--“Aku bisa batal pergi kalau kau terus melihatku dengan tatapan itu,” kata Dave sambil menutup lemarinya. Ia berjalan pelan menuju kasur, merangkak naik dengan kakinya yang belum berkaus kaki. Ia bertingkah seperti seekor singa yang siap menerkam buruannya. “Kalau kau cukup kuat, kau bisa mempelajari laporan-laporan bisnis dari kantor kita di Amerika. Mereka baru saja mengirimnya ke emailku.” Dave berhenti tepat di atas dengkul Charlotte. Gadis itu mengerjapkan matanya lemah beberapa kali dengan tatapan siaga. Ia sudah menarik selimut hingga dagunya.--
Charlotte terbangun oleh suara setengah memaksa dan memohon. “Bangun!!”
Charlotte membuka matanya perlahan. Rasanya seperti ada lem yang menempel kuat, dan lengket. Samar-samar ia menangkap sekelebat bola mata berwarna biru coral yang akrab dengannya beberapa hari ini. Bayangan itu lalu membesar dan semakin jelas membentuk sosok Dave yang sedang bertelanjang d**a. Charlotte segera duduk, lalu kepalanya menubruk sesuatu yang keras.
“Ouch! Kau menabrak kepalaku!” Itu Dave. Ia terdengar marah, dan memang sedang menatap Charlotte marah. Dave menggosok-gosok kepalanya, kemudian menyalakan lampu tidur di samping Charlotte. Wajah pria itu jadi sedikit menguning karena cahaya lampu. Charlotte membenci penampilan Dave yang hanya mengenakan boxer hitam; ia membaca tulisan Calvin Klein yang tercetak jelas di karet boxer itu.
“Bisa kau jelaskan kenapa aku terbangun di atas kasurmu?” tanya Charlotte. Nada suaranya penuh kecurigaan dan amarah yang tertahan. Meski efek mabuknya belum hilang, Charlotte masih cukup sadar untuk bisa membedakan apakah ini kamarnya atau bukan.
Dave sudah tidak menggosok-gosok kepalanya lagi. “Bisakah kau bangun lebih pelan? Kepalamu bahkan lebih keras dari batu.”
“Siapa yang menyuruhmu mencondongkan kepalamu seperti tadi ke arahku? Apalagi...kau hanya mengenakan celana itu saja. Bagaimana mungkin aku tidak kaget?” Charlotte memberikan pembelaan. “Apa kau tidak takut masuk angin?” gerutunya.
“Tubuhku tidak selemah tubuhmu,” jawab Dave lugas.
Charlotte memonyongkan bibirnya. “Semoga Tuhan tidak sedang iseng memberimu sakit tiba-tiba karena telah menghinaku,” kata Charlotte.
“Aku yakin Tuhan cukup bijaksana untuk tidak mengabulkan permintaan yang jelek,” kata Dave. Ia sedang bercermin di depan kaca yang menempel di dinding bagian dalam pintu lemarinya. Charlotte baru tahu kalau di situ ada kaca. Ia sama sekali tidak memperhatikannya.
Dave sedang menggeledah isi lemarinya. “Kau bisa istirahat di kamarku. Malam ini aku tidak akan pulang,” kata Dave.
Charlotte mengerutkan dahinya. “Kau ingin pergi kemana?” tanyanya. Ia memandang wajah Dave penuh selidik. “Jangan katakan kau ingin pergi ke...”
“Ada undangan makan malam dengan sekretarisnya Kurt.” Dave memotong. “Kau tentu tahu maksud perkataanku ‘tidak akan pulang malam ini’, kan?”
“Dan aku tidak menemukan alasan kenapa aku harus istirahat di kamarmu, Sir.” Charlotte berusaha turun dari kasur. Kedua kakinya menapak dengan lemah di atas lantai kamar yang berlapis karpet cokelat tua kemerahan itu. Tepat di langkah ke lima, gadis itu limbung dan terjatuh sebelum Dave sempat menahannya.
“Sekarang kau menemukan alasannya,” ujar Dave pada Charlotte. Gadis itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan kasar. Dave membantunya berdiri, memapahnya kembali ke kasur. “Aku tidak mengembalikanmu ke kamar karena tidak bisa menemukan kunci kamarmu. Sulit mencarinya dengan keadaanku yang masih menggendongmu tadi.” Dave menempelkan punggung tangan kanannya ke kepala Charlotte.
“Aku tidak demam, Dave.”
“Aku hanya memastikan.”
Charlotte menurut saat Dave menidurkannya ke atas kasur. Pria itu bahkan menyelimutinya. “Aku tidak akan mematikan dering ponselku. Kau bisa meneleponku kapan saja kalau kau butuh sesuatu,” kata Dave
“Bagaimana bisa aku mengganggu pasangan yang sedang asyik makan malam,” ujar Charlotte. Nada bicaranya terkesan menyindir.
“Ini tidak seperti yang kau pikirkan, Charly.” Dave sudah mengenakan celana panjangnya hanya selang beberapa detik setelah menidurkan Charlotte. “Aku akan mengantar mu ke kamar nanti setelah aku pulang,” lanjutnya sambil memakai kemeja berwarna biru langit. Charlotte sempat terkesima dengan pilihan kemeja Dave, mungkin pengaruh vodka itu terlalu kuat sampai-sampai ia melihat Dave sebagai sosok yang sangat mempesona barusan.
“Aku bisa batal pergi kalau kau terus melihatku dengan tatapan itu,” kata Dave sambil menutup lemarinya. Ia berjalan pelan menuju kasur, merangkak naik dengan kakinya yang belum berkaus kaki. Ia bertingkah seperti seekor singa yang siap menerkam buruannya. “Kalau kau cukup kuat, kau bisa mempelajari laporan-laporan bisnis dari kantor kita di Amerika. Mereka baru saja mengirimnya ke emailku.” Dave berhenti tepat di atas dengkul Charlotte. Gadis itu mengerjapkan matanya lemah beberapa kali dengan tatapan siaga. Ia sudah menarik selimut hingga dagunya.
Charlotte melotot kepada Dave dengan kesal. “Kalau ada penobatan pemimpin paling diktator di masa ini, kau adalah orang pertama yang kucalonkan.” Ia mendorong Dave agar menjauh.
Dave bergerak turun dari kasur. Mengenakan kaos kakinya, lalu sepatu kulit hitam legamnya. “Apa lampunya perlu kumatikan?” tanyanya saat setengah badannya sudah berada di luar pintu. Dave tidak megenakan jas, mantel, atau apa pun di luar kemejanya. Charlotte mengira, mungkin sekretaris perempuan itu menyusulnya ke hotel ini.
“Terserah...” jawab Charlotte ragu. Suaranya terdengar lebih rendah dari sebelumnya. Ia masuk ke dalam selimut, dan hanya mendengar samar-samar suara Dave yang mengucapkan selamat malam kepadanya, berbarengan dengan pintu yang tertutup pelan.
Charlotte mengintip. Pria itu tidak mematikan lampunya.
***
Charlotte menggeliat, merespon cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah gorden yang tidak menutupi jendela dengan sempurna. Cahaya itu menerpa miring pada tubuh Charlotte dan sebagian wajahnya. Badannya masih sedikit lemas, kepalanya juga pusing. Tubuhnya seperti lebih berat dari biasanya sehingga ia susah bergerak. Mungkin ini juga karena Dave yang memeluk pinggangnya sangat erat. Tunggu, Dave?
Seakan semua sakit di badannya sirna, Charlotte sontak bangkit, mengempaskan tangan Dave dari tubuhnya sampai terbanting ke arah yang berlawanan. Dave pun bangun. “Mmmh...sudah pagi?” Pria itu merenggangkan tubuhnya sambil perlahan membuka matanya; menatap Charlotte yang berdiri di samping kasur.
“K-kenapa bisa begini?” Charlotte menuntut penjelasan dengan dialog pertanyaan layaknya drama percintaan televisi.
“Sssh.. pelankan suaramu. Ini masih pagi, dan suaramu yang nyaring itu merusak suasananya.” Dave tengkurap membenamkan wajahnya di bantal. Sebagian kalimatnya tidak terdengar jelas karena teredam bantal.
Charlotte pergi ke kamar mandi. Ia membasuh mukanya dengan kasar. Sebagian bajunya basah terkena cipratan air. Ia pun melepaskan blazernya. Kepalanya kembali mendongak menatap dirinya sendiri di cermin setelah melepaskan blazernya, saat itu Dave sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu bergidik kaget, sambil tidak melepaskan pandangannya dari otot-otot yang tercetak semakin jelas karena penerangan lampu kamar mandi.
“Bagaimana kau kita mandi bersama?” Dave memilin rambut Charlotte dengan telunjuknya. Matanya menatap tajam nan menggoda pada gadis itu melalui cermin.
Charlotte segera menyingkir dan memberi jarak antara dirinya dan Dave, “DEMI TUHAN DAVE!!” Ia berjalan menjauh dari Dave. Langkah kakinya sengaja ia perlebar dengan kecepatan setengah berlari, mengambil tas dan sepatunya lalu meraih kenop pintu. “Temui aku di lobby setelah kau sadar sepenuhnya!” teriak Charlotte. Ia menutup pintu kamar Dave keras-keras sampai terdengar bunyi debaman yang bergaung di sepanjang lorong.
Dave bilang, ia akan mengantar dirinya kembali ke kamar, sepulangnya ia dari kencan dengan wanita itu. Tapi nyatanya, Charlotte menemukan dirinya masih terdampar di kamar itu, dan si pemilik kamar, tidur di sampingnya sambil memberi pelukan. Membayangkannya lagi membuat bulu kuduk Charlotte berdiri.
Begitu sampai di kamarnya, Charlotte cepat-cepat mandi dan bersiap-siap. Ia memutuskan tidak mengeramasi rambutnya karena kedinginan. Sepertinya menerima tantangan minum vodka kemarin, bukan keputusan yang bagus. Sekarang ia harus mati-matian menahan mual di perutnya. Paling tidak, jangan sampai ia muntah di hadapan para klien nanti.
Charlotte mengikat rambutnya ala kuncir kuda tanpa menyisirnya terlebih dahulu. Akibatnya, rambut di bagian buntutnya berbentuk lebih keriting dan abstrak. Ia dan Dave akan pergi makan siang bersama Kurt dan beberapa pengusaha lain yang akan dikenalkan oleh Kurt pada Dave. Mungkin kedatangan Kim semalam juga untuk membahas perihal pertemuan ini, meskipun Charlotte sendiri lebih condong ke dugaan ‘tidak mungkin hanya sekedar bertemu’.
Charlotte memilih rok perut terusan merah marun dengan potongan A-Line. Atasannya ia menggunakan crop sweater putih. Sejenak ia merasa seperti anak kuliahan yang ingin hang out bersama teman-temannya. Tapi Dave menyuruhnya memakai baju santai untuk pertemuan kali ini, dan ini satu-satunya setelan paling santai yang ia bawa. Seharusnya pria itu bisa memuji Charlotte karena penampilannya yang sungguh mencapai ekspektasi, bahkan lebih. Terakhir, Charlotte memakai sepatu but hitam yang baru tiga kali ia pakai setelah dibeli dua tahun lalu. Butnya memang sudah ketinggalan zaman dibanding sepatu yang sedang tren belakangan ini, tapi Charlotte cukup percaya diri.
Dave sedang menunggu di depan resepsionis saat Charlotte keluar dari lift. Ini seperti dejavu, karena pria itu pernah melakukannya saat ia menjemput Charlotte ke apartemennya. Dave melepaskan diri dari sandarannya pada meja resepsionis. Pria itu memakai pakaian serba hitam kali ini; sweater leher kura-kura, dan celana semi skinny. Mata Dave menatap Charlotte naik turun dengan datar. “Lepaskan itu.”
Charlotte memandang Dave bingung. “Lepaskan apa maksudmu?” saat itulah, tangan Dave terulur ke arahnya, meraih dan menarik karet rambut Charlotte, sehingga rambutnya jatuh. Charlotte merasakan keriting rambutnya yang abstrak itu menyentuh leher hingga punggungnya. “Kau yakin? Aku tidak menyisir rambutku...” Charlotte bungkam seketika kala Dave menyisiri rambutnya. Jemari yang kokoh itu menelusuri tiap bagian rambut Charlotte dengan lembut. Bagi Charlotte, rasanya sediki aneh dan menggelitik. Ini adalah kali pertama seorang pria menyisiri rambutnya menggunakan tangan.
“Jauh lebih baik,” kata Dave. Suara Dave terdengar tercekat seperti ada selaput yang mengahalangi pita suaranya. Ia pun berdehem pelan. “Tidak ada berkas yang tertinggal, kan?”
Charlotte menggeleng. “Tidak ada. Aku sudah memeriksanya sampai lima kali berturut-turut.” Charlotte memilin-milin ujung rambutnya. Sedetik kemudian ia menyesal telah membuat rambutnya semakin keriting tidak karuan. “Aku butuh ke salon.”
“Kau akan mendapatkan kesempatan ke sana kalau kontrak hari ini berjalan lancar,” kata Dave. Ia mulai berjanji, dan tampaknya Charlotte sangat tertarik dengan janji pemuda itu.
“Jangan ingkari perkataanmu barusan, Dave,” kata Charlotte dengan mata berbinar. “Menjanjikan perawatan salon kepada seorang gadis, kemudian mengingkarinya adalah dosa besar,” lanjutnya.
Dave menarik lengan Charlotte sampai gadis itu nyaris tersandung kakinya sendiri. “Bicara sambil jalan. Kita bisa terlambat, Charly,” katanya. Ia menggiring Charlotte berjalan cepat ke pintu mobil yang sudah terbuka, lalu mendorongnya masuk ke dalam.
“Kau menyebalkan...” Charlotte menatap Dave dengan masam. “Bukan begitu cara ‘menarik’ gadis dengan benar. Bagaimana kalau aku terjatuh tadi?” sentak Charlotte.
Dave tersenyum miring, “Maka aku akan menangkapmu dan menggendongmu seperti tadi malam.”
“Aku sudah mengira kau akan mengatakan itu.” Charlotte bergumam. Ia mengalihkan wajahnya dari pandangan Dave. Terasa ada panas yang menggelitik dan menjalar ke pipinya kala membayangkan adegan dimana Dave menggendong dirinya seperti putri dalam dongeng. Sepertinya tadi malam, adegan itu cukup jadi tontonan karena saat berada di lift, ada beberapa wanita yang mengenalinya dan mengatakan, kau perempuan yang semalam digendong laki-laki tampan itu!
Sebuah restoran masakan prancis bergaya klasik menjadi tujuan mereka kali ini. Teras depannya memang sederhana, tapi batu pualam yang menjadi dasar tiang teras membuat restoran ini memiliki pesona mahal tersendiri. Dua pelayan mengenakan seragam putih-putih berdiri di kedua sisi pintu, bertugas menyambut pelanggan dan membuka pintu. Charlotte turun dari sisi kanan mobil, dan Dave dari sisi kiri. Setelah mobil berjalan, barulah Charlotte berjalan mendekat pada Dave. “Kurt sungguh ingin menunjukkan betapa dia memiliki banyak uang, kan?” bisik Charlotte. Dave tadi sempat menyinggung kalau saingan bisnisnya itu menyewa restoran ini selama satu hari penuh. Tentu saja uang yang dibutuhkan tidak sedikit.
“Aku pikir begitu.” Dave menekuk lengan kanannya membentuk garis siku-siku. Charlotte langsung paham, ia menyampirkan tangannya ke dalam sudut itu. Mereka mulai berjalan ke arah pintu, tapi saat tiba di ambang pintu, Dave berhenti. Pria itu menajamkan pandangannya pada Charlotte. “Bisakah kau bertingkah sedikit mesra padaku? Jangan terlalu kaku.”
“Tapi, mereka bisa salah paham.” Charlotte merenung. Suaranya terdengar ragu.
“Tidak masalah mereka ingin berpikir seperti apa.” Dave mengalahkan keraguan Charlotte dengan tegas.
Charlotte menatap Dave. “Baiklah...” Gadis itu merapatkan lengan Dave ke dadanya, kemudian ia sedikit bergelayut di lengan atas pria itu. “Apakah ini berlebihan?”
“Tidak.” Dave tampak antusias. Senyumnya mengembang sempurna. “Ini cukup untuk menghalau kumbang-kumbang nakal,” bisiknya terlalu pelan sampai Charlotte tidak bisa mendengarnya.
Di dalam restoran itu, Kurt duduk di sebuah meja bundar yang besar dikelilingi empat orang lainnya, tidak termasuk Kim. Charlotte tidak melihat perempuan campuran Korea-Jepang itu dari awal ia memasuki restoran. Kurt duduk di barisan tengah, pria itu segera berdiri diikuti empat orang lainnya saat Dave dan Charlotte mendekati meja.
Kurt menjabat tangan Dave. “Sayang sekali sekretarisku tidak bisa melihat ketampananmu hari ini,” katanya seraya tersenyum miring. “Kim sedang sakit. Dia sedang beristirahat di hotel.”
Dave baru saja akan bersuara tapi ia menahannya. Ia membiarkan Kurt menyelesaikan aksi sapa menyapanya dengan Charlotte. Tangan gadis itu tengah mendapatkan pendaratan sempurna dari bibir Kurt. “Kau tampak memesona, Nona Jackeens,” kata Kurt masih menggenggam tangan Charlotte. Mungkin kalau bukan Charlotte yang menarik tangannya lebih dulu, Kurt akan tetap berada di posisi itu cukup lama.
“Trims,” kata Charlotte. Kurt menunggu kata lanjutan dari ‘trims’, tapi Charlotte tidak mengatakan apa-apa lagi. Gadis itu duduk setelah Dave menyeret kursi di sampingnya ke belakang. “Trims,” katanya lagi. Kali ini untuk Dave.
Charlotte mengangkat pandangannya. Empat orang lain yang duduk di meja ini memiliki wajah yang tidak asing. Charlotte ingat pernah melihat mereka di pertemuan pertamanya dengan Kurt dulu. Salah satu pak tua yang duduk berhadapan dengan Dave misalnya. Ia sudah mulai akrab berbincang dengan Dave, membicarakan perkembangan saham dan beberapa investor menjanjikan yang kini sudah bangkrut. Charlotte tidak menemukan bagian menarik dari pembicaraan ini kecuali kesempatan kerja sama yang menghasilkan uang banyak. Dave pernah bilang, agar Charlotte tidak usah repot-repot melakukan ini itu kalau memang ia tidak tahu harus melakukan apa, contohnya di situasi seperti ini. Perannya sekarang hanya mendampingi Dave, dan memberikan informasi-informasi penting yang ia pelajari atas suruhan pria itu. Dave bergantung pada ingatan Charlotte yang nyaris bersifat fotografi.
Sejauh ini semuanya berjalan lancar. Dengan pertemuan ini Charlotte jadi tahu, tidak semua pembicaraan bisnis akan mengarah pada bisnis. Bisa jadi seperti sekarang; pembicaraan pokok mereka bukan perjanjian kerja sama yang akan mereka tanda tangani. Malah kebanyakan mereka saling membahas bagaimana mereka menyeleksi sekretaris mereka, dan itu membuat Charlotte risih.
“Dave...” Charlotte memanggil Dave lirih.
“Aku tahu. Pergilah...” kata Dave. Seolah ia bisa membaca pikiran Charlotte. Dave tidak melepaskan pandangannya dari Charlotte sampai gadis itu mencapai koridor menuju toilet.
Charlotte membuka pintu berlambang perempuan berwarna merah. Toilet itu penuh cahaya kuning dan berbau lavender. Di dalamnya berjejer tiga toilet, masing-masing memiliki jarak yang luas untuk sekedar satu bilik toilet. Tentu saja ia kesini bukan untuk masuk ke dalam sana. Charlotte ingin menghindari pembicaraan-pembicaraan para pemimpin perusahaan yang genit itu. Kupingnya terasa benar-benar panas, apalagi saat mendengar entah-pak-tua-mana-yang mengatakan itu; seseorang yang ingin menjadi sekretarisnya, haruslah wanita yang memiliki tubuh bak model victoria’s secret. Menurut Charlotte sepertinya kinerja bagus bukan menjadi fokus utama mereka.
Usai mencuci tangan, dan merapikan sulur-sulur rambutnya yang tidak beraturan, Charlotte beranjak dari toilet. Ia membuka kenop pintu, memutar badan sembari menutup pintu itu kembali, dan saat ia berbalik menghadap koridor, Kurt sudah berdiri di situ. Charlotte nyaris meloncat kaget. “Kau mengagetkanku,” kata Charlotte. Tangannya ia letakkan di atas d**a, seperti menenangkan jantungnya sendiri.
Kurt bersandar pada tembok koridor dan menatap hangat Charlotte. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana. Charlotte berusaha tidak terlihat kikuk, tapi yang terjadi malah sebaliknya, karena gadis itu berusaha menghindari tatapan Kurt.
“Aku minta maaf, kau harus mendengar ocehan-ocehan pria hari ini.” Kurt mulai buka suara. “Aku tahu kau hanya mencari alasan ke sini,” kekehnya kemudian.
Charlotte ikut-ikutan bersandar pada dinding koridor, tapi berseberangan dengan Kurt. Ia memandangi Kurt sambil memilin-milin ujung rambutnya. “Yeah. Aku akan berusaha memakluminya,” kata Charlotte. “Setidaknya, aku bersyukur kau tidak banyak bicara dalam pembicaraan itu.” Charlotte berdehem. “Tidak seperti seseorang yang sangat antusias.” Charlotte membicarakan Dave.
“Yeah. Tapi itu bukan berarti aku tidak benar-benar tertarik untuk memiliki sekretaris cantik. Seperti kau misalnya.”
Charlotte tertegun. Cantik. Kurt menyebutnya cantik. Tidak ada yang pernah menyebutnya begitu sebelum ini, kecuali ayahnya, yang tentu saja tidak masuk hitungan. Semua ayah pasti berpikir putrinya cantik. Charlotte merasa pipinya memerah sekarang.
“Kau membuatku ingin melakukan ini...”
Kalimat Kurt menggantung di ujung. Pria itu tiba-tiba bergerak cepat menyongsong Charlotte, menyudutkan gadis itu, memasang pagar di kedua sisi tubuhnya. Charlotte megap-megap karena terkejut. Kedua mata Kurt tampak mengkilat penuh energi. “Aku sudah tertarik padamu sejak pertemuan pertama kita waktu itu,” katanya. “....dan Whittaker tampan itu terlalu bodoh kalau tidak melakukan apa-apa padamu. Bagaimana kalau kau bertukar tempat dengan Kim? Aku yakin Dave tidak akan keberatan. Mereka tampak cocok satu sama lain...”
Kurt bernapas di leher Charlotte. Gadis itu menggigil ketakutan. Nalurinya berkata ia harus teriak, tapi dia tidak tahu apakah tindakan itu tepat, bagaimanapun Kurt pemegang kunci perjanjian bisnis ini. Tapi Charlotte yakin, jika ia teriak sekarangpun Dave tidak akan marah padanya, karena ini masalah gawat tentang harga diri.
“L-lepaskan atau aku akan—“
Tiba-tiba Kurt terpental ke samping. Charlotte menoleh, mendapati Dave berdiri di depannya sambil terengah-engah. Tangannya kanannuya masih teracung ke depan, Charlotte baru sadar kalau pria itu baru saja menonjok si sialan Kurt. Gerakannya sangat cepat sehingga tidak bisa ditangkap mata. Bunyi krak keras yang terdengar saat kepala Kurt menghantam lantai, masih terngiang di telinga Charlotte.
Dave menarik tangan Charlotte dengan gerakan sekali hentak yang agak kasar, sampai-sampai lengan gadis itu terasa nyeri. Mereka berdua berjalan melewati koridor, dan menerabas kumpulan pebisnis-pebisnis tua – teman makan siang mereka – yang masih tidak mengerti tentang apa yang terjadi.
Mereka berdua keluar dari restoran itu tanpa mengatakan apa pun. Langkah kaki Dave tidak melambat meskipun jarak mereka dengan restoran sekarang sudah benar-benar jauh. Pria itu baru berhenti setelah Charlotte tersandung kakinya sendiri, dan terjatuh di dekat kotak telepon yang sudah tidak terpakai.
“Ouch!” seru Charlotte. Dengkulnya terasa nyeri, mungkin lecet, jatuhnya lumayan keras barusan dan ia merasa sangat malu karena semua orang memandanginya. Ia mendongak ke atas, menatap Dave yang belum mengendurkan rahangnya. Dave menjulurkan tangan, membantu Charlotte berdiri. Ia bahkan membersihkan sisa-sisa salju yang menempel di rok Charlotte.
“Bagaimana bisa kau,” Dave berbicara dengan mulut yang nyaris terkatup rapat membentuk garis, “tidak berteriak atau melakukan sesuatu saat mendapatkan serangan seperti tadi?!” Dave menekankan kata serangan. Pria itu sudah setengah berteriak, dan itu menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang. Charlotte benar-benar malu.
“Kau tidak harus membentakku di sini...” suara Charlotte bergetar seperti akan menangis. “...dengan posisiku tadi, aku tidak bisa memutuskan cepat harus bagaimana,” lanjutnya.
“Kau hanya perlu berteriak dan orang-orang akan menolongmu!”
“Lalu bagaimana dengan perjanjian kita!” sekarang Charlotte balas berteriak.
“Persetan dengan itu!” Dave semakin meninggikan suaranya. “Ibuku pun tidak akan bangga dengan perjanjian yang kudapatkan kalau ia tahu apa yang terjadi padamu barusan. Bayangkan kalau aku telat sedikit saja datang kesana, kau mungkin sudah diciumnya, dicumbunya, atau apa pun itu yang tidak bisa kau bayangkan. Tidakkah bisa kau lihat? Dia itu serigala nekat! Kau lupa bagaimana ia memaksamu berdansa waktu itu?”
Charlotte membeku. Seakan-akan Dave telah menamparnya, ia pun menangis. Dave mengusap wajahnya kasar. “Maaf aku meneriakimu di sini.” lalu ia menggandeng Charlotte, mengusap tangan gadis itu pelan sambil menghentikan taksi, dan membimbing gadis itu masuk ke dalam sana.