Bab 183 : "Gerimis Malas"

1816 Words
Gerimis malas menyambangi minggu pagi. Langit berkabut tanpa malu membungkus dan membungkam Honeysuckle dengan sepi dan muram. Luna berjalan menuruni tangga asrama. Kakinya silang menyilang tangkas. Ia mengenakan baju terusan semata kaki berwarna merah jambu dengan kerah pita. Serta bandana merah jambu yang menghiasi kepalanya. Ia terlihat cantik seperti biasanya. Tetapi hari ini ia dijadwalkan tidak boleh mengikuti kegiatan apapun selain menemui Mrs. Durkham di ruangannya dan mendengarkan daftar hukuman. ''Sayang sekali kau harus menerima ini, Lady.'' kata Mrs. Durkham. ''Tapi aku hanya menegakkan peraturan. Tidak ada seorang murid pun yang bisa luput dariku jika ia telah melanggar peraturan yang sebetulnya, telah kalian baca dan setujui sendiri.'' Tak kurang dari satu menit setelah Luna sampai di meja Kepala Sekolah, Gavin datang dengan gayanya seperti biasa. Ia mengenakan jeans dan baju lengan panjang berwarna cokelat tua. Tatapan mereka bertemu untuk sepersekian detik. Namun tidak ada pembicaraan apapun yang terjadi. Saat Mrs. Durkham mengantar mereka berdua ke loteng, tempat segala hal yang berdebu dan rapuh ada disana, mereka juga tidak bicara satu sama lain. ''Bersihkan ini semua, lalu rapikan dan susun seluruh dokumen yang bercecer ini sesuai abjad. Jangan sampai salah!'' titah Mrs. Durkham. Setelah berkata begitu, ia pun pergi penuh kemenangan. Dan bahkan setelah bermenit-menit janda itu pergi, Luna dan Gavin masih saling membisu. Udara membeku. Luna tidak pernah bergerak untuk mendekati barang-barang dan membersihkannya, atau bergerak untuk membungkuk, memunguti kertas-kertas kuning berisi tulisan-tulisan. Ia tetap berdiri di depan pintu sambil memandang takjub. Loteng ini lebih mirip kandang ayam daripada loteng. Segalanya yang ada disini kusam, kumuh, berdebu, dan rapuh. Luna berputar otak, bagaimana ia bisa membersihkannya. ''Apa yang tengah kau pikirkan, nona besar?'' sahut Gavin, ketus. Ia berkacak pinggang, memandang Luna dengan tatapan yang mengisahkan tentang seseorang yang baru kena tipu. Ia mendengus keras. Hari ini Luna tidak akan melihat pria satu ini menyeringai seperti biasa. ''A...ku...'' ''Mengapa kau tidak bergerak menyelesaikan semua ini?'' potong Gavin. Kabut telah menyerap seluruh panas matahari dan menjadikan udara dingin hingga menembus dinding-dinding. Ia merasakan bahwa lemari es sedang terbuka untuk memeluk seluruh gedung Honeysuckle. ''Engkau belum jadi presiden, Luna. Jadi sebaiknya kau mengerjakan hukumanmu sebab aku akan memaksamu. Ingat, kau belum jadi presiden sehingga aku tak perlu hormat atau takut padamu.'' lanjutnya. Luna terbelalak. ''Kalaupun nanti kau jadi presiden, aku juga tetap takkan takut. Kau boleh punya nama atau sesuatu apapun setinggi pohon kelapa tapi aku takkan takut padamu.'' ''Apa yang kau bicarakan, Gavin?'' ''Aku berbicara tentang...MENGAPA KAU HANYA BERDIAM DISITU DAN MELIHAT AKU MENGERJAKAN SEMUAA INIIIII?!!!!'' Gavin mendekat dengan buru-buru dan menantang matanya. Luna, sekali lagi, terkejut dan gelagapan. Pikirannya mendadak terlalu sederhana untuk memikirkan alasan-alasan mengenai hukuman ini serta alasan mengapa Gavin bisa sangat marah padanya. ''Baiklah.'' kata Luna dan secepat kilat berjongkok memunguti kertas-kertas yang berserakan. Debu-debu berpindah ke tangannya dan ia melihat sendiri jari jemarinya menghitam. Gavin tertunduk untuk melihat Luna yang bergerak ke bawah meja kayu. Ia ikut berjongkok dan mendekati Luna. ''Apa yang kau lakukan?'' ''Kau tidak lihat? Aku memunguti semua kertas ini.'' ''Kau benar-benar belum pernah melebur bersama kotor ya, nona besar?'' Luna tertohok. ''Kau sangat gugup dan kaku.'' Luna memandang Gavin dengan gumpalan rasa heran. ''Kau yang menyuruhku melakukan semua ini.'' Dan Luna segera bangkit, tapi ia lupa bahwa di atas kepalanya adalah meja sehingga dalam sekejap, selesailah sudah. Byarrrrr!!!! Meja kayu yang kayunya sudah rapuh itu retak. Barang-barang di atasnya menggelinding ke timur dan barat, dan sesuatu yang lebih berat dari semua barang itu, debu-debu. Ia menghempas ke udara, tinggi, berputar-putar laksana hot spot dan jatuh mengaburkan seluruh ruangan. Luna tersungkur memegangi kepalanya. Sungguh luar biasa sakit. Ia merintih tak tertanggungkan dalam kepekatan. Ia tak mampu melihat apapun selain debu. Pelan-pelan, partikel itu pun satu per satu mulai turun, mengalah pada gravitasi bumi. Ruangan lama-lama jernih kembali. Luna kaget melihat penampilannya. Gavin tercengang. Sedetik kemudian, tawa renyah membahana. ***** Luna Lavina Cobbold, seorang bangsawan berambut merah. Kini, rambutnya tidak merah lagi. Debu telah mengubahnya menjadi cokelat. Bajunya tidak pink lagi. Kulitnya tidak putih lagi. Gavin yang melihat semua kejadian itu, setelah sebelumnya tertawa puas, merasa iba. ''Honeysuckle takkan memberimu banyak waktu untuk membersihkan tubuhmu itu, Luna.'' Kata Gavin yang sedang menyusun barang-barang di tepi. Luna tampak tidak mendengarkan. Ia menyusun kertas-kertas yang berserakan tadi. Ternyata berisi daftar nama dan biografi siswa terdahulu. Sambil menyusun, ia membaca nama-namanya.. Anabelle, Alexander, Audrey, Elisabeth, Elise, Eline, Nadal, Rafael, Rossy... ''Luna, aku rasa kau takkan bisa kembali menjadi putri seperti semula.'' Ledek Gavin. Perasaan menang dan geli melihat kotornya Luna sekarang membuatnya merasa enteng mengangkat barang-barang. ''Luna...'' ''Lihat!'' Pekik Luna. Gavin segera mendekat. ''Ternyata ada seorang bangsawan yang pernah belajar disini, Gavin.'' Gavin mengangkat alisnya. Ia membaca pada sesuatu yang ditunjuk Luna. Nama : Alexander Duerre Solomon Keluarga : Robert Emannuel Solomon Gelar : The Duke of Solomon Tempat,tanggal,lahir : 2 Februari 1888 Alamat : Kompleks istana Courtland, Golden City Tahun kelulusan : 1906 Penghargaan : Siswa terbaik Honeysuckle Luna mengeryitkan kening. ''Aku tidak pernah mendengar ada bangsawan bernama Solomon... di Golden City maupun di seluruh negeri.'' Ia menggelengkan kepala. ''Sungguh mengejutkan.'' ''Kira-kira apa yang ada dalam benakmu mengenai ini?'' ''Aku tidak tahu, bangsawan ini sepertinya tidak pernah ada di buku-buku atau daftar nama bangsawan manapun.'' ''Barangkali mereka lenyap.'' Gavin menunjuk data tahun kelulusan Alexander. ''Lihat, dia kelulusan tahun 1906. Pada tahun tersebut, Great Brescon masih berupa kerajaan, bukan?'' ''Maksudmu?'' ''Mungkin saat revolusi, keluarga bangsawan ini hancur, maksudku, kau tahu...'' ''Bangsawan ini tidak mendukung revolusi?'' Gavin mengangkat bahunya. ''Segala sesuatu bisa terjadi, bukan?'' ''Seperti hancurnya keluarga kerajaan?'' Gavin mengangguk. ''Tapi ayah tidak pernah cerita mengenai ini.'' Kemudian di kertas berisi biografi bangsawan itu, di bagian kanan atasnya, Luna menemukan foto buram dari sosok sang bangsawan. Luna memperhatikan Alexander dalam foto; Seorang pria tampan berhidung mancung, bermata besar dan basah. Ia pasti pujaan sekolah ini dahulunya, seperti David. Ah, mengapa Luna mendadak teringat pria itu! ''Dia memakai dua medali.'' Ucap Gavin sambil menunjuk dua kalung yang melingkari leher Alexander. Gavin dapat dengan mudah mengenali gambar medali yang jatuh di sebelah kiri. ''Itu medali Honeysuckle, medali kelulusan.'' Gavin mencoba mengenali yang kedua. ''Dan yang ini....'' ''Itu barangkali medali bangsawan.'' Pungkas Luna. ''Semua bangsawan memiliki lambang yang dibuat dalam bentuk medali, piagam, piala, dan sebagaianya. Itu medali dari dinasti bangsawannya.'' Medali itu terlihat terbuat dari emas murni, bentuknya perisai, dan di dalamnya terdapat ukiran orang menunggang kuda, orang itu memegang bendera yang di dalam bendera itu tertulis, concordia, integritas, industria. ''Apa artinya?'' Tanya Gavin. ''Harmoni, Integritas, dan Ekonomi.'' ''Maksudnya?'' Luna menggeleng-gelengkan kepala. Sambil membereskan seluruh dokumen kembali, ia berkata, ''Hanya anggota bangsawan ini yang tahu maksudnya.'' Gavin melangkah menjauhi Luna dan mendekat pada jendela, ia melihat langit dan kabut. Ia memeluk dirinya sendiri karena dingin. ''Aku ingin mencari tahu tentang ini.'' Jelas Luna. ''Bagaimana kalau dia bukan bangsawan? Bagaimana kalau Alexander hanya murid biasa, Luna?'' ''Dia memiliki gelar paling terhormat, ''The Duke'' dan ada medali bangsawan mengalunginya. Pada tahun tersebut, dimana urusan bersifat sangat feodal, aku rasa tak seorang pun berani membuat lelucon seperti itu. Itu sangat tidak lucu.'' Gavin terdiam. Luna sibuk menyusun dokumen-dokumen. ''Aku ingin mencoba bertanya pada Mrs. Durkham.'' Lanjut Luna. Ia melangkah membuka lemari dan memasukkan seluruh dokumen ke lemari tersebut. Ia terbatuk-batuk. ''Mrs. Durkham adalah orang yang suka menjaga rahasia. Aku rasa dia tidak akan banyak menolong.'' ''Tapi setidaknya aku akan mencoba.'' ''Mengapa kau tiba-tiba ingin mencari Alexander? Itu dokumen yang sudah usang, sangat lama, apakah itu penting?'' ''Masalahnya adalah dia bangsawan.'' Luna memandang Gavin. ''Semua bangsawan itu penting, karena mereka selalu terlibat dalam suatu prahara.'' Gavin tertawa kecil. Luna terbatuk-batuk. ''Kau sebaiknya fokus pada apa yang tengah kita kerjakan, Luna. Misi ini.'' Debu lemari menusuk-nusuk hidung Luna, gadis itu bersin dan terbatuk lagi. Lalu, Gavin bergerak mendekat, menarik sebuah laci di bagian paling bawah lemari dan mengambil dua buah jaket wol. ''Honeysuckle dengan banyaknya murid dan sedikitnya kamar mandi takkan bisa menuntaskan semua kotoran ini.'' jelas Gavin. Ia memakai jaketnya. ''Aku ingin pergi ke danau dan membersihkan diri disana.'' Ia menyerahkan satu jaketnya lagi pada Luna. ''Kau mau ikut?'' ''Bagaimana bisa ada ini disini?'' Luna menunjuk pada jaket yang diberikan Gavin. Pria itu tertawa pelan. ''Aku dahulu pernah dihukum dan disuruh membersihkan seluruh jaket-jaket ini dan menaruhnya di ruang kepala sekolah, tapi aku sangat iseng, aku mengambil lima jaket dan menyimpan selamanya di laci lemari ini. Itulah mengapa aku tahu. Jaket ini aman, tidak berdebu. Kau harus memakainya karena sekarang kau sangat kotor dan udara diluar dingin.'' ''Ini musim semi.'' ''Ya, tapi hawanya dingin.'' Luna bersin-bersin. Gavin membantunya memakaikan jaket wol tersebut. Kemudian, mereka bergerak turun, berlari menuju belakang sekolah. Gavin mencopoti bata-bata seperti kala itu dan dalam sekejap, mereka lepas dari Honeysuckle. ''Kepala sekolah akan marah dan menghukum kita lagi.'' ''Tidak masalah, dia memang suka begitu.'' Gavin menggenggam jemari Luna, menariknya menuju tempat yang melawan dari arah matahari terbit. Mereka berlarian mengempaskan ilalang-ilalang serta bunga-bunga dandelion, menuruni bukit-bukit landai yang kerdil sambil tertawa kecil. ***** Danau itu terdapat di dalam hutan, terkucil oleh lebatnya pepohonan. Dipinggiran danau, rumput-rumput kecil dan basah menjaganya. Bunga-bunga peony dan freesia bertebaran, bergumul di bawah batang-batang pinus setinggi langit. Daun-daun basah berjatuhan. Udara lembab. Jamur dan spora berkembang biak. Alam mendesis. Saat kepala Luna menengadah ke angkasa, langit abu-abu terlukis. Luna berjalan mendekati air di danau itu. Ia melihat cerminan dirinya pada bayang-bayang air di danau. Oh, ia seperti melihat gelandangan di pinggir jalan. Luna tertawa sendiri menyadari kenyataan ini. Kemudian, tanpa malu-malu Gavin melepas bajunya dan terjun ke danau. Terdengar bunyi keciprak saat tubuh lelaki itu masuk ke dalam air. Cipratan-cipratan air naik ke atas seperti air mancur dan membasahi sehasta tanah yang ditumbuhi rerumputan dan bebungaan di sekitar. Luna melepas jaketnya dan mencelupkan kedua kakinya ke danau. Ia menyiprat-nyipratkan air dengan kakinya. ''Mengapa tidak kemari kemarin?'' ''Oh, rencana kemarin adalah bertemu penduduk, bukan?'' Luna tersenyum. Gavin berenang dengan lincah dan dengan lincah juga, ia menarik kaki sang gadis sehingga ia tercebur. Luna berteriak. Tak lama kemudian, ia muncul dari bawah air dengan rambut dan kulit yang basah. Ia menyeka air di wajahnya, melihat Gavin dan tersenyum kesal. ''Hari ini kau telah membuat seorang putri menjadi berantakan.'' Gavin hanya menyeringai, untuk pertama kalinya hari ini. Air itu tidak membeku, tetapi cukup dingin untuk tingkatan musim semi. Luna berenang menjauhi Gavin. Sesaat kemudian, ia muncul kembali di dekat Gavin dan memandang langit. Oh, perempuan itu tidak pernah memandang langit dengan cara seperti ini. Pria itu juga tidak pernah memandang perempuan dalam kondisi sebasah ini. Gavin merasa dirinya hampir mati menghadapi kecantikan Luna dan ia berenang menjauh... sangat jauh dari tempat Luna berada. Tetapi ketika ia merasa ia sudah terlalu jauh, ia berbalik melihat Luna yang senang dengan air di sekelilingnya dan terpikir untuk menyentuhnya, atau membelai rambutnya yang halus. Gavin berenang lebih jauh, mengenyahkan segala pikirannya. Kemudian ia mendekat, berharap bisa mengatakan sesuatu alih-alih ketakjuban ala anak-anak begitu melihat Luna dan ia berenang menjauh lagi. Aku tidak akan bisa menghadapinya, ia membatin. ''Ada apa denganmu kemarin?'' tanya Luna. ''Oh, kau tahu, Julius membiusku,.'' Luna tercekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD