Chapter 8: Trouble Tries to Get In

2859 Words
--Tepat setelah ia menyelesaikan kalimatnya, saat tangannya baru saja terjulur memutar gagang pintu, Dave menutup pintu itu lagi dengan satu gerakan cepat. Pria itu tiba-tiba memagari kedua sisi bahu Charlotte. “Kau tidak boleh meninggalkan kamar ini,” kata Dave. Sorot matanya terlihat sayu tapi juga tajam di saat yang bersamaan. “Jangan menatapku seperti itu, kau membuatku ingin menyerangmu.”--               Dave duduk bersandar di kepala kasur, sibuk berkutat dengan ipad dan sesekali menyesap kopi hitam pekat yang baru 10 menit lalu ia pesan. Sementara di sisi kasur yang lain, Charlotte yang juga tengah bersandar di kepala kasur, menatap nanar TV yang menyala. Di dalam kepalanya, ia sibuk berdebat dengan pikirannya sendiri; haruskah ia keluar dari kamar ini atau tidak. Sepulang mereka dari insiden restoran tadi siang, ketika turun dari taksi, Dave menyeretnya masuk bukan ke dalam kamar Charlotte sendiri, melainkan kamar pria itu. Awalnya, Charlotte mengira Dave ingin membahas insiden itu, tapi ternyata tidak. Tidak ada satupun kata yang keluar dari bibir pria itu sejak mereka sampai di kamar ini. Jadilah tercipta atmosfir kecanggungan antara mereka berdua, paling tidak itu yang Charlotte rasakan. Ia benar-benar tidak nyaman dengan situasi ‘saling diam’ satu sama lain seperti ini, sementara ia tidak tahu harus berkata apa untuk memulai pembicaraan.             “Ehem!” Charlotte mengawali dengan deheman. “Err...Dave?” ia melirik Dave pelan.             Dave melepaskan pandangannya dari layar ipad. “What?”             “Aku ingin kembali ke kamarku,” jawab Charlotte cepat.             Dave meletakkan ipadnya di atas kasur. “Ku kira kau akan menemaniku tidur malam ini.” Dave mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Charlotte. “Sebenarnya, sih...aku tidak keberatan.”             Charlotte tertawa datar. “Hahaha...Dave, kau sungguh lucu. Kapan aku bersikap seolah ingin tinggal di kamarmu dan menemanimu tidur?” gadis itu berdiri sambil berkacak pinggang. “Kau yang menarikku ke sini.”             Dave berdiri, mengikuti pergerakan Charlotte yang sedang mengambil tasnya di dekat kaki meja. “Tapi kau tidak menunjukkan penolakan, kau malah bersantai di kamarku, menonton TV.” Nada bicara Dave semakin terdengar percaya diri.             Charlotte mengangkat sebelah alisnya. “Aku hanya tidak tahu harus berpamitan seperti apa padamu—“             Dave memotong, “Kau hanya perlu bilang ‘aku ingin kembali ke kamarku’ padaku, Charly.” Pria itu menyeringai. “Atau sebelum sampai di kamarku, kau bisa menghentikan lift di lantai 15.”             Charlotte sudah kehabisan kata-kata. Ia selalu kalah dalam permainan ‘membalikkan situasi’ dengan orang lain. “Terserah apa katamu. Aku ada di kamar jika kau butuh sesuatu—ah! Baiknya kau tidak usah memanggilku jika butuh sesuatu. Aku ingin istirahat.” Charlotte berbicara dengan tekanan pengucapan yang dilebih-lebihkan.             Tepat setelah ia menyelesaikan kalimatnya, saat tangannya baru saja terjulur memutar gagang pintu, Dave menutup pintu itu lagi dengan satu gerakan cepat. Pria itu tiba-tiba memagari kedua sisi bahu Charlotte. “Kau tidak boleh meninggalkan kamar ini,” kata Dave. Sorot matanya terlihat sayu tapi juga tajam di saat yang bersamaan. “Jangan menatapku seperti itu, kau membuatku ingin menyerangmu.”             Charlotte mengalihkan pandangannya dari tatapan Dave. Sorot mata pria itu seperti ingin membaca pikirannya, berusaha menelusup untuk meruntuhkan pertahanannya dari sesuatu yang bersifat berbahaya namun menyenangkan; pesona dan feromon. Dave sedang menggodanya. Charlotte susah payah mengatur napasnya. “Dave...berapa kalipun kau mengodaku, aku tidak akan masuk ke dalam jeratanmu.” Charlotte berbicara dengan sangat yakin. Ia melesatkan tatapan tegasnya pada Dave.             “Charly...aku bisa mendengar degup jantungmu yang berantakan.” Dave berbisik di depan wajah Charlotte. Ia sempat menertawai perubahan raut wajah Charlotte sebelum gadis itu memberontak berusaha melepaskan diri dari penyudutannya di pintu.             “Aku harap aku tidak melihat wajahmu dalam beberapa jam ke depan—sampai besok malah lebih baik,” kata Charlotte sebelum benar-benar pergi meninggalkan kamar dengan pintu yang masih terbuka lebar.  ***             Charlotte lapar dan itu membuatnya tidak bisa tidur. Padahal ia berencana tidur panjang dari sore hari ini sampai besok pagi. Ia tidak berselera memesan makanan hotel, jadi ia memutuskan untuk pergi mencari makanan sendiri di luar.             Masih memakai pakaian yang sama dengan hanya tambahan mantel hitam, Charlotte berjalan melintasi keramaian di sepanjang trotoar, mengikuti pergerakan kakinya hendak melangkah ke arah mana. Menjelang senja, angin bertiup lebih kencang, Charlotte beberapa kali harus menutup matanya rapat-rapat agar matanya tidak kemasukan debu yang terbawa oleh angin. Gadis itu menarik retsleting mantelnya sampai ke bawah hidung. Lehernya menggigil dan flu nya belum sembuh benar. Dia masih harus bertahan 3 hari lagi di sini, dan ia tidak berniat menikmati hari-hari terakhir di Paris dengan keadaan terbaring lemah di atas kasur hotel. Lagipula, Dave tidak akan suka jika harus melakukan pertemuan bisnis dengan kolega-koleganya tanpa kehadiran Charlotte. Seakan sudah mendapat firasat, Charlotte berniat mengajukan cuti beberapa hari setelah perjalanan bisnis ini berakhir. Bertarung melawan flu di sisa hari-harinya di Paris akan memakan tenaga yang tidak sedikit. Ia bisa rasakan flu itu akan menang melawan sistem imunnya nanti setibanya ia di Amerika.             Sebuah restoran keluarga yang diapit dua toko kue menarik perhatian Charlotte. Saat ia melintasi pintu depan restoran yang terbuka oleh pengunjung yang lalu lalang, aroma lezat menguar menyentuh sensorik hidungnya, lalu perutnya mulai berbunyi aneh; ia lapar. Dengan mantap, Charlotte memasuki restoran itu, dan sepertinya ia menajatuhkan pilihan di tempat yang tepat. Dilihat dari banyaknya pengunjung sepertinya restoran ini cukup terkenal. Charlotte beruntung hanya pergi sendirian, kalau ia bersama Dave, ia tidak akan mendapat tempat; tempat yang tersisa hanya meja dengan satu kursi di pojok dalam ruangan berdekatan dengan meja tempat koki meletakkan pesanan-pesanan makanan yang sudah siap dihidangkan. Sebelum duduk di mejanya, Charlotte sempat melongokkan kepalanya, mengintip suasana di dalam dapur restoran yang terlihat dari bolongan tembok pembatas antara dapur dan ruang makan restoran. Di dalam dapur itu hanya ada lima orang laki-laki yang masing-masingnya sibuk di depan kompor. Aroma daging panggang mendominasi bau yang tercium dari dalam sana, Charlotte tahu apa yang ia ingin makan sekarang.             “Beef steak with white sauce, please,” kata Charlotte pada pelayan berseragam biru muda yang mencatat pesanannya. Ia tidak memesan minuman, tenggorokannya sedang tidak ingin merasakan minuman lain selain air putih.             Dari luar, suara bising kendaraan menembus dinding restoran—bercampur dengan suara cakap-cakap pengunjung. Sembari menunggu pesanannya datang, Charlotte tidak bosan mengamati aktifitas-aktifitas di dalam restoran ini. Semua pegawai restoran ini terlihat santai, sama sekali tidak ada raut tertekan meskipun harus melayani pengunjung yang semakin ramai. Ada yang sibuk mencatat pesanan, mengantarkan pesanan dengan membawa dua nampan penuh, membersihkan meja untuk pelanggan selanjutnya—Charlotte jadi ingat, ia pernah melakoni pekerjaan seperti ini dulu saat masih kuliah, demi mendapat uang saku tambahan untuk membeli barang-barang Mary Claire’s yang sampai saat ini masih jadi favoritnya.             Tiba-tiba perhatiannya tertuju pada dua pasangan yang baru saja masuk melewati pintu. Dari tempat duduknya sekarang, Charlotte bisa melihat jelas pengunjung yang lalu lalang melewati pintu, dan ia kenal betul salah satu pria dari dua pasangan yang baru saja masuk.             Dave?!             Itu Dave, ia sedang bersama seorang pria dan dua wanita yang setelan pakaiannya kelewat mewah untuk makan di restoran keluarga. Jelas itu bukan kolega bisnis Dave, Charlotte tidak pernah melihat wajah mereka di setiap pertemuan bisnis selama di Paris. Charlotte menduga, mereka adalah teman lama Dave, itu terlihat dari cara mereka berempat saling berinteraksi; bercanda satu sama lain, dan salah seorang wanita yang bersama Dave benar-benar menyita perhatian Charlotte. Cantik, satu kata yang langsung terpikirkan oleh Charlotte begitu melihat wanita itu. Rambutnya hitam legam, dan kulitnya putih kemerahan, menonjolkan warna lipstik merah yang merekah di bibirnya, figurnya menggambarkan sosok putri salju dalam dongeng.             Dave dan tiga temannya itu duduk berseberangan dengan Charlotte, di sebuah meja dengan kursi sofa. Di atas meja itu ada papan kecil bertuliskan ‘reserved’. Charlotte sempat membatin, kalau ia memang memilih restoran yang tepat, karena bahkan seorang Dave dan teman-temannya itu sampai sengaja melakukan reservasi agar bisa mendapatkan tempat.             Praduga di dalam hati itu terbukti saat makanan pesanan Charlotte datang. Gadis itu melahap steak daging sapi yang masih panas itu dengan lahap. Steak itu memang enak, bukan hanya karena perutnya yang lapar, tapi memang sangat enak. Tidak heran tempat ini memiliki pelanggan yang membludak.             Lalu dari daging steak, perhatian Charlotte kembali tersita oleh wanita paling menonjol yang bersama Dave. Ia dan Dave benar-benar terlihat lengket satu sama lainnya. Beberapa kali mereka saling berbisik, lalu tertawa mesra layaknya sepasang kekasih. Yang Charlotte tahu dari cerita Mrs. Halley selama ini, Dave belum memiliki kekasih. Mungkin pemuda itu sengaja menyembunyikan status hubungannya agar tidak perlu repot-repot mengenalkan wanita-wanita itu pada Mrs. Halley. Bagaimanapun, lelaki seperti Dave tidak mungkin hanya memiliki satu kekasih, kan? Lihat saja bagaimana caranya berusaha mendekati—menggoda Charlotte dari awal mereka bertemu sampai sekarang. Sepertinya memang begitulah sifat Dave; ia seorang pria yang suka menebar benih dimana-mana.             Charlotte masih tidak melepaskan pandangannya dari Dave, saat tiba-tiba pria itu menoleh ke arahnya dan membalas tatapannya. Charlotte nyaris tersedak potongan steak yang baru saja ia suapkan ke dalam mulutnya. Gadis itu terlihat susah payah menelan makanannya sendiri, sambil menyembunyikan kepanikannya. Ia tahu, pria itu tengah mengembangkan seringaian khasnya. Charlotte menyesali perbuatannya sendiri, bisa-bisanya ia berlaku seolah-olah sedang melakoni peran mata-mata dalam film laga terhadap Dave, yang jelas-jelas bukan lawan yang setimpal dengannya.             Seperti ingin menggoda Charlotte, Dave mengirimkan sebuah catatan kecil yang ditulis di atas tisu makan pada Charlotte, melalui bantuan salah satu pelayan restoran yang sedang lalu lalang mengantar pesanan makanan. Kedua pupil mata hazel terangnya membulat sempurna kala membaca pesan dari Dave. Napasnya sedikit memburu karena perubahan emosi yang begitu tiba-tiba. Charlotte menatap Dave tajam, pria itu kembali asyik dengan teman-temannya, dan tentu saja wanita cantik yang tadinya hanya duduk berdampingan dengannya, dan sekarang sudah berada di dalam rangkulan tangan pria itu.   ***             “Darimana saja kau seharian ini?” Dave berdiri di depan pintu kamar Charlotte. Gadis itu baru saja pulang setelah seharian penuh berjalan-jalan sendirian. Ia membawa beberapa kantong berisi makanan dan beberapa setelan baju baru. Di luar turun salju, Charlotte membawa salju-salju itu ke dalam hotel. Serpihan es itu menempel di rambut, sebagian lengan, dan pundaknya. Dave segera menghampiri Charlotte, lalu membersihkan serpihan-serpihan salju itu.             Charlotte menepis tangan Dave pelan. “Kau tidak perlu repot-repot perhatian padaku,” katanya ketus.             “Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiranmu, Miss Jackeens?” Dave menarik tangan Charlotte dengan sedikit kasar, sampai-sampai beberapa kantong belanja Charlotte terlempar jatuh di antara kaki mereka. Kemudian, Dave menyudutkan Charlotte ke pintu kamar yang belum terbuka itu. Menatapnya datar dengan napas yang sedikit lebih berat.             Charlotte mengerjapkan matanya beberapa kali dengan malas. “Kau tidak ada hubungannya dengan apa pun yang ada di dalam pikiranku, Tuan,” jawabnya tanpa ragu. “....dan tidak ada satupun hal tentangmu yang berada di dalam pikiranku.”             Dave menyeringai. “Aku memberikanmu dua pilihan tadi...” ia berhenti, ikut menempelkan tangan kanannya ke samping tubuh Charlotte. Kini, dua tangannya memagari kedua sisi tubuh gadis itu, “...,dan kau memilih untuk tidak menjawab apa pun?”             Charlotte merasa terintimidasi oleh tatapan Dave. “Problem?”             Dave terkekeh pelan. “Tidak. Tapi, aku tahu itu bukan yang benar-benar jadi jawabanmu, kan?”             Charlotte meronta perlahan, menggeser salah satu tangan Dave agar ia bisa meloloskan diri dengan satu gerakan cepat. Ia membungkuk mengambil kantong-kantong belanjanya yang berserakan di dekat kakinya dan Dave, kemudian membuka pintu kamarnya. Tepat di saat ia hendak menutup pintu, Dave mengganjal celah pintu dengan kakinya, dan Charlotte tidak cukup tega untuk mendorong pintu sekuat tenaga agar kaki pria itu menyingkir. Jadi, saat Dave merangsek masuk, ia tidak bisa melakukan apa pun.             “Aku tidak ingat pernah mengundangmu masuk ke kamarku,” kata Charlotte tanpa melihat Dave.             “Memang tidak,” jawab Dave. “Aku yang mengundang diriku sendiri ke sini.”             “Sudah kuduga kau memang terbiasa dengan hal-hal seperti ini.”             “Hal-hal seperti apa?”             “Seperti ini. Haruskah aku menjelaskannya?” Charlotte melipat kedua tangannya di depan d**a, setelah sebelumnya melempar kantong-kantong belanjanya ke atas kasur. “Aku sedang ingin menghemat suaraku, jadi...kau tahu maksudku. Bersikap baiklah.”             “Kau selalu memandangku sebagai orang yang perlu diwaspadai, jadi untuk apa aku bersikap baik di depanmu?” Dave menaikkan sebelah alisnya. “Aku hanya bersikap sesuai apa yang kau pikirkan tentangku,” lanjutnya.             “Sekarang kau ingin mengajakku berdebat?” tanya Charlotte sarkastik.             Dave maju selangkah lebih dekat pada Charlotte. “Tidak. Kecuali perdebatan itu bisa membawa kita selevel lebih dekat ke hubungan yang lebih menyenangkan.”             Charlotte memutar matanya malas. “Aku tahu kemana arah pembicaraanmu, Dave.”             “Aku tidak bisa bersikap baik, tapi aku selalu bersikap jujur. Kalau kau ingin tahu orang jahat yang pandai bersikap jujur, itu aku.”             Hening. Mereka berdua saling bertukar pandang dalam diam. Butuh beberapa saat sebelum Charlotte mulai menggerakkan bibirnya, menghela napas panjang dari celah kedua belah bibirnya. “Aku lelah, Dave,” katanya. “Kembalilah ke kamarmu kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan,” tambahnya.             Alih-alih keluar, Dave justru melangkah mendekati sofa kecil yang bersanding rapat di bagian kaki kasur. Charlotte mulai menyipitkan matanya sehingga terlihat sinis sekaligus menunjukkan kesiapannya kalau ia bisa mengusir Dave sekarang juga dari kamarnya meskipun harus dengan kekerasan yang tadinya tidak bisa ia lakukan.             “Jadi...” Dave mendongak menatap Charlotte yang berdiri di depannya. Gadis itu memang sudah bersiap-siap hendak menariknya keluar. “Aku akan bertanya padamu sekali lagi sebelum kau menendangku dari kamarmu.”             Charlotte menarik tangannya yang sudah terulur ke arah Dave. “Apa?” “Kau pilih aku yang menghampirimu, atau kau yang menghampiriku?”             Charlotte menutup bibirnya rapat-rapat. Sesaat tubuhnya kaku, dan kakinya serasa terpasung ke lantai; tidak bisa digerakkan. Charlotte belum sempat menjawab pertanyaan Dave, dan pria itu sudah menarik Charlotte hingga terduduk di atas pangkuannya. Kedua ujung hidung mereka saling bersentuhan. Dave menutup matanya, ia bersikap seolah benar-benar sedang mencium bibir Charlotte dalam-dalam, meski sebenarnya ada sekat antara bibir mereka; jemari Dave. Pria itu menempelkan jemari kanannya di antara bibirnya dan Charlotte, tapi itu lantas tidak mampu membuat Charlotte mengontrol degup jantungnya yang semakin menggila.              “Bisakah kau berhenti bersikap seperti ini?” Charlotte menarik dirinya sendiri dari pangkuan Dave. “Kalau kau pikir kau bisa menyamakanku dengan perempuan lain di luar sana yang bisa kau goda sesuka hatimu, lalu jatuh ke pelukanmu tanpa perlawanan sama sekali...., maka kau salah besar.”         Dave melongo. “Oh, ayolah, Charly. Kau tidak harus semarah ini. Aku hanya senang menggodamu—kau menyenangkan.” Dave berbicara jujur tanpa menyaring kata-katanya sendiri.             Charlotte merasakan darahnya mendidih naik hingga ubun-ubunnya. “Menyenangkan untuk menggodaku? Kau mabuk? KELUAR!” Ia menarik Dave, menyeretnya sampai ke pintu, lalu mendorong pria itu hingga nyaris terjatuh di koridor depan kamarnya.             “Selamat malam, Charly. Tidur yang nyenyak, jangan lupa mimpikan aku,” ujar Dave dari luar pintu yang tertutup.             Charlotte mengerang frustrasi. Ia hampir saja mengumpat keras-keras kalau ia tidak ingat ia sedang berada dimana. Ia tidak ingin membuat keributan di tengah malam seperti ini, dan mengundang protes yang bisa menimbulkan perbincangan-perbincangan aneh di kalangan tamu hotel yang terganggu oleh teriakannya. Bagaimanapun, untuk seorang pria menyebalkan seperti Dave, satu u*****n saja tidak akan cukup, ia pantas mendapatkan lebih.             Charlotte menjatuhkan dirinya ke atas kasur dengan asal, sampai-sampai ia menindas kantong-kantong belanjaannya sendiri. Ia meraih salah satu bantal, membekap mukanya, lalu mulai berteriak dari balik bantal. Bantal itu meredam makian untuk Dave yang disuarakan dengan volume maksimal oleh pita suaranya. Kadua kakinya menghentak-hentak keras dan beberapa kali melakukan gerakan seperti menendang sesuatu. Ia sudah tidak tahan, dia butuh seseorang untuk mendengarkan ceritanya, rasa kesal yang ia simpan selama bersama Dave di sini. Maka, Charlotte merogoh ponselnya dari dalam tas, menyalakan skype-nya, lalu menelepon Gina. Ia tidak peduli dengan perbedaan waktu antara Paris dan New York. Sebelum berangkat, sahabatnya itu pernah berjanji akan siap sedia mendengarkan keluh kesahnya atas apa pun yang terjadi selama perjalanan bisnisnya di Paris. Sekarang, Charlotte akan menagih janji itu.             “Gina?” panggil Charlotte saat panggilan itu tersambung. Charlotte mengernyit, melihat layar Gina yang hitam seperti ditutupi sesuatu.             “H-hai, Sayang...ada apa?” Gina merespon panggilannya. Suaranya terdengar jauh, sepertinya sesuatu yang menutupi kamera ponsel gadis itu, ikut menutupi mic ponselnya.             “Kenapa aku tidak bisa melihatmu? Nyalakan kamera ponselmu—dan suaramu kecil sekali—“ Charlotte merasa ada yang aneh. “Apa yang sedang kau lakukan sekarang, Gina?” tanyanya curiga.             Kemudian terdengar suara krasak krusuk, barulah Charlotte bisa melihat wajah Gina. Gadis itu tampak berantakan, dan bulir-bulir keringat memenuhi dahinya yang tidak ditutupi poni. Gina sedang dalam posisi tidur di atas kasurnya. Charlotte mengenali corak sprei dan sarung bantal yang terlihat sebagian di layar.             “Kau sakit? Kau berkeringat banyak sekali.”             “T-tidak..aku..aku baik-baik saja, Sayang. Jadi bagaimana kabarmu? Sepertinya terjadi sesuatu sampai kau menelponku pagi-pagi—b-bhegini...” tarikan napas Gina menjadi lebih berat.             Charlotte mengernyitkan dahinya. “Gina...jangan katakan padaku kau sedang tidak seharusnya diganggu sekarang.”             “A-apa maksudmu?”             Charlotte menelan ludahnya susah payah. “Aku pernah mengalami hal ini sebelumnya. Aku tahu persis aku sedang berada di dalam situasi seperti apa sekarang—“ Charlotte memejamkan matanya dalam-dalam. “Aku sedang merasakan tekanan yang amat sangat di sini, berharap kau bisa mendengarkan keluhanku...,baiklah..., paling tidak kau sudah menyempatkan diri untuk mengangkat panggilanku. Selamat melanjutkan aktifitas menyenangkanmu itu, pastikan kau memakai pengaman. Bye.” Charlotte memutus panggilan itu. Sepertinya, bantal akan menjadi teman setianya yang bisa menjadi pengganti seorang pendengar yang baik malam ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD