Bab 209 : "Julius..."

1173 Words
 “Julius…’’ kata Luna, pelan. Yang disebut namanya hanya tersenyum dan tanpa basa basi lagi langsung memeluk Luna. Harum casablanca menerobos hidung gadis itu. Luna merasa sulit melupakan aroma ini sekaligus sulit bernafas. Ucapan-ucapan mesra kemudian bermunculan seperti peluru mortar. Julius hampir kehilangan kendali dirinya, tubuhnya bergetar dan hatinya berdesir-desir. Julius adalah anak bungsu dari Olivander. Sesosok pria tinggi, berkulit pucat, bermata sebiru samudera, dan berambut platinum. Gelar bangsawannya The Earl of Esteban. Ia barangkali adalah representasi dari ras Bangsawan Alegra yang terlalu sempurna. Julius memiliki satu orang kakak dan satu orang adik, Jahmene dan Aiden. Keduanya tak kalah bagusnya dengan Julius. Namun saat kedua saudaranya memilih masuk ke dunia politik, Julius justru menghindari ranah itu dan memilih menjadi pasukan tentara perdamaian dunia. Ia bertugas di Jerusalem sejak beberapa bulan lalu. “Kau tidak bilang akan datang kemari,’’ keluh Luna, masih dalam pelukan Julius. Pria itu dapat mencium harum mawar di rambut Luna yang baru dikeramasi. Sungguh memabukkan! Juga aroma tubuhnya yang melenakan. Sudah lama Julius tidak mencium aroma ini, aroma yang keluar dari seorang putri, yang sejak kecil ia temui dan bermain bersamanya. “Aku datang atas panggilan ayahmu, Luna,’’ jelas Julius, “Dan tentu saja atas permintaan ayahku dan saudara-saudaraku.’’ Julius melepas pelukan Luna dan berjalan ke sisi ranjang. Ia memperhatikan sekitar, kamar ini masihlah sama seperti saat terakhir kali ia mengunjunginya, merupakan penggambaran nyata dari setiap kemewahan. Langit-langitnya tinggi, jendelanya besar-besar, lantai kamar biru bening seolah-olah ketika ia menginjaknya ia bagai menginjak air alih-alih keramik. Tumbuhan paku-paku yang lebat di balkon menerobos memasuki jendela di sebelah kiri menyeruakkan aroma tanah basah, satu-satunya hal yang tumbuh dari keseluruhan pemandangan. Cahaya redup mendominasi cahaya di ruangan dan ada beberapa rak buku yang tersusun rapi di seberang ranjang. “Pasti tentang politik, “ keluh Luna. Julius tertawa. Miris sekali, ia jauh-jauh terbang ke Jerusalem dan sekarang ia disini, kembali lagi pada politik, hal yang dari kecil akrab di telinganya. Apalah daya, seluruh keluarga Julius, seperti halnya keluarga Luna, terbentuk atas nama politik. “Tetapi setidaknya denganmu aku tidak akan membicarakan politik, Lunaku sayang,’’ Julius menyentuh pipi Luna dan mengusapnya lembut. “Aku sangat merindukanmu,’’ Julius memperhatikan pakaian Luna. Gaun terusan selutut berbunga yang anggun. Kalung krisolit serta rambut panjang yang dibiarkan turun melintasi wajahnya, dan juga, sepasang sepatu nudenya yang membuat Luna kini merasa sangat perempuan. “Kau semakin cantik sekali, Luna.’’ kata Julius lagi, dengan mata yang berbinar-binar. Luna tersenyum. “Aku juga sangat merindukanmu,’’ Julius bangkit dari ranjang menuju rak buku, ia mengambil buku bersampul kulit berjudul “My Biography’’. ‘ “Kenapa kau suka sekali membaca itu?’’ tanya Luna pura-pura kesal, ia mencoba meraih buku itu dari Julius tetapi lelaki itu menangkisnya dan tertawa. “Aku selalu rindu dengan celotehan-celotehan jujurmu disini, dan aku senang bagaimana kau mendeskripsikan aku, sayang,’’ Julius membuka pada bagian tanggal 13 April lalu membacanya, ‘13 April 1955, Hari ini aku menghabiskan waktu bersama dengan Julius di kediamannya. Kemarin Julius sudah katakan bahwa dia akan mengajariku berenang. Senang sekali rasanya bisa bersenang-senang dengannya.    Julius adalah teman baikku, dari seluruh bangsawan di negeri ini dialah yang paling dekat denganku. Lady Alexei beradai di urutan kedua. Julius satu-satunya orang yang bersamaku ketika semuanya sibuk dalam kebekuan. Ia sangat baik. Aku takkan bisa membalas kebaikannya.    Ternyata Julius membawaku ke rumah utamanya yang berada di Azalea, cukup jauh sekitar 30 mil dari Penthalpa. Disana keluarganya sudah menunggu kami. Ada Olivander sang ketua Konggres, istrinya nyonya Esteban yang sangat cantik, dan kedua kakak Julius yang tak kalah tampan, Jahmene dan Aiden. Keluarga bangsawan Esteban ini punya kolam renang yang sangat ekslusif. Maksudku, mereka sengaja membuatnya benar-benar berbeda daripada yang lain karena mereka kebanyakan suka berenang. Jahmene bahkan waktu kecil pernah bercita-cita menjadi atlet renang, namun usahanya gagal karena ia menderita pneumonia.    Kami merekam semua kegiatan yang kami lakukan sepanjang sesi berenang. Nyonya Olivander baru saja membeli kamera terbaru dan ia ingin sekali memvideokan semua aktivitas yang dilakukan oleh keluarganya. Julius mengajariku berenang, susah juga ternyata. Aku disuruh menciprat-cipratkan kaki ke air, lalu mencoba menahan nafas di dalam air, lalu..ah, aku tak ingat. Hari ini aku belum bisa berenang. Aiden tertawa cekikkan melihatku belajar. Ia suka sekali menciprat-cipratkan air ke wajahku sehingga aku hilang konsentrasi. Kalau sudah begitu, Julius akan marah pada kakaknya. Ia mesti meladeni Aiden dulu berlari kesana kemari keliling kolam sampai capek, baru kapok. Jadi sepanjang itu, giliran Jahmene yang memberikan pelatihan renang padaku.    Selesai berenang, kami memasak barbeqyu. Aku mengolesi ayam kalkun dengan mentega, Tuan Olivander menyiapkan alat panggangnya, Nyonya Olivander membantuku sambil terus merekam sementara Jahmene, Aiden, dan Julius asyik bermain kartu. Ah, kami berfoto bersama di akhir momen ini. Tuan Olivander mengatakan bahwa aku mesti sering-sering lagi bermain kesini. Yang lain mengangguk-angguk setuju. Julius melihat foto di selipan buku itu; tiga orang pemuda tampan bersama seorang gadis di tengah. Mereka semua dalam keadaan basah kuyup. Julius tertawa sendiri mengenang ini. “Kau menulis ini waktu kita masih sebagai teman,” kata Julius dan menaikkan kedua alisnya. Luna tersipu malu, “Seharusnya kau tidak membacanya,’’ Ah, Julius tertawa senang lalu mengangkat tubuh Luna seperti mengangkat seorang bayi, dan ia menurunkannya lagi, lalu diciuminya gadis itu terus-terusan. Perempuan itu memeluk Julius dalam geliat manja. Mereka bersenang-senang. *** “Jangan katakan bahwa cintaku sebentuk cincin dan gelang, Cintaku ialah pengepungan benteng lawan, Ialah orang-orang nekat dan pemberani, Sambil menyelidik mencari-cari mereka menuju mati. Jangan katakan bahwa cintaku ialah bulan, Cintaku bunga api bersemburan.’’ (Ali Ahmad Sa’id) Julius tidak bisa bermain harpa. Namun ia bisa memetik dawai er hu atau memetik shamisen yang sederhana untuk Luna, dan di sebuah taman di belakang istana, mereka menikmati alam yang bergetar di bawah langit mackerel. Mereka terbaring di atas rumput kasar, diantara pepohonan weeping willow yang menggugurkan daunnya, batu-batu putih, dan bunga-bunga matahari yang tumbuh liar. Mereka tertangkap dan terbasuh oleh angin yang berkesiut.  “Cium aku,’’ bisik Julius mesra, dan perempuan itu menciumnya. Cabang-cabang willow bergetar. Julius merasa begitu lapar dan ia tidak bisa tahan lagi, ia menyentuh gadisnya. Menghilir deras liar tak terpeluk lagi. Nafas alam mendesah, “Cium aku, cium aku, lagi dan lagi.’’ Julius membuka jasnya, lalu kemejanya, menampakkan kulitnya yang sangat pucat. Ia bukan seorang albino, namun begitulah warna kulitnya. Burung-burung wren hinggap di ranting-ranting rendah willow, menyaksikan mereka. Angin menidurkan impian dan Julius bisa merasakan tingkah malu-malu Luna yang dicoba untuk disembunyikan. Julius berbicara lewat bahasa tubuhnya, dan dengan begitu mereka menjalin komunikasi. Saat romantisme menenggelamkan kata-kata. Julius menyadari akan beberapa hal tentang cawan cinta dan kasih sayang yang ia coba jelaskan. Julius menjelaskan mana streotipe cinta yang benar dan salah. Luna tahu ini adalah pandangan subjektif, tetapi Julius tetap mempertahankan pahamnya, mengganggap inilah paham cinta paling revolusioner di dunia. Sebab getaran yang didapatnya adalah nyata dan terlalu hebat hingga ia merasa takkan pernah bisa jatuh cinta lagi jika sang gadis meninggalkannya. Oh, mereka benar-benar gila! “..Oh cinta, yang tangan lembutnya mengekang keinginanku. Meluapkan rasa lapar dan dahaga akan maruah dan kebanggaan. Jangan biarkan nafsu kuat terus mengangguku. Memakan roti dan meminum anggur. Menggoda diriku yang lemah ini…’’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD