Bab 2

1104 Words
Flashback Khadija masih menyendiri dalam biliknya yang berukuran tiga kali tiga meter, sebuah kamar berdinding bata merah yang belum selesai ditembok, lantai tanah yang hanya beralaskan karpet yang dipasang menutupi seluruh penjuru ruangan. Ada sebuah dipan kecil terbuat dari kayu jati buatan tangan ayahnya. Lelaki yang begitu dicintainya. Dia lebih senang menyendiri daripada bergabung dengan ibu, ayah tiri dan adik tirinya. Terdengar suara gelak canda mereka dari ruang tengah yang memang berukuran sama-sama kecil, hanya tiga kali enam meter. Rumah minimalis dengan dua kamar. Khadija meringkuk diatas dipan, pikirannya melayang, wajahnya selalu bersemu merah dan ada sesuatu yang menari-nari dihatinya setiap mengingat kejadian malam itu. Baginya Ahmed merupakan sosok sempurna yang tidak memiliki sisi kekurangan apapun. “Apakah betul Allah mengirimkan dia untuk menjadi imamku?” gumamnya sambil mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, matanya lurus menatap langit-langit kamar yang beberapa sudutnya terlihat bekas bocor air hujan. “Dia tampan, berpendidikan, berkelas, kaya, sholeh, apakah aku layak untuknya?” kembali dia bertanya pada dirinya sendiri. Khadija mengubah posisi tidurnya menjadi miring kembali. “Ya Allah, tapi hati ini bahkan langsung menghangat setiap kali mengingat namanya, alis tebalnya dan,” sesuatu membuatnya berpaling dan menghentikan semua pembicaraan internal dalam dirinya. “Tok tok tok,” tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya, disusul kepala seorang anak kecil berusia empat tahun yang melongo kedalam. “Kakak Dija, diculuh ibu kedepan, ada tamu,” gadis itu ialah Melati, adik sambungnya. “Iya Mela, kakak pakai kerudung dulu ya, nanti kakak kesana,” ucap Khadija sambil mengambil kerudung instan dan memakainya. Bergegas dia menuju ruang depan. “Assalamu’alaikum,” ucapannya membuat kedua wanita paruh baya yang terlihat canggung dan hanya saling diam itu menoleh kearahnya. “Wa’alaikumsalam,” mereka menjawab serempak. Khadija bingung melihat suasana yang begitu canggung diantara keduanya. “Orangnya sudah datang, permisi,” ibunya Khadija melangkah meninggalkan wanita paruh baya itu dengan anaknya. “Silahkan duduk Bu,” dengan sopan Khadija mempersilahkan wanita itu untuk duduk setelah menghampirinya untuk cium tangan. “Saya ambilkan minum dulu ya Bu,” Khadija hendak melangkah kembali kedalam sebelum akhirnya terhenti. “Tidak perlu, saya tidak lama disini, duduklah, ada yang mau saya bicarakan,” wanita itu membuka percakapan. Khadija mengangguk dan mengurungkan niatnya. “Kamu sudah lama berhubungan sama Ahmed?” tanyanya. “Maksud ibu?” Khadija belum faham arah pembicaraan tamunya. “Mungkin saya tidak perlu basa-basi, Ahmed sudah saya jodohkan dengan seseorang yang sepadan, mereka kami jodohkan sejak kecil, saya minta tolong sama kamu, jauhi anak saya,” ujarnya tegas dengan raut wajah yang ketus. DEG Seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya. Khadija tiba-tiba kehilangan kalimat untuk menjawab pernyataan yang dilontarkan tamunya. Setelah beberapa menit, akhirnya kesadarannya sudah terkumpul kembali. Dia memberanikan diri menatap wajah dingin wanita itu. “Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Kak Ahmed Bu,” ujarnya dengan memaksakan senyum dibibirnya. “Kamu tidak usah menutup-nutupi, saya tahu apa yang Ahmed katakan padamu di kedai baso itu, tolong jauhi dia jika kamu menginginkan kebaikan untuknya, kamu tidak sepadan dengannya, dan satu lagi Ahmed anak sholeh dia akan selalu mengutamakan saya, ibunya, bahkan jika kamu masih berkeras untuk mendekatinya,” ucap wanita itu dengan ketus dan sinisnya, kemudian berdiri tanpa ada basa-basi lagi. “Assalamualaikum,” Wanita itu pergi begitu saja meninggalkan Khadija yang masih terduduk sendirian pada kursi bambu yang ada diteras rumahnya. Wajahnya menunduk, pikirannya masih mencoba mencerna semua kejadian mengagetkan yang tidak disangkanya. Tiba-tiba ada tetesan bening meleleh, seolah mewakili pedihnya kuncup yang baru hendak mekar kemudian terserang badai. Ibunya Ahmed dengan terang-terangan mengatakan dirinya tidak sepadan. “Sesakit ini ternyata menjadi orang yang tidak punya,” gumamnya dalam hati sambil menarik nafas panjang dan mencoba menenangkan perasaannya. “Tapi darimana ibunya Ahmed tahu secepat ini, baru kemarin malam kejadian itu, disana hanya ada Arsya dan penjual baso?” Berputar-putar pertanyaan dikepala Khadija yang tidak bisa dia temukan jawabannya. Tanpa dia sadari ada sepasang mata sedang menatapnya dari sisi gelap halaman rumahnya. Sejak tadi dia berdiri dibalik pohon akasia yang tumbuh liar. Gadis itu menghela nafas berat, seolah ada sebuah beban yang baru saja terhempaskan. “Maafkan aku Khadija,” ucapnya lirih, kemudian tubuhnya menghilang pada tikungan jalan. *** Khadija bergegas masuk kembali kedalam rumah. Melewati begitu saja ibu, ayah dan adik sambungnya yang masih bersenda gurau. Mereka terlihat begitu bahagia. Sementara hatinya masih saja sakit setiap kali mengingat kepergian ayahnya. Dia kembali mengurung diri dikamarnya. Bayangan-bayangan indah dan perasaan yang hangat sebelum dia keluar sudah tidak ada lagi. Kemudian dia mengambil wudhu dan dilanjut membaca beberapa lembar AL Qur’an. Hatinya kini sedikit tenang. Matanya terpejam, bebebrapa kali menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu sudah mengambil sebuah keputusan. Flashback off “Khadija!” Arsya berlari menyusul sahabatnya yang sudah memunggunginya. Tetapi langkah kaki Khadija begitu cepat. Arsya menghentikan langkahnya sambil terengah-engah. Ada perasaan lega mendengar jawaban Khadija untuk lelaki yang dikaguminya, akan tetapi hati kecilnya sebetulnya tidak tega melihat sahabatnya itu menangis. Arsya berbalik hendak kembali ke kedai baso itu untuk memastikan sesuatu. Bagaimanapun dia harus tahu apa yang lelaki itu akan lakukan setelah penolakan dilakukan oleh sahabatnya. Arsya melihat dirinya dari pantulan ponsel genggamnya, memastikan kerudung yang dipakainya terlihat sempurna menghiasi wajah manisnya. Dia berjalan cepat, berharap semoga Ahmed masih ada disana. Beruntung sekali ketika dia datang, lelaki itu baru saja hendak pergi meninggalkan kedai baso itu. “Kak Ahmed,” Arysa berlari kecil menghampiri lelaki itu. “Ada apa Sya, bukannya kamu menemani Khadija pulang?” Kening Ahmed berkerut. “Emhh anu, emhh itu,” Arsya kebingungan memberikan jawaban. Apalagi berada dalam jarak sedekat itu dengan lelaki yang sejak lama dikaguminya diam-diam. “Hmm?” gumaman Ahmed mengandung pertanyaan. “Itu Kak, tadi Khadija memintaku untuk menanyakan tanggapan Kakak,” jawabnya gugup. “Tanggapan?” kening Ahmed berkerut sempurna namun tidak mengurangi sedikitpun ketampanannya. “Iy, iya, itu tanggapan kakak atas jawaban Khadija tadi Kak,” Arsya mencoba mencari tahu isi hati lelaki yang ada didepannya itu. Ahmed tersenyum singkat. “Apapun perasaan dan tanggapanku untuknya, hanya dia yang boleh langsung mendengarnya, katakan padanya untuk menemuiku lagi jika dia memang benar-benar ingin tahu semuanya,” ujar Ahmed tegas, sambil berbalik hendak melanjutkan langkahnya. Arsya tak bergeming, menatap punggung lebar itu menjauh. Sinar bulan yang sedang terang membuat sosok lelaki itu masih terlihat berjalan cepat dalam remang. Arsya memegang dadanya mencoba menghentikan detak jantung yang semakin cepat setiap berada didekatnya. Ahmed baginya adalah panutan dan lelaki idaman. Terlebih dia selalu mendengarkan ibunya menceritakan bagaimana ketika Ayahnya dan keluarga Ahmed membuat kesepakatan. “Bagaimanapun, kamu akan tetap menjadi milikku Kak,” ucap Arsya dalam dada. Kemudian dia melangkahkan kaki menuju kediamannya. Besok dia akan menemui sahabatnya lagi. Dia harus memastikan kalau keputusan Khadija tidak berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD