Bab 158 : "Another Story of Luna"

1358 Words
Teet... tet..teet..!!! tiba-tiba alarm kebakaran di sudut ruangan berbunyi. Para murid terbelalak, apa yang terjadi? Teet....tet..teet..!!!! Para murid berlarian panik sambil berteriak-teriak. Dikiranya kebakaran memang benar-benar terjadi. Dalam beberapa detik, kegaduhan telah melalang buana. Semua murid melupakan makan malamnya. Para pelayan melupakan pekerjaannya. Semua berlarian mencari selamat. Beberapa bahkan sampai ada yang menangis karena ketakutan. Dan semuanya berakhir dengan kekesalan. Mereka benar-benar kesal ketika mengetahui bahwa alarm yang berbunyi tadi hanyalah lelucon dari seorang bernama Gavin! Murid-murid berteriak menyoraki Gavin sementara pemuda itu hanya nyengir dengan tengil. Luna terperangah melihat Gavin yang nampak santai menghadapi cemoohan teman-temannya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Ia bahkan sempat mengedipkan matanya pada Luna seraya tersenyum menggoda begitu tahu sang anak presiden memandanginya. Dan Luna merasa mual melihat kerdipan matanya. Lalu, Mrs. Durkham datang dengan wajah marah seperti monster. Ia berkacak pinggang di hadapan Gavin, dan dengan hanya menggunakan satu tangan, Mrs. Durkham menunjuk kantornya. Gavin tertunduk, tapi bukan untuk menyesali perbuatannya, hanya sekedar sopan santun. Mrs. Durkham lalu mempersilakan Gavin berjalan mendahuluinya. Gavin dengan kesadaran dirinya berjalan merunduk menuju kantor kepala sekolah. Semua orang melihat adegan itu, termasuk Luna dan David. Gavin menatap kepada si cantik Luna. Tatapan aneh yang tak pernah dimengerti maknanya. Luna terheran-heran melihatnya, namun ia sendiri takut untuk membalas pandangan Gavin. Saksi Terakhir Pada malam yang sama... Malam itu rembulan hanya sebatas sabit. Bintang-bintang hanya sebatas Alpha Centauri yang redup. Kota Golden City mati dimakan kesunyian dalam cahaya yang menelan jutaan watt. Namun tiba-tiba dari kediaman sang presiden, dering telepon menyalak-nyalak seperti anjing melihat hantu. Lord Alastair membuka matanya. Dengan sedikit kesadarannya ia bangun dan menyumpah-nyumpah. Ia mengambil telepon di samping tempat tidurnya dan meletakkannya di telinga kiri. Seorang pria muda bersuara berat mengabarkan sesuatu padanya. Kabarnya adalah kegembiraan, namun nada suara pria itu telontar serius. "Aku telah menangkap saksi terakhir,' kata pria di seberang telepon. Lord Alastair terbelalak. Ia segera bangkit dan duduk di kasurnya. Matanya melebar, rasa kantuk hilang. "Apa, Julius? Kau telah...... benarkah?'' "Ini adalah yang terakhir, setelah itu... tidak akan ada lagi manusia di bumi ini yang mengetahui kejahatanmu,'' suara Julius begitu meyakinkan. Sampai Lord Alastair langsung mempercayainya. Julius adalah anak bungsu dari karibnya, Olivander. Sesosok pria tinggi, berkulit pucat, bermata biru, dan berambut platinum. Ia barangkali adalah representasi dari ras Bangsawan Brescon yang terlalu sempurna. "Baguslah,'' jawab Lord Alastair. Ia menyunggingkan senyum terlebarnya. Berarti aku benar-benar akan menjadi pemimpin seumur hidup, pikirnya. "Kalau boleh aku tahu, siapa saksi terakhir itu?'' "Dia seorang wanita...'' Julius lalu mengangkat dagu sang wanita yang duduk terbelenggu ikatan rantai besi. "Tadinya aku pikir ia akan secantik Lady Luna sehingga aku bisa melakukan sesuatu sebelum membunuhnya.......'' Ia mendengus kesal.''Tapi dia sudah terlalu tua.'' Lord Alastair meradang. "Jangan kau bawa-bawa nama putriku! Kalau tidak, aku akan menembakmu!'' Julius terkekeh. "Oh, jangan marah lah, Presiden. Aku hanya bercanda.'' pria itu lalu membelai-belai wajah sang wanita yang ketakutan. "Kau tahu aku ini seorang laki-laki, aku punya naluri kejantanan.'' Ia lalu menyisir rambut wanita itu dengan tangannya dan mengeluarkan suara mendesah. "Siapa yang tidak ingin b******a dengan putrimu?'' "Berengsek kau!!!'' "Ya, aku memang berengsek! Tapi kau selalu mengandalkanku kan?'' Lord Alastair terdiam dengan kesal karena tak mampu menolak kenyataan. Hening. "Sebenarnya aku kecewa karena kau menyerahkan Luna pada Gavin Marshall,'' nada suara Julius kemudian berubah pilu. "Padahal aku rasa aku lebih pantas untuknya. Aku bisa menjadikan putrimu sebagai ratu di hatiku.'' "Omong kosong! Luna butuh posisi lebih dari sekedar RATU!!'' "Auw, okay?'' "Apanya yang okay? Cepat bunuh wanita itu sebelum semua orang tahu.'' Pria itu tertohok beberapa detik. Ia menghela nafas, "Jangan terburu-buru, Presiden. Aku harus menginterogasinya dahulu.'' "Besok pagi aku akan menemuimu, kalau kau masih membiarkan dia hidup. Aku yang takkan membiarkanmu hidup, mengerti?'' Telepon pun ditutup. Lord Alastair kembali bersandar di ranjangnya. Dadanya naik turun akibat percakapan di telepon tadi. Desah nafasnya kasar dan menampar udara. "Saksi terakhir, lenyap sudah,'' ungkapnya dalam hati sambil membalikkan memori kepada belasan tahun silam. 1943. Ia harus kembali menyusun kerangka-kerangka ingatannya pada salah satu peristiwa besar di negeri ini. Bukan sekedar revolusi, tapi pembantaian.. pembantaian....pembantaian rakyat Brescon. ***** Masih ingatkah kau pada persitiwa itu? Saat Lord Alastair untuk kedua kalinya terpilih sebagai presiden. Pidato sang presiden di sebuah ruangan yang berujung kematian. Pidato yang dianggap sebuah renaissance oleh nenek Aga. Ruangan yang dipenuhi kaum intelek, kritikus, dan reaksioner. Ruangan yang dipengapi tepuk tangan, sanjungan, dan teriakan kebanggaan tanpa daya. Ruangan yang setelah kegembiraan itu, berubah menjadi tragedi. Masih ada yang selamat dari peristiwa itu. Beberapa orang memang berhasil menghindar dari ajalnya. Namun mereka belum pernah berhasil menghindar dari kejaran Lord Alastairs dan para kaki tangannya. Karena Lord Alastairs mengejar mereka lebih cepat dari detak jantung mereka sendiri. Maka dengan mudahnya mereka ditumpas. Sekarang, manusia terakhir dari peristiwa itu, seorang hawa pun berhasil mereka bekuk. Malam semakin surut. Dari luar, rembulan berpendar di atas atap. Segaris angin menyentuh besi-besi ukir dalam gerbang gaya renaissance di depan kediaman sang presiden hingga timbul suara berderik-derik yang mengerikan. Seekor anjing di dekat gerbang menyalak-nyalak, seekor gagak berkoak-koak menimpali gonggongan sang anjing. Mereka bersaing bersahutan-sahutan. ***** Setelah telepon terputus. Julius berdiam dulu beberapa detik sambil menghela nafasnya di atas kursi berputar. Sesekali ia melirik ke arah wanita yang duduk di atas kursi dengan kaki dan tangan terikat. Ia memikirkan apa yang harus dilakukannya kepada janda ini. Apakah ia langsung menembak matinya saja atau ia mesti merasakan siksaan terlebih dahulu? Lalu Julius membayangkan andai saja wanita ini adalah putri presiden. Maka setidaknya ia dapat memuaskan gairahnya terlebih dahulu. Tak butuh waktu lama bagi Julius untuk kembali ke pikiran terkotornya. Julius melabuhkan lamunnya kepada seorang Luna dan berhasil menukar posisi wanita paruh baya itu menjadi Luna. Pikiran erotisnya membawa Julius melamunkan dirinya tengah berjalan menghampiri Luna yang duduk dan terikat di atas kursi dengan pakaian terbaiknya, sebuah gaun taffeta yang panjang bertabur berlian swarovski dengan crinoline dibalik gaunnya. Mata biru Luna yang sendu memperkuat lamunnya seperti minta dipenuhi hasrat. Julius sudah berada beberapa sentí di depan Luna. Ia merunduk dan menyentuh kaki mulus perempuan itu. Gaun besar nan panjang itu disibaknya perlahan. Kemudian, Julius mulai merasakan eskalasi kenikmatan dari pikirannya sendiri. Ia merasa dirinya menjadi agung sehingga memperoleh kehormatan untuk menyentuh sang perempuan. Kini dirasa dirinya bagai di dalam komedi putar. Berputar-putar membentuk bermacam-macam posisi, dan ketika ia sedang berada di puncak, segalanya tampak mudah diraihnya. Luna terasa dekat sekali dengan dirinya seperti kedua tangan ini mampu untuk menangkupkan seluruh tubuhnya, dan hati yang panas menggelora ini, sejuk sudah. ***** "Jangan katakan bahwa cintaku sebentuk cincin dan gelang, Cintaku ialah pengepungan benteng lawan, Ialah orang-orang nekat dan pemberani, Sambil menyelidik mencari-cari mereka menuju mati. Jangan katakan bahwa cintaku ialah bulan, Cintaku bunga api bersemburan.'' (Ali Ahmad Sa'id) Julius tidak bisa bermain harpa. Namun ia bisa memetik dawai er hu atau memetik shamisen yang sederhana untuk Luna, dan di sebuah padang di belakang rumahnya, mereka menikmati alam yang bergetar di bawah langit mackerel. Mereka terbaring di atas rumput kasar, diantara pepohonan willow yang menggugurkan daunnya. Mereka tertangkap dan terbasuh oleh angin yang berkesiut. "Cium aku,'' bisik Julius mesra, dan perempuan itu menciumnya. Cabang-cabang willow bergetar. Julius merasa begitu lapar dan ia tidak bisa tahan lagi, ia menyentuh gadisnya. Menghilir deras liar tak terpeluk lagi. Nafas alam mendesah, "Cium aku, cium aku, lagi dan lagi.'' Julius membuka pakaiannya, menampakkan kulitnya yang sangat pucat. Ia bukan seorang albino, namun begitulah warna kulitnya. Burung-burung wren hinggap di ranting-ranting willow, menyaksikan mereka. Atmosfer saat itu amat maskulin dan Julius bisa merasakan tingkah malu-malu Luna yang dicoba untuk disembunyikan. Julius berbicara lewat bahasa tubuhnya, dan dengan begitu mereka menjalin komunikasi. Saat romantisme menenggelamkan kata-kata. Julius menyadari akan beberapa hal tentang cawan cinta dan kasih sayang yang tampak tabu bagi gadisnya, dan dia mencoba menjelaskan mana streotipe cinta yang benar dan salah. Luna tahu ini adalah pandangan subjektif, tetapi Julius tetap mempertahankan pahamnya, mengganggap inilah paham cinta paling revolusioner di dunia. Sebab getaran yang didapatnya adalah nyata dan terlalu hebat hingga ia merasa takkan pernah bisa jatuh cinta lagi jika sang gadis meninggalkannya. Oh, mereka benar-benar gila! "..Oh cinta, yang tangan lembutnya mengekang keinginanku. Meluapkan rasa lapar dan dahaga akan maruah dan kebanggaan. Jangan biarkan nafsu kuat terus mengangguku. Memakan roti dan meminum anggur. Menggoda diriku yang lemah ini...''
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD