Bab 185 : "Hari-hari Berlalu"

1942 Words
''Bagaimana denganmu?'' Luna bertanya tanpa mendesak. Isadora lama tak menjawab. ''Aku ditemukan Mrs. Durkham dan dibawa kesini.'' Jadi, begitulah kisah sebuah keluarga gipsy berakhir. Luna menarik napas, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Rasa simpati mengaliri tubuhnya. Tetapi lama setelah ini, Luna tidak bicara apa-apa. Ia pergi ke dekat jendela dan menatap langit. Selama kita dapat menatap langit tanpa rasa takut, kita akan bahagia, statement humanis dari Anne Frank ini menyelubungi pikirannya. Seseorang telah dirampas hak hidupnya. Seseorang telah direnggut martabatnya sebagai manusia, dan Luna, ia disini, di tengah-tengah kaum ini, terdiam mendengarkan keluhan mereka yang melayang-layang, yang barangkali sama sekali tak bermakna bagi elit politik. Rakyat proletar hanya dibutuhkan mereka saat pemilu. Luna menoleh kepada Isadora yang sudah tidur, hatinya menganasir-anasir, kemana gadis itu pergi jika lulus nanti? Apakah kehidupannya hanya akan berakhir disini, selamanya? Luna tahu sebuah kisah harus berakhir. Tetapi akhiran cerita tidak selayaknya menyedihkan. ***** Berhari-hari sejak momen terakhir penghukuman Luna, kesibukan sekolah menghinggapinya. Luna menyelesaikan dua buku aljabar dan fisika dengan lumayan, Gavin tidak sama sekali sehingga mendapatkan hukuman lagi. Hari terus berubah-ubah menjelang musim panas dan juga menjelang akhir semester. David pergi mengunjungi orang tuanya yang tengah sakit. Sedangkan para orang tua atau wali murid yang tidak sedang sakit berbondong-bondong mengunjungi anaknya, memberi mereka ini itu, mengajari mereka ini itu. Athalie pergi bersama ayahnya memancing di danau. Joshi, Leah, Kermit, Trotsky, Dolores, tidak ada bedanya. Luna melanjutkan pengajaran bahasa Perancis terhadap Isadora di bangku taman di bawah pohon maple. Ia merasa sangat kesepian. ''Tidak ada yang datang kali ini, Lady Luna?'' Luna menggeleng. '' Yah, mau bagaimana lagi? Ia pasti sangat sibuk.'' Seorang anak yang dianggap adopsi tidak akan mendapatkan hak sebaik dan sebagus dan semewah anak kandung, meskipun sebenarnya ia anak kandung. Luna membatin, betapa menyedihkannya ia. Ia terluka. Isadora membolak-balik buku bahasa Perancis, mencoret-coret tidak jelas di lembarannya. ''Aku sangat sering merasa kesepian, tidak ada orang yang mau bersamaku.'' Isadora menatap Luna dengan tatapan penuh pengertian. ''Tapi... aku menyadari, jika tidak ada seorang pun di sisiku, Tuhan disisiku.'' Dalam tiap jengkal langkah yang dibuatnya, nafas yang dihembusnya, Luna nyaris tidak pernah memperhitungkan Tuhan, atau ia memang tidak pernah menganggap Tuhan sama sekali. Ketidakberadaan Rabb itu semakin menjadi semenjak suster Lin, suster di rumah sakit Sussex yang mengurus kelahiran Catherine mengatakan sebuah kebenaran tentang anak kandung dan anak pungut, dan bertambah lagi ketika ia sendirian dan tak ada seorang pun di sampingnya. Ia pernah berdoa untuk beberapa malam sebelum tidur, ditemani cahaya redup kamar, suara-suara dari seberang pintu mengetuk lantai, dan segala barang mewah di sekelilngnya. Ia berusaha untuk berbicara dan mengeluarkan suara hati, tetapi hanya hampa ganjaran yang ia dapat. Lord Alastairs dan Lady Earlene masihlah dua sosok yang sangat jauh untuk diraih kehangatannya. Lady Earlene yang lelah atas cinta dan pengharapan pun memutuskan untuk tidak bersahabat terlalu jauh dan dalam dengan dirinya. ''Jangan panggil aku 'ibu', Luna. Aku bukan ibumu yang sudah meninggal.'' pungkas Lady Earlene pada suatu waktu tanpa menoleh sedetikpun dari buku bacaannya. ''Aku sudah sangat lelah dengan semua prahara ini, kau pikir aku sudi menanggung beban dari perbuatan ayahmu itu?'' Waktu itu Luna berusia kurang lebih lima tahun. Kalimat-kalimat semacam 'Prahara' 'tidak sudi' dan 'menanggung beban' belum pernah masuk ke perbendaharaan katanya sehingga ia sangat bingung. Ia hanya memandangi Lady Earlene dengan ternganga. Perempuan bangsawan itu melirik sebentar kepada Luna dan tersenyum letih. Membersit dalam ingatannya, detik-detik ketika suaminya mengakui hubungan haram itu. ''Saya telah menghamilinya.'' kata Lord Alastairs yang berdiri di bawah anak tangga pada suatu siang, memandang serius pada istrinya di puncak tangga. Tidak ada emosi dalam penuturannya. Ia bisa jadi seorang yang tegar atau bertanggung jawab atau parahnya, tidak merasa berdosa. Mereka saling bertukar mata. Kemudian, tak terjadi percakapan apa-apa selama beberapa detik. ''Pembantu itu?'' Lady Earlene menuduh Catherine yang berdiri ketakutan di sudut ruangan. Catherine, pembantu cantik bermata biru berambut merah. Sekarang, kecantikan itu menurun pada Luna. Lord Alastairs mengangguk. ''Sebuah ketidaksengajaan.'' Sengaja atau tidak sengaja, semua telah terjadi, pikir Lady Earlene. Ia membayangkan kejadian pembuahan itu tanpa emosi jua. ''Saya akan mengasingkannya.'' pungkas Sang Presiden. ''Dan saya mohon Anda jangan pernah mengungkit hal ini lagi, saya akan mengubur semuanya dalam-dalam.'' ''Yah, itu dosa Anda, presiden. Saya tidak akan ikut campur asal Anda tidak menganggu hak-hak saya.'' Lord Alastairs mengangguk. Pada akhirnya, keformalan memisahkan mereka dari cekcok. Tetapi ia tak berani jamin Lady Earlene tidak akan ikut campur sebab bertahun-tahun kemudian, ia membawa anak Catherine ke istana. ''Luna, namanya.'' jelas Sang Presiden. Lady Earlene mendengus kesal. ''Betapapun kau masih beruntung karena aku tidak mencintai ayahmu, Luna. Sebab kalau aku mencintainya, aku pasti akan membunuhnya.'' Lady Earlene mengatakan ini dengan nada sedih dan buru-buru mengambil secangkir kopi. Luna yang sama sekali tidak mengerti konsep cinta hanya bungkam. Betapa pun, Luna tetap memanggil Lady Earlene 'ibu', sekalipun hanya di buku hariannya yang saat ini sudah hilang. Lalu kemanakah Tuhan selama ini? Sudah bertahun-tahun dan adakah DIA datang untuk Luna? Oh, dunia terus berlangsung dalam keadaan perang. Luna merasa Tuhan sangat sibuk mengurusi perkara itu. Urusan Luna tidak lebih penting dari urusan-urusan para vampir dan drakula yang menjelma menjadi sesosok penguasa, Napoleon, Julius Caesar, Alexander, Stalin, Kremlin, Roosevelt, Ratu Victoria, Charles, Hitler, Hirositho, Kennedy. Tidak ada ruang untuk Tuhan mengurusinya, pikir Luna. Dan juga, menurut Luna, tidak ada tempat bagi Luna untuk memikirkan apakah Tuhan akan membereskan problemnya atau tidak. Banyak hal terkubur sampai mati. Banyak orang mati sia-sia. Banyak orang bahkan tidak tahu bahwa dirinya terkubur dan mati sia-sia. ***** Isadora mengorek-ngorek tanah dengan ujung sandalnya. Ia mengucapkan beberapa kosa kata Perancis dan Luna mengawasinya. Udara sangat sejuk. Angin bertiup tenang, menidurkan kepala. Begitulah sepanjang waktu terjadi hingga Heloise datang. ''Tidak ada jadwal? Mengapa tidak ke klub?'' Heloise memaksudkan klub keadilan yang selama ini telah dijalani Luna. ''Ada pelajaran khusus, Mr. Westhphalia akan menyampaikan sesuatu.'' ''Aku akan kesana.'' jawab Luna dalam upayanya menghentikan kalimat Heloise. Supaya gadis itu cepat-cepat diam karena ia mendadak ngantuk. ''Kau bukannya pergi dengan orang tuamu tadi, Helo?'' tanya Isadora. ''Yah, mereka sudah pergi.'' Heloise menatap Luna. ''Ayolah, Luna, hari ini kita akan membahas masalah perang dingin.'' ''Taruh saja perang tersebut di gurun, maka mereka semua akan meleleh.'' celetuk Isadora. Heloise hampir berhasrat untuk membogem gipsy itu sebelum ia tahu ia harus mengontrol emosinya. ''Itu tidak lucu!'' ungkapnya mengerikan. ''Kami akan setia menunggumu, Lady. Tapi kalau aku boleh beri saran, kita sebaiknya datang bersama-sama. Bibit humanis harus selalu dijaga.'' "Aku akan kesana nanti.'' "Baiklah.'' Heloise berlalu ketika keheningan menyeruak. Ia berbelok lincah dan melompat maju secepat ia dapat berlari. Luna tidak bergerak memandangi siluet Heloise yang memanjang, menandingi pohon maple. Sampai siluet itu menyusut lalu hilang. Angin telah menerbangkan pikirannya melaju pada hal-hal yang sekarang ini selalu dipikirkannya, kondisi negaranya. **** Pada saat masih di pesawat bersama Julius. Setelah gairah yang mendidihkan, Julius bangkit dan mengambil sesuatu dari sebuah laci. ''Kau tahu, Luna, Marie Roose telah meninggal?'' Luna menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. ''Ya, ada apa dengan itu?'' ''Apakah kau percaya bahwa ia punya hutang sebanyak itu pada bank lalu bunuh diri?'' ''Dia seorang yang anti-bank.'' Julius tersenyum. ''Ini pasti suatu konspirasi.'' Kemudian, pria itu membuka sesuatu yang tadi diambilnya di laci, "Pelayan Marie Roose memberikan ini padaku.'' Luna bergerak mendekat untuk melihat benda itu dengan lebih jelas. Benda itu adalah batu indah berbentuk buah apel dengan tangkainya bergerigi. Benda itu berkilat-kilat di bawah cahaya malam, sangat cantik. "Ini kunci batu amber, Luna.'' Luna tersekat. Ia memegang benda itu, kelembutan menjalar di setiap lekuk benda tersebut. "Apa yang akan dilakukan dengan kunci ini?'' "Itulah yang akan kita cari tahu, Luna.'' Julius menatap Luna. "Kunci ini pasti untuk membuka sesuatu yang besar dan amat rahasia.'' Pria itu mengambil sesuatu dari laci lagi. "Apa kau pernah mendengar nama Alexander Solomon sebelumnya?'' Luna menggeleng-gelengkan kepala. "Kunci itu dibungkus oleh kertas yang bertuliskan ini...'' Julius menyerahkan selembar kertas lecek dari laci pada Luna. Gadis itu membacanya, "Big Secret, Alexander Solomon.'' "Kalau kita bisa menemukan Alexander Solomon mungkin kita akan tahu apa maksud sebenarnya dari Marie Roose dan membuka pintu dari kunci ini.'' tukas Julius. "Menurutmu siapa dia? Bangsawan? Rakyat biasa?'' "Aku tidak tahu, Luna. Aku tidak pernah dengar nama itu sebelumnya.... Tapi aku pikir ayahmu tahu.'' Luna menatap Julius. "Maksudmu?'' "Dia menyuruhku untuk segera memberi tahumu mengenai ini dan memberikan kunci ini padamu... Kau tahu mengapa?'' Luna menggeleng. "Karena Lord Alastairs bilang, kau yang berada paling dekat dengannya.'' Luna menatap Julius dengan heran. Di belakangnya, di jendela, bulan menyembul dilewati pesawat dan angin. Malam semakin dingin. "Mengapa papa tidak memberi tahu ini semua dengan jelas?'' Luna memegangi kunci itu dan memperhatikannya bersamaan dengan kertas tersebut. "Big Secret, Alexander Solomon. Ini sebuah pertanyaan besar.'' Julius bergerak mendekat pada gadisnya. Ia juga memegang kunci batu amber."Marie Roose meninggal karena memiliki ini.'' Luna menahan napas. "Pembunuh Marie Roose ingin merebut kunci ini darinya, tapi gagal. Kau tahu, Marie Roose adalah perempuan pemberani yang cerdik. Ketika ia mendapatkan kunci ini, ia segera memalsukan kunci ini dan malam itu, segerombolan orang datang pada Marie Roose dan mengancam akan membunuhnya apabila ia tidak segera memberikan kunci itu.'' "Dan Marie Roose memberikan kunci palsu pada mereka.'' potong Luna. Julius tersenyum. "Dalam keadaan terdesak, Marie Roose memberikan kunci batu amber asli pada pelayannya untuk diberikan kepada pemerintahan ini. Itu terjadi dua menit sebelum gerombolan orang itu datang lagi pada Marie Roose. Mereka cepat sekali tahu bahwa kunci yang ada pada mereka palsu dan mereka menembaknya.'' Hening. "Kim, adalah satu-satunya pelayan yang bekerja di rumah Marie Roose. Ia bersembunyi di balik lemari kamar Marie Roose ketika penembakan itu terjadi. Tetapi betapapun, ia telah melihat dan mendengar peristiwa berdarah di kamar tersebut.'' Luna menundukkan kepalanya. Tampak berfikir keras. "Akulah orang pertama yang ditemui oleh Kim.'' lanjut Julius. "Dan ia memberi kunci itu padamu dalam keadaan panik.'' potong Luna. "Yah, dan dia bilang ia sama sekali tidak mengerti tentang ini, hanya yang ia terus dengar dari orang-orang yang mengerikan itu adalah makian dan amukan terhadap Marie Roose dan teriakan 'Dimana kunci yang asli itu? Dimana kunci itu?'' Luna mengangkat kepalanya dan menatap Julius. "Dan surat-surat hutang dari bank itu dan pistol yang tergeletak di sampingnya, semuanya rekayasa?'' "Aku akui, mereka telah bermain dengan cantik. Tidak meninggalkan jejak walau sidik jari sekalipun. Benar-benar cantik.'' Untuk ke sekian kalinya, pesawat melewati bulan dan Luna dapat melihat cahayanya yang redup menimpa wajahnya. "Sekarang dimana Kim?'' "Dia di New York, aku membelikannya apartment disana dan sebuah pekerjaan rumah tangga sehingga ia bisa melupakan semua yang terjadi disini dan hidup normal di New York.'' "Bagaimana dengan polisi? Mereka pasti mencarinya?'' "Tidak ada yang melihat keberadaan Kim selain Marie Roose sendiri. Maksudku, para polisi meyakini bahwa tidak ada saksi dalam kasus ini.'' Keselamatan bagi Kim. Pelayan rumah tangga itu seharusnya tidak terlibat dalam cerita ini terlalu jauh. "Aku pikir mungkin ada beberapa polisi yang bekerjasama dengan mereka.'' tutur Julius. "Maksudku, cara mereka menyelesaikan kasus ini dengan memvonis Marie Roose sebagai perempuan depresi yang bunuh diri karena dililit hutang sungguh mengada-ada.'' "Mungkin pada saatnya nanti kita akan menggunakan Kim untuk keadilan Marie Roose. Tetapi menurutmu, siapa kira-kira yang melakukan semua ini? Melakukan kejahatan masif dan terorganisir....'' "Siapapun itu pasti adalah orang yang memiliki rahasia besar terhadap kunci amber tersebut dan tidak ingin orang lain tahu................................ Bangsawan Flaubert adalah kandidat yang paling kuat dalam kategori ini.'' Dan dengan berkata demikian, Julius merapatkan posisinya pada Luna dan memegang kepalanya. "Berjanjilah padaku Luna, kau akan baik-baik saja.'' Luna menggenggam tangan pria itu. "Aku akan baik-baik saja.'' "Berjanjilah! seseorang telah meninggal karena ini, Luna.'' Julius menangkupkan kedua tangannya pada wajah sang gadis. "Kau harus sangat hati-hati, jangan biarkan orang lain mengetahui bahwa kunci amber itu ada di tanganmu sekarang.... Aku tidak ingin kehilanganmu.'' Luna memandang sepasang mata Julius yang berkaca-kaca. Ia membeku. "Aku berjanji akan baik-baik saja.'' Malamitu, kelembutan angin bersama pesawat menderu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD