Chapter Six: Big Trouble

3351 Words
--“Perhatikan di mana kau pikir kau menaruh tanganmu, Tuan,” seru Charlotte.  Kedua alisnya mengkerut marah, tapi tampak lucu karena matanya yang sudah setengah tertutup. “Ini bukan berarti aku kalah, kita hanya menunda permainannya, itu saja.”--             Jam sudah menunjukkan angka 12.00  saat Charlotte bangun dari tidurnya. Deringan telepon di kamarnya lah yang pertama menyambutnya bangun. Charlotte berusaha bangkit dari kasurnya, tapi kepalanya terasa sangat berat dan sakit, sehingga ia membutuhkan waktu agak lama untuk bisa mengangkat telepon itu. “Halo...” suara Charlotte semakin parau. Sepertinya ia bukan hanya membutuhkan obat demam saja, tapi juga obat batuk.             “APA KAU TIDAK MENGIRIM EMAIL PEMBERITAHUAN KEPADA MEREKA SEMALAM?!” itu Dave. Tersirat kemarahan yang besar pada suaranya yang memekakkan telinga. Charlotte refleks menjauhkan gagang telepon yang ia pegang dari telinganya. Sejenak ia mendengar bunyi ‘nging’ yang bergaung di dalam kepalanya.             “Wah, betapa menyenangkannya hariku diawali dengan mendengar teriakanmu, Dave.” Charlotte terdengar kesal, dan penasaran di saat yang sama. Apa yang membuat pria itu sangat marah?             “Salah seorang dari mereka meneleponku barusan...” Dave mulai terdengar tenang meski warna suaranya benar-benar dingin. “Mereka bilang, mereka sudah menunggu kita selama satu jam...bisa kau jelaskan kenapa?”             Charlotte tersentak. Ia merasakan kedua tangannya dingin seolah jantungnya berhenti memompa darah ke bagian itu. Kemudian ia mulai gugup. Semalam ia langsung tidur, segera setelah Dave meninggalkan kamarnya. Ia benar-benar lupa harus mengirim email pengunduran jadwal pertemuan kepada para kolega bisnis. Sekarang Dave sangat marah, itu berarti terjadi sesuatu yang buruk di luar bayangan Charlotte. Memikirkan itu semua membuat gadis itu tidak bisa berkata apa-apa, seakan ia lupa bagaimana caranya berbicara. Pikiran akan kehilangan pekerjaan, benar-benar membuatnya ngeri setengah mati.             “Ma-maafkan aku, Dave—astaga, apa yang harus kulakukan sekarang?” Charlotte menggigiti ujung kukunya. “Haruskah aku pergi ke sana dan menemui mereka?” kemudian ia menggigit bibirnya cukup keras sampai lidahnya merasakan asin. Bibirnya berdarah.             “Tidak ada yang perlu kau lakukan.” Dave menghembuskan napas kencang dan menimbulkan bunyi ‘grssk’ yang keras. “Beruntunglah, mereka tidak berniat membatalkan kerja sama mereka dengan kita. Aku akan mengurus semuanya...., kau istirahat saja.” telepon pun terputus.             Secepat kilat Charlotte bergerak menuju lemari pakaiannya. Ia melucuti gaunnya yang masih ia kenakan sejak kemarin malam, menggantinya dengan dress putih tanpa lengan dan blazer hitam. Kemudian ia buru-buru ke kamar mandi; mencuci muka dan menggosok giginya. Wajahnya belum benar-benar kering saat ia menyambar tasnya dari atas meja. Ia harus cepat mengejar Dave sebelum pria itu pergi duluan. Gadis itu hampir tersandung kakinya sendiri saat berjalan setengah berlari sambil memakai sepatunya di lorong hotel menuju lift.             Saat lift terbuka, Charlotte memekik kaget. Dave ada di dalam sana, sudah rapi dengan setelan jas biru tua. “Apa yang kau lakukan?” pria itu memandang Charlotte penuh heran. Dari suaranya di telepon tadi saja ia sudah tahu, gadis ini benar-benar sedang sakit dan butuh istirahat yang cukup, terlepas tindakan bodoh yang ia lakukan, yang hampir membuat perusahaannya rugi besar. “Kembali ke kamarmu.” Dave menekan tombol membuka pintu lift, menyuruh Charlotte yang baru saja masuk ke dalam segera keluar. “Aku tidak menyuruhmu ikut.”             “Dan...” Charlotte memandang serius Dave. “Aku tidak bisa melepaskan tanggung jawabku begitu saja, Dave,” katanya. Ia menyingkirkan tangan Dave dari tombol membuka pintu lift, kemudian menekan tombol menuju lobby. Perlahan lift bergerak turun ke bawah.             “Belum terlambat untuk kembali ke kamarmu sekarang.” Dave berjalan cepat menuju pintu keluar hotel. Di depan sana, sudah ada mobil yang menunggu, tapi bukan mobil hotel. Mungkin, orang yang dulu ditugaskan mengurus sewaan mobil selama mereka berada di sini sudah menjalankan tugasnya.             “Tidak, Dave. Aku tidak peduli seberapa keras kau melarangku.” Charlotte menggunakan nada rendah nan tegas saat mengatakan itu.             “Ck..” Dave berdecih. “Kau benar-benar keras kepala. Jangan merengek sakit dan meminta pulang cepat.”             Charlotte melotot. “Kau pikir aku pegawai macam apa? Jelas aku tahu bagaimana metode melakukan perjalanan bisnis. Ini bukan kali pertama aku melakukan perjalanan bisnis, Dave.” Usai mengatakan itu, Charlotte menyusul Dave masuk ke dalam mobil. Ia tidak tahu mobil merek apa ini, tapi mobil ini jelas lebih mewah ketimbang mobil yang biasa Mrs. Halley pakai saat melakukan perjalanan bisnis. Dari awal mengenalnya, Charlotte sudah memperkirakan ini; Dave adalah tipe pria yang mengutamakan gengsi.             Charlotte menunduk menatap tasnya yang ia pangku. Kedua tangannya sudah sangat basah karena keringat. Ia sendiri hampir tidak bisa membedakan, apakah itu keringat karena gugup atau karena dia sedang sakit.             Dave memandangi Charlotte. “Belum terlalu jauh dari hotel. Masih sempat untuk putar balik.”             “Aku baik-baik saja.”             Dave mendengus menyerah, “Terserah.”             Charlotte menutup mata. Sakit di kepalanya sedikit pudar saat ia melakukan itu. sudah jelas, ia butuh waktu tidur lebih banyak lagi. Tiba-tiba ia merindukan selimut, bantal, juga guling di rumahnya. Hotel yang ia tempati memang memiliki kasur yang lebih nyaman dari kasurnya di rumah. Tapi, itu tidak bisa memulihkan tenaganya seperti apa yang dilakukan kasurnya di rumah.             Sekarang Charlotte bisa melihat pemandangan Paris di siang hari. Jalan yang mereka lalui sekarang tidak seramai jalan-jalan di New York. Tidak banyak mobil pribadi yang melintas. Kebanyakan orang-orang menggunakan trasnportasi umum dan Charlotte benar-benar ingin mencobanya. Tapi, karena tuntutannya yang harus mengikuti Dave kemanapun pria itu pergi, harapan untuk melakukan itu sangat kecil. Dalam hati Charlotte bertekad, suatu saat ia akan kembali ke sini untuk liburan. Kalau dipikir-pikir selama ini ia belum pernah mengambil jatah cuti kantornya. Mungkin ia bisa mempertimbangkan mengambil cuti sekembalinya Mrs. Halley dari Singapore.             “Kau tidak ingin berdandan?” Dave menatap wajah Charlotte yang sedikit pucat. Kemudian pria itu mendesah, “Jangan sampai kau memberi kesan bahwa aku adalah seorang bos yang jahat, karena tetap memaksamu bekerja di saat sakit,” cerocosnya. “Ingat, aku sendiri yang ingin ikut. Jadi jangan melibatkan aku.”             Charlotte mendengus. “Aku tahu.” Ia meloloskan gumaman-gumaman yang tidak jelas, sementara tangannya mulai mengeluarkan satu persatu alat make up dari dalam tasnya; bedak, lipstik, maskara, dan eyeliner. Barang-barang itu benar-benar akan membeli ilusi pada wajah Charlotte – yang tampak seperti mayat hidup – menjadi normal.             “Bisakah kau melihat ke arah lain, Dave? Aku bisa melihatmu dari kaca ini,” kata Charlotte. Ia menangkap Dave sedang mengamatinya yang mulai berdandan. “Tahukah kau? Wanita memerlukan konsentrasi yang kuat saat sedang berdandan.”             Dave tertawa meremehkan, “Kau terlalu melebih-lebihkan—ah, tidak. Sepertinya memang begitu, kalian kaum hawa selalu lamban dalam melakukan sesuatu...juga lalai tentunya.” Ia sedang mengungkit kesalahan Charlotte.             Charlotte menutup kotak bedaknya dengan keras. “Sepertinya kau tipe orang yang senang mengungkit kesalahan orang lain.”             “Kau pernah melakukan hal yang sama padaku. Kita satu sama..., dan  jaga sikapmu, Nona Jackeens. Aku bosmu.”             “Very well, Sir.” Charlotte kembali membuka kotak bedaknya. Ia hanya perlu memakai maskara dan eyeliner saja. Ia sudah bisa melakukan ini di dalam mobil Gina jika sahabatnya itu sedang berbaik hati menawarkan tumpangan untuknya. Gina bukan pengemudi yang baik, ia selalu kebut-kebutan dan melanggar rambu lalu lintas. Beruntung ia tidak pernah tertangkap polisi. Jika di dalam mobil ugal-ugalan itu Charlotte bisa menyelesaikan dandanannya dengan sempurna, apalagi di mobil yang ia naiki sekarang? Mobil ini melaju dengan sangat mulus tanpa goncangan sedikitpun.             Dave membuat suara-suara seperti senandung lagu. Charlotte bersikap seperti tidak ada Dave, hanya melihat ke luar jendela. Tingkah yang ditunjukkan Dave kelewat tenang untuk seorang pemimpin perusahaan yang sedang beresiko kehilangan calon ladang emasnya. Sikapnya benar-benar santai seolah tidak ada beban apa pun, membuat Charlotte sedikit berpikir buruk. Mungkinkah soal kolega-kolega bisnisnya yang marah itu hanya rekayasa?             Prasangka itu belum hilang saat mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah hotel besar nan megah. Dave mengatakan pada supir, agar supir itu menunggu di tempat parkir sampai urusan Dave dan Charlotte selesai. Kemudian Dave mendesak Charlotte keluar sambil sedikit mendorong-dorong punggungnya agar lebih cepat, padahal ia tahu betul, gadis itu mengenakan dress rok span yang memperkecil ruang gerak kakinya yang panjang.             “Jadi kita kemana?” tanya Charlotte pelan. Dave berjalan di depannya, enggan menoleh. Charlotte mengambil napas panjang, “Kau benar-benar tahu kita harus kemana, kan?”             “Tentu saja.” akhirnya Dave menengok. “Kau hanya harus diam dan ikuti aku.”             Mereka berjalan lurus melewati lorong yang tersambung dari lobby. Lorong itu berdinding kaca yang mengalirkan air di dalam sela-sela kacanya, sehingga terlihat seperti air terjun mini. Di ujung lorong, terdapat sebuah pintu yang mungkin tingginya mencapai 4 meter lebih. Pintu itu terbuat dari kayu berukiran antik dan tepat di depannya ada dua orang pria yang berjaga.             Dave menghampiri mereka, menunjukkan sesuatu dari ponsenya sambil menyebutkan namanya, juga menunjuk Charlotte yang berada tepat di belakang Dave. Charlotte berpikir, siapa pun kolega bisnis Dave yang menjanjikan, orang itu pastilah sangat kaya dan dianggap penting karena ia memiliki algojo demi keselamatannya.             “Ayo, masuk.” Dave menarik lengan Charlotte, mengirimkan setruman listrik yang menjalari pembuluh darah. Di luar dugaan, tangan pemuda itu sangat dingin dan basah berkeringat. Pikiran Charlotte berdengung, apa yang ia lihat di dalam mobil – semua ketenangan yang ditunjukkan oleh Dave – itu palsu. Dave yang sesungguhnya adalah, seorang pemuda yang tidak jauh berbeda dari Charlotte. Nyatanya, Dave pun sama takutnya dengan Charlotte saat akan menghadapi para kolega bisnis yang berada di dalam ruangan itu. ***              “Syukurlah...” akhirnya Charlotte bisa melepaskan ketegangan yang daritadi ia rasakan di dalam ruang pertemuan itu. “Hari ini tidak begitu buruk.”             Dave melonggarkan dasinya. “Sepertinya berkeringat di dalam sana telah menurunkan demammu.’ Pria itu menyulut rokok yang terselip di antara kedua belah bibirnya. Charlotte baru tahu kalau Dave adalah seorang perokok. Pria itu tidak menunjukkan ciri-ciri seorang perokok pada penampilannya; bibirnya terlalu merah muda untuk ukuran seorang perokok.             “Jangan buang asapmu padaku!” protes Charlotte saat Dave menghembuskan napas nya, mengeluarkan sisa-sisa asap rokok yang disedot paru-parunya. Asap rokok itu mengenai Charlotte, sungguh pekat sampai Charlotte terbatuk-batuk. “Sekarang aku paham kenapa kau tidak mau duduk di dalam.” Charlotte membicarakan tempat duduk di dalam cafe yang lebih empuk dan hangat. Di luar sini Charlottte menggigil kedinginan tapi ia tidak mengatakan apa pun, seperti biasanya.             “Kau kedinginan?” Dave memahami gelagat Charlotte yang terlihat tidak nyaman. Sedari tadi perempuan itu mendekap erat kedua telapak tangannya di bawah ketiaknya sendiri. “Aku punya obat mujarab agar kau bisa merasa hangat.”             “Obat? Jangan katakan...” Seorang pelayan datang dari arah belakang Charlotte. Membawa sebuah nampan berisi dua botol vodka dan dua buah gelas berisi es batu. “Sudah kuduga..., kau gila? Aku baru sembuh dari sakit perut yang menyiksa itu dan kau—aku tidak ingin minum.”             “Ah, aku tahu...kau takut, kan?” Dave mulai memancing jiwa petarung Charlotte.             Sorot mata Charlotte mulai gelisah. “Aku tidak takut, Dave.” Ia berhenti, saling bertukar pandang dengan Dave. Kemudian tiba-tiba ia berkata, “Jangan menangis kalau kau kalah.” Charlotte menerima tantangan Dave. Ia mulai menuangkan vodka yang sudah dibuka tutupnya oleh pelayan tadi, ke dalam gelas berisi es batu.             Dave menghisap dalam-dalam rokoknya, kemudian menjejalkannya ke dalam asbak yang terletak di atas meja. Di saat yang sama, Charlotte mengambil ancang-ancang siap meminum vodkanya. Dave merebut gelas dari tangan Charlotte. “Tidak seru kalau hanya sekedar menghabiskannya dengan cara biasa,” katanya. “Kita lakukan dengan cara lain.”             Charlotte menyipitkan matanya. “Cara lain?” katanya. “Apa maksudmu?”             Dave menatap Charlotte dari pinggiran gelas yang ia rebut dari Charlotte. “Jadi..” katanya. “Kau akan merayu laki-laki secara acak, mengedipkan mata pada mereka...,dan lihat, apakah mereka meresponnya atau tidak. Setiap ada satu orang yang meresponmu, aku akan meminum satu gelas vodka, dan begitu seterusnya.” Dave tersenyum penuh percaya diri. “Hal yang sama juga berlaku padaku. Sebentar lagi cafe ini akan semakin ramai...yang menang adalah yang paling sedikit minum.”             Charlotte tersedak ludahnya sendiri. “Itu mustahil.”             “Jadi kau menyerah?” Dave bertanya dengan penasaran.             “Tidak.”             “Kalau begitu, kita deal...permainan dimulai dari....,sekarang!”             Seorang pria bermantel cokelat muda – tidak terlalu tampan – tapi memiliki wajah yang putih bersih, berjalan melewati trotoar jalan menuju deretan kursi tempat Charlotte dan Dave duduk. Charlotte menyilangkan satu kakinya ke atas kaki yang lain. Tangan kirinya menopang dagunya. Tepat saat pria itu melihat ke arahnya, Charlotte tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya. Sedikit canggung, memang...,tapi Charlotte tidak suka kalah. Gadis itu tertawa riang saat pria incaran pertamanya itu merespon dengan baik. Pria itu tampak tersenyum malu-malu pada Charlotte, itu berarti satu gelas pertama untuk Dave.             “Ternyata ini tidak begitu sulit.” Charlotte mulai percaya diri. “Sepertinya, semua orang punya bakat merayu dalam dirinya, hanya saja ada orang yang mengasahnya dan ada yang tidak,” lanjut Charlotte. Ia sedang menujukan sindiran itu pada Dave.             Dave menuangkan vodka ke dalam gelasnya, lalu meminumnya hanya dalam satu tarikan napas. “Ini baru permulaan, Charly,” kata Dave melakukan pembelaan diri. “Aku akan membuatmu minum dua gelas vodkamu sekaligus setelah ini.” Pandangannya tertuju lurus pada dua wanita yang baru saja keluar dari pintu samping cafe. Charlotte menoleh, kedua-duanya sama-sama cantik dan penampilannya sangat berkelas.             Dave bahkan tidak perlu mengedipkan matanya. Tidak, ia bahkan tidak melakukan apa-apa dan kedua wanita itu sudah menunjukkan ketertarikan yang luar biasa pada Dave. “See?” Dave terdengar sedikit angkuh. Charlotte pikir, Dave sangat kepedean.             “Ini baru permulaan, Dave,” kata Charlotte mengulang apa yang dikatakan Dave padanya. Perhatiannya lalu teralih pada pemuda berwajah Asia yang datang dari arah yang sama dengan pria sebelumnya. Charlotte memasang pose yang lebih meyakinkan, tiba-tiba rasa percaya dirinya meningkat tajam. Pria itu semakin dekat, Charlotte baru saja menghabiskan gelas ke duanya tanpa melepaskan pandangannya dari pria Asia itu. Ia menunggu detik-detik pria itu membalas pandangannya...., itu terjadi, dan hanya dengan memandangnya seperti itu, Charlotte sudah mendapat senyuman balasan.             Charlotte menuang vodka ke dalam gelas Dave, “Hari ini belum berakhir, Dave,” ujarnya. “Masih terlalu cepat untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.”             Dave tertawa rendah, “Sepertinya kau sudah berada di bawah pengaruh vodka itu, Nona,” katanya. Ia meminum habis vodka di dalam gelasnya dengan satu tegukan, hingga mulutnya sedikit mengembung. “Aku akan meminum satu gelas lagi untuk menyelamatkanmu.” Dave menuang vodka ke dalam gelasnya.             Kini ganti Charlotte yang tertawa, “Aku tidak ingin kau menyelamatkanku sekarang, Dave.” Charlotte melirik jauh ke belakang Dave, ada dua pemuda, yang satu sangat keren dan yang lain juga tidak kalah keren. “Taruhan, aku bisa menyelesaikan ini dengan satu pukulan saja.” Charlotte mengganti kata ‘rayu’ menjadi ‘pukulan’.             Dave menoleh ke belakang. Mengikuti arah pergerakan mereka yang mengambil tempat duduk terpisah dua meja saja dari tempat duduknya dengan Charlotte kini. Dave mulai terusik dengan taruhan yang ia sarankan sendiri. Diam-diam, pria itu berbuat curang; mengirimkan tatapan mengancam kepada dua pemuda itu, seakan dia adalah kekasih Charlotte.             “Ini aneh..., mereka melihatku seperti melihat hantu,” kata Charlotte. “Jangan senang dulu.” Ia melirik lemas ke gelasnya yang mulai terisi vodka lagi.             “Menyerah?”             Charlotte menatap Dave tajam, “Tidak akan!” serunya. “Bukan hanya kau satu-satunya manusia di dunia ini yang pandai memikat orang lain—kau akan merasakan bagaimana rasanya kalah dari nona manis ini.”             “Ini belum waktunya tidur dan kau sudah mulai bermimpi.” Dave terkekeh. “Tahu apa kau soal memikat? Yang kulihat, kau belum memiliki pengalaman yang cukup untuk mengalahkanku.”             Charlotte nyengir. Kedua pipi sampai ujung hidungnya sudah mulai kemerahan. Kedua sorot matanya pun semakin sayu seperti orang menahan kantuk. Gadis itu berulang kali memutar-mutar botol vodka seperti memainkan isinya yang ikut terombang-ambing. Dave terlihat berpikir beberapa saat sebelum akhirnya berdiri, lalu menarik tangan Charlotte.             “Aku tidak habis pikir...., bagaimana seorang sepertimu bisa K.O oleh vodka,” kata Dave. Pria itu membicarakan Charlotte yang kuat minum, mengungkit apa yang terjadi di pesta perpisahan divisinya beberapa hari lalu.             Charlotte mengerang, “Itu hanya sejenis bir, dan sekarang kau memberiku vodka, dasar gila...” kata Charlotte. Ia memukul belakang kepala Dave, dan pria itu tidak terlihat kesakitan sama sekali. Dave membiarkan Charlotte mengoceh tidak jelas sesuka hati sepanjang jalan mereka menuju mobil yang terparkir di depan cafe.             “Aku bisa sendiri.” Dave menolak bantuan dari supir sewaannya ketika hendak memasukkan Charlotte ke dalam mobil. “Ternyata berat tubuhmu tidak seperti yang terlihat,” kata Dave sambil menggigit bibir dalamnya. Lalu ia mendapat pukulan telak di pundaknya oleh Charlotte. Dave kira itu karena ucapannya, ternyata bukan.             “Perhatikan di mana kau pikir kau menaruh tanganmu, Tuan,” seru Charlotte.  Kedua alisnya mengkerut marah, tapi tampak lucu karena matanya yang sudah setengah tertutup. “Ini bukan berarti aku kalah, kita hanya menunda permainannya, itu saja.”             “Sssh... berhentilah mengoceh, Charly. Kau sungguh berisik.”             Charlotte tidak mendengar apa kalimat terakhir Dave. Ia terlalu sibuk dengan warna-warna gelap yang terasa berputar-putar menariknya masuk lebih dalam ke kegelapan di balik kelopak matanya. Perlahan ia merasakan tubuhnya semakin ringan. Ia juga merasakan ada yang membelai lembut pucuk kepalanya, juga memainkan rambutnya. Charlotte hanya bisa membuka celah matanya beberapa senti saja untuk melihat sosok Dave yang sedang membawanya lebih dekat ke dalam pelukan pria itu. Kemudian semuanya menjadi buram, dan kembali gelap.             Dave menarik napas dalam. Ia merangkul Charlotte sambil mengusap-usapkan tangannya ke lengan Charlotte, seperti sedang berusaha menghangatkan gadis itu. Mereka sudah setengah jalan menuju hotel. Hari sudah mulai gelap dan lampu-lampu jalan mulai menyala otomatis.             Dave menatap Charlotte dari samping. Ada kesenangan di tatapannya tapi juga desakan tertentu yang abstrak terhadap Charlotte; seperti rasa penasaran yang memicu keinginan untuk mendekat yang setengah-setengah. Setengah ingin dan setengah tidak.             Pemandangan gerbang depan hotel menyita lamunan Dave. Masih sama seperti saat mereka meninggalkan hotel tadi siang; mobil-mobil masih berjejer di depan hotel. Sepertinya pesta pernikahan yang diadakan di salah satu aula hotel belum selesai. Beberapa orang yang mengenakan gaun pesta dan jas, tampak lalu lalang keluar masuk lobby hotel.             Dave bersiap-siap menurunkan Charlotte dengan menggendongnya saat mobil mulai menepi. Lagi-lagi Dave menolak tawaran supir untuk membantunya membawa Charlotte yang masih tertidur pulas di bawah pengaruh alkohol. Dave hanya menyuruhnya membukakan pintu untuknya. “Jangan sampai terlambat besok,” kata Dave. Kemudian ia berbalik mundur memasuki lobby hotel.             Dave melewati kerumunan orang pengiring pengantin yang asyik ketawa-ketiwi di dekat resepsionis. Mereka mengenakan dress satu tali dengan rok  potongan tanggung yang mengembang seperti balon. Dave mencemooh tingkah mereka yang heboh saat ia lewat di dekat mereka sembari menggendong Charlotte. Menurutnya, itu norak; menunjuk-nunjuk ke arahnya dengan tatapan memuja yang penuh prasangka nakal. Mereka pasti mengira, Dave akan melakukan sesuatu pada Charlotte, meskipun sebenarnya pikiran itu tidak sepenuhnya salah. Paling tidak, beberapa menit terakhir, Dave sempat memikirkan hal-hal ‘itu’.             Dave menyerah mengambil kunci kamar Charlotte yang terletak entah dimana di dalam tas gadis itu. Tadi, ia sudah berada di depan kamar gadis itu, dan ia kesusahan mengambil kunci kamar sampai-sampai nyaris menjatuhkan Charlotte dari gendongannya. Jadi ia memutuskan membawa Charlotte ke kamarnya, meletakkan gadis itu dengan sangat hati-hati di atas kasurnya yang berantakan agar tidak terbangun. Selanjutnya, ia melepas sepatu yang dikenakan Charlotte dan menaruhnya di dekat pintu.             d**a bidang pria yang tengah melepaskan jasnya itu terlihat naik turun tak beraturan. Sesering apa pun ia melakukan olah tubuh, tetap saja membawa seorang gadis berperawakan seperti Charlotte menguras tenaga yang tidak sedikit. Sekarang tubuhnya menjadi lengket karena keringat. Ia ingin segera mandi dan melanjutkan beberapa laporan yang tertunda semalam, sambil menunggu Charlotte bangun.             “Nnghh...” erangan Charlotte menghentikan gerakan Dave. Pria itu sudah setengah telanjang, dan hampir lupa kalau ada Charlotte di dalam sini. Apa yang terjadi kalau gadis itu terbangun dan melihatnya telanjang? Sebenarnya dia sama sekali tidak keberatan. Toh, telanjang di depan wanita sudah terbilang sering baginya. Tapi Charlotte? Dave tidak berminat mendapat serangan pukulan bertubi-tubi dari gadis itu hanya karena salah paham...,mengira dirinya akan melakukan sesuatu yang aneh pada gadis itu. Jadi, Dave memungut pakaian yang baru ia lucuti dari atas lantai, membawanya masuk ke dalam kamar mandi untuk diletakkan ke dalam keranjang pakaian kotor yang ingin di laundry. Kemudian pria itu melanjutkan melepas pakaiannya yang masih tersisa di badan, lalu mandi tanpa menutup pintunya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD