Chapter Nine: Sweet Trouble

2405 Words
--Dave mendesah, Charlotte merinding saat napas pria itu menyentuh bibirnya. “Aku ingin memahamimu, jauh dari perkiraanmu tentang apa yang ingin kulakukan padamu. Aku ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranmu tentang aku,” kata Dave. Charlotte merasakan jantungnya berdetak lebih keras dari dalam dadanya. Ia berharap Dave tidak mendengar itu. Tapi ekspresi yang pria itu ciptakan mematahkan harapannya. Dave mengeluarkan seringaian paling menggoda yang pernah Charlotte lihat.--             “Ku harap tidurmu nyenyak semalam.” Itu sapaan Dave saat melihat Charlotte sedang menikmati sarapannya di restoran hotel. Gadis itu masih mengenakan setelan baju tidurnya, sedang mengunyah roti bakar dengan selai strawberry. Dave melihat ada satu piring lain yang sudah kosong di atas meja, selain piring berisi roti bakar. Di piring itu ada bekas mentega cair dan kuning telur setengah matang yang lengket. “Sepertinya kau benar-benar sedang kelaparan,” katanya.             Charlotte mendelik. “Apa ini pertama kalinya kau melihat seorang wanita menikmati sarapan dengan porsi besar?” ia terdengar sedikit tersinggung. “Aku sudah bilang padamu semalam, aku tidak seperti mereka yang selama ini terlibat denganmu.”             Dave tertawa rendah. “Kau tidak akan keberatan kalau aku duduk bersama denganmu di sini, kan?” ia menarik kursi di depan Charlotte, sembari meletakkan cangkir kopinya di atas meja. “Sepertinya kau masih marah soal semalam.”           Charlotte mengalihkan pandangannya sesaat dari layar ponselnya. “Marah? Aku tidak merasa marah padamu.”             Dave menyesap kopinya pelan, lalu berbisik mengumpat. Sepertinya lidahnya terbakar karena kopinya masih sangat panas. Butuh waktu beberapa detik sampai ia bisa menimpali pernyataan Charlotte. “Hmmm, Charly...kau bukan seseorang yang pandai menyembunyikan amarahmu.”             Charlotte tidak menjawab.             “Baiklah, Charly. Aku tidak ingin hubungan kita berdua semakin memburuk—bagaimana kalau kita membuat perjanjian?” Dave menjauhkan cangkir kopi dari hadapannya. “Kau bisa membuat daftar, apa saja yang kau tidak ingin aku lakukan padamu selama kita bekerja sama—selama aku menggantikan posisi ibuku.”             Charlotte mulai tertarik dengan arah pembicaraan yang dimulai Dave. “Kau sungguh-sungguh? Apa yang bisa menjadi jaminanmu kalau kau tidak akan melanggar perjanjian itu?”             “Aku bukan seorang pelanggar janji. Kau harus percaya itu.” Dave kali ini terlihat lebih serius dari biasanya, dan itu menggerakkan hati Charlotte untuk mempercayainya. “Kau mengajukan daftar, dan aku juga akan berbuat yang sama padamu. Aku juga memiliki beberapa kondisi.”             “Selama itu tidak merugikanku, aku setuju-setuju saja,” ujar Charlotte. “Jadi siapa yang mulai lebih dulu...,aku?”             Dave menganggukkan kepalanya sekali. “Ladies first”             “Baiklah...” Charlotte meletakkan kulit roti yang belum sempat ia habiskan. “Sederhana saja, aku harap kau tidak lagi melancarkan godaan-godaanmu itu padaku, juga—ehem—melakukan kontak fisik yang mengarah ke tindakan seksual padaku.”             Dave menyeringai. “Kau melarangku melakukan hal yang paling ingin kulakukan padamu, Charly.” Ia meletakkan kedua sikunya di atas meja, lalu menutupi hidungnya dengan kedua jemari tangannya yang bersatu membentuk kepalan. “As your wish, i’ll do that.”             Charlotte belum sepenuhnya bisa merasa lega, tapi paling tidak perjanjian ini bisa menjamin sekian persen keselamatannya selama bersama Dave. “Lalu kau?”             Dave mengubah posisi tangannya menjadi bersendekap di atas meja. “Aku sudah menyiapkannya.” Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, lalu menyodorkannya pada Charlotte; sebuah kertas putih yang dilipat menjadi 4 bagian.             Charlotte membuka lipatan kertas itu. Dahinya mengkerut tidak mengerti dengan apa yang dilihatnya. “Apa maksudnya ini?” tanyanya sambil melebarkan kertas yang ia pegang, ia hadapkan pada Dave. “Tidak ada tulisan apa pun selain tanda tanganmu di sini.”             Dave mengulas senyum jenakanya. “Apa yang aku tidak ingin kau lakukan akan tertulis di situ seiring berjalannya waktu—tidak sekarang,” katanya sebelum pergi meninggalkan Charlotte, dan kopinya yang hanya berkurang sebanyak satu sesap saja. ***             Charlotte sedang membereskan isi kopernya saat Dave masuk ke dalam kamarnya. Dia memang sengaja tidak menutup rapat-rapat pintu kamarnya agar pria itu bisa segera masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu. Malam ini juga mereka harus segera kembali ke New York, lebih cepat 2 hari dari perkiraan sebelumnya.             Kurt memutuskan membatalkan kontrak mereka secara sepihak. Saingan bisnis perusahaan Whittaker itu bahkan sudah membayar lunas nilai ganti rugi pembatalan kontak. Karena hal itu, Dave jadi uring-uringan seharian ini, dan Charlotte merasa ini semua salahnya. Kalau saja insiden di restoran beberapa hari lalu itu tidak terjadi, mungkin kontrak mereka akan berjalan baik sebagaimana yang diharapkan.             “Apa kau sudah siap?” Dave memakai setelan pakaian yang sama seperti yang ia pakai saat hari mereka berangkat dari New York. “Santai saja sebenarnya, kita masih punya waktu 8 jam lagi.”             “8 JAM LAGI?!” seru Charlotte. ia hampir saja menjatuhkan kopernya. “Lantas kenapa kau menyuruhku merapikan barang-barangku sekarang?”             Dave seperti menahan tawanya. “Aku ingin pergi ke suatu tempat.” Lalu ia tampak berpikir sesaat. “Tidak, sebenarnya kau suka melihat ekspresi wajahmu saat marah.”             “Kau lupa perjanjian kita?”           “Tidak. Aku sangat ingat—tapi dalam perjanjian itu tidak ada poin yang melarangku untuk menjahilimu kan?”             Charlotte berdesis kesal. “Kau serius ingin mengajakku ke suatu tempat?” Ia berusaha mengatur emosinya dengan mengalihkan pembicaraan. “Kuharap kau mengajakku ke tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu sampai 8 jam ke depan.”             Charlotte menggeret kopernya keluar dari kamar, diikuti Dave dari belakang. mereka berjalan beriringan menuju lift. Charlotte tidak melihat Dave membawa barang apa pun, ia menduga barang-barang pria itu sudah berada di lobby – seorang bell boy mungkin membawakannya sampai bawah sana. Ingatan Charlotte kembali ke hari pertama mereka tiba di hotel ini, pria itu menolak tawaran bell boy untuk mengantarkan barang-barang mereka ke kamar mereka masing-masing, dan sekarang tiba-tiba ia menggunakan jasa mereka, membuat Charlotte sedikit berpikir buruk mengenai Dave, salah satunya adalah, pria itu mungkin enggan mengeluarkan uang lebih untuk membayar tip lebih dari satu bell boy.             “Untuk kesekian kalinya sejak aku mengenalmu, aku penasaran dengan apa yang ada di dalam pikiranmu.” Dave memecah keheningan di dalam lift. Hanya ada mereka berdua di dalam sana.             “....dan untuk kesekian kalinya juga aku bertanya-tanya, kenapa kau sebegitu inginnya tahu apa yang ada di dalam pikiranku?”             “Sekarang, jadi kau yang penasaran dengan apa yang dipikiranku?”             Charlotte diam sesaat. “Lupakan.” Pintu lift terbuka, mereka berdua segera memasuki lobby. Dave menyuruh Charlotte menunggu di luar, sementara pria itu menyelesaikan urusan check out mereka. Di luar sana sudah ada mobil yang sebelumnya sering mengantarkan mereka—pintu garasi mobil itu terbuka, dan terlihat tas-tas Dave yang sudah berada di dalam sana. Charlotte menghampiri mobil itu, lalu meletakkan kopernya ke dalam sana, bersanding dengan barang-barang Dave yang lain.             Tak berselang lama, Dave keluar, memberi tanda pada Charlotte untuk segera masuk ke dalam. Gadis itu menurut, mengikuti Dave yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil.             “Jadi kau akan membawaku kemana? Ku harap di sana ada tempat makan yang enak.”             Dave menoleh sekilas. “Tenang saja. aku yakin kau pasti menyukai tempat yang akan kita datangi,” katanya.             “Ini? Kau mengajakku ke sini..., lagi?”             Charlotte menatap takjub pada menara Eiffel yang berdiri kokoh di hadapannya. Dave sudah berjalan jauh di depannya tanpa menimpali seruan Charlotte barusan. Charlotte mempercepat langkahnya agar bisa menyusul Dave. Pria itu terus berjalan tanpa acuh, tidak berusaha melambatkan langkahnya sama sekali, seolah memang sengaja meninggalkan Charlotte di belakang agar gadis itu berlari mengejarnya.             “Untuk apa kau mengajakku ke tempat ini lagi? Rasanya sedikit membosankan.”             Dave menoleh. “Menurutmu memang membosankan—kau sudah pernah mengambil fotomu di sini, kan? Sementara aku belum pernah sekalipun.”             Charlotte menggangguk-angguk mengerti. “jadi, kau ingin aku memotretmu di sini?”             Dave menggoyangkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri berulang-ulang di depan wajah Charlotte. “Tidak. Aku hanya ingin pergi ke sini, menikmati waktu lebih lama. kau pikir, hanya kau yang memiliki minat terhadap menara Eiffel?” Tatapan Dave berpindah menelusuri lekuk tulang selangka Charlotte yang terekspos jelas karena baju berkerah sabrina yang ia kenakan. “Apa kau tidak merasa dingin?” tanyanya kemudian.             Charlotte mengikuti arah pandang Dave, menelusuri lekuk tulangnya sendiri sambil meraba-raba. “Ini satu-satunya baju santaiku yang tersisa, Dave. Lagipula, hari ini tidak terlalu dingin.”             Dave melepaskan sweater yang ia kalungkan di lehernya.             “Kau tidak usah repot-repot, aku membawa mantelku,” kata Charlotte saat melihat Dave melepaskan sweaternya. Ia mengira pria itu akan memberikan sweater itu padanya, tapi tidak. Seolah mengejeknya, pria itu tersenyum aneh, sambil melilitkan beberapa helai rambut Charlotte  yang tergerai, dengan telunjuk kanannya.             “Sekarang lihat, siapa sebenarnya yang memiliki sifat terlalu percaya diri di sini—“ ia menggantung nada bicaranya di ujung kalimat. Lalu dengan cepat, Dave memakai sweaternya di luar kemeja putihnya. Caranya memakai sweater itu, membuat Charlotte merasa seperti sengaja dipermainkan.             “Berterima kasih lah padaku, karena sebenarnya kau sudah melanggar perjanjian,” sungut Charlotte. “Bukankah sudah jelas kubilang? Tidak ada lagi godaan-godaan—“             “tapi—“ Dave menyerobot. “Ini bukan termasuk kategori godaan seksual, kan?” katanya sambil melenggang pergi. Dari belakang punggungnya tampak semakin atletis di dalam balutan sweater yang berukuran pas dengan tubuhnya.             Charlotte memilih diam. Menjawab kalimat Dave barusan hanya akan membuatnya terperosok semakin dalam ke lubang kekalahan. Tidak selamanya ia bisa menang berdebat dengan Dave, terkadang ada satu masa dimana ia selalu jadi yang kalah. Beberapa kali selama berada di Paris, ia sudah mengalami itu, dan itu sama sekali bukan gayanya; kalah saat berdebat.             “Jadi, kau masih merasa lapar?” tanya Dave saat keheningan terasa semakin lama berada di antara mereka. Ia berpaling pada Charlotte yang sedang mengulum bibirnya. Ekspresi gadis itu sekeras batu, Dave tahu Charlotte mulai sedikit kesal terhadapnya, dan menurutnya itu lucu. “Charly?”             Gadis itu lalu menoleh. “Aku terlalu lapar untuk menjawab pertanyaanmu itu,” katanya. Ia memotong arah, berjalan semakin dalam ke tengah-tengah taman, lalu serta-merta menurunkan tubuhnya, duduk di atas rerumputan yang sedang tidak tertutupi salju. “Aku lelah berjalan,” serunya setengah berteriak, jarak Dave tidak cukup dekat dengannya.             Perlahan Dave mendekati Charlotte, lalu ikut duduk bersama gadis itu. Selama sejenak ia hanya memandangi wajah Charlotte dari samping, mengamati lekukan dahi, hidung, hingga turun ke bibirnya yang sedang setengah digigit. Diamati seperti itu oleh Dave, membuat Charlotte mendadak ingin minum segelas air. Tenggorokannya terasa kering. Ia menghembuskan napas dengan hati-hati. “Apa sudah menjadi kebiasaanmu, menatap orang seintim ini?” samar-samar terlihat kalau gadis itu sedang sedikit malu.             Sudut kiri bibir Dave tertekuk. “Kau gugup? Apa ini pertama kalinya bagimu—mendapati seseorang tengah menatapmu dengan sangat intim.” Kata-kata Dave benar-benar seperti pancingan.             Charlotte langsung menoleh ke arah Dave, dan ia segera menyesal telah melakukan itu. Ia tidak sadar, Dave bukan hanya sedang mengamatinya, tapi juga mulai menghilangkan jarak di antara mereka. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. Charlotte berusaha terlihat biasa saja. “Kau sungguh menyebalkan.”             Dave tertawa rendah. “Hanya kau yang mengatakan itu secara gamblang padaku.” Tangannya meraih pinggang Charlotte, menggeret gadis itu lebih dekat ke arahnya, hingga mereka berdua bisa saling merasakan hembusan napas masing-masing.             “Jangan melakukan hal yang ‘aneh-aneh’.” Charlotte menahan Dave. Jaga-jaga kalau pria itu semakin nekat mendekatinya, “perjanjian itu baru terlaksana tadi pagi, dan kau sudah melanggarnya sebanyak dua kali. Bayangkan kalau sudah berjalan seminggu, sebulan, setahun..”             Dave menyeringai. “Kau merencakan kita menghabiskan waktu bersama selama itu?”             Charlotte menyesali pemilihan katanya.             Dave memandanginya. “Kau gugup.” Ia meletakkan tangannya di dagu Charlotte, memaksa gadis itu membalas tatapannya yang berkilat penuh ketertarikan. “Katakan padaku, apakah Charlotte Jackeens yang berada di hadapanku ini memiliki kepribadian yang jauh berbeda dari penampilannya?”             Charlotte merasa bibirnya menipis menjadi garis lurus. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Ia berusaha keras bertahan di tempatnya. Menatap balik Dave dengan pandangan seburam kabut. Ia sedang terjebak di situasi yang tidak biasa ia hadapi.             Dave mendesah, Charlotte merinding saat napas pria itu menyentuh bibirnya. “Aku ingin memahamimu, jauh dari perkiraanmu tentang apa yang ingin kulakukan padamu. Aku ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranmu tentang aku,” kata Dave. Charlotte merasakan jantungnya berdetak lebih keras dari dalam dadanya. Ia berharap Dave tidak mendengar itu. Tapi ekspresi yang pria itu ciptakan mematahkan harapannya. Dave mengeluarkan seringaian paling menggoda yang pernah Charlotte lihat.             Suara Charlotte tipis karena gugup dan tegang. “Aku lapar.”             “Kau bermaksud mengalihkan pembicaraan?”             Charlotte tidak mengomentari pertanyaan Dave barusan karena ia tidak bisa berkata apa-apa. “Sebaiknya kita mencari makan sekarang.” Charlotte berdiri, ia memandangi Dave yang masih duduk di atas rumput. Ia segera menghentikan memandangi Dave saat pria itu terang-terangan memandanginya balik dengan tatapan aneh.             “Mungkin sebaiknya kita makan di restoran yang kemarin.” Charlotte lega bisa berbicara dengan nada suara yang terdengar normal. Ia juga merasa lebih tenang karena bisa menghindari tatapan Dave sekarang, karena ia lebih dulu jalan ke depan meninggalkan Dave.             Di antara langkahnya, Charlotte kehilangan keseimbangan saat ujung sepatunya terantuk gundukan tanah yang rumputnya sedikit licin bekas tertutup salju. Charlotte tersentak hampir jatuh ke depan, tapi Dave menahannya. Tangan pria itu terulur memegangi pinggang Charlotte, lalu menegakkan gadis itu kembali ke posisi berdiri. Ketika gadis itu berbalik hendak mengucapkan terima kasih, entah bagaimana ia sudah berada di dalam lengan Dave, pemuda itu melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan beberapa menit lalu; menatapnya dalam, seolah ingin merasuki pikirannya, Dave sedang berusaha membaca pikiran Charlotte melalui iris mata hazel gadis itu.             Charlotte mengerjap-ngerjap kikuk. “Dave, kau bisa melepaskanku sekarang.” Ia tidak jadi mengucapkan terima kasih.             “Bagaimana kalau aku tidak mau?” kata Dave dengan suara nyaris berbisik.             Charlotte sempat tidak dapat memikirkan apa pun untuk dikatakan. “Dave...” gumamnya. “Kau melanggar perjanjian kita, lagi.” Lalu ia kembali menyesal dengan arah pembicaraan yang ia bawa. Mengungkit soal perjanjian di antara mereka bukan ide yang bagus untuk dilakukan di situasi ini. Sepertinya ia sudah tahu apa yang akan dikatakan Dave selanjutnya.             “Aku tidak merasa melakukan sesuatu yang melanggar perjanjian kita. Aku hanya berniat menolongmu agar kau tidak terjatuh.” Dave berbicara sesuai dengan apa yang Charlotte perkirakan.             Pikiran Charlotte mengatakan ia harus mendorong pria itu lalu melepaskan diri secepatnya. Tapi ada bagian dari dirinya yang berhasil mencegah gerakan itu terjadi. Ia mendongak menatap Dave yang jauh lebih tinggi 2 jengkal darinya meskipun ia sendiri sudah memakai sepatu ber-hak. “Kenapa kau selalu melakukan ini?” pipinya sudah semerah tomat sekarang.             “Seharusnya itu menjadi pertanyaanku—kenapa kau selalu melakukan ini? Caramu memandangku, seperti mengundangku untuk menyerangmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD