Bab 156: "Tragedi Manusia 2"

1709 Words
Lady Earlene duduk membeku di bawah jendela sambil membaca roman Perancis. Ia telah melepas baju pengantinnya dengan piyama putih. Ia juga sudah menanggalkan tiara dari kepalanya yang seharian ini termangu cantik di bawah balutan kain putih transparan tenun sutera. Tiara itu begitu berat. Setiap kali ia melangkah, ia merasa seolah-olah batang-batang besi ditumpuk di atas rambutnya yang digelung rapi alih-alih sebuah batu berlian 24 karat yang maha mahal. Tetapi sesungguhnya segala transformasi itu tidak berarti apa-apa. Sebab diantara mereka, mencengkeram spiral keheningan yang gigih memblokade. "Au fond, ca m'est bien egal,'' kata Lord Alastairs. Artinya, sejujurnya saya tak peduli. Ia kemudian naik ke atas ranjangnya. "Saya begitu lelah, saya hanya ingin tidur pulas sekarang.'' Lord Alastairs pura-pura menguap. Mabuk telah mengacaukan perkataan dan perbuatannya. Namun ia masih juga bersikap santun. "Maafkan saya...'' lanjutnya lirih. Sesaat, ia merasa segala kata-katanya barusan lebih mengena untuk Ratu Bethany dan...dan ia jadi bertambah sedih. Ia memikirkan kisah cintanya. Lady Earlene tidak bisa pura-pura tuli dan ia menutup bukunya sejenak. "Saya tahu, saya mengerti. Anda sangat lelah karena baru saja bertempur habis-habisan di negeri ini.'' Lady Earlene teringat pertama kali ia bertemu dengan pria ini dan lari terbirit-b***t ke haveli kecil-nya. Ia merasa gagap. Ini aneh karena ia seharusnya senang bisa menjadi istri orang nomor satu di negeri ini. Tetapi pendekatan yang singkat diantara mereka berdua berjalan sangat formal. Mereka tidak terbuka satu sama lain dan menganggap pernikahan hari ini selayaknya upacara bendera: terjadi, karena suatu keharusan. "Selamat malam,'' ucap pria itu, seperti kepada bawahannya. "Ya, selamat malam, Lord,'' jawab sang perempuan, seperti pada atasan. ***** Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih sedikit ketika Lady Earlene bersama Domo memutuskan untuk pulang. Tidak ada lagi yang perlu dilihat, taman begitu sepi sesuram kuburan, dan meskipun dekorasinya indah seperti indahnya orang-orang elit yang mengelilingi tempat ini, taman tetap sepi. Barangkali pada pukul lima nanti taman akan ramai, pikir Lady Earlene. Tetapi dirinya dan Domo tak bisa menunggu dalam kebosanan selama itu, dan meskipun di rumah nanti mereka akan menemukan situasi yang sama. Tetapi ruang tertutup nampak lebih bersahabat daripada keterbukaan yang hampa, bahkan keterbukaan yang terlalu luas nan sejuk bisa mengingatkan Lady Earlene pada kepekatan memori silam, dan ia tak mau menjalani ingatan itu lama-lama walau artinya Domo harus dikorbankan. Anjing cantik itu mesti masuk kandang lebih lekas untuk kepentingan nonanya. Dia memang akan sedih tetapi toh dia pun telah berada disana sejak tiga bulan lalu. Mereka berbelok secara mekanis pada rumah berpagar mirip batu nisan. Domo menggonggong manakala anjing dibalik pagar rumah tersebut mengonggong. Lady Earlene lagi-lagi harus kembali mencengkeram tali pengikat Domo itu kuat untuk menahannya. "Anjing bodoh! Kenapa sekarang kau begitu liar?!'' Sesaat, Lady Earlene merasa tersakiti, terkhianati oleh keadaan hewan ini., dan dalam sesaat pula, Domo menyadari kekecewaan itu sehingga ia dengan bersedih menahan sakit, menyerah pada nonanya. Mereka melanjutkan perjalanan. Suhu mendingin tiap menit. Di sudut jalan, Lady Earlene menemukan telepon umum. ***** "Halo?'' seorang pria dengan suara berat mengangkat telepon di rumahnya yang saat itu sedang direnovasi. Lantai-lantainya tengah diganti. Kursi-kursi dan meja tengah dipelitur. Dinding-dinding tengah di cat. Badan-badan tangga tengah diukir. "Halo?'' kata pria itu lagi, mengulangi. "Halo, Albert.'' Lady Earlene menjawab dengan lembut. "Oh, hai!'' Si Albert mengelap keringatnya dengan tangan. "Lama tak jumpa...Apa kabar? Apa kau baik-baik saja?'' sesaat, tak ada suara apapun kecuali angin. "Halo, Lady? Apa kau baik-baik saja?'' "Aku merindukanmu,'' suara itu parau sampai ditelinganya. "Aku juga merindukanmu,'' Albert bisa merasakan atmosfer di seberang telepon, kerinduan bercampur kekosongan yang luas yang tak berarti apa-apa. "Bisakah kau datang kemari?'' Lady Earlene memohon. "Aku membutuhkanmu, aku ingin bertemu denganmu... " sekarang, perempuan itu sedang menyerahkan harga dirinya pada pria yang saat ini memegang kuas cat tembok. Dalam angannya, ia bisa mencium bau keringat pria itu bercampur wangi pelitur dan debu-debu kayu. "Aku merindukanmu.. aku.. aku...'' "Aku akan menikah.'' tiba-tiba kalimat itu menjadi petir di telinga sang Lady. Ia bereaksi, "Tidak! Kau tidak boleh mengatakan itu!'' "Itu sudah ditentukan.'' Albert mengatakannya dengan tegas. "Bagaimana denganku?'' Lady Earlene ingin menangis waktu berkata ini. "Kau akan bahagia dan baik-baik saja.'' "Tidak, kau tahu aku, ku mohon jangan...'' nada suara itu meninggi dan memohon, membaur bersama petang yang membawa gelap. Matahari meluncur dari balik pepohonan willow. "Ini harus dihentikan. Aku tidak bisa denganmu,'' "Tidak, ku mohon, jangan katakan itu...'' terdengar bunyi kerontang dari rumah Albert. Pria itu menatap kosong lukisan Victor Hugo yang sedang dicabut dari dindingnya oleh para tukang. Lukisan cantik, lukisan dari orang yang menelpon ini. Kemudian, suaranya menjadi pelan dan lirih, takut para tukangnya mendengar. "Maafkan aku,'' "Tidak, Albert!'' Lady Earlene menangis. "Kenapa kau tiba-tiba akan menikah? Kau tidak memikirkan aku? kau tidak mempedulikanku? Kau...'' "Kau tahu betapa aku menyayangimu, ini terlalu sulit untukku...'' Albert berusaha untuk tidak menangis, tetapi Lady Earlene telah tersedu-sedu dan itu membuatnya tak tega untuk tidak menangis. "Maaf...'' lanjutnya lirih. "TIDAK!'' Sang Lady histeris di tengah sepi. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan?' Albert tersedu. "Seharusnya memang diantara kita tidak terjadi apa-apa. Itu lebih bagus daripada sekarang. Cinta ini tanpa harapan maupun tujuan, dan tidak ada yang bisa ku katakan lagi selain menghentikan ini.'' "Kau EGOIS!!!'' "Seandaianya saja kau berada di posisiku, kau akan memahami...'' "SEANDAINYA SAJA KAU ADALAH AKU!!'' potongnya, dan nada suaranya memelan. "Cobalah mengertiku, Albert!! Aku ingin kita berjuang.'' "Berjuang untuk apa? Untuk keluar dari pernikahanmu? Jangan bodoh, sayang. Nama dan kehormatanmu bisa hancur, kau tahu itu! Aku menikah demimu. Aku mencintaimu, menyayangimu, dan aku harus pergi untukmu. Takdirmu sudah ditentukan, begitu pula denganku.'' "TIDAK, Albert! JANGAN BICARA SEPERTI ITU!!'' nada suara Lady Earlene kembali meninggi, bercampur tangisan yang menggaung, menelan jawaban dan suara-suara dari seberang. "Albert! Albert!! DENGARKAN AKU!!!'' Tiba-tiba setelah sang Lady mengucapkan itu, ia tak mendengar apa-apa lagi di seberang telepon kecuali desisan mati. Emosinya masih ada, namun percakapan telah tiada. Insan yang satu tidak ingin melanjutkan, sementara yang lain teramat memohon, dan mereka terjatuh dalam kekosongan. Lady Earlene masih berteriak-teriak di dalam bilik telepon. "ALBERT! ALBERT! ALBERT! DENGAR, KAU TIDAK BOLEH MENIKAH DENGAN ORANG YANG TIDAK KAU CINTAI!!'' Saat itu sudah pukul lima sore. Warna-warni langit berada dalam kebimbangan antara jingga dan kelabu kegelap-gelapan. Luna berjalan menaiki tangga menuju lantai atas. Ia tahu dari David atap asrama ini seperti teras yang bisa dikunjungi untuk sekedar mengikis penat. Luna merasa tertarik, udaranya pasti sangat sejuk. Luna sampai di atap bangunan dan mendapati tiada seorang pun disana. Ia duduk di sebuah kursi panjang yang hanya satu-satunya di situ. Segaris angin bertiup di bawah roknya, meliuk-liuk lemas, bergulung-gulung, dingin. Luna merapatkan blazernya. Bunga-bunga kamboja tergeletak di pinggiran atap. Lewat bantuan angin, bunga-bunga kamboja itu melambai padanya. Luna merasa tenang disini, di atap asrama ini, di tempat terbuka, sendirian dalam kekhidmatan. Hening. Luna menikmati senyap ini. Dipandanginya visualisasi kota Margot. Lanskap hijau yang mendekap kotanya. Ladang-ladang gandum terlihat dari atas seperti tikar cokelat dan teraseringnya adalah pahatan dari salah satu tukang pahat terbaik. Ia juga dapat melihat beberapa gedung, simbol modernisasi. Mengingatkannya pada gedung perusahaan minyak dan gas milik Lord Alastair. Ah, ia jadi teringat akan Lord Alastair, Lelaki itu....entah apa yang harus diungkapkan Luna untuk menyimpulkan karakteristik ayahnya. Belasan tahun hidup dengannya, hanya ada satu hal yang paling menyesakkan dadanya. Satu hal, satu pertanyaan. Mengapa Lord Alastair mengatakan kepada publik bahwa Luna adalah anak pungutnya? ***** "Kenapa kau bilang pada mereka aku anak pungut?'' tanya Luna di suatu malam ketika dirinya dan Lord Alastair sedang memandang rembulan bersama di balkon. "Kenapa kau tak mengatakan yang sebenarnya?'' "A..A..aku tidak bisa,'' jawab Lord Alastair. "Kenapa?'' Lord Alastair hanya terdiam. Luna merasa sangat kesal pada ayahnya. Tidakkah Lord Alastair mengetahui betapa menyedihkan hidupnya ketika kosakata pungut mulai mengekor di belakang namanya? Tidakkah Lord Alastair mengetahui betapa para bangsawan itu, setiap kali ia lewat di hadapannya, melempar tatapan jijik dan sinis padanya? Seolah-olah dirinya begitu hina. Seolah dirinya tidak pantas untuk mendapatkan kehormatan bangsawan karena ia anak pungut. Patut diketahui bahwa ada budaya mengakar sampai berabad di Great Brescon yang mempersoalkan tentang anak pungut, adopsi, dan segala hal yang berhubungan dengan itu. Kalangan bangsawan kurang terima jika ada anak pungut tiba-tiba menyusup ke dalam lingkungan mereka. Karena mereka tahu jika para ningrat tiada mungkin menitipkan anaknya ke panti asuhan, apalagi membuangnya, maka mereka pun cukup yakin bahwa anak-anak semacam itu tentulah bukan dari kalangan yang sederajat dengan mereka. Mereka kebanyakan berasal dari kasta di bawah mereka yang menyebabkan mereka beranggapan bahwa anak-anak pungut adalah anak-anak rendahan-sama rendahnya dengan anak-anak kaum proletar. Maka dari itulah, jika ada seorang bangsawan yang kedapatan mengadopsi anak, maka kebanyakan mereka kurang menyambut kedatangan anak itu karena dianggapnya rumput liar yang merusak silsilah suatu gelar bangsawan. "Bagaimana mungkin seorang anak angkat dapat mendapat gelar bangsawan terhormat hanya karena ia diadopsi oleh bangsawan? Itu terlalu terhormat untuk seorang anak yang bahkan asal usulnya pun tiada kita ketahui,'' seru seorang The Marquess tempo lampau. "Darah bagi bangsawan adalah sesuatu yang sakral dan kuat dan jika kau mengadopsi, kau tak tahu darah siapa yang memasuki gelar bangsawanmu.'' "Kau memang manusia yang sangat pintar..'' ujar Luna, sedih. Ia seharusnya tahu bahwa Lord Alastair sedang mencari muka di depan bangsanya. Lord Alastair sedang mencoba menghapus label anak pungut. Dengan pura-pura memungut Luna, ia ingin membuktikan bahwa persepsi anak pungut itu salah. Setali tiga uang, namanya menjadi semakin harum. Seharum mawar di taman. "Sampai kapan ini berlangsung?'' "Sudahlah, Luna! jangan dibahas lagi, kita sudah sama-sama tahu bagaimana posisi kita terhadap dunia ini, sulit! Kau tahu jika aku tidak begini, aku hanya akan menjadi manusia yang mudah dilupakan orang?'' "Tapi.....''Luna menangis. "Sudah, jangan menangis! Kenapa kau begitu cengeng? Kau tahu jika orang lain melihat ini mereka akan sangka aku menganiayamu! Ah, bukankah kau tahu aku ini orang baik? Lagipula aku memang memperlakukanmu dengan baik. Aku menempatkanmu di kamar tidur yang mewah, aku membelikanmu segudang boneka barbie, aku membelikanmu gaun-gaun yang indah, aku memberikan apapun yang kau mau. Kau tahu itu kan?'' "Tapi aku hanya ingin kau mengatakan bahwa aku adalah anak kandungmu! Anak dari seorang gadis lugu bernama Catherine yang kau curi sisa hidupnya karena keegoisanmu! Katakan juga bahwa aku adalah bukti betapa kau berkhianat dengan Lady Earlene dan membuatnya terpuruk dalam kesakitan!'' "Plakk!!!'' Tamparan itu keras mengenai pipi Luna. "Sekali lagi kau berkata seperti itu padaku...'' kata Lord Alastairs tegas dan dingin, "Aku tidak akan memaafkanmu.'' Luna memegangi pipinya sambil beruraian air mata, "Aku hanya ingin diakui, ayah...''
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD