Bab 1

1654 Words
Mohon dukungannya, cerita ini sedang mengikuti KONTES MENULIS INNOVEL II - THE GIRL POWER BAB 1 – Cinta Pertama “Assalamu’alaikum. Mohon maaf jika kedatangan surat ini mengganggumu, maksud aku mengirimkan surat ini untuk menyatakan perasaanku. Jujur sejak pertama kali aku melihatmu menjadi murid ustadzah, aku sudah menyukaimu Khadija. Kamu tidak perlu tau siapa aku, tapi aku selalu memperhatikan dan mengagumimu, jika nanti sudah waktunya, kita pasti akan bertemu” sebuah tulisan terbungkus rapi dalam amplop terselip diantara lembaran Al Qur’an yang biasanya dia simpan di rak yang disediakan disana. Kedua bulu mata lentiknya mengerjap-ngerjap, dengan bingung dia kembali memasukan lembar kertas itu pada amplop dan diselipkan kembali dalam lembaran kitab suci itu. Sudut matanya mencari-cari sosok yang mungkin mencurigakan dan menyimpan surat itu diam-diam. Akan tetapi tak ada seorangpun disana selain murid-murid perempuan, murid laki-laki mengaji di surau yang bangunannya terpisah beberapa ratus meter dari rumah ustadzah.. “Kha, ayo cepetan udah ditungguin Ustadzah. Semua udah mulai tadarrus nya.” Seorang gadis seusianya menghampiri, seraya membantunya membawakan semua Al-Qur’an. “Iya Sya, hmm kamu ada lihat santri laki-laki masuk kesini kemarin atau tadi sebelum mulai pengajian?.” Khadija mencoba mendapatkan informasi. “Engga, kenapa emangnya?” Arsya balik bertanya. “Engga, lupain aja, ga penting,” kemudian mereka meninggalkan ruang penyimpanan AL-Qur’an dan berbaur dengan yang lain. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata memperhatikan mereka dari balik remang. Sosok itu bersandar rapat pada pohon mangga di halaman rumah ustadzah. Setelah meyakinkan sesuatu, sosok lelaki bersarung itu berlalu menuju surau tempat para santri lelaki mengaji. Terdengar lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an menggema memenuhi langit yang menggelap selepas senja. Jingga yang terhampar perlahan menghilang. Hembusan dingin angin malam membuat suasana menimba ilmu agama menjadi semakin terasa khusuk. Sejak hari itu, Khadija tak pernah berhenti berdoa agar kebaikan terlimpah untuk kedua orang tuanya, terutama ayahnya. Gadis itu berharap hidayah akan segera didapatkan lelaki yang sangat dicintainya itu. *** Delapan tahun berlalu dengan segala tabiatnya. Waktu bergulir semakin cepat. Khadija masih setia dengan doa untuk ayahnya sampai Allah berkehendak lain. Hidayah itu belum hadir sampai lelaki paruh baya itu akhirnya sakit-sakitan dan menghembuskan nafas terakhir. Mungkin tidak sepenuhnya juga, karena menjelang akhir hayatnya ayah Khadija sudah mulai belajar sholat walaupun masih tetap dengan pekerjaannya tersebut. Hati gadis itu patah, merasa jika Allah tidak mendengar doanya. Dia semakin terisak, mengingat dari harta haramlah dia tumbuh, mungkin Allah tidak meridhoinya. Itulah kelebatan pikiran yang terlintas dalam benak gadis belia itu. Zaman merubah wajah desa kecil itu dengan ganas. Modernisasi merambah setiap pelosok. Tekhnologi canggih mulai mewarnai kehidupan penduduk yang dulu sangat tradisional. Sekarang alat komunikasi sudah beralih dari surat menyurat berubah menjadi ponsel genggam setelah beberapa tahun lalu perkembangan wartel (warung telekomunikasi) ternyata tidak begitu pesat. Akan tetapi masih ada yang berubah dengan hati seorang gadis yang kini sudah beranjak remaja. Dialah Khadija yang usianya sudah menginjak delapan belas tahun. Gadis itu tumbuh menjadi seorang yang lebih tertutup dan menyendiri. Dalam diam, hati kecilnya merasa bersalah jika teringat almarhum sang ayah harus berbuat seperti itu demi menghidupinya. Dan perasaan menjadi orang pendosa atas latar belakang tersebut membuatnya lebih menutup diri dalam diam. Gadis itu kini sudah menyelesaikan sekolah menengah atas. Selama bersekolah dia menyambi bekerja sebagai penjaga toko sembako di sebagian waktu setelah sekolahnya. Dan kini disanalah dia menghabiskan setiap harinya sebelum mendapatkan panggilan pekerjaan. Dia sudah mengirim beberapa berkas lamaran kepada beberapa perusahaan di kota-kota Industri yang bisa ditempuh dalam waktu satu atau satu setengah jam dari kediamannya. Khadija masih menjadi salah satu santri dari ustadzah. Sebelum kemudian sebuah panggilan kerja dia terima dan mengharuskannya untuk meninggalkan kampung halamannya. Keberuntungan berpihak padanya, belum satu bulan dia lulus sekolah sudah mendapatkan panggilan pekerjaan yang sangat dia butuhkan. Sekarang tidak ada alasan lagi untuknya tinggal lebih lama di kampungnya, terlebih ibu yang dicintainya sudah memiliki pendamping hidup baru yang membuat dia semakin tidak nyaman berada di rumah sederhananya. “Assalamu’alaikum Khadija,” ucap seseorang ketika gadis itu tengah bersiap pulang dari pengajian dan berpamitan dengan ustadzah karena minggu depan harus sudah berangkat ke kota untuk bekerja. “Wa’alaikumsalam Kak, tumben Kak Ahmed kesini, ada perlu sama ustadzah?” tanyanya sambil memakai alas kaki dan membetulkan kerudungnya yang bergoyang-goyang tersibak angin. “Saya ada perlu sama kamu, bisa bicara sebentar?” Lelaki tampan tersebut menatap wajah manis Khadija yang masih menunduk karena tidak terbiasa berbicara berdua dengan lawan jenisnya. “Hmmm, boleh ajak Arsya, takut jadi fitnah,” Khadija meminta persetujuan, dan Ahmed mengangguk menyetujuinya. Ahmed merupakan salah satu keponakan ustadzah Jualeha. Usianya tiga tahun terpaut dari Khadija, sekarang lelaki tersebut sedang mengambil kuliah jurusan pendidikan agama islam di salah satu universitas ternama di Bandung. Hanya sebulan sekali atau dua kali dia pulang ke Bekasi, kota yang sudah mulai panas oleh pembangunan kawasan Industri. Beruntung kampung mereka terletak cukup jauh dari pusat kota sehingga setiap pagi masih bisa menghirup sejuk udara segar. Mereka bertiga sudah duduk disebuah kedai bakso yang masih buka, Ahmed memesan tiga porsi. Dua porsi untuknya dengan Khadija sementara yang satunya untuk Arsya yang duduk terpisah di meja yang agak jauh jaraknya. Arsya tampak sibuk dengan ponsel genggamnya. “Ini Mas basonya, silahkan Mas, Mba,” seorang pelayan kedai mengantarkan pesanan mereka. Ahmed dengan sigap mengambilkan sendok dan garpu untuk Khadija, dia menawarkan kecap, saus, dan merica yang disajikan terpisah. Yang membuat gadis itu mengernyitkan dahi bingung akan sikap orang yang baru kali pertama bertatap muka secara langsung dengannya. “Kha, makan ba’sonya gitu saja? Emang enak ga ditambahin apa-apa?” tanya Ahmed, dia menatap porsi baso polos yang dipesan gadis didepannya itu. Khadija tersenyum sambil mencicipi sedikit rasa kuah ba’so beningnya. Ba’so pesanannya tanpa bumbu lain-lain hanya ditambahkan sedikit sambal untuk penyegar kuahnya. “Kalau mau tau rasanya jangan tanya sama orang lain Kak, harus mencoba dan merasakan sendiri, apa Kakak mau percaya apa yang disampaikan orang lain tanpa membuktikannya?” kalimat sederhana yang begitu menantang untuk pemuda didepannya. Tangan Ahmed yang sedang mengambil botol kecap dan saus terhenti seketika mendengar ucapan gadis didepannya. Dia tersenyum dan mengurungkan niatnya. “Kenapa Kak, ga jadi nambahin kecapnya?” tanya Khadija tersenyum usil. “Aku mau membuktikan ucapan seseorang, agar aku tau sendiri dan bukan hanya dari orang lain,” ucapnya sambil kemudian mencicipi kuah ba’so yang masih bening miliknya. Sejenak kedua alisnya mengernyit menimbang-nimbang rasa baru yang menyentuh lidahnya. “Rasanya tidak buruk, bisa jadi pilihan untuk variasi menikmati ba’so, tapi lidahku sudah terbiasa dengan pedasnya saos dan manisnya kecap, mungkin dengan berbeda selera justru lebih baik agar bisa saling melengkapi,” ujarnya penuh maksud. Khadija tidak menanggapi kalimat panjang lebar pemuda yang ada didepannya. Sudut matanya melirik Arsya sahabatnya yang duduk tidak jauh dari tempat mereka berdua. Merasa tidak enak hati karena Arsya harus menunggunya di tempat yang berbeda karena permintaan Ahmed. “Kak Ahmed mau bicara apa sebenernya? apa Khadija ada salah ya sama Kakak atau bu ustadzah?” tanya gadis itu menelisik. “Hmm, tidak ada, aku denger Khadija mau merantau ke kota ya?” tanyanya sambil menikmati kuah basonya yang sudah berwarna bercampur dengan saos dan kecap. ‘Iya Kak, insya Allah senin depat Khadija sudah mulai masuk kerja di sebuah pabrik konveksi di kawasan industri Kak” ucapnya sambil tersenyum. “Khadija, apa kamu mau mengetahui sebuah kebenaran?.” Pemuda itu menghentikan aktivitasnya dan menatap lekat pada wajah manis gadis didepannya yang masih menunduk sibuk dengan ba’sonya. “Kebenaran?” sekilas gadis itu mengangkat kepala sehingga kedua matanya terkunci dengan tatapan tajam pemuda tampan yang ada didepannya. Segera gadis itu menundukkan kembali pandangannya. “Iya, sebuah kebenaran, aku rasa sudah waktunya Khadija tahu, aku sudah mengawasi dan menimbangnya dari beberapa tahun lalu.” Ahmed meneguk teh hangat yang tersaji di meja. “Apa itu Kak?.” Rasa penasaran Khadija sudah semakin memuncak. “Apa Khadija pernah menemukan sebuah amplop dalam lembaran kitab suci Al Qur’an?” Pertanyaan pemuda itu membuat kedua mata Khadija membelalak. “Jadi, surat itu dari Kakak?” tanya gadis itu memastikan. “Iya Kha, aku sudah menyukaimu dari lama, waktu itu kita masih terlalu kecil dan belum layak untuk membicarakan hal ini, tapi hatiku merasa yakin dengan pilihan yang sudah kuputuskan. Bagaimana apa kamu bersedia menerimanya?.” Ucapan panjang lebar Ahmed membuat kerongkongan gadis itu terasa kering dan tidak bisa berkata apa-apa. Dia terlihat menenangkan diri dengan meremas ujung kerudung yang menjuntai kepangkuannya. “Apa Khadija boleh menjawabnya nanti Kak, Khadija tidak tahu harus menjawab apa saat ini.” Gadis itu masih menundukkan wajahnya tanpa berani menatap wajah pemuda yang ada didepannya. ‘Baiklah, sebelum Khadija pergi minggu depan, kita ketemu lagi disini hari minggunya ya selepas pengajian.” Ahmed memberikan sebuah kesempatan untuk gadis itu berfikir. “Baik Kak, makasih.” Khadija mengakhiri perbincangan mereka yang berujung pada suasana lebih canggung dan lebih banyak diam. *** “Aku hanya seorang wanita akhir zaman yang sedang berusaha memperbaiki diri dengan caraku sendiri. Tidak ada keberanian untukku bermimpi mendapatkan seorang suami sholeh dan baik sepertimu.,” Ucap Khaijda sambil tetap menunduk. “Namaku Khadija, tetapi tidak semulia Sayyidah Khadijah seorang wanita mulia dan aku bukanlah orang yang pantas untukmu, aku yakin ini akan lebih baik untuk kakak dan keluarga kakak yang terhormat.” Dengan airmata yang sudah meleleh akhirnya gadis itu bisa menyelesaikan kalimat panjang lebar yang sudah dia susun selama beberapa hari. Dirinya merasa benar-benar tidak layak untuk seseorang sebaik Ahmed dan keluarga terpandangnya di kampung itu. Khadija merasa dirinya begitu kerdil bahkan tak memiliki keberanian untuk mengakui betapa hangatnya perasaannya ketika menatap kedua pupil hitam milik Ahmed. “Assalamu’alaikum.” Dia berlari kecil meninggalkan lelaki beralis tebal itu yang masih termenung di kursi panjang kedai ba’so tempatnya bertemu beberapa hari yang lalu. “Khadija!” Arsya berlari menyusul sahabatnya yang sudah memunggunginya. Yuk lopein juga ceritaku yang lainnya 1. TETANGGA SOK KAYA 2. DIPANDANG SEBELAH MATA 3. ISTRIKU, DI MANA KAMU? Yuk lopein ceritanya: 4. DINIKAHI KONGLOMERAT (TAMAT) 5. PEMBALASAN SEORANG ISTRI (TAMAT) 6. TETANGGA BARUKU TERNYATA BOS (TAMAT) 7. BOS VS ME (TAMAT) 8. REKENING SUAMIKU (TAMAT)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD