Bab 157 : "Kisah Luna"

2601 Words
Luna merogoh kantong blazernya, mengambil sebuah kertas papiruz. Hmm, ia belum membaca peraturan di Honeysuckle. Ada baiknya ia membacanya sekarang. Maka dengan khidmat, ia membaca peraturan itu dalam hati. Tata Tertib Asrama Honeysuckle 1. Bangun jam enam pagi 2. Wajib olahraga pagi bersama, setelah itu mandi, sarapan, dan bersiap untuk mengikuti pelajaran. 3. Hari senin s/d jumat adalah hari wajib belajar. 4. Pukul 7.30 -10. 00 adalah waktunya belajar, dipotong istirahat 30 menit. Pukul 03.00-05.00 adalah jam belajar sore, dan pukul 07.00-08..00 adalah jam belajar malam (berlaku untuk hari senin s/d jumat) 5. Hari sabtu adalah hari penyaluran bakat diri dan olahraga bersama. Siswa bebas berekspresi pada hari ini. 6. Hari minggu adalah hari istirahat, setiap siswa setelah akan diberi hiburan di luar Honesuckle seperti pertunjukan musik atau drama dan setelah itu, siswa bebas pergi keluar asrama (dengan catatan pulang tepat waktu). 7. Siswa wajib mengenakan seragam selama jam belajar berlangsung, setelah itu barulah dibebaskan memakai pakaian bebas. 8. Siswa dilarang keluar lingkungan asrama tanpa izin selama hari senin-jumat. 9. Siswa dilarang membawa kendaraan dan benda-benda berbahaya ke asrama. 10.Makan pagi, makan siang, dan makan malam sudah diatur dalam jadwal yang telah ditentukan. 11.Siswa boleh mengirim dan menerima surat dari keluarga atau kerabat dekat dua minggu sampai satu bulan sekali. 12.Siswa harus sudah berada di asrama masing-masing pada pukul 09.00 pm. 13.Siswa wajib memiliki minimal sebuah tanaman hias yang ditanam dan dirawatnya sendiri ketika berada di Honeysuckle. 14.Siswa wajib menjaga nama baik sekolah. 15.Siswa wajib mengikuti semua aturan di Honeysuckle. Luna menutup bacaannya ketika segaris angin membelai kepalanya, menyentuh pikirannya, Luna merasakan ketenangan menyelimutinya. Ia tak hendak memikirkan apa-apa lagi, tidak juga tentang peraturan Honeysuckle yang baru dibacanya. ***** Dalam hening, tiba-tiba Luna mendengar derap langkah seseorang, tap tap tap tap, suaranya semakin keras dan jelas. Luna berpikir bahwa seseorang hendak kemari. Benar saja dugaannya, seorang pemuda tiba-tiba muncul dari balik tangga. Luna nampak terkejut melihatnya, lelaki itu juga terkejut. Mereka beradu pandang selama beberapa detik. Kemudian Luna segera mengalihkan pandangannya kepada bunga-bunga kamboja di samping pemuda itu. Sang pemuda juga segera mengalihkan pandangannya dan seolah tak peduli akan kehadiran Luna meski ia kemudian duduk di samping Luna. Mereka membatu dan tak saling menyapa. Luna memperhatikan sekilas penampilan fisik pemuda itu. Matanya biru dan besar, hidungnya mancung, alisnya tebal, garis mukanya kuat, dan kulitnya putih bersih. Harus Luna akui, pemuda itu memang cukup tampan dan menarik. Namun rambut hitamnya yang ikal terurai panjang sampai bahu telah membuatnya risih. Ketampanannya pudar begitu melihat rambutnya. Ia pasti bisa sangat seksi andai ia mau mengurus sedikit rambutnya. Baju seragamnya juga lumayan dekil bila dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Banyak lipatan-lipatan di blazernya-seperti baju yang belum digosok, lecek!! Luna duga keras pemuda ini pasti seorang yang jorok dan pemalas. Pemuda itu nampaknya sadar ia telah dipandangi oleh seorang putri Presiden. Segera ia pun menoleh, "Ada apa?'' tanyanya ketus. Luna hanya menggeleng. Pemuda itu mendesah dan menunjukkan raut cemberut. Matanya terus memandang ke arah depan sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Pemuda itu kemudian berjalan ke pinggiran dan membaringkan tubuhnya. Matanya kini menatap langit biru. ***** "Sedang apa kau disini, nona besar?'' Pemuda itu melirik Luna dan nyengir. Luna tergelak. Nona besar? Baiklah, sepertinya pemuda ini bukanlah pemuda yang memilki adat dalam bicara. Tidak ada sapaan yang paling menghinakan daripada nona besar, seolah-olah suatu kesombongan yang rakus melekat dalam kalimat itu. Barangkali karena pemuda ini menganggap bahwa Luna hanyalah anak adopsi, maka ia bisa bicara seperti itu padanya. "Aku... ehm... hanya..'' Pemuda itu tertawa getir, seperti tengah meremehkan sesuatu. " Santai saja kalau sedang disini, Luna.'' Luna terkejut pemuda itu menyebut namanya. Tapi si pemuda tak peduli. "Kau tampak kaku sekali disini, seperti patung,'' pemuda itu bangkit dari berbaringnya.'' Kau harus bersikap lebih rileks sedikit.'' Luna mengernyitkan keningnya, ''Apa yang kau katakan?'' "Kau seperti patung.'' "Jangan sembarangan berkata pada orang yang tidak dikenal.'' Kata patung membuat intonasi ucapan Luna sedikit naik. Pemuda itu menaikkan alisnya, "Orang yang tidak dikenal? Hmm, aku mengenalmu....'' "Dan aku tidak mengenalmu.'' Pemuda itu terlihat keheranan. "Kau tidak mengenalku?'' Luna menatap pemuda itu kesal. Ajaib! Mengapa tiba-tiba ia bisa mengekspresikan hal ini di hadapannya. '"Okay! Okay!'' potong pemuda itu melihat kekesalan terlukis di wajah Luna. Tangannya terangkat seperti orang menolak bala. Ia mendengus kesal, sedikit tersenyum getir dan konyol. "Mari kita akhiri kegilaan ini, maaf kalau aku tadi terlalu ketus padamu, tadi aku hanya bercanda dan ku harap kau tidak emosi. Aku hanya ingin berhubungan denganmu dengan cara yang lain sebelum kita benar-benar.....'' pemuda itu tertegun dan suaranya berubah lemah, seperti bisikan serangga. "Saling mengenal.'' Lidahnya di angkat menendang dinding mulut bagian atas waktu huruf 'L' ia sebut. "Apa?'' Luna keheranan. Pemuda itu mendekat, lebih dekat ke wajah sang Marchioness. Bau permen karet menyerbu penciuman Luna. Untuk beberapa saat, pemuda itu tak mampu mempercayai kenekatannya. Tetapi ia ingin momen ini menjadi sesuatu yang beda. Mengingat bagaimana ia menunggu hadirnya sang Marchioness begitu lama, menimang-nimang kerinduannya di udara panas-dingin-sejuk. Segala hal tampak berantakan dan ia mendekatkan diri lebih dekat lagi kepada Luna. Perempuan itu mundur selangkah dengan gemetar, tetapi pemuda itu menariknya kembali. "Aku Marshall, Lady,'' bisiknya di telinga sang gadis. "Gavin Marshall.'' Seketika terdengar kaokan elang putih dari belakang bukit. Luna tersekat. Bunga-bunga kamboja meliuk-liuk dan mengeluarkan bunyi dari sentuhan angin syuuu "Jadi, kau...orangnya,'' ungkap Luna, pelan, dan dengan gemetar menghadapi keadaan sedekat ini. Gavin tersenyum penuh arti. Pelan-pelan, Luna melangkah mundur, menghindari kedekatannya dengan pemuda bernama Gavin itu. Tetapi si pemuda justru melangkah maju, menandakan mosinya yang berlawanan. Suhu udara di atas sangat sejuk tetapi apa yang sedang terjadi ini membuat panasnya sendiri. Luna mengucurkan keringat. Takut pada Gavin, ia mundur selangkah. Si pemuda, maju selangkah. Mata mereka bertemu. "Luna...'' seru Gavin sambil menjauhkan diri dari sang gadis. "Kau pikir apa yang akan aku lakukan padamu?'' nada suaranya penuh kelembutan. "Ini adalah caraku berkenalan dengan gadiss.. yang sangat...spesial.'' Lagi, kata-kata itu diucapkannya penuh godaan, kelembutan, dan keintiman. Huruf 'L' menendang langit-langit mulutnya lagi. Gavin memandang Luna dan untuk sepersekian menit, Luna merasa sangat gadis. Tetapi ia tak mampu menghadapi situasi ini lebih lama. "Aku seharusnya tidak kesini,'' kata Luna, parau. "Kau layak ada disini, Luna.'' "Tidak, aku pikir aku harus kembali ke kelas,'' dan sebelum Luna sempat melangkah, Gavin telah meraih tangannya. "Tunggu, kita belum bicara,'' ungkapnya dan Luna mulai merasakan tiap helai rambutnya siaga. Mawas diri yang terlambat. Luna menoleh. "Kita tidak perlu bicara apapun.'' "Apa?'' "Lepaskan tanganku!'' "Tidak, tunggu dulu...'' "Lepaskan..'' "Luna, sebentar...'' "Sebentar apa?'' "Sebentar lagi jam istirahat selesai.'' Gavin dan Luna terbelalak. Kalimat terakhir bukan mereka yang mengatakan. Ketika mereka menoleh kepada sumber suara, seorang pemuda tampan berdiri dengan tangan dilipat di d**a dan alis bergoyang-goyang. "David.....'' kata Luna pelan, nyaris tak terdengar. David mendekati Luna. "Maaf jika aku mengganggu waktumu, Lady. Tapi Mrs. Durkham memanggilmu ke ruangannya, dan sebelum jam istirahat berakhir ia ingin kau sudah ada di ruangannya, Lady,'' jelas David lugas. Gavin menatap David dengan sinis, suatu kedengkian terpancar dari mata birunya. "Benarkah? Tapi kenapa kau yang repot-repot memanggil Lady Luna, ku rasa bukankah Mrs. Durkham bisa memanggilnya lewat pengeras suara?'' "Itu bukan urusanmu.'' Gavin dan David saling berpandangan tajam. Aura pertentangan terpancar di antara mereka berdua. Luna memperhatikan mereka, dan merasa pandangan mereka terhadap satu sama lain saling menusuk, seperti saling menghunus pedang ke bola mata lawannya. Apakah mereka saling berperang? Apakah mereka saling bermusuhan? Entahlah, Luna belum genap sehari berada disini dan kondisi seperti ini sangat sangat tidak nyaman baginya. "Ayo kita pergi,'' ajak Luna kepada David. Pemuda itu lalu menggandeng tangan Luna sambil berjalan. Gavin hanya diam memandangi mereka pergi. Saat Luna menoleh padanya, Gavin nampak tersenyum putus asa, ia merentangan tangannya dan mendecakkan lidah. "Wow, hari ini sangat mengejutkan.'' katanya. Luna tak pernah tahu kurikulum yang bagaimana yang kiranya akan dipakai di asrama ini. Dalam beberapa kesempatan ia mencoba menebak-nebak, apakah kurikulum nasional? Atau kurikulum yang lebih religius? Atau apa? Nyatanya setelah ia bertemu Mrs. Durkham sore tadi, ia menemukan dirinya terjebak dalam kurikulum Honeysuckle yang diciptakan Mrs. Durkham sendiri. "Kau akan dapat menilai asrama ini setelah kau menjadi bagian darinya.'' begitu kata Mrs. Durkham. Seiris senyumnya sedikit menjengkelkan karena itu berarti ia setengah mengejek setengah tertawa. ***** Pukul 06.00 pm. Luna berada di antara jejalan pengantri yang kelaparan. Tidak ada perlakuan khusus untuknya, tidak ada prestise bagi seorang Marchioness yang berguru di sekolah sederhana. Ia tetap sama, jam enam sore sama-sama mengantri sepaket makanan di kantin bersama murid-murid Honeysuckle yang lain. "Kenapa aku diberi sup kambing??!'' seru seorang gadis di depan Luna. "Aku ini vegetarian!!!'' "Athalie, kambing ini juga vegetarian sama sepertimu, jadi, apa masalahnya?'' pelayan itu menjawab dengan gamblang dan membuang muka. "Yang lain.. cepat! cepat!'' Luna menelan ludah dalam-dalam ketika seseorang dibelakangnya mendorongnya ke depan, membuat Luna nyaris tersuruk. "Maaf Lady, seseorang dari belakang juga mendorongku,'' kata seorang gadis berwajah nerd sambil mengarahkan jempolnya kebelakang. "Semacam efek domino.'' Luna hanya tersenyum kecut, selapis keringat dingin mengucur di keningnya, Luna mengelapnya dengan slayer sutra. Entah berapa lama lagi ia bisa bertahan dalam hawa seperti ini, sumpek dan panas. Dipandanginya langit-langit, kipas angin besar b****k menggantung di bawahnya tanpa bisa digunakan. Lalu matanya menelasar ke sudut-sudut bangunan, ada empat jendela besar bergaya Italia, tapi tertutup karena malam. Sepertinya hanya jendela itu sesuatu yang paling menghibur mata disini, selain makanan tentunya. ***** Berita BBC memercik di radio di pojok ruangan, menghujani mereka dengan letupan berpijiar-pijar. "Korea selatan memang membutuhkan gencatan senjata pada perang korea ini mengingat eksistensi negaranya tidak sehebat korea utara. Korea utara dengan ideologi komunisnya mempunyai sekitar 838.000 tentara siap tempur sementara korea selatan tidak memiliki tentara nasional sebanyak itu. Di samping itu, bantuan dari Uni Soviet dan China sebagai sesama negara komunis semakin memperkuat pertahanan korea utara. Ini jelas akan mempersulit posisi Korea Selatan dalam perang korea,'' begitu kata seorang wanita di radio. Tapi tidak ada yang peduli tentang korea utara dan korea selatan disini, meski suara itu melolong minta perhatian. Mereka semua lapar, dan karenanya berita tentang perang tak bisa mereka serap sebaik mungkin. Untunglah Luna segera menerima paket makannya sebelum ia lunglai. Beberapa orang memanggil Luna dengan keras, melambai-lambaikan tangan padanya seperti tukang jemput penumpang di stasiun, bandara, terminal-kalau-perlu. "Lady!!!'' "Lady!!!'' " Lady!!!'' Luna kebingungan. Banyak orang meminta dirinya untuk bergabung bersama mereka, duduk dalam kelompok mereka sembari menikmati hidangan dan berkelakar. Luna terkesan akan sikap mereka yang sangat menyambutnya. Tapi ia bingung juga untuk memutuskan harus makan bersama siapa, Luna takut membuat mereka kecewa. Akhirnya, Luna memilih duduk sendirian di tengah ruangan, di dalam grup bangku yang masih melompong. ***** Ketika Luna hendak duduk di bangku, tiba-tiba saja seorang lelaki menubruk badannya. Luna nyaris tersungkur, sup jamurnya nyaris tumpah. Lelaki itu spontan menangkap tubuhnya. "Maafkan aku...'' bisik Gavin. "Aku rasa aku sangat tidak sopan tadi.'' Luna tidak menanggapi bisikan Gavin. Dengan kepala tertunduk ia mencoba berjalan melewati pemuda itu. Tapi Gavin berhasil meraih tangannya. Luna bereaksi, namun pegangan tangan itu amat kuat. Ia diam selama beberapa saat. "Baiklah, " Luna mengalirkan nafas panjang. "Lepaskan aku dulu, maka aku akan memaafkanmu.'' Gavin membuka genggaman tangannya. "Terima kasih,'' ujar Luna, formalitas sebuah kesopanan. "Mau makan bersamaku?'' Gavin menawarkan diri. "Tidak.'' "Kenapa?'' Gavin merasa hal itu adalah sebuah kelancangan. Tetapi Luna tidak mengutarakan alasan apapun sehingga terjadi kekosongan selama sepersekian menit diantara mereka. Dan saat itu ia merasakan nafasnya sesak sebab tidak ada angin. Ia menyapu keadaan. Ditemukannya seorang perempuan dewasa berblazer nila tengah memandang ke arahnya. Luna tahu siapa perempuan itu, ia adalah Mrs. Alexei, seorang guru bahasa Perancis disini. Tapi bukan sekedar guru, ia adalah seorang Viscountess. Nama aslinya Paris Alexandrine Sverdlov. ***** Mrs. Alexei adalah perempuan berperan ganda. Di satu sisi ia mesti memainkan tipuannya sebagai seorang guru Perancis. Di sisi lain ia seorang pengawas yang ditunjuk Lord Alastair untuk mengawasi dan melindungi Luna selama di Honeysuckle. Mrs. Alexei juga seorang penasihat bijak bagi Luna. Sering kali Mrs. Alexei mengatakan kepada Luna untuk memberontak pada belenggu yang diciptakan ayahnya. Ia sering mengatakan bahwa hidup Luna adalah milik Luna. Itu adalah harga mutlak dan tak boleh digantikan siapapun. Jadi menurut Mrs. Alexei, pemetaan hidup yang dilakukan Lord Alastair pada Luna adalah malapetaka. Contohnya dalam kasus kepindahan sekolahnya ke Honeysuckle, menurut Mrs. Alexei, Luna seharusnya bisa menolak pindah sekolah. Menurutnya pula, misi yang dibawa Lord Alastair pada Luna di Honeysuckle adalah nonsens. "Kau tidak boleh hidup seperti ini terus, Lady. Kau tahu kau punya kehidupan sendiri yang seharusnya kau jalani. Aku tahu kau sangat keberatan untuk sekolah di Honeysuckle. Aku tahu kau tidak ingin menjalankan misi ini.'' seru Mrs. Alexei, satu hari sebelum Luna berangkat ke Honeysuckle. "Aku tidak bisa, Alexandra,'' jawab Luna. "Aku terlalu lemah.'' "Kalau begitu jadikanlah dirimu kuat, jadi kau akan bisa melawannya,'' Mrs. Alexei memeluk bahu Luna.''Ingatlah Luna, kehidupan takkan menghampirimu dua kali.'' ***** "Kenapa aku merasa kau sedikit menghindariku?'' tanya Gavin dengan sedikit menggerutu, menampakkan betapa ia kesal telah pura-pura bersikap manis pada gadis di sampingnya. "Aku tidak tahu,'' suara bom di radio meletup. "Biarkan aku sendiri.'' dan perempuan itu pun berlalu. Gavin tercengang tak percaya. Sementara Mrs. Alexei yang sempat melihatnya, hanya tersenyum penuh kemenangan. ***** Luna terpaksa makan di pojok ruangan setelah gangguan Gavin dan beberapa murid lain menghambat acara makannya. Setidaknya ia cukup merasa aman dengan keberadaannya yang sedikit tersamar dan anonim. Ia bisa makan dengan tenang. Walau dengung suara radio merobek telinganya. Radio itu menggaung-gaung berganti memberitakan tentang perang Vietnam. " Presiden Amerika Serikat, John Frederich Kennedy beberapa waktu lalu telah mengirim penasihat gedung putih Walt Rostow dan penasihat militer Jenderal Maxwell D. Taylor ke Vietnam Selatan untuk mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan. Dalam laporannya, misi pencari fakta itu menunjukkan betapa situasi sebenarnya sudah kritis, baik kemiliteran di lapangan maupun politik di Saigon. Mereka mengusulkan pengiriman 8.000 pasukan infanteri untuk langsung membantu menumpas gerilyawan Viet Cong(Vietnam Utara) di Delta Mekong yang strategis...'' Tapi Vietnam pun tak dapat perhatian di tempat makan ini. Apalah arti perang bagi mereka. Perihal yang demikian itu hanya mereka tahu bahwa selalu ada konspirasi memuakkan di dalamnya. Dan di dalamnya ada andil orang-orang besar yang tertular penyakit lama, 'ingin menguasai dunia'. Itulah pemicu perang yang sesungguhnya. Bukan lantaran kedaulatan dan kehormatan suatu negara perang ada, tetapi karena penyakit kuno yang terus berintegritasi sesuai zaman, ialah keserakahan dan ketidakpuasan. ***** Kemudian, seorang pemuda berambut tembaga datang menghampiri Luna. "Hello, Lady.....'' pemuda itu menyapanya, Luna menoleh dan David tersenyum. Luna ikut tersenyum. Melihat David memanggilnya membuat Luna senang. "David..'' seru Luna. "Boleh aku duduk disini?'' Luna mengangguk. Lalu, David menaruh nampan makannya di meja dan duduk di seberang Luna sehingga mereka dapat saling berpandangan. "Aku mencarimu kemana-mana ternyata kau sembunyi disini,'' kata David. Luna menyeringai. "Kau mencariku?'' "Hah?'' David terkejut. "Oh, tidak maksudku bukan begitu....tapi aku... Ah, apakah tadi aku bilang aku mencarimu?'' Luna mengangguk dan menyuap kuah supnya. Wajah David seketika memerah. "Yah, begitulah...'' tukas David dan menyeruput air supnya. Hening. Suara di radio menjadi raja. ***** "Ngomong-ngomong, apakah kau sudah mendapatkan bibit untuk tanamanmu?'' tanya David membongkar kebekuan diantara mereka. Luna mengerutkan kening, "Bibit?'' " Kau sudah membaca peraturan di Honeysuckle, bukan?'' "Oh, ya tentu.'' "Jadi, apa kau sudah menemukannya?'' "Belum,'' jawab Luna jujur. " Aku harap kau bisa membantuku mendapatkannya.'' "Ya! Tentu saja! Aku punya beberapa bibit bunga krisan, merak, marigold, dan begonia. Kau bisa bilang padaku jika kau mau.'' "Terima kasih, itu sangat menyenangkan. Sepertinya kau pencinta bunga ya?'' "Hmmm...tidak juga, ada siswa yang memiliki bibit bunga lebih banyak dariku.'' "Wow, itu sangat mengagumkan.'' " Honeysuckle memang mengagumkan.'' Luna mengamini argumen David." Aku suka begonia putih'' "Aku juga suka.'' David menyeruput kuah supnya. Luna mengulum senyum mendengar pernyataan pria di sebelahnya. Baru kali ini ia temukan lelaki yang menyukai bunga. Terlepas dari aturan Honeysuckle, rasanya memiliki tanaman-tanaman berbunga adalah murni kemauan lelaki itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD