Bab 184 : "Minta Maaf"

1448 Words
Mereka berjalan pulang menuju peraduan saat rambut mereka sudah tak terlalu basah. Tiba-tiba Luna tersadar bahwa ia telah melewati jalan yang sama saat dirinya menemukan seonggok rumah batu di atas bukit. Terngiang persitiwa kemarin, ''Sebaiknya kita minta maaf karena mengambil mawarnya.'' kata Luna. ''Apa?'' ''Kita harus minta maaf.'' ''Tidak mau.'' Luna menatap Gavin dengan bertanya-tanya. Semilir angin datang bersama dingin dan kesunyian. Beberapa detik kemudian, mereka menemukan sesuatu yang tidak pernah mereka perhatikan sebelumnya. Sebuah lambang di atas pintu. Mereka sama-sama tersekat sehingga memutuskan untuk bersama-sama menaiki tangga, lalu mengetuk pintu. Luna melihat ke bawah, menyaksikan tanaman Nightshade yang bergelung-gelung di pegangan tangga. Seseorang menyembul dari balik pintu. Pria itu berwajah buruk rupa laksana wajah negara yang kalah perang. Ada luka bakar di sisi kanan wajahnya dan setiap beberapa detik sekali, luka itu bernanah. Usianya tua dengan seluruh uban di atas kepalanya, dan keriput di seluruh tangannya. Pria itu mengenakan mantel biru tua dengan tepi bergaris putih pada ujung lengan serta leher. Saat melihat Gavin dan Luna, ia menurunkan kacamata gagang emasnya ke bawah hidung yang penuh bintik-bintik hitam. ''Alexander Solomon?'' tanya Luna spontan. Pria itu terkejut setengah mati. ''Apa kau Alexander Solomon? Seorang bangsawan yang dahulu pernah sekolah di Honeysuckle? Aku melihat lambang di....'' dan tiba-tiba Gavin menutup mulut Luna. ''Eh, maksud temanku ini...ehmm.... kami minta maaf telah memetik bunga mawar Anda kemarin.'' Gavin berkata dengan senyum yang dibuat-buat. Luna meraung-raung di balik dekapan mulutnya yang terasa asin. Sementara pria itu memandang tak percaya kepada Luna dan Gavin secara bergantian. Luna menggigit jemari Gavin. Pria itu berteriak. ''Aku ingin bertanya apa kau benar-benar seorang Alexander Solomon dari bangsawan Solomon? Gelarmu The Duke of Solomon? Ini sangat mengejutkan! Aku tidak pernah mendengar tentangmu sebelumnya, tapi kau pasti seorang bangsawan sebab ada lambang di...'' Gavin membungkam mulut Luna lagi. ''Eh, maaf, maksud temanku....'' Pria tua itu tiba-tiba membuka mulutnya. ''Sayang sekali, namaku Joseph dan aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kalian bicarakan. Dua manusia aneh! Tapi terima kasih telah berani mengambil bunga mawarku, semoga Tuhan membalas kejahatan kalian!'' Dan BUUKK!! Pintu itu tertutup. Luna dan Gavin mematung. **** ''Apa yang kau lakukan?!'' tanya Gavin, nada suaranya bergetar. ''Kau tidak lihat? Ada lambang bangsawan di atas pintunya? Tidak salah lagi, dia pasti bangsawan itu.'' Luna menoleh pada rumah batu yang telah jauh dari pandangannya. Ia mengingat lagi, rasanya ia memang tidak salah. Lambang di atas pintu rumah itu adalah sama dengan lambang yang ada di medali Alexander Solomon; seorang pria menunggang kuda sambil membawa bendera bertuliskan ''Concordia, Integritas, Industria''. ''Mengapa ia berbohong?'' ''Bagaimana kalau dia benar? Kau jangan ceroboh, Luna! Kau harus melakukan riset yang jelas dalam menyimpulkan sesuatu.'' Luna menelan ludah. ''Barangkali bangsawan itu sudah mati sekarang. Kau tahu, revolusi ayahmu sangat kejam?'' Tiba-tiba Gavin mengingat sesuatu. ''Dan juga, p*********n kaum intelek itu....'' ''Aku tahu.'' setelah hening sejenak. ''Tapi ayah tidak pernah cerita tentang bangsawan itu...'' ''Apakah ia harus menceritakan seluruh dunia beserta isinya padamu?'' Luna menggeleng. ''Kalau begitu, sangat mungkin baginya untuk tidak bicara apapun mengenai Alexander Solomon.............kalau memang orang itu benar-benar ada.'' Luna diam. Mereka kemudian pulang melewati jalan yang sama dalam diam. Pepohonan membentang di kedua sisinya. Luna memikirkan Alexander Solomon sementara Gavin berpikir hal lainnya. Mereka berjalan beriringan tetapi sebenarnya mereka berjalan sendiri-sendiri. Batu Amber ????!!!!!! Gertak Mrs. Durkham. ''Ini sudah kedua kalinya dan kalian bersama-sama.'' Mrs. Durkham tidak menempatkan posisinya sebagai Luna atau Gavin atau sepasang remaja penuh cinta atau sepasang remaja penuh masalah. Yang ia tahu, dua insan ini telah melanggar peraturannya lagi dan itu adalah suatu penghinaan bagi si empunya sekolah. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi bisa menyumbangkan dunia sekolah proletar yang sempurna. Selama ini, sejauh ini, kepala sekolah selalu membuat peraturan bukan semata-mata untuk formalitas, tetapi karena ia dengan sekuat tenaga ingin menghindar dari masalah dan olok-olok sekolah lain yang lebih sempurna, yang lebih bagus karena dihuni oleh sebagian besar kalangan bangsawan. Mrs. Durkham menutup mukanya, menahan tangis. Ia telah bekerja sekeras keledai untuk membina anak-anak didiknya dan inikah balasannya? Gavin yang hampir setiap bulan melanggar peraturan. Sekarang, ia rekor karena mendapat dua hukuman dalam empat puluh delapan jam. Kalau saja ia bisa mengeluarkannya. Gavin tidak bisa dikeluarkan sebab anak itu sebatang kara, tapi segala biayanya telah ditanggung oleh seseorang yang melarang Gavin keluar. Mrs. Durkham merasa marah pada dirinya sendiri. Ia terjebak, masuk ke selokan dan meminum airnya. Kalau ia tidak bisa membenahi perilaku Gavin, maka sekolahnya terancam. Dan Luna... Oh, tidak! Gadis itu terlalu lembut untuk melanggar peraturan. Ia terlihat sebagai gadis berhati nurani, penuh kasih dan tidak suka macam-macam. Tapi Gavin memboyongnya ke dunia berandal itu sehingga sekarang ia juga kena masalah. Mrs. Durkham menyeka air matanya. Kalau ia tidak bisa membuat Luna terlihat seperti semestinya, maka sekolahnya lebih terancam. ''Maafkan kami...'' Luna mencoba memohon maaf tetapi tidak ada gunanya. Mrs. Durkham menyuruh mereka pergi ke kamar masing-masing dengan setumpuk buku aljabar dan fisika. ''Kalau kalian tidak mampu mendapat nilai A,...'' Mrs. Durkham mengisyaratkan tangan memotong leher sambil bersuara ''Krek''. Salah satu usahanya untuk menakut-nakuti. Sayang sekali, dua orang itu tidak terkesan atas apa yang dilihatnya, bahkan tidak takut sama sekali. Bukan karena merasa tidak punya dosa, tapi lantaran pikiran mereka berkelibat kemana-mana, bergulung-gulung, berputar-putar, nyangkut disana sini. Gavin memikirkan sesuatu sementara Luna memikirkan sesuatu. Keduanya kemudian berpisah dengan pikiran masing-masing. ***** ''Coba lihat!'' Isadora memekik waktu Luna sampai di kamar dan membanting dua buku ke kasur. ''Buku seratus persen eksak! Kau serius akan mengerjakannya, Lady?'' Luna tersenyum kecut. Isadora bergerak duduk di sampingnya. ''Hari ini sungguh berat, bukankah begitu?'' tanya Isadora. ''Ya.'' Luna menjawab seadanya. Tubuhnya letih dan ia mengantuk. Tetapi ia belum mau tidur. Ia harus mengerjakan dua b*****h eksak ini. Luna menyapu pandang ke sekeliling, terkejut. ''Dimana Rosemary?'' Luna tahu bahwa Caley tengah pergi mengunjungi ayahnya yang tewas overdosis o***m, tapi Rosemary... ''Baru saja, Luna.'' Isadora berucap dengan hampa. ''Hal yang sama seperti Caley.'' Luna tidak bisa berpura-pura untuk tidak terkejut. Dua korban terdekatnya dalam dua hari tentulah lebih buruk dari dua pelanggaran yang dibuatnya. Luna mencoba tetap duduk di ranjangnya, kaki tetap di lantai. Kekecewaannya sangat dalam. Ia menatap jendela, mencoba menangkap arti dari setiap kenyataan buruk yang terjadi. ''Apa yang sebenarnya terjadi, Luna?'' Isadora memiringkan kepalanya seperti orang hilang keseimbangan. ''Aku tidak mengerti, mengapa akhir-akhir ini korban o***m berjatuhan.......'' Hening. ''Sudah terlalu banyak.'' ''Yah, kalau kau mau tahu, kedua orang tuaku juga meninggal dalam masalah yang sama.'' tukas Isadora ketika Luna tidak berkata apa-apa. ''Mereka.... meminum racun yang disediakan perusahaan.'' Tercengang. Isadora melengkungkan bibir sepanjang mungkin. Ini ekspresi yang menggelikan sebab sepasang mata gadis itu jelas-jelas sudah basah tetapi ia berkeras untuk menahan lengkungan di bibirnya. ''Itu sudah terjadi sangat lama.'' ***** Orang tua Isadora akrab disapa Mr. dan Mrs. Deirdre. Bukan nama khas gipsi memang, dan memang mereka sengaja tidak mengadopsi nama-nama semacam itu karena muak dengan segala stereotipe yang terjadi. Maka terkenanglah, masa-masa ketika keluarga itu meraih tekad untuk menguatkan kaki meninggalkan Timur Tengah menuju Inggris. Tergiur akan romantika Eropa kuno serta musim dingin salju, mereka tertatih-tatih mencapai daratan London. Kepahitan mendera pada awal-awal tahun. Kelaparan hebat dan selalu kelaparan adalah masalah mereka. Tidak ada uang. Tidak ada makanan. Tenaga pun sudah habis. Roti kering pun dimakan. Chiki-chiki busuk di tong sampah pun di embat. Tetapi Isadora, orang tuanya, dan satu adiknya yang masih kecil masih bisa bersabar, dan jika kita bisa bersabar dengan kelaparan, maka segalanya kita bisa lebih bersabar. Kemudian, tak kala petugas-petugas berkulit putih dengan pendidikan barat bermartabat, memakai seragam kepolisian yang gagah dan sombong, keluarga Isadora digiring ke penampungan di Catenbury. ''Dasar tidak tahu malu.'' omel mereka dengan bibir mencibir untuk menunjukkan pendapatnya tentang gelandangan. Para petugas penampungan merawat mereka meskipun apa yang telah terjadi, Isadora tidak merasakan perawatan yang sungguh-sungguh, hanya ala kadarnya yang disanggah mereka dengan gamblang ketika ia bertanya suatu hari, ''Untuk membuat kalian yang tidak punya rasa malu supaya cepat-cepat punya rasa malu.'' Isadora membenci Inggris yang dianggapnya terlalu rasis dan kaku sementara keluarga itu akhirnya dikeluarkan dari penampungan, dikirim balik ke Timur Tengah. Tetapi mereka kembali lagi, bukan pada Inggris, namun Great Brescon, negara yang sedikit lebih baik. Disini mereka menemukan uang dan kehampaan yang akhirnya bisa diusir. Mereka menemukan fakta bahwa miskin itu penyakit yang bisa disembuhkan. Mereka bermukim di Tashbebtab dan selama bertahun-tahun menjadi petani tanaman berbunga. Sebenarnya, mereka menanam o***m tapi kebodohan membohongi mereka. Setiap saat Isadora memetik bunga-bunga warna warni yang ditanam di sepanjang jalan, menciuminya berkali-kali. Ketika akhirnya sebuah perusahaan ''Obat-obatan Kimia'' yang selama ini membimbing penduduk, membuat percobaan tentang sebotol cairan yang bersimbol tulang dan tengkorak. Maka, seluruh keluarga Isadora mati seketika kecuali dirinya sendiri. Saat itu ia sedang di pasar membeli ayam dan bahan membuat roti nan, roti ala timur tengah. Saat ia kembali ladang o***m meliuk-liuk mengeluarkan jeritan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Mereka telah meninggal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD