Bab 187: "Dalam Cahaya Bulan"

1974 Words
Tengah malam itu dalam cahaya bulan sabit yang misterius, Luna dan Isadora berjalan mengendap-endap melewati rute selipan diantara cabang-cabang pohon maple, bunga-bunga hias, alang-alang, dan rumput berembun menuju suatu lorong gelap di ruang bawah tanah. Luna tersuruk-suruk mengikuti jejak Isadora dan mereka berdua sering kali tersandung bebatuan. Peluh mengucur di kening Luna, merasa tenggelam seluruhnya dalam kegelapan. Tetapi ia masih bisa merasakan kehadiran yang lain, gadis-gadis lain yang juga berjuang dengan tujuan yang sama. Luna dan Isadora melambatkan langkahnya sebentar, memberi para gadis itu akses masuk duluan. Riak-riak renyah para gadis yang tak sabar untuk sampai di pesta membuat Luna merasa geli. Suara mereka seperti kegembiraan peri-peri di negeri bunga dalam buku cerita dongeng masa lampau. Ketika Luna menengadah ke langit, bulan sabit tepat berpendar di atas atap dan sangat besar, seolah-olah itu bukanlah bulan tetapi semacam hiasan para hippie. Isadora mengguncang-guncang pundaknya. "Ini tempatnya, Luna.'' Dengan senyum lebar, Isadora membuka gerendel pintu dan disanalah.... Sebuah dunia anak Honeysukle yang mencari pengharapan akan cinta, kasih, dan pelampiasan hobi dan emosi. Ruangan itu berwarna biru muda. Tidak kontras dengan gaun yang dikenakan Luna sekarang. Hiasan bintang-bintang menggantung di langit-langit. Tirai dari manik-manik juga menggantung. Kado-kado diletakkan di atas meja dan begitulah... Tidak terlalu mewah, tetapi tidak juga sederhana. Waktu Luna dan Isadora masuk, mereka disambut dawai harpa dari seorang pria yang juga tengah bernyanyi di atas panggung kayu. Keheningan mengudara, berpuluh pasang mata tertuju pada pria itu dan suaranya....dan suara harpanya..... Luna sendiri hampir tidak mempercayainya. Tetapi sungguh, ia dibuat terkejut sekaligus kagum sekaligus kaget dan semua perasaannya yang bercampur sekaligus. Pria yang tengah duduk di atas panggung itu, yang memakai setelan jas rapi seperti bangsawan, yang rambut legamnya disisir serta diikat rapi, yang harum tubuhnya menyerebak seperti mawar, yang memetik harpa dengan kalem dan bernyanyi. Itu adalah Gavin. On a wagon bound for market There's a calf with a mournful eye. High above him there's a swallow Winging swiftly through the sky. How the winds are laughing They laugh with all their might Laugh and laugh the whole day through And half the summer's night. Dona, dona, dona, dona, Dona, dona, dona, do, Dona, dona, dona, dona, Dona, dona, dona, do. "Stop complaining," said the farmer, "Who told you a calf to be? Why don't you have wings to fly with Like the swallow so proud and free?" Calves are easily bound and slaughtered Never knowing the reason why But whoever treassures freedom Like the swallow has learned to fly Terbawa setiap insan ke fantasi alam mimpi. Harmoni yang bersayap-sayap. Kesedihan sedemikian rupa. Luna hanya mematung disana, di kejauhan menghadap Gavin yang malam ini begitu tampan. Luna merasakan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya dan membuat tubuhnya merasakan sesuatu. Ia tidak menggeser sedikitpun matanya dari Gavin dan ini hampir membuatnya gila sebab pria itu benar-benar telah mengejutkannya. Gavin melihat Luna dan tersenyum begitu manis, namun Luna bahkan tidak punya daya untuk membalasnya. Gavin telah mengejutkannya akan sesuatu. Pertama, bahwa pria itu sangat teduh dan kedua, harpa.... Luna teringat harpanya...... Yang dahulu pernah ia mainkan. Luna teringat lagu dan frase musiknya.... Yang dahulu sekali sangat sering ia mainkan. Luna teringat segala hal tentang alat musiknya... Yang kini telah terkubur selamanya di lemari. Dona dona dona dona... Dona dona dona don... Dona dona dona dona... Dona dona dona don.... Ketika nada terakhir telah berdenting, Gavin bergerak mendekati Luna, perlahan. Ia hadiahkan bagi gadis itu, senyum termanisnya dan tatapan tulusnya. Semua pasang mata tertancap padanya. Hening. Luna berbalik dan berjalan keluar. Ia takkan sanggup menghadapi ini. Tidak akan, pikirnya. Ini amat berat baginya untuk dihadapi. Sebab Gavin telah mengingatkan sesuatu dalam dirinya yang hilang. Sebuah kebahagiaan. Luna terus berjalan keluar, perlahan. Setitik air mata jatuh dari sepasang mutiara birunya. Gavin mengekor pada Luna sampai gadis itu berhenti diluar, di hamparan rumput dan tanaman hias yang terlelap malam. Hanya ada mereka berdua sekarang dan hanya Luna yang tidak sadar bahwa ada Gavin mengikutinya dari belakang. Luna terduduk di rerumputan, menangis tanpa suara. "Waktu pertama kali aku melihat Harpa, aku langsung suka.'' kata Gavin seraya duduk di samping Luna. "Aku pikir tidak ada salahnya apabila aku mencoba untuk memainkannya.. Meskipun itu berarti menolak aturan ayah. Yah, tapi ketika aku mulai memainkannya.. woooww.. '' Gavin tertawa kecil.''Aku hampir ingin menangis... Aku merasa tidak sakit dan menderita, seolah-olah kedamaian ada dalam diriku dan segalanya akan baik-baik saja..........'' Gavin menghela nafas. "Oh harpaku.....'' Luna menoleh. "Apa yang kau bicarakan, Gavin?'' Gavin tidak menjawab, namun ia menghadiahi Luna lagi dengan senyuman dan tatapan yang tulus. Luna hampir ingin mengakui bahwa pemuda itu sangat tampan dalam keadaannya yang seperti sekarang ini tetapi ada begitu banyak hal tengah berkelebatan dalam pikirannya. "Kau membuatku sedih, Gavin.'' seru Luna, akhirnya setelah terdiam lama. "Kau membuatku sangat sedih... terlebih dengan harpamu.'' Gavin tertawa kecil. "Kau ingin memainkannya?'' Luna mengelap air matanya. "Aku sudah lupa bagaimana cara memainkannya.'' "Kau bohong. Kau pernah memainkannya.'' Barangkali ucapan Gavin benar namun Luna enggan mengakuinya. "Kau ingin memainkannya?'' Gavin bertanya sekali lagi. "Diamlah, aku sudah bilang aku tidak bisa memainkannya.'' Gavin diam. Ia bangkit dan meninggalkan Luna. Tak berapa lama ia kembali lagi dengan harpa dan anak-anak di pesta mengikuti Gavin dari belakang tanpa suara. "Ada apa? Ada apa? Ada apa?'' desis mereka. Luna memandang kepada Gavin dan pemuda itu menyorotkan mata gempita padanya. "Ada begitu banyak kebahagiaan di dalam sini.'' ungkap Gavin dan dirinya mulai memainkan harpa di samping Luna. Irama dona dona mengalir lagi. Luna memperhatikan. Air matanya menetes. Hening. Tiba-tiba... "Kau salah!'' seru Luna. Gavin spontan menutup permainannya. Alam berdesis sebagaimana manusia-manusia di belakang mereka. "Laki-laki memang selalu salah di mata perempuan.'' bisik salah seorang. "Ada apa? Kenapa?'' "Ssssttttt......!!!!!'' Isadora mengintruksi mereka semua untuk diam. "Kau seharusnya memetik tangga nada ini.'' ujar Luna. Pemuda itu menampilkan senyum. "Bagaimana kalau kau saja yang memainkannya?'' Cahaya bulan berpendar menyiram tanah dan mereka. Luna menunduk. "Ada apa dengan mereka? Apa mereka menjalin hubungan?'' Anak-anak lain berdesis lagi. "Berani sekali begundal itu mendekati Marchioness...'' "Tapi oh, tentunya Lady Luna takkan mau dengan dia.'' "Begundal itu sudah salah! Dia takkan dapat tempat di hati Luna..'' " Sssssttttttttt.... "Isadora mengintruksi mereka lagi untuk diam. "On a wagon, bound for market, there's a calf with a mournfull eye....'' Gavin bernyanyi lirih seraya menghapus air mata Luna yang jatuh lembut melintasi wajahnya. "High above him, there's a swallow, winging swiftly throught the sky.....'' Luna bergetar hatinya. "How the wind are laughing, they laugh with all their might, laugh and laugh the whole day through and half the summer's night.'' Hening. Lambat-lambat, dimakan waktu, Luna menyentuh harpa, dan..... dentingan pertama terdengar... Dona dona dona dona... Dona dona dona don.. Gavin merasakan kehadiran sesuatu di dalam dirinya. Anak-anak terlalu terpukau sehingga mulut mereka bungkam. Tapi mereka bertahan berdiri disitu lantaran merasakan suatu dorongan asmara yang barangkali akan ditampakkan. Nafas alam terdengar pelan dan waktu berjalan dengan saksama, Gavin tak tahan lagi. "Aku mencintaimu, Luna.'' "Dimana Ada Kunci, Disitu ada Pintu'' Luna kembali masuk ke dalam ruangan dan mereka semua tersenyum padanya. Jadi, apa jawaban sang Marchioness? Apa iya? Atau tidak? Semua orang disitu dalam kepalanya berandai-andai. "Oh, yang benar saja Luna mau menerima pria tengik macam itu!'' bisik salah seorang laki-laki. "Luna takkan menerimanya..'' Tapi ketika Luna telah masuk ke dalam ruangan dan semua orang masih memperhatikannya, ia tahu bahwa ia harus segera menyelesaikan ini. "Katakan padaku, Luna, sebelum pesta ini berakhir.'' pinta Gavin. Gadis itu menarik nafas. "Aku mencintaimu juga, Gavin.'' Gavin tidak ingin terlihat bahagia tapi mendengarnya membuat ia jauh lebih dari bahagia. Tentu saja ia sangat yakin bahwa Luna akan menerimanya. Ini adalah suatu keharusan. Semua orang tersentak. Oh, yang benar saja! Untuk sepersekian menit mereka tidak bertepuk tangan atas berita bahagia itu, seolah-olah mereka membiarkan telinga mereka dipenuhi ratapan suara malam dan dedaunan yang resah, yang diharapkan akan memantulkan kembali ucapan Luna sehingga mereka bisa yakin. Kemudian Gavin memeluk Luna, mengangkat tubuhnya dalam sekejap. Oh, apakah pria itu mencoba untuk bermesraan? Tentu saja, supaya mereka semua menjadi yakin. Gemuruh tepuk tangan akhirnya bergema dan suara pluitan yang dibunyikan dengan dua tangan dilakukan terdengar dari para laki-laki. "Aku hampir ingin menangis melihat kemesraan mereka..'' ucap Isadora pada keriuhan hampa tak berwujud. Tidak ada yang mendengar ia berbicara ataupun mencoba mendengar ia berbicara. Namun Isadora tetap bertepuk tangan dan berucap berulang kali pada diri sendiri. "Kalian sangat cocok.'' ***** Pesta rahasia berlangsung dengan sanjungan tanpa daya. Seorang anak laki-laki memainkan gramofon dan ritme irama yang riang membubung sampai di langit-langit. Oh pihak luar takkan tahu bahwa ada pesta di dalam sini. Malam ini terlalu sunyi bagi mereka yang tertidur, namun terlalu meriah bagi yang terjaga dan bersenang-senang. Dua orang sejoli berambut cokelat menarikan tari Tango. Semua berdecak kagum. Dua orang sejoli berikutnya menarikan tari balerina. Semua berdecak kagum. Kemudian, mereka bertarung dan orang-orang bersorak. Kemudian, yang lainnya ikut berdansa. Suasana semakin semarak. Tepuk tangan mengudara. Gavin mengajak Luna berdansa ala romantisme yang ada di film-film percintaan yang semarak. Mereka berdansa pelan dan kedua jantung manusia itu sama-sama berdegup, menyadari kedekatan yang seperti ini. Luna memejamkan mata, ia tak menginginkan dansa ini mengendap di ingatannya dalam bentuk sekecil apapun. Tapi jantungnya berdegup kencang juga sehingga ini membuatnya sedikit bingung. "Boeuf gros sel...'' seru Kermit sambil memberikan sepiring makanan pada Gavin. Lelaki itu segera menerima makanan di piring itu. Ia memutar badan seindah balerina dan berkata pada Luna dengan angkuh, "Boeuf gros sel, mon amant.'' Luna tertawa kecil. Dengan nada suara aristokrat yang dibuat-buat, ia menjawab.''Merci, monsieur.'' Gavin tersenyum melihat Luna menyendok makanan itu ke mulutnya. "Comment le gout des aliments, mon amant?'' "Tres savoureux, merci,'' jawab Luna masih dalam gaya aristokrat Perancisnya. "Oh, je ne veux pas la fin de nous.'' Luna bersemu merah mendengar ini. Lalu, Kermit menyentuh pundak Luna. "Mon ami, ah... sudahlah, aku tidak bisa bahasa Perancis!'' Mereka bertiga tertawa. Irama musik masih berdendang ria dan berdentum-dentum. Semakin malam, orang-orang semakin larut. Hingga suatu momen datang. "Sebenarnya, aku menyukai David Chalmers,'' seru seorang gadis berambut cokelat dengan malu-malu. Gadis itu berdiri sendirian dan dikelilingi oleh semua yang ingin mendengar isi hatinya. Mereka bergumam. "Aku juga menyukai David Chalmers,'' gadis yang lain mengakui. "Aku bahkan menyukainya pada pandangan pertama,'' yang lain menimpali. "Ya Tuhan, mereka memang sudah gila!'' bisik Isadora ke telinga Luna. "Kenapa disini banyak gadis yang mengumbar-umbar perasaannya? Dunia pasti sebentar lagi akan berubah menjadi belah ketupat!'' Luna tertawa pelan. "David benar-benar pahlawan casanova disini!'' lanjut Isadora. "Ya, tapi sayang sekali dia tidak datang, Isadora, " kata Luna. "Aku dengar dia sedang mengikuti lomba ilmiah yang bergengsi.'' Heloise ikut menjawab. "Hei, kau ada disini rupanya?'' Isadora terheran-heran. Ia kaget setengah mati karena yakin Heloise pasti telah menguping percakapannya. "Yah, tentu saja, aku tidak ingin melewatkan ini.'' Heloise menoleh kepada Luna. "Bukankah David memang luar biasa?'' "Ya, dia luar biasa,'' jawab Luna. Gavin segera berdehem. Luna menoleh kepada pemuda itu. Gavin menahan senyum. "Mon amant, bolehkah aku memanggilmu mon amant?'' "Ahhh....romantis sekaliiiiiii!!!!'' Isadora meraung dengan dramatis, sambil menyatukan kesepuluh jemarinya di d**a. Raungannya telah memancing perhatian sehingga semua orang jadi menoleh. Luna membeku beberapa saat. "Terserah kau saja.'' ***** "Kau ingin mengatakan sesuatu?'' bisik Gavin. Luna terdiam. "Kau harus menunjukkan rasa simpatimu, setidaknya untuk kematian orang tua Rosemary dan Caley, kau tahu hal itu bukan?'' Luna menatap Gavin. "Ini waktu yang tepat, Luna.'' Setelah berpikir beberapa saat, Luna pun mengangguk. Ia melangkah ke depan menjauhi Gavin dan menatap anak-anak, ia tersenyum. "Terima kasih untuk semua ini,'' kata Luna. "Ini luar biasa.'' Perempuan itu meremas-remas jemarinya. Semua anak yang tengah bersuka cita kembali terfokus padanya. "Ini sungguh sesuatu yang luar biasa.'' Luna hampir menangis mengatakan ini tapi ia tahu bahwa ia harus menahannya. "Aku hanya ingin mengatakan terima kasih dan dibalik kegembiraan pesta ini, ada kesedihan mendalam yang terjadi dengan teman-teman kita... kalian tentu tahu itu, apa yang menimpa orang tua Rosemary, Caley, dan yang lain........... aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat sedih atas apa yang menimpa mereka dan aku......................... aku akan berusaha untuk membantu mereka...................'' Hening.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD