Chapter 5

1992 Words
"Aduh cucunya nenek Laras nafsu makannya bagus," Laras memuji Popy yang mengunyah sarapan dengan semangat. Moti dan Randra tersenyum melihat putri mereka yang makan dengan lahap. "Ah senangnya kalau lihat Poko makan banyak begini, ini baru namanya cucu kakek Iqbal." Iqbal menimpali, ia turut senang dengan perubahan makan sang cucu yang sudah seminggu ini kurang makan karena sakit. Popy mengangguk kuat. "Iya dong nek, kek, Poko harus makan banyak supaya punya kekuatan untuk pergi ke kantornya Ben." "..." Tiba-tiba ruangan di meja makan sepi. Tiga saudara Popy yang sedang makan tanpa sadar menggigil ketika mereka mendengar nama Ben. "Laki-laki sialan itu lagi." Batin Alan kesal. "Kenapa harus dia yang kak Poko suka sih." Bilal dongkol dalam hati. "Heum," Liham mendengus kecil tanpa dilihat Popy. Sedangkan Randra yang mendengar ucapan sang anak menaikan sudut bibir atasnya, terlihat sekali bahwa ia sedang jengkel. Popy makan lahap tanpa melihat perubahan ekspresi dari masing-masing anggota keluarganya. Setelah Popy menelan makanan terakhir ia menutup sarapannya dengan sekaleng s**u yang biasa diminum sang ibu. "Huh...akhirnya Poko kenyang juga." Desah lega dari Popy. "Ayah Ran, bunda, Nenek Laras, kakek Iqbal, semuanya Poko pergi dulu yah." Popy pamit sambil mencium pipi orang tuanya. "Liham, ayo berangkat." Ujar Popy ke arah Liham. "Eh? Kak Poko tadi bukannya bilang mau ke kantornya Ben." Ujar Liham bingung. "Iya, mau kesana, tapi barengan Liham aja, Poko mau kasih sarapan buat Ben, ini sarapannya Ben." Ujar Popy mengangkat kotak makanan. Liham yang melihat semangat sang kakak hanya mengangguk singkat. ♡♡♡ "Ham tungguin Poko disini yah?" Popy turun dari mobil yang di kendarai adiknya. Liham mengangguk. Popy berjalan memasuki perusahaan yang sudah seminggu tidak dia datangi. "Selamat pagi mbak Melda." Sapaan Popy. "Selamat pagi nona Popy." Melda menyapa balik. "Ben ada?" Popy berbisik ke arah Melda. Melda mengangguk. "Ada nona, tuan Ruiz baru saja naik ke atas." Popy manggut-manggut. "Kalau gitu Poko naik yah?" Melda mengangguk. Ting Popy keluar dari lift yang dia naiki. Terlihat Sasha, sekretaris Ben sedang sibuk memilah-milah dokumen. "Selamat pagi mbak Sasha," Popy tersenyum cerah. Sasha menoleh ke arah Popy. Untuk sesaat Sasha terpana, orang yang di depannya ini adalah gadis yang sudah seminggu ini tidak datang ke perusahaan untuk membawa sarapan atau mengajak makan siang bosnya. "E-ehm...selamat pagi nona..." Sasha tergagu ke arah Popy. "Ben ada kan?" Popy melirik ke pintu ruangan Ben. Sasha mengangguk. Popy berjalan ke arah ruangan Ben. "E-e...itu...tap-pi ada nona Tinar--," Popy tak mendengar ucapan Sasha, tangannya meraih gagang pintu. "Ben--," "Secepatnya kita akan mengadakan pertunangan kita." "Ben, kakekku sudah mengurus mengenai masalah saham yang akan di transfer ke Ruiz Food Company," "Tinar Gruop akan mendukung Ruiz." Lanjut gadis itu. Brak Terdengar suara benda jatuh. Ben dan gadis yang sedang berbicara menoleh ke arah pintu yang sedang terbuka sebagian. "Popy..." Ben tiba-tiba berdiri dari sofa yang ia duduki. Glek Popy berusaha menelan air ludahnya. Cukup lama dia memandangi Ben dan gadis itu. Popy menunduk mengambil kotak sarapan yang jatuh. Lalu Popy tersenyum cerah. "Selamat pagi Ben." Sapa Popy dengan cerah, suaranya bercampur serak, namun seketika hilang. Ceklek Popy menutup pintu ruangan Ben, lalu dia berjalan ke arah Ben dengan senyum lebar. "Ben Ben, ini Poko bawa sarapannya Ben, enak loh." Popy duduk di depan Ben sambil membuka kotak sarapan. Ben yang melihat tingkah Popy hanya memandangi dia lama. "Ayo sini, enak sarapannya." Ajak Popy. Ben menetralkan ekspresinya, lalu dia berjalan duduk di sofa tunggal. "Ben, bunda Momok yang buat sarapan ini, enak loh." Popy melihat ke arah Ben dengan antusias, dia menyodorkan sarapan itu ke Ben. Ben yang telah menetralkan ekprsinya hanya memandangi Popy dengan datar lalu dia meraih salah satu sandwich yang ada di kotak makan lalu memakannya. Popy yang melihat Ben memakan sarapannya tersenyum malu-malu. "Ehm, anda nona Basri, benar kan?" gadis yang berbicara dengan Ben, tersenyum palsu ke arah Popy. "Eoh?!" Popy menoleh ke arah gadis itu, dia melupakan bahwa ada seorang gadis di dalam ruangan Ben. "Oh...halo," sapa Popy cepat-cepat. "Ini orang yang minggu lalu." Batin Popy mengingat bahwa seminggu yang lalu dia mengejar mobil yang di naiki oleh Ben dan gadis itu. Gadis itu mengangguk. "Halo, saya Syarastya Alila Tinar." Popy mengangguk. "Popy Aira Basri." Balas Popy. Syarastya yang merupakan nama gadis itu tersenyum menilai ke arah Popy. Dia menaikan sebelah alisnya. "Sepertinya anda sering kesini," ujar Syarastya. Popy mengangguk lalu tersenyum. "Bawakan Ben sarapan, kita juga makan siang bersama." Ujar Popy membanggakan diri dengan pencapainnya yang pernah ia lakukan. Padahal kenyataannya Ben hanya dua kali makan sarapannya dan hanya sekali makan siang dengannya karena paksaan Mali. Syarastya menaikan sebelah alisnya, lalu ia tersenyum. "Apakah anda sudah tahu siapa saya?" Popy mengangguk. "Tahu." Sahut Popy singkat. "Lalu anda masih mendekati tuan Ruiz?" tanya Syarastya. Popy mengangguk lagi. Syarastya memandangi Popy dengan tatapan sinis. "Anda tahu siapa saya, lalu mengapa anda masih mendekati tuan Ruiz?" Popy melirik ke arah Ben yang sedang menelan sarapannya. "Saya tahu anda, anda adalah Syarastya Alila Tinar, tadi anda sudah memberi tahu saya." Ujar Popy tanpa menoleh ke arah Syarastya. Syarastya menjadi jengkel dengan ekspresi yang dikeluarkan oleh Popy. "Nona Basri, saya adalah tunang--," "Aku sudah selesai, aku akan kerja, silakan pergi." Ujar Ben memotong pembicaraan Syarastya. Popy mengangguk. "Ok." Sahut Popy singkat. Lalu Popy membereskan kotak sarapan yang dibawanya, setelah itu dia berdiri. "Ben, Poko pergi yah, dadah Ben." Ujar Popy, lalu dia berjalan keluar dari ruangan Ben. Ceklek Sesampainya di luar pintu, Popy memudarkan senyumnya, lalu dia mencubit-cubit pipinya. "Huh..." Popy menghembuskan napas. Ia berjalan ke arah lift tak lupa juga tersenyum ke arah Sasha yang sedang memandanginya dengan pandangan ingin tahu. ♡♡♡ Brak "Eh, kak Poko udah selesai?" Liham bertanya ke arah Popy yang baru saja masuk ke mobilnya. Popy mengangguk lesu. "Ben makan semuanya." Ujar Popy lesu. Liham mengangguk, namun dilihatnya ekspresi sang kakak tidak seantusias ketika Ben mau menerima sarapan kakaknya seperti yang dia lihat. "Loh, kak Poko kok mukanya gitu? Ben makan semua sarapannya kan?" Liham bertanya bingung ke arah sang kakak. Popy mengangguk. "Kak Poko seharusnya senang kan?" tanya Liham bingung. Popy mengangguk lagi. Namun Liham dibuat bingung oleh tingkah kakaknya, senang tapi tidak terlihat. Liham melirik ke luar mobilnya, dia melihat pintu perusahaan Ruiz dengan tatapan penuh pertanyaan. "Ada apa ini?" Batin Liham. ♡♡♡ "Sshhh..." Popy menarik napas lesu di depan meja kantin. Casilda dan Liham memandang bingung bercampur penasaran ke arah Popy. "Popy, ada apa?" Casilda bertanya. Popy melirik ke arah temannya yang sudah hampir tiga minggu ini menjadi teman kelasnya. "Nggak kenapa-kenapa." Jawab Popy. "Ng-gak kenapa-kenapa kok mukanya kayak gitu." Ujar Casilda dengan aksen eropa yang kental. Dia belum terbiasa mempelajari bahasa gaul atau bahasa yang dipakai sehari-hari oleh orang Indonesia. Beruntung neneknya orang Indonesia jadi dia bisa berbahasa Indonesia baku. Liham terlihat berpikir keras. "Tadi keluar dari perusahaan Ben dengan kotak makanan kosong, Ben makan semua sarapannya, apa yang salah?" Batin Liham menganalisis. "Hoi, ng-gak kenapa-kenapa gitu wajahnya." Ujar Casilda. Popy melirik Casilda, lalu dia tersenyum geli. "Hahahaha! Coba ulang lagi." Pinta Popy. Casilda terbingung, "ulang apa?" "Yang tadi, kalimat yang Cassy bilang." Ujar Popy. "Oohh..." Casilda manggut-manggut. "Ng-gakk kenapa-kenapa kok mukanya gitu," ulang Casilda. "Hahahahaha!" Popy tertawa terbahak-bahak. "Kak Poko ketawa apaan sih?" Liham bertanya. Popy menoleh ke arah Liham. "Ham, kau dengar nggak kata yang diucapin Cassy tadi?" Liham mengangguk. "Denger lah." "Apaan?" Popy bertanya. "Nggak kenapa-kenapa kok mukanya gitu." Jawab Liham. "Cassy, ulangi lagi." Ujar Popy. "Ng-gakk kenapa-kenapa kok mukanya gitu." Ulang Casilda. "Eh?!" Liham memandang ke arah Casilda, lalu dia melirik Popy yang juga sedang meliriknya. "Hahahahahaha!" Liham tertawa terpingkal-pingkal. "Kalian berdua tertawa apa sih?" Casilda memandangi Liham dan Popy. Popy dan Liham memandang ke arah Casilda. "Nggak, nggak." Ujar Popy. "Ng-ggak..." ulang Casilda. "Coba ikuti aku," pinta Liham. Casilda mengangguk. "Nggak." "Ng-gak." Ulang Casilda. "Gagak," "Gag-gak." Ulang Casilda. "Pfft!" "Oh?" Casilda memandangi dua bersaudara yang sedang menahan tawa. "Oh! Kalian ketawain aku yah?" Casilda melotot ke arah Popy dan Liham. "Hahahaha!" ♡♡♡ Tok Tok Tok "Masuk." Sahut suara di dalam ruangan. Ceklek Popy menyembulkan kepalanya ke dalam ruang kerja sang ayah. Randra menoleh ke arah Popy. "Poko, ayo masuk." Ceklek Popy menutup pintu kerja Randra lalu dia berjalan ke arah ayahnya. "Ayah Ran ayah Ran!" Popy tersenyum cerah ke arah ayahnya. "Hm?" "Itu...kak Alam, kak Rahim, Gaishan, Ghifan mau ke puncak dua hari, ayah Ran." Popy terlihat bersemangat. Randra mengangguk. "Lalu ada apa dengan mereka?" "Poko mau ke puncak juga ayah." Ujar Popy semangat. Randra memandangi Popy lama. "Ayah Ran, nanti Alan, Bilal dan Liham juga ikut." "Poko ikut yah?" "Bushra dan Aliza juga ikut." "Poko ikut yah?" Popy membujuk ayahnya. Randra terlihat berpikir. Ia tidak pernah membiarkan Popy menginap di luar kediaman Basri tanpa ada dirinya. Begitupun jika Popy pergi ke rumah saudara-saudari Moti, dia tidak pernah tidur. Karena dari dulu, dari Popy lahir hingga masa kanak-kanaknya, Randra yang selalu mengurus keperluan Popy, memakaikan dia popok, membuat s**u formula ketika tengah malam Popy lapar, memandikannya, memakaikan putrinya baju, bahkan membawanya dalam perjalan bisnis jika diperlukan. Karena kondisi Moti yang ruang geraknya terbatas, dia memilih merawat Popy biarpun ada sang ibu dan pengasuh lainnya. Moti hanya bertugas memberi asi dan sesekali memakaikan Popy baju jika Moti tidak lelah. "Kak Rahim mau dipindahin di Kupang, ayah." Ujar Popy. "Nanti kak Rahim nggak ketemu sama Poko dan yang lainnya lama, kan sayang." Ujar Popy cemberut. "Sshh..." Randra menghembuskan napas frustasi. "Ayah Ran..." Popy memeluk ayahnya. "Satu kamar dengan Bushra dan Aliza, kamar di tengah antara Alan dan Alamsyah, kunci pintu kamar ketika tidur, jangan tidur sambil mencharger ponsel, pakai penolak nyamuk, dan jangan begadang." "Yes!" Popy mengecup pipi sang ayah. ♡♡♡ "Kak Poko, disini bagus areanya, sejuk lagi, kita bisa makan seafood segar." Aliza memandangi tempat sekelilingnya. Bushra mengangguk. "Benar Liz, disini ada restoran seafood dan restoran barat gaya perancis." Bushra menimpali. "Ini kan milik Farikin." Popy melirik ke arah Bushra. "Hehehe," Bushra cengir. "Restoran Farikin banyak yah, sampai di Asia lagi," ujar Aliza. Bushra mengangguk. "Resort ini milik om Farel, om Farel itu anak pertama nenek Lia dan kakek Agri, nanti anaknya yang jadi penerus Nabhan Corporation dan Resort." Popy dan Aliza mengangguk. "Hebat juga yah Farikin, punya banyak resort, Nabhan juga." Aliza terkagum. "Tapi sebenarnya restoran seafood disini milik kakek Arya, tapi karena nenek Lia dan om Zaid masuk rumah sakit dua puluh lima tahun yang lalu, jadi dikasih buat papa," lanjut Bushra. "Berarti restoran seafood itu milik om Busran yah?" Aliza bertanya. Bushra mengangguk. Popy dan Aliza manggut-manggut tanda mengerti. "Hei girls, jangan gosip-gosip, aku tahu aku tampan," Gaishan muncul dengan wajah konyolnya. "Hii! Kak Gaishan apaan sih? Lubang hidungnya lebar gitu." Bushra memandang jijik ke arah sang kakak. "Hahahah!" "Ini adalah wajah yang melegenda, membuat para gadis menjadi terpesona." Ujar Gaishan membanggakan wajahnya. "Kotoran hidungnya kelihatan, Shan." Celetuk Popy. "Eh?" Gaishan mengorek hidungnya dengan jari kelingking. "Buuaakkk!" tiga saudara perempuan Gaishan pura-pura memuntahkan sesuatu. "Ck! Nggak banyak kok." Ujar Gaishan melihat jari kelingkingnya. "Gaishan! Jorok!" Ghifan berteriak dongkol ke arah sang kakak. "Ngapain ngupil baru di pencet-pencet upilnya? Buang sana!" Ghifan dongkol. "Hahahahaha!" para saudara laki-laki tertawa geli. ♡♡♡ "Steak ini enak," Aliza berbisik ke arah Bushra dan Popy. Popy dan Bushra manggut-manggut. "Ini harganya sekitar empat jutaan satu potong gini." Balas Bushra. Popy dan Aliza manggut-manggut. "Ini daging sapi apa? Mahal banget," Popy berbisik ke arah Bushra. "Ini daging sapi di impor langsung dari jepang, namanya daging sapi kobe." Balas Bushra. Popy dan Aliza manggut-manggut. "Poko juga pernah makan daging ini, tapi nggak tahu datangnya dari mana, ternyata sapinya dari jepang." Popy manggut-manggut. Alamsyah, Ariansyah, Ibrahim, Alan, Bilal, Liham, Gaishan, dan Ghifan melirik ke arah tiga saudara perempuan mereka. Mereka menggeleng-gelengkan kepala mereka. "Gosip terus," celetuk Gaishan. "Sut..." seorang pemuda menoel Gaishan. Gaishan menoleh. "Apa?" "Yang di tengah itu sepupu kamu kan?" tanya pemuda itu. "Dua yang itu sepupu aku," jawab Gaishan. Pemuda itu manggut-manggut. "Yang ditengah anak tuan Basri kan?" Gaishan mengangguk. "Kak Nibras pernah ketemu," "Tapi itu udah lama, udah sekitar sepuluh tahun." Balas pemuda bernama Nibras. "Iya, udah lama, emangnya napa kak?" Gaishan bertanya ke arah kakak sepupunya, Nibras Arelian Nabhan. "Nggak nyangka aja udah gede, makin manis." Ujar Nibras. Gaishan melototkan matanya. "Hem...hati-hati kalau bicara." Nibras melirik kiri dan kanannya, terlihat saudara-saudara dari sepupunya sedang menatapnya. "Hehehe...ehem...hanya mengingat masa lalu." Nibras tersenyum kecil. "Eh, sapi kobe ini kan suka dikasih minum bir," ujar Aliza. Popy melotot ke arah Aliza. "Hah?! Uhuk! Uhuk!" Popy terbatuk. "Kak Poko makan pelan-pelan." Bilal mengambil gelas air untuk kakaknya. "Kak Alam," panggil Popy. "Hm?" Alam menyahut. "Poko nggak mau makan ini lagi, steak ini." Ujar Popy kuat. Ari dan yang lainnya yang sedang mengunyah makanan mereka mengerutkan kening mereka. "Memangnya kenapa Poko nggak mau makan steak ini? Nggak enak?" Alam bertanya. Popy menggeleng. "Enak kok, tapi Poko takut di marahin ayah Ran nanti kalau Poko mabuk." "Hah? Mabuk apa? Ini nggak ada anggur atau alkoholnya kok." Alam meneliti makanan Popy. "Steaknya juga sama seperti punya kak Alam dan yang lainnya." Ujar Alam, yang lainnya mengangguk. "Iya, enak malah." Ucap Gaishan. "Iihh pokoknya Poko nggak mau makan ini, nanti Poko mabuk, ayah Ran nanti marah." Ujar Popy. "Ini makanannya nggak ada alkoholnya adik Poko." Ibrahim meyakinkan sang adik sepupu. Sret Sret Popy meraih ponselnya, lalu ia terlihat memanggil seseorang. Beberapa detik kemudian panggilan tersambung. "Halo, Poko, ada apa?" suara Randra di seberang. "Ayah Ran! Ayah Ran, Poko mau lapor." Popy cepat-cepat menanggapi ayahnya. "Ada apa? Alan dan yang lainnya buat apa?" Randra bertanya di seberang telepon. Sret Popy meloudspeaker panggilannya, niatnya agar semua orang mendengar. "Ayah Ran! Ayah Ran! Poko nggak sengaja makan bir!" "Byuur!" "Uhuk! Uhuk!!" "Ekhem! Uhuk! Uhuk!" "Apa?!" Randra cengo di seberang. "Alan!" "Sshhh!" Alan dan dua saudara lelakinya meringgis ngeri. ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD