesayangannya itu. Senja telah membias sebagai sinar emas di langit. Cahayanya menelisik ke celah-celah Kapelarium berulir dan menyiram wajah sang lelaki tua dan gadis kecil itu tampak seperti kemilau pagi. “Ah, tidak, Salem,”Izebel membuang pikiran tentang teman-temannya. “Aku hanya bingung bagaimana...” Ia berpikir sejenak. “Bagaimana kerajaan Langit Bawah bisa menjadi kerajaan tergelap, Salem?” “Oh,”Salem Eliezer tersenyum. “Baiklah, aku belum menceritakannya kepadamu,” Ia berdehem. “Begini, Izebel, wilayah yang dikuasai Langit Bawah selalu dirundung gelap sepanjang hari. Hal ini karena Evil Spirit tidak bekerja ketika ada sinar sekecil apapun, sehingga karenanya mereka menyihir seluruh wilayahnya menjadi atmosfera, terpal hitam di langit. Atmosfera ini yang menjadikan kekuatan hitam mereka tetap hidup. Sayangnya, sekalipun kekuatan mereka hidup, tetapi kekuatan mereka tidak bisa kemana-mana. Evil Spirit terjebak oleh atmosfera karena mantra atmosfera bekerja dengan cara memantulkan apapun kembali ke tempat asal. Maka sebagaimana atmosfera yang memantulkan kembali sinar matahari ke matahari, jika sebuah mantra dilesatkan ke langit, maka atmosfera akan membalikan lagi mantra tersebut ke tanah. Akibatnya, bangsa Kronum terjebak. Kekuatan mereka tidak berlaku jika mereka pergi ke kerajaan Populo Dei, Old Sammur, dan De Shoshi.” “Betapa mengerikannya hidup dalam kegelapan!” pekik Izebel, mata cokelat mudanya menjadi terang. Salem Eliezer tertawa. “Itulah, Izebel, contoh orang-orang yang telah dibutakan imannya. Banyak berita beredar bahwa demi membuat kekuatan mereka hidup selamanya meski dibawah sinar matahari, setiap setahun sekali sebuah ritual pengorbanan suci, Holy Sacrifice, dilakukan oleh bangsa Kronum sebagai bagian dari menemukan ‘sang mantra’. Ritual tersebut merupakan ritual terbesar yang diadakan bangsa Kronum selama mereka belajar Evil Spirit. Ritual tersebut diadakan di Inferia Sanitarium, dihadiri seluruh bangsa Kronum, seluruh Kronus, dan Raja Moloch sendiri. Namun, sampai ribuan kali pengorbanan itu dilakukan, sang mantra tetap tidak ditemukan. Meski begitu, bangsa Kronum tetap terus mencoba dan mencoba tak kenal lelah.” “Apakah yang mereka korbankan, Salem?” Izebel bergidik ngeri. “Malaikat. Konon katanya disana terdapat makhluk minoritas berperanakan antara penyihir dan iblis, mereka mengganggap diri mereka Malaikat dan para Kronum menyebutnya The Black Angel. Mereka disebut-sebut sebagai oposisi Raja Moloch sehingga Raja Moloch berniat menghabisi mereka setiap tahunnya.” Izebel bergidig ngeri, “Aku tidak bisa membayangkan kengerian itu semua, Salem.” “Ya, tapi apakah kau tahu apa yang lebih mengerikan daripada itu?” Salem Eliezer menatap Izebel. “TOTD! The Oath of The Death! Karena merekalah, orang-orang bisa menyusup ke bangsa lain. Karena merekalah, orang-orang bisa murtad. TOTD adalah organisasi rahasia yang dianggap telah menjadi dalang dari semua kekacauan. Tapi tidak ada yang benar-benar mengetahui apa sebenarnya TOTD itu. Bagaimana wujudnya? Bagaimana cara kerjanya? Tidak ada seorang pun yang benar-benar tahu tentang itu, Izebel. Tapi apapun itu, aku yakin itu bukanlah hal yang baik.” Izebel mengangguk. Ia masih teringat percakapannya dengan teman-temannya kala itu tetapi kali ini, ia memantapkan diri untuk tetap bersama bangsanya, Tabliq Suci dan bersama negerinya, Populo Dei. ***** “Demikianlah..kemudian tanah Aristarkhus akhirnya terpecah belah menjadi empat kerajaan; Populo Dei, Old Sammur, De Soshi, dan Langit Bawah. Semua bermula dari perbedaan keyakinan atas awal mula terbentuknya dunia, terutama awal mula terbentuknya diri mereka sendiri,” Salem Eliezer menutup ceritanya. Hujan berhenti. Buah plum habis dimakan. Izebel bangkit mengamati tanah yang basah dan bau selepas hujan; seekor katak yang melompat dari batu ke batu, kupu-kupu terbang dari bunga-bunga, cicak merayap di dinding, alam mendesis dan bunga-bunga taman kebasahan. Izebel menghirup aroma segar dan bertanya-tanya bagaimana semua kejadian ini, semua yang dilakukan para penghuni dunia, baik yang hidup maupun yang mati, baik yang diam maupun bergerak, baik yang kecil maupun yang besar, dapat berpikir bahwa bukanlah Tuhan yang mengaturnya. Dalam hati ia merasa beruntung telah lahir dan tinggal di Populo Dei, ia bahkan sangat menyukai suasana Kapelarium yang artistik, kuno, dan sangat saleh. Ia berterima kasih kepada Tuhan karena tidak dilahirkan sebagai penyihir atau bagian dari bangsa manapun selain Tabliq Suci. Seakan-akan Tuhan tahu, dan Tuhan ingin Izebel ada disini, di negeri ini. “Izebel, il temps rom sakhlshi à la house, querida,”[1] sahut Lidia, sang ibu. Izebel menoleh dan melihat ibunya yang berdiri anggun dengan tunik dan palla yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Setelah pamit pada Salem Eliezer, Izebel mendekati ibunya. Di dalam hati, ia berdoa untuk mengakhiri sang hari. “Tuhan, aku mencintai rumah kediaman-Mu dan pada tempat kemuliaan-Mu bersemayam. Ke dalam tangan-Mu aku serahkan nyawaku. Engkau membebaskan aku, ya Tuhan, Allah yang setia. Amin.”   [1] “Izebel, sudah waktunya pulang, sayang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD